Srakk...
Gaun hitam Hiriety dirobek paksa oleh Marco, pria itu menciumnya dengan penuh gairah, tangannya menjelajahi tubuh Hiriety dengan penuh hasrat.
“Sabar Valley...” Hiriety bergumam disela cumbuannya
Hiriety mendesah, bukan karena rasa sakit, melainkan karena kenikmatan yang membuncah. Sentuhan Marco, meskipun kasar, membangkitkan sensasi yang tak tertahankan. Ia membalas ciuman Marco, tangannya meraih rambut Marco dan menariknya lebih dekat. Tubuhnya melengkung mengikuti ritme ciuman mereka, menyesuaikan diri dengan gairah yang membara.
Kain sutra gaunnya yang tersisa kini hanya menutupi sebagian tubuhnya, mengungkapkan kulitnya yang halus dan lembut. Marco tak mampu menahan diri, jari-jarinya menjelajahi tubuh Hiriety dengan penuh gairah, menelusuri lekuk tubuhnya yang indah.
Ia mencium leher Hiriety, meninggalkan jejak basah di kulitnya yang halus. Hiriety menggerakkan pinggulnya, menyesuaikan diri dengan sentuhan Marco, meningk
“Biar kukeringkan rambutmu.”Hiriety menatap Marco, tubuh pria itu hanya terbungkus bathrobe dengan bagian dada terbuka. Uap hangat dari kamar mandi masih menguar di sekitar mereka, membuat suasana terasa lebih intim.“Aku bisa melakukannya sendiri” sahutnya, meski tidak bergerak untuk mengambil handuk dari tangan Marco.Marco tersenyum kecil, lalu tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, ia mulai dengan lembut mengusap rambut Hiriety menggunakan handuk. Gerakannya hati-hati, seakan takut menyakitinya.Marco tidak tahu.Dia tidak tahu bahwa gerakan lembutnya, perhatiannya, semua itu bukan sesuatu yang baru bagi Hiriety. Bahwa sebelum ini, ada tangan lain yang pernah melakukan hal serupa—tangan Erasmus.Hiriety menatap bayangan mereka di cermin, matanya kosong. Ia membiarkan Marco mengeringkan rambutnya, tetapi di dalam kepalanya, pikirannya melayang ke tempat lain.“Apa kau selalu seperti ini?&rdquo
“Enghh... Ahhh......”Puncak kenikmatan mereka datang secara bersamaan, sebuah ledakan gairah yang menyatukan mereka dalam satu gelombang kepuasan yang intens.Tubuh mereka lemas, berpelukan erat di atas ranjang. Napas mereka memburu, campuran desahan dan bisikan memenuhi kamar luas yang sebelumnya sunyi.Marco mencium dahi Hiriety, sentuhannya lembut, berbeda dengan dominasinya beberapa saat yang lalu.Setelah beberapa saat, mereka memisahkan diri. Marco menyandarkan tubuh Hiriety pada dadanya, membiarkan wanitanya itu merasakan detak jantungnya yang masih berdebar kencang."Itu... luar biasa" bisik Hiriety, suaranya masih bergetar.Marco tersenyum, mengusap rambut Hiriety dengan lembut. "Baru permulaan" katanya, suaranya rendah dan penuh arti. "Kita masih punya satu bulan lagi."Hiriety mendelik “Jika kau terus melakukan ini s
Hiriety Berdine Walton.Banyak wanita yang ingin menjadi dirinya, dan banyak pria yang memujanya.Dengan rambut cokelat gelap panjang yang lembut, mata abu-abu yang tajam seperti elang, serta bibir merah yang sering melengkung dalam senyum penuh kepercayaan diri, Hiriety bukan hanya sekadar cantik—dia adalah pusat perhatian di mana pun ia berada.Tapi dia bukan sekadar sosialita yang hidup di bawah bayang-bayang nama besar Walton. Hiriety adalah wanita yang tahu apa yang ia mau, dan ia tidak ragu untuk mendapatkannya. Termasuk ketika seseorang mencoba menyentuh dunianya tanpa izin.Seperti pria itu.Marco Valley.Pria yang dikenal dingin, tidak kenal takut, dan penuh kebencian pada keluarganya.Namun bagi Hiriety, Marco bukan ancaman—dia adalah tantangan yang menarik.“Dia benar-benar berani, ya?” Hiriety berbisik dengan nada geli sambil menyesap sampanye dari gelas kristal yang ia pegang. Ia berdiri di sudut ruangan, mengamati pria berjas hitam yang baru saja tiba di pesta malam itu.
Hiriety menapakan kakinya di halaman luas, rerumputan yang tertata rapi terinjak oleh hak tingginya yang elegan. Udara malam terasa dingin, namun bukan itu yang membuat bibirnya melengkung dalam seringai kecil—melainkan fakta bahwa Marco Valley benar-benar membawanya ke sini.Sebuah mansion berdiri megah di depannya, arsitekturnya khas gaya klasik dengan pilar-pilar tinggi dan jendela besar yang diterangi cahaya lampu dari dalam. Ini bukan tempat yang asing bagi Hiriety.“Jadi, kau benar-benar membawaku ke sarang singamu sendiri?” katanya santai, melirik Marco yang berdiri di sisinya.Pria itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Hiriety sejenak sebelum mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya agar pergi. Beberapa pria yang sejak tadi mengawal mereka segera mundur, meninggalkan keduanya di depan mansion besar itu.Marco kemudian berjalan lebih dulu, membukakan pintu besar di hadapan mereka. “Masuk.”Hiriety menyisir rambutnya dengan jari sebelum melangkah a
Hiriety beranjak masuk ketika selesai dengan ucapannya yang provokatif, yang tak ia duga adalah ketika Marco secara tiba-tiba menghantamkan tubuhnya ke dinding ruang tengah dengan keras, udara seakan terhenti sesaat saat jari-jari Marco melingkar erat di lehernya. Tatapan pria itu gelap, penuh amarah yang sudah sejak tadi ia tahan.“How rude...” Hiriety bergumam dengan seringai tipis. Meskipun udara yang bisa ia hirup mulai menipis"shut up your fuckin mouth! Aku sudah muak dengan permainanmu, Walton" geram Marco, jemarinya menekan kulit leher Hiriety, cukup kuat untuk memperingatkan tapi tidak sampai menghancurkannya.Hiriety hanya terkekeh kecil, meski napasnya mulai terasa berat. Mata abu-abunya menatap Marco tanpa sedikit pun ketakutan, seolah pria itu hanyalah hiburan yang menyenangkan baginya."Apa ini yang bisa kau lakukan, Valley?" suaranya terdengar parau, namun masih dipenuhi nada mengejek. "Aku pikir kau lebih dari sekadar pria yang frustrasi atau mungkin ini pelampiasanmu
Hiriety melangkah santai di dalam rumah besar itu, seolah-olah dia adalah pemiliknya, bukan seseorang yang baru saja diculik.Rumah Marco Valley ternyata lebih megah daripada yang dia bayangkan—langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, lorong panjang dengan lukisan-lukisan mahal, dan aroma kayu mahoni yang khas memenuhi udara. Bukan aroma kematian atau penyiksaan seperti yang mungkin dibayangkan kebanyakan orang tentang tempat persembunyian seorang pria seperti Marco ValleyHiriety tersenyum kecil. "Cukup nyaman. Sudah kutebak dia itu gila kebersihan" gumamnya sambil menyentuh pilar di sepanjang lorong.Sejauh ini, Hiriety tak menemukan setitik debupun dirumah besar ini dan melihat respon Marco, sepertinya benar jika pria itu OCD. Namun dia nampak tak masalah jika ada orang lain.“Mungkin kau hanya lemah pada sentuhan..” Hiriety kembali bergumamBeberapa pelayan yang lewat tampak terkejut melihatnya berkeliaran tanpa pengawalan, namun mereka tidak berani mengatakan apa pun. S
Cahaya matahari siang menyusup melalui jendela besar ruang makan, memantulkan sinarnya pada meja panjang yang telah ditata dengan elegan. Piring-piring porselen, perak yang mengilap, serta berbagai hidangan menggoda tersaji rapi di hadapan mereka.Marco Valley duduk di ujung meja, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan otot-otot lengannya yang kencang. Rahangnya tegas, garis wajahnya tajam, dan matanya yang gelap menatap makanannya dengan fokus yang intens—seolah dia mencoba mengabaikan fakta bahwa Hiriety sedang duduk di hadapannya.Hiriety sendiri, dengan tangan yang masih patah tetap tidak kehilangan pesonanya, duduk dengan anggun. Dia menyilangkan kakinya, menikmati setiap suapan makanan yang ia ambil dengan tangan kirinya, sesekali melirik ke arah Marco dengan mata abu-abunya yang penuh minat.Tanpa malu-malu, dia meletakkan garpunya, menyandarkan dagunya di atas punggung tangannya, lalu menatap Marco terang-terangan."Aku harus mengakuinya, V
Tok... tok..“Permisi nona Walton”Hiriety menghela napas panjang, dengan terpaksa, ia menghentikan aksinya membobol sistem keamanan Marco Valley karena ketukan dipukul 11 malam iniDia menghela napas panjang, melirik sekilas ke layar di depannya yang masih menampilkan sistem keamanan rumah Marco Valley. Dia hampir berhasil menerobosnya, tetapi tampaknya seseorang memilih waktu yang sangat buruk untuk mengganggu. Dengan malas, dia menutup laptop hasil curian dari pelayan itu dan berjalan menuju pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pelayan berdiri dengan wajah sopan dan hormat. Di belakangnya, seorang pria berjas putih berdiri dengan membawa tas medis.“Tuan Valley mengirimkan dokter untuk memeriksa tangan Anda” ucap pelayan muda itu dengan nada datar.Alis Hiriety terangkat, matanya sekilas berkilat dengan ketertarikan. “Oh? Aku tidak tahu bahwa Marco memiliki sisi peduli yang seperti ini.”Pelayan itu tetap diam, jelas tidak ingin terlibat dalam permainan kata-kata Hiriety. Sementara
“Enghh... Ahhh......”Puncak kenikmatan mereka datang secara bersamaan, sebuah ledakan gairah yang menyatukan mereka dalam satu gelombang kepuasan yang intens.Tubuh mereka lemas, berpelukan erat di atas ranjang. Napas mereka memburu, campuran desahan dan bisikan memenuhi kamar luas yang sebelumnya sunyi.Marco mencium dahi Hiriety, sentuhannya lembut, berbeda dengan dominasinya beberapa saat yang lalu.Setelah beberapa saat, mereka memisahkan diri. Marco menyandarkan tubuh Hiriety pada dadanya, membiarkan wanitanya itu merasakan detak jantungnya yang masih berdebar kencang."Itu... luar biasa" bisik Hiriety, suaranya masih bergetar.Marco tersenyum, mengusap rambut Hiriety dengan lembut. "Baru permulaan" katanya, suaranya rendah dan penuh arti. "Kita masih punya satu bulan lagi."Hiriety mendelik “Jika kau terus melakukan ini s
“Biar kukeringkan rambutmu.”Hiriety menatap Marco, tubuh pria itu hanya terbungkus bathrobe dengan bagian dada terbuka. Uap hangat dari kamar mandi masih menguar di sekitar mereka, membuat suasana terasa lebih intim.“Aku bisa melakukannya sendiri” sahutnya, meski tidak bergerak untuk mengambil handuk dari tangan Marco.Marco tersenyum kecil, lalu tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, ia mulai dengan lembut mengusap rambut Hiriety menggunakan handuk. Gerakannya hati-hati, seakan takut menyakitinya.Marco tidak tahu.Dia tidak tahu bahwa gerakan lembutnya, perhatiannya, semua itu bukan sesuatu yang baru bagi Hiriety. Bahwa sebelum ini, ada tangan lain yang pernah melakukan hal serupa—tangan Erasmus.Hiriety menatap bayangan mereka di cermin, matanya kosong. Ia membiarkan Marco mengeringkan rambutnya, tetapi di dalam kepalanya, pikirannya melayang ke tempat lain.“Apa kau selalu seperti ini?&rdquo
Srakk...Gaun hitam Hiriety dirobek paksa oleh Marco, pria itu menciumnya dengan penuh gairah, tangannya menjelajahi tubuh Hiriety dengan penuh hasrat.“Sabar Valley...” Hiriety bergumam disela cumbuannyaHiriety mendesah, bukan karena rasa sakit, melainkan karena kenikmatan yang membuncah. Sentuhan Marco, meskipun kasar, membangkitkan sensasi yang tak tertahankan. Ia membalas ciuman Marco, tangannya meraih rambut Marco dan menariknya lebih dekat. Tubuhnya melengkung mengikuti ritme ciuman mereka, menyesuaikan diri dengan gairah yang membara.Kain sutra gaunnya yang tersisa kini hanya menutupi sebagian tubuhnya, mengungkapkan kulitnya yang halus dan lembut. Marco tak mampu menahan diri, jari-jarinya menjelajahi tubuh Hiriety dengan penuh gairah, menelusuri lekuk tubuhnya yang indah.Ia mencium leher Hiriety, meninggalkan jejak basah di kulitnya yang halus. Hiriety menggerakkan pinggulnya, menyesuaikan diri dengan sentuhan Marco, meningk
Sepuluh menit berlalu sejak Hiriety masuk melalui pintu samping restoranMarco menatap arlojinya dengan sabar, meskipun dalam hatinya, dia tahu kalau Hiriety sengaja memperlama waktu. Wanita itu suka bermain-main dengan kesabaran orang lain, dan dia menikmatinya.Hiriety itu cantik dan menarikMeskipun hanya mengenakan crop top dan celana jeans pendek, aura wanita itu tak bisa ditutupiDia adalah keturnan Caid dan Relova, tentu saja fisiknya akan luar biasa rupawanSebenarnya Marco tak masalah jika Hiriety tak berniat mengganti pakaian, dia pun menyediakan gaun itu untuk Hiriety gunakan besok, setelah mereka melakukan kegiatan panas malam harinya.Namun, ketika pintu terbuka dan Hiriety melangkah keluar dari pintu samping restoran, Marco mendapati dirinya menahan napas sesaat.Wanita itu benar-benar tahu cara mencuri perhatian.Gaun hitam satin itu melekat sempurna di tubuhnya, dengan belahan tinggi yang memperlihatkan kaki jen
Brakk!“Setidaknya kau bisa memintaku untuk masuk mobil sendiri daripada memaksaku masuk dengan kasar”Pintu mobil tertutup dengan keras, membuat Hiriety menyeringai.Matanya mengikuti Marco yang memutari depan mobil dan masuk ke sisi pengemudi, menyalakan mesin tanpa menjalankannyaHiriety miringkan kepala, menatap pria itu dengan senyum miring. "Kau benar-benar dalam mode 'alpha male yang terluka' sekarang, Valley" katanya santai.Marco mengepalkan tangan di atas kemudi, matanya gelap, rahangnya mengeras. "Kau pikir ini lucu?""Aku pikir ini sangat lucu" balas Hiriety tanpa rasa takut. "Kau datang jauh-jauh ke Milan hanya untuk menculikku dan bersikap seperti suami yang dikhianati."Marco mengerang pelan, membanting tangan ke setir. "Berhenti menyebalkan, Walton."Hiriety tertawa pelan, tetapi tawanya terputus ketika Marco tiba-tiba membungkuk ke arahnya, tangannya mencengkeram dagunya dengan kuat."Aku ser
"Hiriety Bedine Walton! Sedang apa kau?!!"Suara Marco terdengar dalam dan berbahaya di seberang telepon.Hiriety menyandarkan punggungnya ke meja di belakangnya, masih di dalam ruangan Erasmus. Dengan senyum nakal, dia melirik Erasmus yang masih berdiri di depannya, dasinya masih tergenggam di tangan Hiriety.“Aku sibuk” jawabnya santai, suaranya penuh godaan.Marco terdiam beberapa detik. “Sibuk dengan siapa?”Hiriety bisa merasakan nada posesif dalam suara Marco, yang justru membuatnya semakin ingin bermain-main dengannya.“Hmm, kau tahu sendiri” balasnya dengan nada sok misterius. “Ada banyak pria tampan di Milan.”Erasmus menahan tawa, tetapi ekspresi matanya tajam, seolah ingin tahu bagaimana kelanjutan percakapan itu.Marco menggeram di telepon. “Hiriety.”Nada suaranya berbahaya.Hiriety tertawa kecil. “Kau tahu, Valley? Aku suka mendengar s
"Aku mendengar semuanya." Suara dingin Matthias terdengar dari seberang.Hiriety menutup mata, mencoba menahan dorongan untuk mengumpat. Tentu saja kakaknya mendengar."Jadi?" jawabnya santai. "Aku tidak mengatakan sesuatu yang salah, kan?""Aku tidak peduli dengan urusanmu dan Valley" balas Matthias tajam. "Tapi jangan meracuni pikiran istriku dengan omong kosong semacam itu.""Aku tidak teracuni Matthias! Aku hanya—""Kau tak perlu membelanya, Princess" potong Matthias cepat. "Aku sedang menasehati adik bebalku ini."Selena langsung mengatupkan mulutnya, wajahnya semakin merah. Hiriety tertawa pelan. "Oh, Matthias. Aku tidak meracuni istrimu. Kami hanya berbincang santai, kau tahu? Percakapan antara dua wanita dewasa.""Kau tahu maksudku, Hiriety" Matthias memperingatkan. "Selena tidak perlu tahu seberapa ‘bagus’ pria lain selain suaminya."Hiriety terkekeh. "Santai saja. Selena setia padamu. Aku hanya berba
“Jadi.. kau menerimanya?” Tanya SelenaHiriety mengangguk sambil memakan es krim vanila miliknya. Mereka berada diapartemen mereka, tepatnya di Milan, Italia.Setelah menikah, Selena kembali melanjutkan kuliah fashionnya dan kali ini suami Selena itu sedang membasmi hama hingga Hiriety harus kembali menjadi bodygurad berkedok roommate untuk Selena“Bukannya kau dekat dengan Sir Eras?” Selena kembali bertanyaHiriety menyesap es krimnya dengan malas, matanya menatap Selena dengan ekspresi datar. "Sir Eras? Erasmus maskudmu?" ulangnya seolah tidak paham.Selena mengangguk cepat. "Bukannya dia juga tertarik padamu?"Hiriety terkekeh, meletakkan sendoknya di atas mangkuk dengan santai. "Tertarik? Bisa jadi. Tapi aku bukan tipe wanita yang hanya menerima satu pilihan saja, Selena."Selena memutar matanya. "Jadi kau akan memainkan dua pria berbahaya sekaligus?"Hiriety menyandarkan tubuhnya ke sofa, melipat ka
“Aku ingin menawarkan kesepakatan”Hiriety meletakan sendoknya, mereka masih berada di kamar hotel yang saat ini dalam kondisi sangat berantakan akibat ulah keduanya semalam"Kesepakatan?" tanyanya, alisnya terangkat sedikit, seolah menantang Marco untuk menjelaskan lebih lanjut.Marco mengangguk, matanya tetap tertuju pada Hiriety. "Aku ingin menawarkanmu sebuah kesepakatan, Hirie. Sesuatu yang lebih dari sekadar satu malam. Aku tahu kau bukan wanita yang mudah dijinakkan, tetapi aku ingin mencoba. Aku ingin memiliki dirimu, bukan hanya tubuhmu."Hiriety menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya terkekeh pelan. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan kakinya dengan anggun. "Milikkmu?" ulangnya dengan nada geli. "Kedengarannya seperti tawaran yang sangat klise."Marco tidak tersenyum. "Aku serius."Hiriety terkekeh pelan, suaranya masih bergema dengan kelembutan sisa kenikmatan. Ia menarik tangannya dari genggama