Cahaya matahari siang menyusup melalui jendela besar ruang makan, memantulkan sinarnya pada meja panjang yang telah ditata dengan elegan. Piring-piring porselen, perak yang mengilap, serta berbagai hidangan menggoda tersaji rapi di hadapan mereka.
Marco Valley duduk di ujung meja, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan otot-otot lengannya yang kencang. Rahangnya tegas, garis wajahnya tajam, dan matanya yang gelap menatap makanannya dengan fokus yang intens—seolah dia mencoba mengabaikan fakta bahwa Hiriety sedang duduk di hadapannya.
Hiriety sendiri, dengan tangan yang masih patah tetap tidak kehilangan pesonanya, duduk dengan anggun. Dia menyilangkan kakinya, menikmati setiap suapan makanan yang ia ambil dengan tangan kirinya, sesekali melirik ke arah Marco dengan mata abu-abunya yang penuh minat.
Tanpa malu-malu, dia meletakkan garpunya, menyandarkan dagunya di atas punggung tangannya, lalu menatap Marco terang-terangan.
"Aku harus mengakuinya, Valley" ucapnya dengan nada santai, tapi penuh arti. "Kau adalah pria yang luar biasa menarik."
Marco mengangkat alisnya, akhirnya mengangkat tatapannya dari piring. "Apa?"
Hiriety menyeringai, ujung jari jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. "Aku tidak hanya bicara soal wajah tampanmu, meskipun, oh... kita tidak bisa mengabaikan fakta itu, bukan?" Matanya menyusuri setiap garis tajam wajah pria itu, mulai dari rahang kokoh hingga hidungnya yang lurus sempurna. "Mata gelap yang penuh misteri, ekspresi dingin yang membuat orang bertanya-tanya apa yang ada di kepalamu... ditambah postur tubuh tinggi dan kekar yang jelas-jelas dibuat untuk dominasi."
Marco menatapnya tanpa ekspresi, tapi ada kilatan samar di matanya—sesuatu antara ketidakpercayaan dan godaan yang coba ia redam. "Kau selalu seperti ini?" tanyanya akhirnya, suaranya rendah dan penuh perhitungan.
"Seperti apa?" Hiriety bertanya balik, kepalanya sedikit dimiringkan.
"Menggoda tanpa rasa takut."
Hiriety tersenyum. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Lagipula, seseorang harus mengapresiasi keindahan, bukan? Dan kau, Marco Valley, adalah salah satu karya terbaik yang pernah kulihat."
Marco terdiam selama beberapa detik, lalu ia mengambil gelas anggurnya, menyesap isinya tanpa tergesa-gesa. Tatapannya tetap terkunci pada Hiriety, mencoba mencari celah dalam permainan yang sedang dimainkan wanita itu.
Tapi Hiriety hanya tersenyum lebih lebar.
Karena kali ini, Marco tidak membantahnya.
“Aku suka membaca, kau tahu..” Hiriety mulai bercerita “Aku juga suka menonton, karena itu aku memiliki fantasi yang tinggi”
Marco tidak menanggapi, tetapi matanya tetap memperhatikan wanita di hadapannya dengan tajam, seolah menunggu langkah selanjutnya dalam permainan yang tengah mereka mainkan.
Hiriety tersenyum tipis, menikmati bagaimana pria itu tetap dalam mode bertahan. "Fantasi-fantasi itu bisa bermacam-macam," lanjutnya, jemarinya yang ramping dengan santai melingkari leher gelas anggurnya. "Seperti... bagaimana seorang pria yang sangat dominan akhirnya kehilangan kendali di hadapan seseorang yang tahu cara mengusiknya."
Marco terkekeh kecil, nada rendah suaranya mengandung ejekan. “Jika itu cara halusmu untuk mengatakan bahwa kau ingin membuatku kehilangan kendali, Walton, maka aku harus memperingatkanmu—aku bukan tipe pria yang mudah tergoyahkan.”
Hiriety mengangkat bahunya dengan anggun, matanya masih menatap Marco dengan penuh ketertarikan
“Apa kau tahu siapa yang meracuniku dengan fantasi itu?” Tanya Hiriety
Marco terlihat tak berminat menjawab
“Lumia, Mommy Selena”
Marco menegakkan punggungnya sedikit, ekspresinya tetap datar, tetapi ada ketegangan halus yang melintas di matanya sesaat setelah nama itu disebut. Lumia, ibu dari wanita dambaannya.
“Aku menghabiskan sebagian dari hidupku bersama dengan Selena dan aku tahu jika Selena akan berakhir dengan Matthias. Jadi bisa kau hentikan rencana gilamu untuk merebutnya? Aku tak ingin terjadi pertumpahan darah”
Marco menatap Hiriety lama, ekspresinya sulit ditebak.
Hening sejenak menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara dentingan halus sendok perak saat Marco mengetuk ringan tepi piringnya. Hiriety tidak mengalihkan pandangannya, menikmati ketegangan yang perlahan merayapi udara di antara mereka.
“Jadi itu yang kau inginkan?” Marco akhirnya berbicara, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan bahaya. “Kedamaian?”
Hiriety tersenyum kecil, mengangkat gelas anggurnya, mengamatinya sejenak sebelum menyesap perlahan. “Kedamaian mungkin terdengar membosankan bagimu, Valley. Tapi percayalah, itu jauh lebih baik daripada menyaksikan dunia runtuh hanya karena ambisi seorang pria yang keras kepala.”
Marco meletakkan sendoknya dengan tenang, lalu bersandar ke kursinya. “Kau benar-benar berpikir aku akan menyerah hanya karena kau meminta?”
Hiriety tertawa kecil. “Oh, tentu saja tidak. Aku tidak cukup naif untuk berpikir kau akan mundur begitu saja.” Dia menyandarkan dagunya di tangannya, menatap Marco dengan penuh minat. “Tapi aku penasaran, seberapa jauh kau akan bertahan sebelum akhirnya menyadari bahwa ini semua sia-sia?”
Marco tidak segera menjawab. Matanya yang gelap menelusuri wajah Hiriety, mencari celah, mencari maksud tersembunyi di balik kata-katanya.
“Aku tidak percaya takdir, Walton.” Marco akhirnya berkata. “Aku tidak percaya pada konsep bahwa seseorang sudah ‘ditakdirkan’ untuk yang lain. Jika aku menginginkan sesuatu, aku akan mengambilnya.”
Hiriety terkekeh, nada suaranya mengandung sesuatu yang nyaris seperti simpati. “Dan itu sebabnya kau akan berakhir dengan tangan kosong.”
Marco mengetukkan jarinya ke permukaan meja, ekspresinya semakin gelap. “Dan apa untungnya bagimu? Kau bicara seolah-olah kau peduli pada Matthias, tapi aku tahu kau bukan wanita yang bertindak tanpa motif.”
Hiriety tersenyum samar, tetapi ada kilatan emosi dalam matanya—sesuatu yang nyaris tak terlihat. “Aku hanya ingin melihat sesuatu berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya. Sesederhana itu.”
Marco menyipitkan matanya. “Atau mungkin kau hanya ingin memastikan aku tidak mendapatkan Selena, agar kau bisa terus bermain-main denganku.”
Hiriety tidak menjawab, tetapi seringainya semakin lebar, seolah mengatakan bahwa Marco akhirnya mulai mengerti permainannya.
“Oh, Valley…” bisiknya, jemarinya dengan santai mengusap pinggiran gelas anggurnya. “Siapa bilang aku tidak menikmatinya?”
Ketegangan di antara mereka semakin memanas, tetapi kali ini, bukan hanya karena permusuhan.
Marco tersenyum miring. “Kau adalah masalah, Walton.”
Hiriety mengangkat bahu. “Dan kau selalu tertarik pada masalah.”
Tok... tok..“Permisi nona Walton”Hiriety menghela napas panjang, dengan terpaksa, ia menghentikan aksinya membobol sistem keamanan Marco Valley karena ketukan dipukul 11 malam iniDia menghela napas panjang, melirik sekilas ke layar di depannya yang masih menampilkan sistem keamanan rumah Marco Valley. Dia hampir berhasil menerobosnya, tetapi tampaknya seseorang memilih waktu yang sangat buruk untuk mengganggu. Dengan malas, dia menutup laptop hasil curian dari pelayan itu dan berjalan menuju pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pelayan berdiri dengan wajah sopan dan hormat. Di belakangnya, seorang pria berjas putih berdiri dengan membawa tas medis.“Tuan Valley mengirimkan dokter untuk memeriksa tangan Anda” ucap pelayan muda itu dengan nada datar.Alis Hiriety terangkat, matanya sekilas berkilat dengan ketertarikan. “Oh? Aku tidak tahu bahwa Marco memiliki sisi peduli yang seperti ini.”Pelayan itu tetap diam, jelas tidak ingin terlibat dalam permainan kata-kata Hiriety. Sementara
Hiriety mengerang. Napasnya terengah, nyatanya permainan Marco sungguh luar biasa.Lidah pria itu bergerak disekujur tubuhnya, membelainya, membuatnya lupa akan posisi mereka untuk sesaat"Beware, Walton" Marco berbisik, suaranya berat dan dalam, mengungkapkan dominasi yang ia miliki. "You're in danger right now."Hiriety membuka matanya, tatapannya bertemu dengan tatapan Marco yang gelap dan penuh gairah. Ia melihat keinginan yang membara di mata Marco, keinginan yang sama bergairahnya dengan keinginan di dalam dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia sedang berada dalam bahaya, bahaya yang ia sendiri ciptakan. Tetapi ia tidak menyesalinya. Ia menikmati bahaya ini, menikmati permainan ini.“I am the danger, Valley”Ia meraih rambut Marco, menariknya mendekat. Membalas ciuman Marco dengan penuh gairah, lidahnya beradu dengan lidah Marco dalam sebuah tarian yang penuh gairah dan juga penuh bahaya.Lidah Marco kembali menjelajahi lek
Hiriety mengerang, suara yang nyaris putus asa, mengungkapkan kenikmatan yang melampaui batas. Bola matanya terpejam erat, rambutnya berantakan, tubuhnya bergetar tak terkendali. Sensasi yang diberikan Marco jauh lebih intens, jauh lebih memuaskan daripada apapun yang pernah ia alami sebelumnya. Bahkan Erasmus, sang dosen tampan yang selalu memanjakannya, tidak pernah bisa membuatnya merasakan hal seperti ini.Marco, dengan instingnya yang tajam, mengetahui setiap titik sensitif Hiriety dengan sempurna. Ia merangsang Hiriety dengan penuh perhitungan. Ia menikmati reaksi Hiriety, menikmati erangannya yang penuh gairah, menikmati bagaimana tubuh Hiriety bergetar di bawah sentuhannya."Hahh…" Hiriety mendesah panjang, suara yang penuh kenikmatan dan juga kepuasan. Sensasi panas mengalir keluar dari inti tubuhnya, membanjiri seluruh tubuhnya dengan gelombang kenikmatan yang luar biasa. Ia merasa melayang, merasakan dirinya tenggelam dalam lautan kenikmatan yang tak
“Astaga... bisa-bisa lengan kananmu cacat permanen”Hiriety hanya terkekeh saat dokter wanita bernama Alice ini mengomelinya“kau juga, bisa-bisa bermain dengan anak muda polos ini hingga tangannya patah” Alice mengomeli Marco“Dia tak sepolos itu” Sanggah MarcoAlice menghela napas panjang “Kapan kau akan berhenti menjadi maniak, Marco? Apa kau tak puas hanya dengan satu wanita?” Alice bertanya setelah selesai memperbaiki perban di lengan kanan Hiriety“Alice!”“Apa Marco?! Apa kau pikir situasi ini nyaman bagiku? Kau tahu aku menyukaimu tapi kau memintaku merawat wanita yang sudah tidur denganmu?”Hiriety menutup mulutnya, matanya menatap drama di depannya dengan binar kesenangan. Ia telah menduga bahwa Alice menyukai Marco, tetapi Marco sendiri tampak acuh tak acuh terhadap perhatian Alice. Ini lebih menarik daripada yang ia bayangkan.Alice menatap Marco
“Jangan pergi kemanapun, tetap diranjang dan sambut aku dengan kedua kakimu yang sudah terbuka”Nada suaranya datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi, namun di balik kata-kata tersebut tersirat sebuah dominasi yang kuat. Sebuah perintah yang tak bisa dibantah, yang menunjukkan siapa yang berkuasa di sini. Nada suaranya datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi, namun di balik kata-kata tersebut tersirat sebuah dominasi yang kuat. Sebuah perintah yang tak bisa dibantah, yang menunjukkan siapa yang berkuasa di sini.Hiriety terkikik pelan lalu mengangguk“Cepatlah kembali, Valley” ujarnya, suara lembut dan menggoda itu diiringi dengan sebuah ciuman jauh yang dilemparkannya ke udara, seolah-olah ciuman itu ditujukan langsung pada Marco yang tengah menjauhSetelah kepergian Marco, Hiriety tidak langsung bergerak. Hiriety menikmati keheningan sesaat, merasakan sisa-sisa sentuhan Marco di kulitnya. Ia tersenyum, senyum yang pen
Berbeda dengan para mafia yang cenderung begerak di dunia gelap, Marco Valley adalah seorang CEO muda dengan aura kepemimpinan yang kuatPria itu tak tertarik dengan perkelahian ataupun aksi ilegal dalam bentuk apapunKekuasaannya bukan didapat dari senjata api atau ancaman kekerasan, melainkan dari strategi bisnis yang cermat dan visi yang tajam. Ia memimpin perusahaan teknologi terkemuka, ValleyTech, dengan tangan besi yang terbalut sutra. Keputusan-keputusannya tegas, namun selalu didasari oleh perhitungan yang matang dan analisis yang mendalam.Marco bukanlah tipe orang yang gemar pamer kekayaan. Kemewahan yang ia miliki tersembunyi di balik kesederhanaan penampilannya. Jas mahalnya selalu rapi, namun tak pernah mencolok.Arloji mewah di pergelangan tangannya hanya terlihat sekilas, namun cukup untuk menunjukkan statusnya. Ia lebih suka menghabiskan waktu di kantornya, bergelut dengan angka-angka dan strategi bisnis, daripada menghadiri pesta-pesta me
Marco melonggarkan dasinya, dia sudah cukup menahan emosi berhadapan dengan seorang pelayan yang tak tahu diri.Bukan hanya sekali dua kali ada pelayan yang melemparkan diri padanya. Ini sudah hampir yang ke sepuluh kalinya dan alhasil Marco harus mengganti pelayannya dengan yang baruSetelah memberikan perintah pemecatan dan mencari orang baru pada Ducan, kepala pelayannya. Marco berjalan menuju kamarnyaKetika ia membuka pintu kamar, pandangannya langsung tertuju pada Hiriety yang sudah ada di atas ranjang"Bagaimana rapatnya, Valley?" tanya Hiriety, suaranya manis dan menggoda.Marco terdiam sejenak, memandangi Hiriety. Ia merasa terkejut, tapi juga… tertarik. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia juga tidak ingin menghindarinya.Marco hampir lupa dengan keberadaan wanita itu di rumahnya. Hiriety sungguh berada di atas ranjangnya hanya dengan pakaian dalam yang transparan“Aku mendapatkan ini dari
Hiriety Berdine Walton.Banyak wanita yang ingin menjadi dirinya, dan banyak pria yang memujanya.Dengan rambut cokelat gelap panjang yang lembut, mata abu-abu yang tajam seperti elang, serta bibir merah yang sering melengkung dalam senyum penuh kepercayaan diri, Hiriety bukan hanya sekadar cantik—dia adalah pusat perhatian di mana pun ia berada.Tapi dia bukan sekadar sosialita yang hidup di bawah bayang-bayang nama besar Walton. Hiriety adalah wanita yang tahu apa yang ia mau, dan ia tidak ragu untuk mendapatkannya. Termasuk ketika seseorang mencoba menyentuh dunianya tanpa izin.Seperti pria itu.Marco Valley.Pria yang dikenal dingin, tidak kenal takut, dan penuh kebencian pada keluarganya.Namun bagi Hiriety, Marco bukan ancaman—dia adalah tantangan yang menarik.“Dia benar-benar berani, ya?” Hiriety berbisik dengan nada geli sambil menyesap sampanye dari gelas kristal yang ia pegang. Ia berdiri di sudut ruangan, mengamati pria berjas hitam yang baru saja tiba di pesta malam itu.
Marco melonggarkan dasinya, dia sudah cukup menahan emosi berhadapan dengan seorang pelayan yang tak tahu diri.Bukan hanya sekali dua kali ada pelayan yang melemparkan diri padanya. Ini sudah hampir yang ke sepuluh kalinya dan alhasil Marco harus mengganti pelayannya dengan yang baruSetelah memberikan perintah pemecatan dan mencari orang baru pada Ducan, kepala pelayannya. Marco berjalan menuju kamarnyaKetika ia membuka pintu kamar, pandangannya langsung tertuju pada Hiriety yang sudah ada di atas ranjang"Bagaimana rapatnya, Valley?" tanya Hiriety, suaranya manis dan menggoda.Marco terdiam sejenak, memandangi Hiriety. Ia merasa terkejut, tapi juga… tertarik. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia juga tidak ingin menghindarinya.Marco hampir lupa dengan keberadaan wanita itu di rumahnya. Hiriety sungguh berada di atas ranjangnya hanya dengan pakaian dalam yang transparan“Aku mendapatkan ini dari
Berbeda dengan para mafia yang cenderung begerak di dunia gelap, Marco Valley adalah seorang CEO muda dengan aura kepemimpinan yang kuatPria itu tak tertarik dengan perkelahian ataupun aksi ilegal dalam bentuk apapunKekuasaannya bukan didapat dari senjata api atau ancaman kekerasan, melainkan dari strategi bisnis yang cermat dan visi yang tajam. Ia memimpin perusahaan teknologi terkemuka, ValleyTech, dengan tangan besi yang terbalut sutra. Keputusan-keputusannya tegas, namun selalu didasari oleh perhitungan yang matang dan analisis yang mendalam.Marco bukanlah tipe orang yang gemar pamer kekayaan. Kemewahan yang ia miliki tersembunyi di balik kesederhanaan penampilannya. Jas mahalnya selalu rapi, namun tak pernah mencolok.Arloji mewah di pergelangan tangannya hanya terlihat sekilas, namun cukup untuk menunjukkan statusnya. Ia lebih suka menghabiskan waktu di kantornya, bergelut dengan angka-angka dan strategi bisnis, daripada menghadiri pesta-pesta me
“Jangan pergi kemanapun, tetap diranjang dan sambut aku dengan kedua kakimu yang sudah terbuka”Nada suaranya datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi, namun di balik kata-kata tersebut tersirat sebuah dominasi yang kuat. Sebuah perintah yang tak bisa dibantah, yang menunjukkan siapa yang berkuasa di sini. Nada suaranya datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi, namun di balik kata-kata tersebut tersirat sebuah dominasi yang kuat. Sebuah perintah yang tak bisa dibantah, yang menunjukkan siapa yang berkuasa di sini.Hiriety terkikik pelan lalu mengangguk“Cepatlah kembali, Valley” ujarnya, suara lembut dan menggoda itu diiringi dengan sebuah ciuman jauh yang dilemparkannya ke udara, seolah-olah ciuman itu ditujukan langsung pada Marco yang tengah menjauhSetelah kepergian Marco, Hiriety tidak langsung bergerak. Hiriety menikmati keheningan sesaat, merasakan sisa-sisa sentuhan Marco di kulitnya. Ia tersenyum, senyum yang pen
“Astaga... bisa-bisa lengan kananmu cacat permanen”Hiriety hanya terkekeh saat dokter wanita bernama Alice ini mengomelinya“kau juga, bisa-bisa bermain dengan anak muda polos ini hingga tangannya patah” Alice mengomeli Marco“Dia tak sepolos itu” Sanggah MarcoAlice menghela napas panjang “Kapan kau akan berhenti menjadi maniak, Marco? Apa kau tak puas hanya dengan satu wanita?” Alice bertanya setelah selesai memperbaiki perban di lengan kanan Hiriety“Alice!”“Apa Marco?! Apa kau pikir situasi ini nyaman bagiku? Kau tahu aku menyukaimu tapi kau memintaku merawat wanita yang sudah tidur denganmu?”Hiriety menutup mulutnya, matanya menatap drama di depannya dengan binar kesenangan. Ia telah menduga bahwa Alice menyukai Marco, tetapi Marco sendiri tampak acuh tak acuh terhadap perhatian Alice. Ini lebih menarik daripada yang ia bayangkan.Alice menatap Marco
Hiriety mengerang, suara yang nyaris putus asa, mengungkapkan kenikmatan yang melampaui batas. Bola matanya terpejam erat, rambutnya berantakan, tubuhnya bergetar tak terkendali. Sensasi yang diberikan Marco jauh lebih intens, jauh lebih memuaskan daripada apapun yang pernah ia alami sebelumnya. Bahkan Erasmus, sang dosen tampan yang selalu memanjakannya, tidak pernah bisa membuatnya merasakan hal seperti ini.Marco, dengan instingnya yang tajam, mengetahui setiap titik sensitif Hiriety dengan sempurna. Ia merangsang Hiriety dengan penuh perhitungan. Ia menikmati reaksi Hiriety, menikmati erangannya yang penuh gairah, menikmati bagaimana tubuh Hiriety bergetar di bawah sentuhannya."Hahh…" Hiriety mendesah panjang, suara yang penuh kenikmatan dan juga kepuasan. Sensasi panas mengalir keluar dari inti tubuhnya, membanjiri seluruh tubuhnya dengan gelombang kenikmatan yang luar biasa. Ia merasa melayang, merasakan dirinya tenggelam dalam lautan kenikmatan yang tak
Hiriety mengerang. Napasnya terengah, nyatanya permainan Marco sungguh luar biasa.Lidah pria itu bergerak disekujur tubuhnya, membelainya, membuatnya lupa akan posisi mereka untuk sesaat"Beware, Walton" Marco berbisik, suaranya berat dan dalam, mengungkapkan dominasi yang ia miliki. "You're in danger right now."Hiriety membuka matanya, tatapannya bertemu dengan tatapan Marco yang gelap dan penuh gairah. Ia melihat keinginan yang membara di mata Marco, keinginan yang sama bergairahnya dengan keinginan di dalam dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia sedang berada dalam bahaya, bahaya yang ia sendiri ciptakan. Tetapi ia tidak menyesalinya. Ia menikmati bahaya ini, menikmati permainan ini.“I am the danger, Valley”Ia meraih rambut Marco, menariknya mendekat. Membalas ciuman Marco dengan penuh gairah, lidahnya beradu dengan lidah Marco dalam sebuah tarian yang penuh gairah dan juga penuh bahaya.Lidah Marco kembali menjelajahi lek
Tok... tok..“Permisi nona Walton”Hiriety menghela napas panjang, dengan terpaksa, ia menghentikan aksinya membobol sistem keamanan Marco Valley karena ketukan dipukul 11 malam iniDia menghela napas panjang, melirik sekilas ke layar di depannya yang masih menampilkan sistem keamanan rumah Marco Valley. Dia hampir berhasil menerobosnya, tetapi tampaknya seseorang memilih waktu yang sangat buruk untuk mengganggu. Dengan malas, dia menutup laptop hasil curian dari pelayan itu dan berjalan menuju pintu.Begitu pintu terbuka, seorang pelayan berdiri dengan wajah sopan dan hormat. Di belakangnya, seorang pria berjas putih berdiri dengan membawa tas medis.“Tuan Valley mengirimkan dokter untuk memeriksa tangan Anda” ucap pelayan muda itu dengan nada datar.Alis Hiriety terangkat, matanya sekilas berkilat dengan ketertarikan. “Oh? Aku tidak tahu bahwa Marco memiliki sisi peduli yang seperti ini.”Pelayan itu tetap diam, jelas tidak ingin terlibat dalam permainan kata-kata Hiriety. Sementara
Cahaya matahari siang menyusup melalui jendela besar ruang makan, memantulkan sinarnya pada meja panjang yang telah ditata dengan elegan. Piring-piring porselen, perak yang mengilap, serta berbagai hidangan menggoda tersaji rapi di hadapan mereka.Marco Valley duduk di ujung meja, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan otot-otot lengannya yang kencang. Rahangnya tegas, garis wajahnya tajam, dan matanya yang gelap menatap makanannya dengan fokus yang intens—seolah dia mencoba mengabaikan fakta bahwa Hiriety sedang duduk di hadapannya.Hiriety sendiri, dengan tangan yang masih patah tetap tidak kehilangan pesonanya, duduk dengan anggun. Dia menyilangkan kakinya, menikmati setiap suapan makanan yang ia ambil dengan tangan kirinya, sesekali melirik ke arah Marco dengan mata abu-abunya yang penuh minat.Tanpa malu-malu, dia meletakkan garpunya, menyandarkan dagunya di atas punggung tangannya, lalu menatap Marco terang-terangan."Aku harus mengakuinya, V
Hiriety melangkah santai di dalam rumah besar itu, seolah-olah dia adalah pemiliknya, bukan seseorang yang baru saja diculik.Rumah Marco Valley ternyata lebih megah daripada yang dia bayangkan—langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, lorong panjang dengan lukisan-lukisan mahal, dan aroma kayu mahoni yang khas memenuhi udara. Bukan aroma kematian atau penyiksaan seperti yang mungkin dibayangkan kebanyakan orang tentang tempat persembunyian seorang pria seperti Marco ValleyHiriety tersenyum kecil. "Cukup nyaman. Sudah kutebak dia itu gila kebersihan" gumamnya sambil menyentuh pilar di sepanjang lorong.Sejauh ini, Hiriety tak menemukan setitik debupun dirumah besar ini dan melihat respon Marco, sepertinya benar jika pria itu OCD. Namun dia nampak tak masalah jika ada orang lain.“Mungkin kau hanya lemah pada sentuhan..” Hiriety kembali bergumamBeberapa pelayan yang lewat tampak terkejut melihatnya berkeliaran tanpa pengawalan, namun mereka tidak berani mengatakan apa pun. S