Share

Bab 3. KEMATIAN RONGGENG

Pranata sangat disegani sekaligus ditakuti. Selain wajah yang angker, perangainya juga sangat buruk. Setiap ada gadis cantik pasti selalu diambil paksa untuk dijadikan gundik. Belum keonaran yang lainnya. Sudah menjadi rahasia umum jika dia adalah dalang di setiap perampokan.

“Lamun teu kauntun tipung, katambang beas hlahhksana kapiduriat. Matak paeh ngabale bangke, matak edan leuleuweungan.”

Nyi Ronggeng masih nyinden sambil menari. Wajahnya yang cantik semakin bersinar di bawah cahaya lampu yang benderang.

“Sawer … sawer!” Penduduk ramai berteriak-teriak. Tentu saja Pranata semakin bersemangat melemparkan uang. Sinden itu mandi uang dengan kepingan-kepingan logam tersebut di seluruh tubuhnya. Pranata membisikkan sesuatu ke telinga sinden. Gadis itu sekilas tampak kaget, lalu tersenyum masam menanggapinya.

Dengan tanpa malu-malu, laki-laki itu melingkarkan tangan di pinggang ramping sinden. Tentu saja penonton tambah ramai bersorak. Pranata semakin bersemangat, beberapa pundi keping emas diselipkan di balik selendang yang membelit pinggang gadis ronggeng tersebut.

Setelah meninggalkan banyak uang berserakan di panggung, Pranata kembali duduk di kursi. Beberapa anak buah berjaga di sekitarnya.

Ronggeng berikutnya kembali hadir naik ke atas panggung. Pranata seketika memaku pandangannya pada sang gadis ronggeng. Dia memperhatikan gadis itu tanpa kedip. Terpikir olehnya untuk naik lagi ke panggung, uang masih tersedia beberapa kantong.

Beberapa orang menari dengan ronggeng lain. Malam tambah semarak dengan hiruk pikuk teriakan. Beberapa laki-laki menghabiskan pundi-pundi mereka. Kantong-kantong uang yang segera menjadi milik para penari.

"Minggir!" seru Pranata sambil mendorong seorang laki-laki yang sedang menari bersama ronggeng tadi.

"Eeh … maaf." Laki-laki itu tadinya akan marah. Namun, saat melihat yang menyingkirkannya pimpinan perguruan Bangbung Hideung, dia cepat-cepat turun sambil minta maaf.

"Ayo Geulis, kita menari sampai pagi!" bisik Pranata di telinga sinden yang tadi. Gadis itu berubah wajahnya, dia merasa tidak suka dengan sosok lelaki tua itu.

Perubahan mimik sinden tersebut tidak luput dari pandangan Mardawa. Pemuda itu kelihatan geram dengan kelakuan lelaki tua itu.

Warok Pranata membisikkan sesuatu, membuat raut wajah sinden tersebut berubah cerah. Dia menjadi bersikap manis terhadap Pranata sampai lagu tersebut habis.

"Apa yang dibisikkan lelaki tua itu?" pikir Mardawa curiga.

**

Tolong … tolong!” Suara teriakan terdengar lamat-lamat di telinga Mardawa. Pemuda itu secepat kilat melompat dari tempat tidur. Dia tidak yakin bahwa suara yang didengarnya barusan adalah permintaan tolong.

Tadi, dia meninggalkan keramaian setelah keadaan aman. Tidak ada tanda-tanda keributan yang akan ditimbulkan oleh Pranata.

“Dari mana arah suara tersebut?” tanya Mardawa pada dirinya sendiri sambil melihat kiri-kanan. Namun, telinganya kembali mendengar teriakan itu.

Setelah dirasa yakin, cepat-cepat Mardawa keluar dan berkelebat menuju ke utara. Arah suara tersebut berasal.

“Ada mayat … ada mayat!”

Terdengar kembali teriakan dari arah hutan kecil di belakang kampung. Penduduk yang baru saja lelap, terbangun kembali karenanya. Mereka cepat-cepat keluar menuju sumber teriakan.

“Mayat siapa itu?” tanya seorang penduduk.

“Entahlah!” Orang yang berteriak tadi menggeleng. Pemuda itu memang tidak tahu siapa yang terbaring bersimbah darah di depannya.

“Seorang gadis.”

Bergegas dengan langkah lebar, Mardawa beserta beberapa warga kampung beramai-ramai menuju asal teriakan tadi.

“Bukan warga sini, aku tahu gadis-gadis yang tinggal di kampung ini.”

“Halah kamu, kalau gadis-gadis aja tahu.”

Suara penduduk ramai sambil memperhatikan mayat tersebut. Tidak ada yang berani menyentuh karena tetua kampung belum datang.

“Ada apa ini?” tanya Mardawa . Pemuda tampan dengan badan tinggi kekar. Bermata bulat dan jernih, memakai ikat kepala berwarna hitam. Bajunya juga setelan baju komprang berwarna hitam. Dia menyeruak di antara warga.

Di pusat kerumunan, terbujur mayat bersimbah darah dalam keadaan mengenaskan.

“Ada mayat lagi, Mardawa. Ini sudah gadis ke-empat yang sudah kami temukan dalam bulan ini. Pasti perbuatan Pranata. Lihat bekas lukanya itu, semua gadis yang meninggal mempunyai luka seperti itu.” Danu menjelaskan. Pemuda itu ternyata telah lebih dulu sampai tadi. Mardawa diam tidak menyahuti ucapan Danu. Dia masih mengamati dengan seksama luka-luka yang ada pada mayat tersebut.

“Ish … jangan sembarangan! Belum tentu dia,” sergah temannya sambil mencolek bahu.

“Kan dia biang kerok keributan di mana-mana, perampokan, penculikan gadis.” Danu bersikeras walau hati tak yakin betul.

Tetua kampung datang. Beberapa warga segera memberikan jalan kepadanya. Dia langsung melihat dan memeriksa jenazah. Kepalanya menggeleng-geleng karena pemandangan itu sangat tidak masuk akal. Ada orang yang begitu tega menyiksa seorang perempuan. Penduduk bersikeras jika itu perbuatan Pranata.

"Makhluk seperti apa yang telah melakukan hal keji seperti itu kepada seorang gadis?" pikir Mardawa. Desas-desus sebagian warga menuduh Pranata-lah pelaku pembunuhan tersebut. Sementara itu, tetua kampung yang sedari tadi berpindah-pindah meneliti setiap luka pada mayat, tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Mardawa merasa kecolongan. Kemampuan menjaga kewaspadaan dan kepekaannya terhadap suara-suara maupun gerakan seperti tidak berguna. Dia yakin suara teriakan yang didengarnya tadi adalah suara gadis yang kini telah menjadi mayat. Hanya saja jeda waktu antara teriakan dan penemuan mayat ini terlalu singkat.

"Secepat itukah pemangsa tersebut melakukan pembunuhan?" gumam Mardawa.

Terdapat memar-memar di sekujur tubuh gadis tersebut. Ada yang lebih mengenaskan, luka menganga terdapat di dada. Luka tersebut seperti gigitan binatang buas. Wajahnya sulit dikenali.

“Ini seperti bukan perbuatan manusia.” Kalimat yang keluar dari mulut tetua kampung, meski pelan, tapi semua orang dapat mendengarnya dengan jelas. Mereka kembali riuh, saling memperingatkan satu sama lain.

Luka sayatan lebar di dada, memar di beberapa bagian dan ada bekas gigitan yang tertutup darah. Melihat jenis luka-luka itu, bisa ditarik kesimpulan jika pelaku pembunuhan bukan manusia. Itu gigitan binatang buas. Namun, selama hidup di Gunung Wingit, Mardawa tidak pernah mengetahui ada binatang yang turun gunung untuk memangsa manusia.

“Apa mungkin … Pranata punya hewan peliharaan?” tanya Mardawa penuh penasaran.

Semua orang di tempat itu kembali hening melihat tetua kampung membersihkan darah di bagian wajah. Memang, semua tahu jika Pranata suka sekali kepada gadis-gadis muda. Dia memburu gadis-gadis untuk dijadikan istri. Sebagian besar mereka adalah sinden atau penari ronggeng. Mereka menjadi pemuas nafsu bejatnya, bukan dijadikan mayat.

Seseorang mendekati Mardawa, ia menatap ragu-ragu pemuda itu. Ada sesuatu yang harus disampaikan terkait kematian gadis tersebut. Dia percaya Mardawa adalah seorang pendekar yang mumpuni. Berdasarkan cerita Danu, Mardawa adalah murid Eyang Suwita, seorang pendekar tersohor beberapa tahun silam. Pastinya, Mardawa sebagai murid memiliki kemampuan yang tidak jauh dari gurunya. Apalagi dia adalah murid satu-satunya.

Pemuda tersebut gugup. Dia memainkan jemarinya sembari mendekati Mardawa. Keringat bercucuran mengalir dari pelipis, resah, gelisah bercampur rasa takut yang teramat sangat.

“Kang!” panggil pemuda itu. Mardawa menoleh, dia tidak mengenal pemuda itu. Namun, sepertinya pernah melihat tapi entah di mana.

“Ada apa?” tanya Mardawa heran. Dirinya merasa tidak punya urusan dengan pemuda tersebut. Lelaki berkulit sawo matang itu memberikan isyarat agar Mardawa mendekat. Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Mardawa.

“Aku … aku kenal … gadis itu,” bisik pemuda itu hampir tak terdengar. Dia menunjuk gadis yang sudah jadi mayat tersebut.

“Apa? Katakan siapa dia!” seru Mardawa. Pemuda itu kaget, begitu pula dengan penduduk yang berkumpul di situ.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status