Ratu Duyung yang sudah sadar berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman ular tersebut. "Ciwang Adiwara! Aku tahu itu kamu," desis Ratu Duyung. Dia merapal mantra yang baru saja dikuasainya–Jurus Air Membatu. Sebuah jurus sedingin es yang berkekuatan dahsyat. Semua yang terkena pukulan tersebut akan membeku di dalam balok es."Sssh sssh sssh." Ular tersebut masih mendesis-desis karena nafsu birahinya. Hatinya dongkol karena gadis incarannya melawan. Ilmu pengasihan yang sejak tadi di senandungkan ternyata tidak mempan. Rupanya alam bawah sadar gadis itu mempunyai pertahanan."Pergi!" usir Ratu Duyung. Dia masih menghargai lelaki itu, Ratu Duyung memberi kesempatan untuk pergi. Namun, Ciwang Adiwara tetap pada niat awalnya. Dia inginkan gadis tersebut. Dia merasa jika ilmu kanuragan miliknya masih unggul dibanding Ratu Duyung.Asap tipis mengepul dari tangan Ratu Duyung. Dirinya akan menjajal ilmu barunya. Ciwang Adiwara cocok untuk dijadikan tumbal. Lelaki mesum itu harus dibeku
Semboja berusaha menjaga keseimbangan karena terasa juga olehnya bumi bergetar. Ada harapan untuk dapat selamat dari anak buah Pranata kali ini. Gadis itu semakin yakin jika doanya terkabul."Katakan saja, Nisanak! Biar aku tidak bertanya-tanya!" Panji memandang tajam ke arah wanita bercadar itu. Berusaha untuk melihat raut wajah dibaliknya. "Pasti dia sangat cantik. Sepertinya lebih cantik dari Semboja." Otak ngeresnya mulai bergerilya. "Baiklah, aku akan beritahu namaku! Hiaaat hiaaaat!" Wanita itu mencelat ke atas menuju puncak pohon. Dengan ujung jarinya dia menorehkan namanya di pohon tersebut. Dimulai dari puncak pohon ke bawah … D E W I R I M B U."Dewi Rimbu. Apakah itu namamu?" tanya Panji dengan mata melotot. Bukan nama yang membuatnya takjub tapi kemampuan wanita itu yang membuatnya terpana. "Mengapa Juragan Pranata mempunyai anak buah sebodoh kamu, Panji?" tanya Dewi Rimbu tajam. "Hahaha hahaha hahaha hahaha." Wanita itu tidak bisa menahan tawanya. "Pertanyaan bodoh dar
Semboja terduduk, bersimpuh sambil menunduk. Air bening luruh satu persatu membasahi dan menyerap di tanah. Dia tidak mengerti dengan keadaan ini. Hari ini benar-benar apes untuknya.Tadi siang dirinya dikejar-kejar oleh anak buah Pranata. Kini, dituduh berbuat mesum dengan laki-laki. Dia harus mempertanggung jawabkan perbuatan yang tidak dia lakukan."Aku tidak melakukan perbuatan tidak senonoh!" teriak Semboja. "Tadi hampir saja jadi korban penculikan. Makanya aku terlambat pulang!" "Bohong!" sergah perempuan itu. Gadis anak kepala kampung itu bernama Kusuma. "Bawa dia!" suruh Kusuma lagi."Aku tidak bohong!" teriak Semboja. Dia menangis putus asa.Penduduk tanpa banyak bicara memegang tangan Semboja. Mereka bersiap menggiring gadis itu ke Balai Kampung."Jangan!" Kembali Semboja berteriak minta ampun. Gadis itu tidak berdaya melawan orang-orang kampung."Tahan!" Seorang pemuda datang tiba-tiba di hadapan penduduk. Dia bertolak pinggang memandang tajam penduduk yang menggiring Sem
Mardawa datang menyelamatkan Semboja. Panji yang sedang menertawakan sikap Kusuma terdiam seketika. Semboja terlepas dari pegangan anak buah Panji."Keparat! Siapa dia?" tanya Panji. "Susul, bodoh!" suruh Panji pada anak buahnya. Dia berteriak marah karena anak buahnya melongo, terpana melihat kecepatan Mardawa merebut gadis itu.Kusuma menjerit ketakutan menyadari Mardawa sudah pergi lagi demi menyelamatkan Semboja. Anak buah Panji menyusul, melesat mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dikuasainya. Kusuma hanya melongo melihatnya. Jeritannya malah mengundang orang kampung datang."Ada apa, Neng?" Seorang pemuda datang mendekat. Sudah lama dia menyukai Kusuma, tapi gadis itu tidak menghiraukannya, Fajar namanya."Percuma! Orangnya sudah pergi, bawain tuh cucianku!" jawab Kusuma ketus. Kesal sekali dia, merasa tak dihargai oleh Mardawa. Ternyata Semboja lebih berarti ketimbang dirinya. "Huh, cantik juga enggak. Pasti dia pakai pelet," gerutunya. Fajar merasa senang karena disuruh mem
Anak buah Panji dengan gesit menculik Semboja yang tidak terjaga oleh Mardawa. Gadis itu tidak punya kemampuan ilmu kanuragan sama sekali. Maka dengan mudah anak buah Panji membekuk dan membawanya lari."Bagaimana dengan Panji?" tanya yang satunya kepada temannya. "Tadi aku sempat melihat, dia melirik kita, jadi dia tahu apa yang kita lakukan," sahut temannya. "Ayo cepat kita harus mempersembahkan gadis ini kepada Juragan Pranata.""Ayo!"Mereka berlari menembus hutan, kadang-kadang memotong jalan biar cepat sampai. Wajah mereka semringah, karena sudah pasti juragannya itu memberi mereka banyak hadiah. "Hiaaat! Lepaskan wanita itu, kalau masih sayang nyawamu!" Badal dan Bedul menghentikan larinya. Di depan mereka sudah berdiri wanita yang mereka kenal. Tempo hari wanita ini juga berhasil menggagalkan penculikan mereka terhadap Semboja."Aneh, selalu saja gagal jika menculik gadis ini." Badal bergumam sambil menurunkan Semboja. Semboja cepat-cepat berlari ke belakang wanita tadi. D
"Hap hap hap!" Seorang gadis tampak mempelajari ilmu kanuragan tingkat dasar. Seorang wanita cantik memperhatikannya. Sesekali dia membetulkan posisi gadis tersebut agar kuda-kudanya selalu kokoh."Kakak, bolehkah aku beristirahat?" tanya gadis itu."Panggil aku Dewi Rimbu, Semboja. Kita seumuran, tidak pantas aku kamu panggil kakak." Dewi Rimbu berkata sambil berjalan ke arah batu besar."Iya, Kak … eh Dewi." Semboja lantas tertawa kecil. Gadis cantik itu duduk menjelepok di batu yang lebih kecil.Tempat terang yang tempo hari sekarang tak membuat dirinya penasaran lagi. Tempat itu adalah sebuah tempat datar dengan atap goa yang terbuka. Tempat itu sejuk karena angin berhembus dari atap goa."Kamu betah di sini?" tanya Dewi Rimbu. Gadis cantik itu kini tidak memakai cadar. Semboja sangat mengagumi kecantikan tersebut. Auranya bersinar membuat orang betah memandangnya."Aku harus betah. Bagaimana aku melawan Juragan Pranata jika tidak punya ilmu kanuragan, Dewi." Semboja menjawab sam
Tabib Istana terdiam setelah memeriksa urat nadi Ciwang Adiwara. Tampak sejenak ragu-ragu, lalu memeriksa sekali lagi.Ratu Kali Wingit menyaksikan dengan seksama. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mulutnya terkatup, wajahnya pucat pasi. Dia masih tidak mengerti dengan kejadian ini.Sementara itu emban satunya yang disuruh memanggil Ratu Duyung, dia masih tetap berdiri di depan pintu kamar gadis tersebut. Merasa sudah terlalu lama menunggu, dia memberanikan mengetuk pintu lagi.Tidak ada jawaban, emban itu mencoba mendorong pintu dengan sangat pelan. "Pintu ini tidak dikunci," gumamnya perlahan. Dia melongokkan kepala ke dalam. Matanya seketika terbelalak, tubuhnya mengejang karena kaget. "Apa yang terjadi?" tanya Ratu Kali Wingit akhirnya. Dirinya tidak sabar untuk segera mengetahui keadaan yang sebenarnya. "Jiwanya tidak kembali." Tabib itu menjawab setelah lama terdiam dan berkali-kali memeriksa nadi Ciwang Adiwara."Apa yang terjadi? Mengapa tidak bisa kembali, dia t
Mardawa menegakkan tubuhnya biar bisa berpikir lebih keras lagi. Pembunuhan yang terjadi di kampung Jatiwarna ini begitu beruntun. Semua hanya menyisakan misteri yang menguap begitu saja. Tidak ada yang berani mengungkap, apalagi harus berurusan dengan Juragan Pranata."Pembunuh Intan apakah sama dengan pembunuh anak buah Pranata." Mardawa menghubungkan kejadian demi kejadian yang menurutnya ganjil. Penduduk berprasangka jika Juragan Pranata ada di balik semua itu. Namun, menurut Mardawa, tidak mungkin jika anak buahnya juga turut dibantai. Mentah lagi pendapatnya. Set set set!Seseorang berkelebat di depan Mardawa. Mardawa seperti mengenal pendekar tersebut. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, berniat mengejar wanita tersebut."Eh … siapa itu? Apakah dia Dewi …."Set set set!Rupanya orang tadi di kejar juga oleh seseorang. Mardawa juga seperti mengenali orang tersebut. "Dewi Rimbu dikejar Ratu Kali Wingit? Ada urusan apa mereka?" Mardawa mengejar mereka berdua. Dia pernah bertemu deng