Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan.
"Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir. Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan. "Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau. Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku. "Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar. Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak ada masalah." Mereka terus melaju di jalan yang semakin licin dan berbahaya. Tiba-tiba, Devan merasakan sesuatu yang aneh pada rem mobil ketika ingin menurunkan kecepatannya. "Oh, tidak, kenapa ini!" Devan menginjak rem yang sama sekali tidak berfungsi. "Ada apa?" tanya Tara yang semakin cemas. "Tara, remnya, remnya blong!" teriak Devan panik. Tara melihat Devan dengan mata yang melebar ketakutan. "Apa?! Bagaimana bisa? Apa yang harus kita lakukan?!" tanya Tara frustasi. Jantungnya semakin berdebar kencang kala kepalanya dipenuhi pikiran negatif. "Pegangan yang erat, aku akan berusaha mengendalikan mobil ini," titah Devan mencoba tetap tenang. Tara tidak lagi menanggapinya, ia hanya memejamkan mata dan terus berdoa untuk keselamatan keduanya. Wajahnya sudah dipenuhi oleh air mata karena kecemasanya yang semakin kalut. Devan berusaha keras mengendalikan mobil yang melaju dengan cepat di jalanan yang licin. Namun, mobil mulai kehilangan kendali ketika ia harus melewati kendaraan lain yang berada di depannya. "Pegangan yang kuat, Tara!!” perintah Devan dengan suara tegang ketika ia melihat tikungan tajam di depannya. Namun, usahanya untuk menghindari tikungan maut itu gagal. Devan harus terus menghindari kendaraan yang ada di depannya yang berjalan lambat agar tidak saling bertabrakan, tapi justru karena itulah ia harus membanting setir ke sebelah kiri dan menabrak batu besar di pinggir jalan. “Aghh! Devan!” Tara berteriak kencang. Mobil itu tergelincir hebat dan berputar-putar. Devan menyadari mobil akan terjun ke jurang, hingga ia berbuat nekat dengan membuka seluruh kunci pintu pada mobil. “Tara! Lompat keluar!” teriak Devan. Namun, Tara tidak mendengar. Terpaksa Devan mendorongnya hingga pintu mobil di sebelah pengemudi terbuka lebar. Tara terlempar keluar dengan kekuatan luar biasa. Tubuhnya melayang di udara sebelum akhirnya jatuh ke sisi jalan mengakibatkan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya tak mampu untuk bergerak. Sementara itu, Devan dengan mobilnya meluncur ke jurang. Guncangan hebat seiring terjunnya mobil yang tak terkendali. Benturan antara badan mobil dan bebatuan di jurang itu menciptakan suara gemuruh yang memekakkan telinga, suaranya menghiasi malam yang kelam. Hujan semakin deras, bersama gemuruh guntur seakan meredam suara kecelakaan itu. Dengungan hebat terdengar di telinganya, darah mengalir dari kepalanya. Tara terbaring lemas di jalan, dihiasi oleh turunnya air hujan yang saat ini berusaha menghapus aliran cairan kental merah di atas aspal. Mata Tara tertutup perlahan, suara air hujan mulai tak ia dengar. Hanya satu wajah yang muncul di bayangannya. "Van ...," ucapnya dengan lirih hingga mata itu tertutup sempurna. *** Di rumah sakit, Vega menemani Kirana yang masih belum sadar, sembari menunggu kepulangan Devan. Suara langkah kaki cepat terdengar dari luar. Vega mengira itu Devan. "Pasti itu, Kak Devan," ucapnya girang langsung membuka pintu. Namun, ternyata itu Adrian—kakaknya Devan, yang masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Bagaimana kondisi Mama saya? Bagaimana bisa restoran kami terbakar?" tanya Adrian dengan suara gemetar. Vega menatap Adrian dengan mata yang penuh kecemasan. "Bu Kirana masih belum sadar. Saya menunggu Pak Devan untuk pulang, tapi dia belum tiba." "Dia tidak akan pulang hari ini, dan sebaiknya kau tidak perlu memberitahunya." Adrian duduk di sofa sebelah brankar ibunya. "Kenapa, Pak?" tanya Vega yang penasaran sekaligus khawatir, karena sebelumnya ia telah menelepon Devan untuk kembali. "Adikku itu, dia akan tidak terkendali jika mengetahui terjadi sesuatu pada Mama kami. Dia sedang ada di Sukabumi. Dirinya akan mengendarai mobil seperti orang gila," jawab Adrian sembari memegangi tangan ibunya. Sementara jantung Vega berdebar kencang mendengar penjelasan Adrian. Ia telah melakukan kesalahan. "Astaga! Apa yang sudah aku perbuat? Semoga Kak Devan baik-baik saja, bodo amat dengan Tara," ucapnya berdoa dalam hati dengan penuh rasa penyesalan. "Kau ... tidak memberitahu Devan, kan?" tanya Adrian selidik, menatap tajam ke arah Vega yang terlihat cemas. "Te-tentu saja tidak, Pak," jawab Vega terbata. Tatapan tajam Adrian itu beralih menatap ibunya yang sedang terpejam tenang. "Kau hanya seorang pelayan yang kebetulan dekat dengan adikku, tapi kau tidak jauh lebih rendah dari status Tara, tidak berhak atas apa pun di kehidupan atasanmu." Vega merasa sakit, egonya dilukai mendengar ucapan Adrian, tetapi ia berusaha menahan perasaannya dan tetap berada di sisi Kirana seolah jadi pahlawan. Kirana membuka matanya perlahan. Berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan yang membuat matanya silau. Vega yang menyadari Kirana sadar langsung memanggil dokter. “Mama saya sudah sadar, Dokter,” kata Adrian dengan nada sedikit cemas. Namun, sedikit lega. Dokter segera memeriksa kondisi Kirana dengan teliti. “Bagaimana perasaan Anda, Bu Kirana?” tanya dokter dengan nada lembut. “Saya merasa sedikit pusing, tapi sepertinya tidak apa-apa,” jawab Kirana sembari memegangi kepalanya. Dokter memeriksa tekanan darah dan denyut nadinya dengan hati-hatii. “Anda hanya mengalami syok, Bu Kirana, tidak ada hal yang serius. Anda hanya perlu Istirahat yang cukup, minum obat dan vitamin yang akan saya berikan.” Kirana mengangguk pelan merasa sedikit lega “Bagaimana bisa ini terjadi, Ma? Apa yang terjadi di restoran?” tanya Adrian. Ia duduk di kursi samping brankar. “Mama enggak tahu, waktu itu di dapur restoran terdengar gaduh. Mama berniat untuk cek apa yang terjadi, tapi ternyata enggak ada siapapun disana. Dapur dalam kondisi berantakan dengan beling berserakan di lantai. Mama juga lihat ada seorang pelayan yang pergi lewat pintu belakang. Setelahnya, semua terjadi begitu cepat hingga kebakaran karena tabung gas yang bocor membuat segalanya jadi buruk,” kata Kirana menjelaskan kronologi kejadian. Adrian menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Yang penting Mama selamat dan baik-baik saja. Restoran bisa Aku atau Devan yang atasi nanti. Kita masih punya banyak uang. Bukan hal yang sulit untuk merenovasi ulang dan menutup kerugian." Mendengar hal itu, Kirana kembali teringat tentang Devan yang masih belum memberi kabar setelah kepergiannya tadi pagi. Wajahnya berubah menjadi lebih cemas. “Devan… Devan belum menghubungi Mama dari tadi pagi. Apa dia sudah mengabarimu?” tanya Kirana, suaranya bergetar. "Belum, Ma," jawab Adrian sambil menggeleng. "Biasanya, kan, dia selalu memberi kabar kepada Mama." "Adikmu itu masih belum mengabari Mama. Astaga... Entah kenapa Mama merasa cemas sekali," kata Kirana, tangannya gemetar. Adrian mencoba menenangkan ibunya. "Mama, tenanglah. Mungkin dia sibuk atau ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk menghubungi kita." "Enggak, Rian. Perasaan Mama sangat cemas." Kirana menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi rasa cemas masih menyelimuti hatinya. “Baiklah, aku akan mencoba menghubungi Devan, Mu.” Adrian mengambil ponselnya lalu berdiri dari duduknya segera menelpon Devan. Namun, ponselnya tidak aktif. “Devan tidak bisa dihubungi, ponselnya mati,” kata Adrian membuat Kirana semakin khawatir. Naluri seorang ibu tidak bisa bohong, Kirana merasa semakin cemas ketika gemuruh guntur di luar saling bersahutan bersamaan dengan datangnya hujan. Vega yang melihat raut cemas di wajah Kirana mencoba untuk menenangkannya. “Bu Kirana tenang saja, Pak Devan dan Tara pasti baik-baik saja,” katanya dengan senyum di bibir yang dibuat-buat. “Aku akan coba menghubungi Tara.” Adrian kembali mendial nomor di handphonenya, berharap kali ini bisa tersambung. Namun, hasilnya tetap sama, ponselnya juga tidak aktif. “Kenapa tidak ada yang bisa dihubungi? Apa yang terjadi pada mereka? Apa jangan-jangan Tara berulah lagi?” Kirana semakin bertanya-tanya hingga berfikir buruk tentang Tara. Vega yang mendengar itu merasa telah menang.” Mungkin, racun yang kutanamkan mulai bekerja,” ucapnya membatin. “Telepon tersambung, Tara mengangkatnya,” ujar Adrian sedikit merasa lega ketika ia mencoba menghubungi Tara kembali dan langsung tersambung. “Hallo, Tara?” “Hallo, ini dengan polisi. Apa kau mengenal pemilik ponsel ini?” tanya orang itu yang mengaku sebagai polisi membuat Adrian kembali menegang. Kirana yang melihat ketegangan di raut wajah putra pertamanya itu semakin membuatnya bertanya-tanya. Hatinya semakin kalut dilanda kecemasan. “Apa yang terjadi, Pak?” tanya Adrian penasaran. “Wanita pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan, mobilnya masuk jurang, dan kami sedang dalam proses evaluasi di tempat kejadian,” jawab polisi di telepon. Adrian terdiam, wajahnya pucat. “Bagaimana dengan keadaan mereka?” Polisi di ujung telepon terdiam sejenak, dahinya mengkerut. “Mereka? Kami tidak menemukan orang lain dengan perempuan ini, Pak. Perempuan pemilik ponsel ini sudah kami larikan ke rumah sakit terdekat.” Adrian terdiam kaku, jantungnya seakan berhenti berdetak, ia sampai lupa caranya bernapas. Mendengar polisi berbicara seperti itu membuatnya semakin cemas. Hanya satu pertanyaan yang saat ini mengganggu pikirannya yang kalut. Di mana keberadaan Devan–adiknya?Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
Di salah satu restoran yang ramai pengunjung, seorang pelayan cantik melangkahkan kakinya menuju meja pelanggan. Ia begitu bersemangat bekerja, dengan mata yang berbinar dan senyuman di bibir merahnya yang manis menciptakan aura ceria yang menular.Dari belakangnya, seorang wanita lain dengan seragam yang sama berjalan cepat, tatapan matanya tajam penuh niat. Dengan sengaja, wanita itu menyenggol bahu si pelayan, menyebabkan nampan yang dibawanya miring dan menjatuhkan mangkuk berisi ramen panas ke lengan seorang wanita."Aghhh ... panas!!" jerit wanita itu kesakitan.Semua pasang mata tertuju padanya, beberapa orang bahkan terlihat menutup mulut mereka dengan tangan karena terkejut."Astaga! Ya ampun, Mbak, apa Anda baik-baik saja? Sa-saya sungguh minta maaf, Mbak, saya benar-benar tidak sengaja," ucap si pelayan dengan panik dan sangat merasa bersalah."Sangat sakit, Mbak, apa kamu tidak melihat kulit lengan saya melepuh?!" jawab wanita itu sembari mendesah kesakitan."Bagaimana, si
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan."Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir.Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan."Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau.Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku."Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar.Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak a
Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk