Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian.
"Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas. Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya. Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya dalam keadaan selamat." Kirana hanya menangis sembari mengangguk lemah, meskipun hatinya dipenuhi oleh kecemasan dan ketakutan. Di sisi lain, Vega yang mendengar pembicaraan itu juga sangat terkejut sekaligus merasa sangat bersalah. "Apa yang aku lakukan? Apa ini salahku? Tidak. Bukan, ini bukan salahku, ini harusnya salah Tara," gumamnya membatin. Vega mencoba menenangkan diri sejenak, berpikir bagaimana caranya untuk tetap terlihat tenang di hadapan Kirana dan Adrian. Dengan hati yang berat, Vega mendekat dan mencoba menenangkan Kirana. "Bu Kirana, saya sangat sedih mendengar kabar ini. Kita harus tetap kuat untuk Devan dan Tara." Kirana hanya bisa menangis dalam pelukan Adrian, sementara Vega berpura-pura sangat sedih. Padahal, dalam hatinya, ia merasa tersiksa oleh rasa bersalah yang mendalam, meskipun pikirannya menolak, tapi rasa penyesalan bagai noda, muncul bercak di hatinya. "Harusnya Tara yang mati, bukannya Kak Devan," gumamnya dalam hati. Adrian mencoba menenangkan Kirana. "Bu, kita harus segera menghubungi Papa untuk memberi tahu apa yang terjadi." Kirana mengangguk lemah. "Ya, Rian. Hubungi Papa sekarang juga." Adrian segera menghubungi Argan—ayahnya dan Devan untuk memberi tahu tentang kecelakaan yang menimpa Devan dan Tara. Setelah menjelaskan situasinya, Argan menyatakan akan segera datang dan membantu pencarian polisi, ia akan mengatasinya. Meskipun Argan seorang yang gila kerja, tapi Devan adalah putranya. Sudah jadi keharusan seorang ayah untuk memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya. Saat mendengar kabar tentang kecelakaan Devan, hati Argan seketika hancur. Ia segera meninggalkan segala urusan pekerjaannya bergegas menuju rumah sakit dan tempat kecelakaan itu. Di dalam benaknya, hanya ada satu hal yang terpikirkan—keselamatan dan kondisi Devan. Adrian dan Kirana kemudian memutuskan pergi ke rumah sakit lain yang berdekatan dengan tempat kecelakaan untuk menemui Tara. Meskipun Kirana baru saja selamat dari insiden kebakaran di restoran, ia tetap ingin ikut. "Pak, apa saya boleh ikut kalian? Saya temannya Tara," tanya Vega dengan nada penuh harap. Awalnya, Adrian tidak ingin membawa pelayan itu, tetapi akhirnya ia berubah pikiran dan membiarkannya ikut. Mereka sampai di rumah sakit dan menemui polisi yang berjaga di ruang ICU tempat Tara terbaring lemah. "Apa kalian keluarga korban?” tanya polisi itu. "Kami keluarganya Devan, lelaki yang kecelakaan bersama Tara," jawab Adrian. Polisi mengangguk dan mengabarkan Devan masih dalam pencarian. Mereka juga menjelaskan bahwa dokter menyarankan agar Tara dipindahkan ke rumah sakit yang lebih memadai dan segera melakukan operasi karena kondisinya sangat kritis. “Ada hubungan apa antara Tara dan Devan?” tanya polisi itu lagi. “Mereka akan menikah, Pak.” Adrian menjawab seadanya. Polisi itu kembali mengangguk. "Kalau begitu saya menyarankan agar Ibu dan Bapak membantu biaya pengobatan Tara, agar ia bisa dimintai keterangan ketika sudah sadar," kata polisi tersebut. Kirana dan Adrian awalnya sangat keberatan, tapi akhirnya mereka setuju. "Demi Devan," gumam Kirana mengesampingkan rasa bencinya. Kirana dan Vega memasuki kamar ICU untuk melihat Tara. Pemandangan Tara yang memprihatinkan dengan luka di kepala yang diperban dan tangan yang digips membuat hati Kirana semakin hancur. Jika kondisi Tara saja sampai seperti ini, bagaimana dengan Devan? "Inilah yang saya khawatirkan, Bu. Tara kembali berulah, mengakibatkan kecelakaan. Pak Devan tidak ditemukan, mungkin juga karena kesalahannya." Vega mencoba memprovokasi Kirana. Dengan hanya satu kalimat dari Vega, Kirana ternyata mudah sekali tersulut emosi. Kirana menatap Tara dengan air mata yang mengalir. "Harusnya yang hilang dan mati itu kau, bukan anakku." bisiknya dengan suara penuh kepedihan. Vega mengulas senyum di bibirnya. Setidaknya, meskipun dengan tidak adanya Devan, Vega masih bisa membuat Tara menderita. Karena kebencian yang begitu besar, ia tidak ingin Tara bahagia. Walaupun dirinya juga harus kehilangan lelaki yang dicintai. *** Di sebuah ruangan kecil yang tenang di sebuah rumah sakit besar, seorang dokter sedang duduk dengan memegangi bingkai foto sebuah keluarga kecil. Dalam bingkai tersebut terdapat potret Ayah, Ibu, Adik, dan dirinya sendiri. "Amaira, apa kau sudah merasa jauh lebih tenang sekarang?" tanya dokter itu dengan suara lembut, seolah berbicara dengan mendiang adiknya. Senyum tipis terlukis di wajahnya, meskipun ada kesedihan yang mendalam di dalam matanya. Dokter itu tersenyum mengenang kenangan bersama adiknya, Amaira, yang telah tiada. Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka keras memecah keheningan. Seorang perawat masuk dengan wajah panik. "Dokter Aryan, ada kondisi darurat! Pasien dari rumah sakit lain telah dipindahkan ke sini karena kecelakaan. Kondisinya sangat kritis," kata perawat tersebut dengan nada tergesa-gesa. Dokter Aryan segera bangkit dari kursinya, meninggalkan bingkai foto dengan hati-hati. Ia bergegas keluar dan menemui pasien yang saat itu sedang didorong di atas brankar. Di lorong rumah sakit, ia melihat Vega dan Kirana yang berdiri dengan wajah cemas. Sementara di luar rumah sakit, Adrian menerima telepon dari papanya untuk mengurusi pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Dokter Aryan melirik pasien di atas brankar dahinya mengkerut terkejut. "Wanita ini pelayan di restoran yang waktu itu," gumamnya dalam hati. Ia teringat kejadian di restoran beberapa hari lalu. "Segera bawa ke ruang operasi, Sus. Siapkan segalanya!" Perintah Dokter Aryan ketika melihat kondisinya yang parah. Dokter Aryan memimpin operasi dengan penuh ketelitian dan ketegangan. Namun, sayangnya karena kondisi Tara yang sangat kritis, ia mengalami koma pasca operasi. Setelah operasi selesai, Tara harus dipindahkan ke ruang ICU. Kirana yang melihat Tara berbaring di kasur brankar yang didorong oleh perawat mengikutinya dari belakang. Vega yang melihat Tara terbaring lemah di ruangan ICU itu bertanya, "Dokter, bagaimana kondisi Tara?" Dokter Aryan menghela napas panjang sebelum menjawab. "Tara berhasil melewati operasi, tapi kondisinya masih sangat kritis. Dia mengalami koma, dan kita tidak tahu kapan ia akan sadar. Kami akan terus memantau kondisinya." Mendengar itu, Kirana merasa hatinya semakin hancur. "Kenapa semua ini terjadi? Kenapa Devan dan Tara harus mengalami kecelakaan ini?" Tangisnya pecah. Vega mencoba menenangkan Kirana. "Bu Kirana, kita harus tetap kuat. Tara butuh waktu untuk pulih. Kita harus bersabar dan berharap yang terbaik." "Dokter, kami akan membiayai pengobatannya. Rawat saja wanita ini sampai dia pulih. Beri tahu aku setelah dia sadar," ucap Kirana dengan nada tegas. Dokter Aryan mengangguk. "Baik, Bu. Kami akan melakukan yang terbaik untuk merawatnya." Setelah memberikan instruksi kepada Dokter Aryan, Kirana dan Vega meninggalkan ruangan ICU. Sementara itu, Dokter Aryan memandangi Tara yang terbaring lemsh tidak berdaya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu sedang koma, tapi tidak ada yang peduli denganmu," ucap Aryan dengan suara pelan, seolah berharap Tara bisa mendengarnya.Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
Di salah satu restoran yang ramai pengunjung, seorang pelayan cantik melangkahkan kakinya menuju meja pelanggan. Ia begitu bersemangat bekerja, dengan mata yang berbinar dan senyuman di bibir merahnya yang manis menciptakan aura ceria yang menular.Dari belakangnya, seorang wanita lain dengan seragam yang sama berjalan cepat, tatapan matanya tajam penuh niat. Dengan sengaja, wanita itu menyenggol bahu si pelayan, menyebabkan nampan yang dibawanya miring dan menjatuhkan mangkuk berisi ramen panas ke lengan seorang wanita."Aghhh ... panas!!" jerit wanita itu kesakitan.Semua pasang mata tertuju padanya, beberapa orang bahkan terlihat menutup mulut mereka dengan tangan karena terkejut."Astaga! Ya ampun, Mbak, apa Anda baik-baik saja? Sa-saya sungguh minta maaf, Mbak, saya benar-benar tidak sengaja," ucap si pelayan dengan panik dan sangat merasa bersalah."Sangat sakit, Mbak, apa kamu tidak melihat kulit lengan saya melepuh?!" jawab wanita itu sembari mendesah kesakitan."Bagaimana, si
“Kamu yakin akan pergi sendiri? Kenapa nggak suruh orang aja, sih?” tanya Kirana pada putra bungsunya. Tercetak jelas sirat kekhawatiran di wajahnya.“Aku nggak pergi sendiri, Mah. Aku pergi berdua bersama Tara,” jawab Devan lembut. Ia mengerti tentang kegundahan hati kecil sang ibu. Kirana menoleh pada Tara yang berada di samping Devan, ia mengangguk, tapi wajahnya menunjukkan raut yang tidak senang.“Lagi pula kami ke sana tidak hanya untuk memberikan selembaran undangan, Mah. Kami juga ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak di panti dan membagi kebahagiaan kami yang akan segera menikah," lanjut Devan dengan senyuman hangat.Kirana menghela napas panjang masih terlihat khawatir. "Baiklah, tapi hati-hati di jalan, kondisi cuaca sekarang tidak menentu, apalagi kamu harus melewati rute yang rawan sekali terjadi kecelakaan." "Tentu, Mah. Jangan khawatir, mamah lupa kalau aku ini Sebastian Vettel?" Kirana terkekeh geli mendengar celotehan putranya. Dia bisa saja bercanda tentang pe
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan."Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir.Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan."Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau.Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku."Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar.Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak a
Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk