Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan.
Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tertawa. Devan hanya tertawa ketika Tara tertinggal jauh. Devan terus pergi meninggalkannya hingga tubuhnya hilang ditelan kabut. Kabut datang, awan yang cerah pun pergi. Seakan tak merestui kebersamaan mereka, alam menghilangkan kicauan burung berganti dengan dedaunan yang gugur terbawa angin. Tara panik karena merasa kehilangan. Ia berteriak dan terus mencari. "Van! Van! Kamu di mana?!" teriaknya dengan suara penuh kecemasan. Suaranya keluar hingga terbawa ke alam nyata. Seorang wanita paruh baya yang tertidur di sampingnya terbangun dan panik hendak memanggil dokter. "Dok! Dokter! Putri saya telah sadar!" teriak wanita itu dengan suara penuh harap. Dokter Aryan segera datang dan memeriksa keadaan Tara, setelah beberapa menit, ia mengangguk pelan menunjukan tanda kelegaan. “Syukurlah, kondisi Tara stabil. Sepertinya ia mulai sadar. Kita harus memberinya waktu untuk bangun dan beradaptasi.” “Terimakasih, Dok. Tolong beritahu saya jika ada perkembangan yang lebih baik lagi,” ucap Bu Ainun merasa lega. Dokter Aryan tersenyum dan berkata, “Tentu saja, Bu. Kami akan terus memantau, jika ada perubahan baik, saya akan katakan.” Tak lama setelah Dokter Aryan pergi, Tara membuka matanya perlahan. Cahaya lampu pada ruangan itu begitu menyilaukan, tetapi ia perlahan mulai menyesuaikan diri. Tara melihat Bu Ainun di sampingnya memegang tangannya erat. “Syukurlah, Nak. Akhirnya kamu telah sadar,” ucap Bu Ainun begitu terharu bahagia hingga menitikkan air mata. “Ibu… Apa yang terjadi?” tanya Tara dengan suara lemah. Bu Ainun menatap Tara dengan air mata kebahagiaan yang sudah jatuh mengalir di pipinya, ia mengusap rambut kepala Tara penuh kasih. “Syukurlah, kamu baru saja selamat dari bayang-bayang maut, Nak. Kamu baru saja bangun dari koma.” “Koma?” tanya Tara terkejut, Bu Ainun mengangguk pelan. Meski tubuhnya masih lemah, dengan suara yang masih parau Tara bertanya, “ Berapa lama aku koma, Bu? Dan di mana Devan? Devan selamat, kan? Dia masih hidup seperti aku, kan,? Pertemukan aku dengannya sekarang, Bu,” Tara membombardir Bu Ainun dengan berbagai pertanyaan. ia merasakan kecemasan yang menggebu di benaknya. Bu Ainun menatap Tara lekat, ia mengerti perasaan dan kecemasan yang dirasakannya. Namun, apa daya? Ia harus terpaksa berbohong untuk menenangkan hati kecil putrinya. “Kamu tertidur selama 2 bulan, Nak. Devan baik-baik saja, dia selamat,” ucap Bu Ainun setelahnya memalingkan pandangan. Hatinya terasa amat berat. Namun, rasa sayangnya terhadap Tara lebih kuat. Meskipun Tara tidak lahir dari rahimnya, Bu Ainun sangat menyayanginya seperti anak sendiri. Tidak mungkin ia bisa memberitahu kebenaran yang akan mengguncang jiwanya. Tara terkejut. Namun, setelahnya ia tersenyum dan menghela nafas lega. “Dua bulan sangatlah lama, tapi syukurlah jika Devan baik-baik saja, lalu di mana dia sekarang, Bu?” “Devan, dia sedang sibuk mengurus renovasi restoran yang terbakar waktu itu, karena Itulah sebabnya dia belum bisa menemuimu hari ini,” jawab Bu Ainun dengan senyuman di wajahnya. “Oh, begitu. Padahal Aku baru saja bangun dari koma,” keluhnya merasa kecewa. Bu Ainun terdiam, tidak tahu harus berkata apa. “Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Yang terpenting sekarang adalah kesehatanmu, harus segera pulih, Nak.” Bu Ainun tersenyum sembari menggenggam tangan Tara kuat. Tara mengangguk mengerti dan berkata, “Ibu benar, karena kecelakaan ini pasti pernikahan ditunda. Aku harus cepat pulih agar segera melangsungkan pernikahan, iya, kan, Bu?” Seperti serpihan kaca, hati Bu Ainun terasa hancur. Bagaimana caranya ia memberitahu? Bahwa Devan telah meninggalkannya kembali pada sang pencipta. Bu Ainun mencoba menahan air mata yang hampir tumpah dan berusaha tersenyum. "Iya, Nak. Kamu harus cepat pulih agar pernikahan kalian bisa segera dilangsungkan." Tara tersenyum tipis, meski ada perasaan cemas yang mengganjal di hatinya. "Aku akan berusaha, Bu. Aku ingin segera bertemu Devan dan menikah dengannya." Hari demi hari berlalu, Tara mulai pulih perlahan-lahan. Namun, perasaan cemasnya tentang Devan tidak kunjung hilang. Ia terus bertanya soal Devan, tetapi Bu Ainun selalu mengelak dengan alasan yang sama. "Kenapa dia masih belum ke sini? Apa salahnya meluangkan waktu untukku walaupun hanya satu jam? Ini sudah tiga hari setelah aku sadar, dan dia belum datang juga. Sesibuk apa dia?" Bu Ainun hanya mengatakan Devan masih sibuk dengan urusan restoran. Tara pun terdiam, meskipun ia tidak percaya apa yang dikatakan Bu Ainun. "Pasti ibu berbohong, terlihat jelas di matanya. Sebenarnya ke mana Devan? Apa jangan-jangan dia punya perempuan baru?" Pikiran Tara mulai melayang jauh. Pikiran negatifnya tentang Devan terus menghantui hingga saat malam tiba, Tara tidak bisa tidur. Ia merasa gelisah dan pikirannya dipenuhi oleh banyak hal. Tara memutuskan untuk keluar dari kamar, berharap bisa menghilangkan rasa bosan dan menenangkan pikirannya. Namun, Ketika ia akan membuka pintu, tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Pintu terbuka, Tara terkejut melihat Kirana dan Argan--Ayah Devan datang bersama dua orang polisi. "Bu Kirana, ini ada apa? Kenapa ada polisi?" tanya Tara merasa bingung. Dirinya mengira yang datang barusan adalah Devan dan Bu Ainun, ternyata malah calon mertuanya bersama polisi. "Ada yang ingin kami bicarakan denganmu," ujar Kirana dengan suara tegang. Tara merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mempersilakan mereka masuk dan duduk. Suasana kamar menjadi semakin tegang saat salah seorang polisi membuka buku catatannya. "Kami memerlukan klarifikasi lebih lanjut mengenai kecelakaan yang terjadi dua bulan lalu," kata polisi itu dengan suara serius. Tara merasa tubuhnya mulai gemetar. "Apa yang perlu dijelaskan? Bukankah semua sudah jelas?" Polisi itu menatap Tara dengan tajam. "Ada beberapa kejanggalan yang kami temukan. Kami butuh kamu untuk menjelaskan beberapa hal lagi, terutama mengenai keberadaan Devan." Wajah Tara memucat, dia hampir tidak bisa berkata-kata. "Keberadaan Devan? Apa maksud kalian?""Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
Di salah satu restoran yang ramai pengunjung, seorang pelayan cantik melangkahkan kakinya menuju meja pelanggan. Ia begitu bersemangat bekerja, dengan mata yang berbinar dan senyuman di bibir merahnya yang manis menciptakan aura ceria yang menular.Dari belakangnya, seorang wanita lain dengan seragam yang sama berjalan cepat, tatapan matanya tajam penuh niat. Dengan sengaja, wanita itu menyenggol bahu si pelayan, menyebabkan nampan yang dibawanya miring dan menjatuhkan mangkuk berisi ramen panas ke lengan seorang wanita."Aghhh ... panas!!" jerit wanita itu kesakitan.Semua pasang mata tertuju padanya, beberapa orang bahkan terlihat menutup mulut mereka dengan tangan karena terkejut."Astaga! Ya ampun, Mbak, apa Anda baik-baik saja? Sa-saya sungguh minta maaf, Mbak, saya benar-benar tidak sengaja," ucap si pelayan dengan panik dan sangat merasa bersalah."Sangat sakit, Mbak, apa kamu tidak melihat kulit lengan saya melepuh?!" jawab wanita itu sembari mendesah kesakitan."Bagaimana, si
“Kamu yakin akan pergi sendiri? Kenapa nggak suruh orang aja, sih?” tanya Kirana pada putra bungsunya. Tercetak jelas sirat kekhawatiran di wajahnya.“Aku nggak pergi sendiri, Mah. Aku pergi berdua bersama Tara,” jawab Devan lembut. Ia mengerti tentang kegundahan hati kecil sang ibu. Kirana menoleh pada Tara yang berada di samping Devan, ia mengangguk, tapi wajahnya menunjukkan raut yang tidak senang.“Lagi pula kami ke sana tidak hanya untuk memberikan selembaran undangan, Mah. Kami juga ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak di panti dan membagi kebahagiaan kami yang akan segera menikah," lanjut Devan dengan senyuman hangat.Kirana menghela napas panjang masih terlihat khawatir. "Baiklah, tapi hati-hati di jalan, kondisi cuaca sekarang tidak menentu, apalagi kamu harus melewati rute yang rawan sekali terjadi kecelakaan." "Tentu, Mah. Jangan khawatir, mamah lupa kalau aku ini Sebastian Vettel?" Kirana terkekeh geli mendengar celotehan putranya. Dia bisa saja bercanda tentang pe
Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan."Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir.Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan."Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau.Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku."Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar.Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak a
Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk