Di salah satu restoran yang ramai pengunjung, seorang pelayan cantik melangkahkan kakinya menuju meja pelanggan. Ia begitu bersemangat bekerja, dengan mata yang berbinar dan senyuman di bibir merahnya yang manis menciptakan aura ceria yang menular.
Dari belakangnya, seorang wanita lain dengan seragam yang sama berjalan cepat, tatapan matanya tajam penuh niat. Dengan sengaja, wanita itu menyenggol bahu si pelayan, menyebabkan nampan yang dibawanya miring dan menjatuhkan mangkuk berisi ramen panas ke lengan seorang wanita. "Aghhh ... panas!!" jerit wanita itu kesakitan. Semua pasang mata tertuju padanya, beberapa orang bahkan terlihat menutup mulut mereka dengan tangan karena terkejut. "Astaga! Ya ampun, Mbak, apa Anda baik-baik saja? Sa-saya sungguh minta maaf, Mbak, saya benar-benar tidak sengaja," ucap si pelayan dengan panik dan sangat merasa bersalah. "Sangat sakit, Mbak, apa kamu tidak melihat kulit lengan saya melepuh?!" jawab wanita itu sembari mendesah kesakitan. "Bagaimana, sih, Mbak? Tangan teman saya melepuh begini, apa Anda tidak bisa berjalan dengan benar?!" bentak teman wanita di sampingnya yang merasa kecewa. "Sungguh, saya meminta maaf, Mbak. Saya akan memanggil manajer untuk memberikan pertolongan pertama," ucap pelayan itu kembali dan segera hendak memanggil manajer. Namun, gerakannya terhenti ketika seorang pria tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai dokter. "Biar saya bantu, Mbak," ujar pria itu langsung bertindak. Sementara itu, di antara kerumunan, si pelayan ditarik keluar oleh seseorang dari belakang. Dirinya cukup terkejut dan detak jantungnya semakin berdebar ketika tahu siapa orang yang menariknya. "Bu Kirana," ucap pelayan itu pelan. "Bagus sekali, Tara. Kamu sudah membuat restoran ini kembali merugi. Mereka bisa memberikan rating buruk pada restoran ini. Sudah saya bilang sebelumnya, sebentar lagi kamu menikah. Jangan lagi bekerja jika kamu tidak ingin menghancurkan segalanya," ucap Kirana dengan geram karena kesal. "Ma-maaf, Bu. Saya benar-benar tidak sengaja. Tidak sepenuhnya ini salahku. Tadi ada yang-" Belum sempat Tara membela diri, Kirana sudah memotong ucapannya begitu saja. "Ada yang apa?! Sudah salah masih saja menghindar. Sudah saya duga sebelumnya, kamu tidak akan pernah becus bekerja, apalagi menjadi menantu di rumah saya. Bisa-bisa kamu akan menghancurkan seisi rumah kami," ucap Kirana dengan begitu kasar melukai hati Tara. Kirana dengan angkuh menatap tajam ke arahnya lalu pergi begitu saja, meninggalkan Tara dengan mata yang memerah sedang menahan tangis. Sudah satu tahun hubungannya dengan Devan, tapi hati calon ibu mertuanya masih belum luluh juga. Padahal, ketika Tara masih baru bekerja di restoran itu, Kirana begitu menyayanginya seperti anaknya sendiri. Namun, semuanya berubah ketika ia tahu putra bungsunya ingin menikahi Tara. Mungkin perbedaan kasta yang membuatnya berubah sikap dengan drastis. Awalnya, ia tidak berharap lebih untuk memiliki hati Devan, tapi ternyata keduanya memiliki perasaan yang sama. Mereka pun memutuskan untuk melewati segala rintangan bersama-sama dan berharap hati Kirana luluh seiring berjalannya waktu. "Hei, apa kamu baik-baik saja?" tanya seseorang tiba-tiba sembari menepuk bahunya. Itu adalah pria yang mengaku sebagai dokter. Tara hanya menggeleng pelan dan menghapus air matanya yang sudah jatuh dengan punggung tangan. "Kamu tidak perlu khawatir. Semua sudah teratasi. Tadi sudah saya berikan pertolongan, manajer juga sudah mengatur semuanya," kata pria itu seakan tahu rasa bersalah yang melanda hati Tara. Kemudian setelahnya, dia pergi dengan senyuman yang tertinggal di bibirnya. Tara hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Tara kembali ke dapur untuk mengemasi barang-barangnya dan akan segera pergi. Memang benar, sebaiknya ia tidak perlu lagi bekerja dan lebih fokus saja pada pernikahannya. "Bagaimana rasanya?" tanya seseorang tiba-tiba ada di samping Tara. Tara menoleh, bingung. "Apa maksudmu?" Wanita itu terkekeh pelan. "Kamu sudah berani melangkah jauh dengan merebut hati Pak Devan. Rasakanlah bagaimana caraku menghancurkan hubungan calon mertua dan menantunya," jelas wanita itu, membuat Tara amat terkejut. "Jadi kamu yang sengaja menyenggol bahu aku?! Kamu gila, ya? Masa depan restoran ini kamu pertaruhkan demi kebencianmu padaku?! Kamu jahat, Vega!" "Aku tidak peduli dengan restoran ini. Aku sangat membencimu, Tara. Aku pastikan, meskipun kalian menikah nanti, hidupmu akan terasa seperti di neraka." Mendengar itu, emosi Tara memuncak. Ia tidak percaya bahwa orang yang selama ini dianggap teman ternyata adalah musuhnya. Mereka dulu adalah teman yang baik, tapi semuanya berubah ketika Devan mengumumkan hubungan mereka dan rencana pernikahan. Benar, keduanya telah menjalin hubungan selama satu tahun, tapi mereka menyembunyikan kebenaran itu. Sampai akhirnya, kesabaran Devan habis, dan ia mengungkapkan semua pada ibunya. "Kenapa kamu kasih tahu Bu Kirana tentang hubungan kita, Dev? Sudah jelas ibumu itu tidak suka dengan hubungan yang tidak sekasta ini," kata Tara dengan hati yang terasa begitu perih, tangisnya pecah. Saat itu keduanya sedang berada di dalam mobil. "Mau sampai kapan kita menyembunyikannya? Lambat laun semuanya akan tahu, kan? Ada baiknya Mama tahu sekarang. Aku pun akan menikahimu setelahnya," jawab Devan tegas. Tara hanya menunduk. "Tidak ada cinta yang mudah menuju pernikahan. Jika ingin berhasil, maka kita berdua yang harus berjuang sebagai tokoh utama," lanjut Devan dengan senyuman terulas di bibirnya. "Aku yakin, suatu saat Mama akan luluh dan kembali menyayangimu. Ini hanya masalah waktu saja, aku yakin," ucap Devan penuh keyakinan dan optimis. **** Di sebuah mobil yang melaju, Tara menatap seorang pria yang sedang mengemudi. Seakan merasa diawasi, pria itu menoleh dan tersenyum teduh. "Kenapa Sayang? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya pria itu, yang ternyata adalah kekasihnya. "Tidak ada, aku hanya ingin menatap wajahmu yang tampan itu, apa tidak boleh?" jawab Tara mengelak dan malah balik bertanya. Tidak mungkin jika ia harus mengatakannya dengan jujur. Terakhir kali saat dia mengadu tentang perlakuan ibunya, mereka malah bertengkar hebat dan berakhir pada kebencian Kirana yang semakin besar terhadap Tara. Tentu saja ia tidak menginginkan hal itu. "Kamu bisa menatapku selama yang kamu mau, Sayang. Sebentar lagi kita akan menikah, kamu tidak perlu khawatir karena aku tidak akan pernah hilang dari pandanganmu." Senyum Tara seketika mengembang mendengar itu. Keduanya saling memandang penuh cinta. Devan memang selalu perhatian. Sifatnya yang lembut dan pengertian inilah yang membuat Tara tergila-gila padanya. "Kenapa berhenti?" tanya Tara ketika mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba berjalan pelan lalu berhenti. "Saking terpesonanya dirimu dengan wajahku yang tampan ini, sampai tidak menyadari bahwa kita sudah tiba di tujuan?" tanya Devan sambil tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang putih. Tara yang menyadari kekonyolannya itu langsung tersipu malu dan menunduk. Devan hanya cekikikan melihat tingkah polos kekasihnya yang memang pemalu itu. "Mau masuk dulu?" tanya Tara ketika keduanya sudah berada di depan gerbang rumah kos Melati—tempat tinggal Tara. "Tidak, ini sudah malam. Besok kita akan pergi pagi-pagi sekali, ingat? Harus istirahat untuk perjalanan yang cukup panjang," ucapnya, kemudian keduanya saling berpelukan. "Kalau begitu aku pergi dulu, kamu istirahat, ya. Selamat malam." Tara tersenyum dan mengangguk, kemudian Devan pergi dengan mobilnya, meninggalkan Tara yang masih di garis pintu gerbang. *** Di kamarnya, Tara sedang mengemasi barang-barangnya dan pakaian yang akan dibawa untuk besok. Saat sedang fokus, tiba-tiba saja handphonenya yang berada di atas nakas berdering. Seseorang telah meneleponnya. Brakkk! Sesuatu terjatuh ketika Tara mengambil handphonenya. Sepertinya tidak sengaja tersenggol oleh lengannya. Ternyata itu adalah bingkai foto yang di dalamnya ada potret Devan dan Tara yang sedang bersama. "Ada apa ini?" tanyanya pada diri sendiri. Tara mengambil bingkai foto yang sudah pecah itu dan memperhatikannya dengan mengernyitkan dahi, bingung dengan perasaan yang aneh di hatinya. Jantungnya berdebar. Handphone Tara kembali berdering, memecah lamunannya. Tara memutuskan untuk tidak menghiraukan perasaannya dan segera mengangkat telepon. Tanpa disadarinya, mungkin itu adalah pertanda akan datangnya musibah yang mengintai di kejauhan.“Kamu yakin akan pergi sendiri? Kenapa nggak suruh orang aja, sih?” tanya Kirana pada putra bungsunya. Tercetak jelas sirat kekhawatiran di wajahnya.“Aku nggak pergi sendiri, Mah. Aku pergi berdua bersama Tara,” jawab Devan lembut. Ia mengerti tentang kegundahan hati kecil sang ibu. Kirana menoleh pada Tara yang berada di samping Devan, ia mengangguk, tapi wajahnya menunjukkan raut yang tidak senang.“Lagi pula kami ke sana tidak hanya untuk memberikan selembaran undangan, Mah. Kami juga ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak di panti dan membagi kebahagiaan kami yang akan segera menikah," lanjut Devan dengan senyuman hangat.Kirana menghela napas panjang masih terlihat khawatir. "Baiklah, tapi hati-hati di jalan, kondisi cuaca sekarang tidak menentu, apalagi kamu harus melewati rute yang rawan sekali terjadi kecelakaan." "Tentu, Mah. Jangan khawatir, mamah lupa kalau aku ini Sebastian Vettel?" Kirana terkekeh geli mendengar celotehan putranya. Dia bisa saja bercanda tentang pe
Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan."Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir.Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan."Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau.Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku."Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar.Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak a
Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan."Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir.Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan."Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau.Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku."Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar.Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak a
Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk