“Kamu yakin akan pergi sendiri? Kenapa nggak suruh orang aja, sih?” tanya Kirana pada putra bungsunya. Tercetak jelas sirat kekhawatiran di wajahnya.
“Aku nggak pergi sendiri, Mah. Aku pergi berdua bersama Tara,” jawab Devan lembut. Ia mengerti tentang kegundahan hati kecil sang ibu. Kirana menoleh pada Tara yang berada di samping Devan, ia mengangguk, tapi wajahnya menunjukkan raut yang tidak senang. “Lagi pula kami ke sana tidak hanya untuk memberikan selembaran undangan, Mah. Kami juga ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak di panti dan membagi kebahagiaan kami yang akan segera menikah," lanjut Devan dengan senyuman hangat. Kirana menghela napas panjang masih terlihat khawatir. "Baiklah, tapi hati-hati di jalan, kondisi cuaca sekarang tidak menentu, apalagi kamu harus melewati rute yang rawan sekali terjadi kecelakaan." "Tentu, Mah. Jangan khawatir, mamah lupa kalau aku ini Sebastian Vettel?" Kirana terkekeh geli mendengar celotehan putranya. Dia bisa saja bercanda tentang pembalap terkenal itu ketika ibunya sedang khawatir begini. "Kami pasti akan berhati-hati dan mengabari jika sudah sampai pada tujuan, Mah. Berhentilah mengkhawatirkanku dan jangan lupa katakan pada Papah jika dirinya bekerja terlalu gila, maka kepalanya akan segera botak," lanjut Devan dengan senyuman. Kirana ikut tersenyum, putra bungsunya ini memang suka sekali bercanda. Mungkin, sifatnya turun dari kakeknya. Berbeda dengan ayah dan kakaknya yang berwajah dingin dan gila bekerja. Tara yang dari tadi hanya diam, akhirnya berbicara, "Terima kasih, Bu. Kami akan segera pulang setelah urusan selesai." Kirana tanpa menjawab hanya mengangguk pelan, masih dengan raut wajah yang datar. Devan menggenggam tangan Tara erat, menyalurkan kekuatan pada kekasihnya. Keduanya pun pamit pergi dan segera memasuki mobil hitam yang sudah terparkir menunggu untuk dikemudikan. "Sudah siap untuk perjalanan ini?" tanya Devan dengan semangat. "Siap!" seru Tara juga dengan semangat. Meski debaran jantungnya terasa begitu cepat, ia merasa gugup. Sudah dua tahun lalu sejak dirinya terakhir kali bertemu dengan adik-adiknya di panti. "Apa semalam kamu sudah memberitahu Ibu Ainun kita akan datang?" tanya Devan yang sedang mengemudi. "Aku sudah memberitahunya dua hari lalu, semalam juga ibu menelepon, katanya hati-hati karena cuaca sedang tidak baik beberapa hari ini," jawab Tara. Devan mengangguk pelan dan berkata, "harusnya kamu katakan pada Ibu Ai, kalau aku ini pengemudi hebat, akan menghadapi segala badai dengan senyuman penuh." Devan tertawa dan disambut cubitan kecil di lengan kirinya yang tertutup hoodle hitam. "Aghh! Sakit-sakit!!" Devan menjerit kemudian mengelus lengannya yang terasa linu itu. "Makanya jangan bercanda mulu," ucap Tara dengan kesal tapi masih bisa tersenyum. "Aku terkena cubitan cinta," balas Devan sambil tersenyum lebar. Suasana itu membuat hati Tara menghangat. Ia selalu berharap dan berdoa dalam setiap detiknya agar dirinya dan Devan terus bersama hingga maut memisahkan. Hatinya benar-benar sudah terpaku hanya untuk Devan. Tidak ada hal lain yang ia inginkan selain pernikahan keduanya terjadi dan bisa hidup bahagia selamanya. Beberapa lama kemudian suasana mulai menghening. Tara berlarut pada keindahan alam yang disuguhkan ketika mereka telah melewati jalan perbukitan. Jarak antara kota Jakarta ke Sukabumi melewati jalan Ciawi memang lebih lama jika dibandingkan melalui tol Jagorawi, tapi pemandangan yang disuguhkan begitu memanjakan mata ketika melewati hamparan kebun teh hijau dan perbukitan dengan hutan yang pohon-pohonnya menjulang tinggi. "Lihatkan? Sudah aku katakan bahwa melewati rute ini akan sangat memanjakan matamu, jadi jangan sampai tertidur," ujar Devan mengetahui perasaan puas di hati Tara. Kekasihnya itu tanpa henti memandang ke luar kaca jendela. "Iya, kau benar, aku sangat senang!" jawab Tara sembari menoleh penuh semangat. Empat jam perjalanan akhirnya kini mereka sampai pada tempat tujuan. Tara masih terpaku di dalam mobil sambil melihat ke luar kaca jendela. Ketika melihat tempat di mana ia tumbuh dewasa, perasaan rindu menyelimuti kalbu. Ketika ia keluar dari dalam mobil, bayang-bayang masa kecil bagaikan slide foto memperlihatkan lembaran kenangannya. Dua tahun merantau di Jakarta bukanlah hal yang mudah bagi Tara, sampai akhirnya ia pulang juga. Pulang pada naungan yang selalu menjadi tempat istimewa di hatinya. Rumah yang ia rindukan dengan kehangatan keluarga selalu menjadi penyemangat hidupnya. Devan tersenyum ketika melihat Tara menitikkan air mata. Ia mengerti bagaimana kekasihnya itu sangat emosional terhadap keluarganya. “Van, ini tempat yang sangat berarti bagiku. Aku ingin semua orang di sini merasakan kebahagiaan kita,” ucap Tara dengan mata berbinar. Devan mengangguk, merasakan cinta dan kepedulian Tara yang mendalam. “Kita akan pastikan mereka merasakan kebahagiaan itu, Sayang.” Teriakan anak kecil berumur delapan tahun memekakkan telinga. Anak perempuan itu berlari dengan ceria langsung memeluk Tara. "Horee!! Kak Sera pulang!" teriaknya menarik atensi semua orang di sana. Sera adalah panggilan sayang anak-anak panti untuknya. Nama itu diambil dari nama belakangnya. “Hallo, Reina! Aku sangat merindukanmu.” Tara mencubit pipi gadis bernama Reina itu dan memeluknya penuh cinta. Anak-anak yang tadinya sedang bermain bola juga ikut berlari ke arah Tara dan memeluknya secara bergantian. Disusul Bu Ainun–Ibu sekaligus kepala dari panti asuhan, senyuman kebahagiaan terpancar dari wajahnya. "Nak, akhirnya kamu pulang," ucap Bu Ainun terharu, langsung memeluk Tara. "Bagaimana kabar kalian? Apa perjalanannya lancar? lanjut Bu Ainun bertanya. "Kabar kami baik, Bu. Perjalanan kami juga lancar. Bagaimana kabar semuanya?" jawab Tara kemudian balik bertanya. "Kabar kami juga baik, Nak," jawab Bu Ainun. "Ayo sebaiknya kita masuk dulu," lanjut beliau. Setelah berbincang santai dan beristirahat sejenak, Devan dan Tara menghabiskan waktu dengan anak-anak di panti asuhan. Mereka bermain, bercanda dan memberikan hadiah kecil pada anak-anak sebagai oleh-oleh. Semuanya terlihat amat bahagia. *** Bola berwarna hijau memantul dari satu tangan ke tangan yang lain. Dua anak kecil sedang bermain di ruang tamu. Keduanya begitu bahagia bercanda dan tertawa bersama. Namun, tawa itu terhenti ketika bola yang mereka lempar menabrak pintu hingga terbuka dan menggelinding keluar rumah. “Pintunya terbuka, sepertinya Ibu Ai tidak menguncinya dengan benar, jadi bolanya menggelinding keluar,” ucap anak perempuan pada teman laki-lakinya. Dengan raut wajah yang resah anak lelaki itu berkata, “Reina, kamu saja yang ambil.” “Baiklah aku akan mengambilnya. Kamu, kan, penakut,” ucap anak perempuan bernama Reina itu, meledek. Reina berjalan keluar rumah panti mencari ke mana arah bola menggelinding. Area parkir di depan rumah panti terlihat menakutkan bagi anak laki-laki di belakangnya, tapi tidak dengan anak perempuan yang berani ini. Reina menemukan bola itu di dekat sebuah mobil hitam, ia mengambilnya dan sudah berbalik untuk kembali ke rumah. Namun, sebuah suara benda jatuh telah menarik perhatiannya “Om, Om siapa? Kenapa kamu diam di dekat mobil calon kakak iparku?” tanya Reina pada orang asing yang dilihatnya. Orang itu memakai baju serba hitam. “Aku sedang mencari handphone-ku yang jatuh tadi, sekarang sudah ketemu dan aku akan pergi, permisi,” ucap lelaki itu. Reina masih berdiri sampai lelaki itu pergi ditelan gelapnya malam, sampai Tara memanggilnya untuk segera memasuki rumah. “Reina! Makan malam sudah siap, ayo masuk! Jangan bermain di luar!” “Iya, Kakak!” jawab Reina langsung berlari memasuki rumah.Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan."Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir.Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan."Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau.Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku."Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar.Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak a
Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Di kamar rawat Tara, Bu Ainun masih berdiri dengan hati yang gelisah. Kakinya tidak mau diam, ia mondar-mandir tidak karuan."Bagaimana ini? Tagihan rumah sakit Tara pasti mahal sekali." Bu Ainun kembali mencobe menelpon Bu Kirana. Namun, ia tidak mengangkatnya. Sebuah ide solusi muncul dalam pikirannya, ketika mengingat dirinya adalah kepala dari panti asuhan. "Apa yayasan bisa membantu? Tara anak yatim piatu. Seharusnya yayasan bisa menanggung beban biaya rumah sakit perawatan Tara," ucap Bu Ainun sedikit lega.Bu Ainun mencoba untuk menelpon pihak yayasan. Berharap mereka bisa membantu. Itu akan membuat hatinya merasa lega dan akan sangat bersyukur. "Halo, Pak. Saya Ainun kepala panti asuhan Cahaya Pelangi." Bu Ainun berbicara dengan bibir yang gemeter. Jantungnya berdetak kencang, takut-takut pihak yayasan tidak dapat membantu. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Jawab pihak yayasan disebrang telepon.Bu Ainun memberitahukan kegelisahan dan masalahnya pada pihak yayasan. Tidak
"Adrian, segera pulang, Mama ingin bicara." Suara Kirana terdengar tegas. Adrian hanya menghela napas, tahu ada yang serius. Kirana menutup telepon dengan sepihak. Adrian segera menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya untuk segera pulang.Baginya, apa yang diinginkan sang Mama adalah perintah. Tidak bisa diganggu gugat, meski harus mengorbankan dirinya sekalipun.Adrian baru saja tiba di rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri di depan pintu. "Jangan pura-pura tidak mengetahui kalau Mama sempat menelpon berkali-kali. Kenapa sekarang kamu mulai membangkang?" Adrian hanya menghela napas pelan. Seperti inilah yang terjadi jika ia melakukan kesalahan."Cepet masuk, Mama ingin bicara," ucap Kirana sebelum Adrian sempat menjawab. Keduanya kini berada di ruang kerja milik Argan yang kosong. Suami sekaligus ayah itu masih belum pulang dari pekerjaannya."Jadi ada apa, Ma?" Tanya Adrian ingin tahu. Dengan satu tarikan napas, Kirana mengungkapkan keinginannya. "Sebaiknya sudahi saja pembi
Kirana duduk di sofa ruang tengah. Ia membuka album foto lama berwarna biru. Matanya semakin berkaca-kaca kala melihat lembaran foto itu secara bergantian. Rupanya rasa sedih masih menyelimuti hati seorang ibu.Album itu langsung ditutup ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sadar dan tahu Kirana sudah menyadari keberadaannya, ia menghentikan langkah untuk menyapa tuan rumah."Selamat malam, Bu Kirana.""Sudah kau bereskan?" tanya Kirana tanpa menoleh."Tentu saja, sesuai keinginan kita," jawab wanita itu dengan bangga. "Akting Bu Kirana pasti sangat hebat sehingga membuatnya sangat terguncang."Kirana tersenyum kecut. "Aku tidak bersandiwara, rasa kehilangan ini nyata, Vega," ucapnya sembari menoleh pada wanita yang ternyata adalah Vega.Vega hanya terdiam. Niatnya memuji untuk mencari perhatian ternyata mendapat respon yang tidak ia duga."Tunggu apa lagi? Kau pulanglah. Saya akan menghubungimu jika butuh lagi."Vega tersenyum dan mengangguk. Padahal dalam hatinya, api memba
Aryan menaiki tangga dengan langkah pelan, sembari menggenggam sebuah kalung berinisial huruf ‘A’. Benda itu adalah kenangan yang pernah dimiliki oleh adiknya, perempuan yang sangat ia cintai.Setiap kali Aryan melihat benda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya, mengingatkan pada masa-masa indah yang pernah mereka lalui bersama. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat pintu rooftop dalam keadaan terbuka. Perasaan cemas mulai merayap masuk."Amera," gumamnya pelan, mengingat sosok yang memberikan senyuman terakhir padanya di tempat yang sama.Setibanya di ambang pintu, Aryan terhenyak. Di tepi rooftop, seorang wanita berdiri dengan mata terpejam, bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke belakang.Tubuh Aryan dan tangannya bergetar menggenggam kalung itu semakin erat. Matanya membulat, dan kilas balik masa lalu seketika memenuhi pikirannya."Aku tidak bisa lagi menahan sakit hati ini, Kak. Aku hancur.""Tidak, Amera," ucap Aryan tanpa sadar.Suara dan sosok Amera yang dilihat Aryan
"Bu, apa yang mereka maksud? Devan, Devan kenapa?" tanya Tara dengan suara yang cemas. Tara melihat Kirana dan Argan dengan wajah penuh tanda tanya, sedangkan keduanya hanya terdiam."Tolong jawab saja apa yang kami ingin ketahui, agar semua tampak jelas dan kamu akan mengerti nanti, tolong," ucap Argan akhirnya berbicara. Tara akhirnya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya Argan berbicara padanya. Meski masih merasa bingung, ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan kedua polisi itu."Jadi, Saudari Tara, bagaimana awal kejadian itu?" tanya seorang polisi lagi.Tara mengangguk mencoba mengingat kejadian itu kembali, meski hatinya terasa berat dipenuhi oleh berbagai perasaan cemas. "Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, tapi tiba-tiba rem mobil tidak berfungsi. Devan mencoba mengendalikan mobil, tapi kami kehilangan kendali dan menabrak batu besar di pinggir jalan. Saya terlempar keluar dari mobil, tapi Devan... Dia masih di dalam mobil yang ketika itu meluncur ke jurang."
Hamparan rerumputan hijau begitu memukau. Indahnya amat memikat hati. Semilir angin pun berembus bersamaan dengan suara kicauan burung-burung, mereka terbang dan menari saling beriringan. Seorang wanita berlari penuh kegembiraan, bahagia bersama pria yang dicintainya. Keduanya memakai pakaian putih, saling bercengkrama dan tertawa tanpa henti. "Sudah cukup, Tara, aku lelah mengejarmu yang terus berlari," ucap pria itu dengan suara terengah-engah. Pria itu lantas duduk di rumput yang terasa lembut, membuat Tara juga ikut meluruskan kakinya yang pegal. "Ya, suruh siapa larinya lelet kayak siput," jawab Tara sambil tertawa kecil. "Kalau begitu sekarang gantian," kata Devan, ia tersenyum simpul. "Gantian?" tanya Tara kebingungan. Devan mengangguk pelan tiba-tiba berdiri dan sedetik.kemudian mulai berlari. "Kejar aku!" Teriaknya di tengah hamparan rerumputan yang luas. Tara berdiri dan ikut berlari, mengejar Devan tanpa henti. "Heyy, berhenti! Awas, ya, Kamu!" teriaknya sambil tert
Kirana melihat raut wajah Adrian yang penuh dengan kecemasan, menimbulkan tanda tanya besar di pikirannya. Kirana turun dari tempat tidur dan berdiri untuk menghampiri Adrian."Ada apa, Rian? Kenapa raut wajah kamu seperti itu? Apa yang terjadi?" tanya Kirana dengan nada bicara yang terdengar cemas.Adrian terduduk di sofa dengan wajah kusutnya akibat syok. "Sepertinya Devan dan Tara kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang, tapi hanya Tara yang ditemukan tergeletak di jalanan. Polisi nggak nemuin orang lain," jawab Adrian dengan suara yang bergetar. Bagai disambar petir, Kirana begitu syok. Tubuhnya terasa lemas dan ia hampir terjatuh jika tidak segera di topang Adrian. "Nggak mungkin, Devan putraku, Rian!! Adikmu!!" bisiknya kemudian berteriak dengan suara gemeter. Air mata mulai mengalir di pipinya.Adrian langsung memeluk ibunya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancur. "Bu, kita harus kuat, polisi masih mencari Devan, mereka pasti akan menemukannya d
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Tara duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas melihat hujan deras yang mengguyur jalanan."Devan, hati-hati. Jalanan sangat licin dengan hujan seperti ini," ucap Tara dengan suara khawatir.Jemari lentiknya meremas bajunya sendiri karena suasana tegang mencekam membuatnya semakin merasa ketakutan."Aku tahu, Tara, tapi kita harus segera sampai ke rumah sakit," jawab Devan dengan mata yang fokus pada jalan. Kecemasannya terhadap kondisi ibunya membuat pikirannya sedikit kacau.Tanpa disadari, mereka salah mengambil rute yang seharusnya menuju tol dan malah melewati jalan Ciawi yang terkenal dengan medan berbahaya dan berliku."Devan, sepertinya kita salah rute. Ini bukan jalan menuju tol," kata Tara dengan nada cemas, melihat pemandangan yang tadi siang ia lewati begitu familiar.Devan menggigit bibirnya dengan perasaan frustrasi. "Aku terlalu khawatir dengan kondisi Ibu. Sekarang kita harus melewati jalan ini. Semoga tidak a
Di restoran, Vega melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul delapan malam. Dengan perasaan kesal, ia segera menyajikan makanan pada pelanggan."Silakan dinikmati, Kak!" sapanya pada pelanggan dengan senyuman palsu.Kirana memasuki restoran dengan santai. Tanpa sengaja, Vega melihatnya dan segera menghampiri "Selamat malam, Bu Kirana!" sapa Vega dengan ramah dan senyuman yang lembut."Malam juga, Vega. Bagaimana hari ini di restoran?" tanya Kirana memastikan tidak ada insiden buruk seperti kemarin terulang kembali."Semua aman, Bu, tenang saja. Saya akan sebaik mungkin menjaga nama baik restoran ini tetap bersih," ucap Vega dengan nada sangat meyakinkan."Baguslah, setidaknya dengan tidak adanya Tara di restoran ini akan tetap aman." Kirana menghela napas lega.Vega mengernyitkan dahi bingung, karena biasanya Tara selalu ada di restoran untuk menghilangkan rasa bosan."Memangnya Tara ke mana, Bu?" tanya Vega, mencoba mencari tahu karena penasaran."Tara pergi dengan Devan untuk