Lampu-lampu neon berkedip liar, memantulkan bayangan-bayangan menari di dinding bar yang remang. Sera berdiri di balik meja konter, jemarinya dengan lincah meracik minuman demi minuman. Sudah dua minggu berlalu sejak dia menerima tawaran Mia, dan sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Bartender senior mengajarinya dengan sabar, dan dia mulai merasa nyaman dengan pekerjaannya yang baru.
Malam itu, bar mulai ramai. Aroma parfum mahal bercampur asap rokok mengambang di udara. Sera menghela napas lega saat menyelesaikan pesanan terakhir. Namun, kelegaan itu tak bertahan lama.
Sebuah tangan kekar tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya. Sera tersentak, matanya bertemu dengan sepasang mata yang dipenuhi nafsu. Seorang pria paruh baya, dengan setelan mahal dan jam tangan berkilau, menyeringai padanya.
"Hei, canti
Detak jantung Sera berpacu liar, mengalahkan suara gaduh yang semakin mendekat dari luar kamar. Matanya terpejam erat, seolah berusaha menghalau kenyataan pahit yang menghimpitnya.Namun, di tengah ketakutannya, sebuah tekad muncul. Dia tidak akan menyerah begitu saja.Dengan gerakan secepat kilat, tangan Sera meraih vas bunga di meja samping. Jemarinya mencengkeram erat benda itu, seolah nyawanya bergantung padanya."Saya bukan barang yang bisa diperjualbelikan!" teriaknya lantang, suaranya bergetar penuh amarah.Vas itu meluncur di udara, sebelum akhirnya pecah berkeping-keping saat menghantam kepala pria tua itu. Suara pecahan kaca memenuhi ruangan, berpadu dengan teriakan kesakitan yang memekakkan telinga.Tanpa membuang waktu, Sera melompat dari ranjang. Kakinya yang gemetar membawanya berlari sekencang mungkin menuju pintu. Harapan untuk bebas dari mimpi buruk ini memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya."Dasar jalang s
"Atau..." Zayn melangkah mendekat, matanya menatap dalam ke mata Sera. "Ada alasan lain?"Jantung Sera berdegup kencang, debarannya terasa hingga ke tenggorokan. Ada sesuatu dalam nada suara Zayn yang membuatnya gelisah, seolah pria itu bisa membaca pikirannya yang paling tersembunyi."Ya," jawab Sera akhirnya, meski hatinya berteriak hal yang sebaliknya.Zayn mengambil napas dalam, matanya terpejam sejenak sebelum kembali menatap Sera. "Kamu yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil main-main, Sera."Sera mengangguk mantap, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari meyakinkan Zayn. "Saya yakin, Mas."Sesuatu berkilat di mata Zayn - entah itu kelegaan, atau mungkin... kemenangan? Sera tak bisa memastikan. Namun, ada p
“Tempat apa ini?” gumam Sera tanpa sadar, sejak tadi mulutnya terus berkomat-kamit membaca doa sambil terus melangkah.Di ujung jalan setapak itu, dia melihatnya. Sebuah bangunan tua yang berdiri menyendiri, jauh dari kemewahan rumah utama. Cat putihnya sudah mengelupas di sana-sini, jendela-jendelanya tertutup rapat dengan tirai lusuh. Tanaman rambat menutupi sebagian dindingnya, seolah alam berusaha menelan bangunan itu kembali ke pelukannya.Mata Sera melebar, campuran antara keterkejutan dan ketakutan memenuhi dadanya. Inikah tempat yang akan menjadi 'rumah' barunya? Sebuah paviliun tua yang terasing dan tampak... berhantu?Sera menelan ludah dengan susah payah, kakinya seolah terpaku ke tanah. Haruskah dia melangkah masuk? Ataukah lebih baik dia berbalik dan lari? Namun, ke mana dia bisa pergi?
"Bersihkanlah dirimu!"Suara Dewi memecah keheningan bagai cambuk, membuat Sera tersentak. Matanya yang tajam menelusuri tubuh Sera dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah sedang menilai seekor hewan ternak di pasar. Rasa jijik terpancar jelas dari sorot matanya, seakan-akan gadis di hadapannya adalah noda hitam yang mengotori lantai marmer putihnya yang berkilau.Sera membuka mulut, hendak membantah. Dia ingin mengatakan bahwa dirinya sudah membersihkan diri sebelum datang ke sini. Bahkan, dia telah menghabiskan waktu berjam-jam memastikan penampilannya sempurna. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, tak mampu keluar. Di bawah tatapan mengintimidasi Dewi, dia merasa kecil, tak berdaya."Hari ini Zayn akan datang," lanjut Dewi, suaranya dingin bagai es. "Dia memintamu berpakaian yang pantas."
Sera merasakan kakinya goyah, seolah lantai di bawahnya bergetar. Pemandangan di balik tirai menari-nari di depan matanya, menghantui setiap sudut pikirannya. Dinding ruangan terasa semakin dekat, menekan dirinya dalam jerat ketakutan. Suara jantungnya menggema di telinga, mengalahkan semua suara lain. "Apa... apa maksudnya ini semua, Mas?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.Zayn melangkah mendekatinya, langkahnya pelan tapi pasti, seperti predator yang mengintai mangsanya. Jemarinya yang panjang menyusuri lengan Sera dengan sentuhan seringan bulu, menciptakan sensasi yang mengalir ke seluruh tubuhnya. "Saya yakin sudah pernah memperkenalkanmu dengan tempat yang persis seperti ini sebelumnya," bisiknya di telinga istrinya, suaranya begitu lembut namun penuh dengan ancaman tersembunyi.Sera bergidik, entah karena sentuhan Zayn atau karena im
Sera terbangun dengan seluruh tubuh terasa remuk, setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang nyeri yang menusuk. Matanya mengerjap perlahan, berusaha memfokuskan pandangan pada ruangan asing yang mengelilinginya. Ketidakpastian dan ketakutan mulai merayapi benaknya saat ingatan samar-samar tentang kejadian semalam bermunculan."Anda sudah bangun?"Suara datar itu mengejutkan Sera, membuatnya tersentak. Dia menoleh dan menemukan sosok familiar berdiri tak jauh darinya - Guntur, pengawal setia Zayn yang selalu terlihat kaku dan dingin. Mata gelap pria itu menatap Sera tanpa emosi, seolah mengamati benda mati alih-alih seorang manusia."A-apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sera dengan suara serak, refleks menarik selimut lebih erat. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari ada pakaian berbeda membalut tubuhn
Pesawat pribadi yang membawa mereka ke Amerika mendarat dengan mulus, tetapi perasaan Sera tidaklah demikian. Zayn membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah didatanginya, tempat-tempat yang belum pernah didengarnya, dibacanya, atau dibayangkannya.“P-pertemuannya ada di sini, Mas?” tanya Sera dengan suara bergetar ketika Zayn mulai menarik tangannya masuk ke dalam salah satu bar terkenal di Las Vegas. Matanya mengamati sekeliling dengan cemas, tak percaya bahwa inilah tujuan mereka setelah penerbangan panjang itu.“Seharian saya sudah lelah bekerja. Sekarang waktunya bersenang-senang. Saya ingin menikmati waktu saya di sini,” bisik Zayn dengan lembut tetapi terdengar dingin sambil merapatkan tubuh istrinya. Sentuhannya terasa seperti belenggu es yang melingkari tubuhnya.Malam itu,
Lampu-lampu gemerlap Casino de Monte-Carlo menyilaukan mata Sera saat Zayn membimbingnya memasuki gedung mewah itu. Sera, dengan gaun malam elegan yang membalut tubuhnya, merasa seperti orang asing di dunia yang asing. Matanya bergerak gelisah, mengamati orang-orang kaya yang berkeliaran di sekitarnya. Para pria dengan jas mahal dan wanita dengan perhiasan berkilauan - sebuah pemandangan yang kontras dengan kehidupannya sebelum bertemu Zayn."Tersenyumlah, Sayang," bisik Zayn di telinga Sera, tangannya mencengkeram pinggang wanita itu dengan kuat. "Kita akan bersenang-senang malam ini"Sera mengangguk lemah, berusaha mengukir senyum palsu di wajahnya yang pucat. Dia tidak mengerti mengapa suaminya itu terus membawanya ke tempat seperti ini, tapi dia tahu lebih baik untuk tidak bertanya.Mereka berjalan menuju sebuah meja poker eksklusif, di mana beberapa pria berpakaian mewah sedang bermain. Mata para pria itu langsung tertuju pada Sera, tatapan mereka penuh nafsu dan keingintahuan."