Part. 1
Setiap pagi ketika hendak bekerja Dinda selalu melewati rumah bercat kuning gading, di ujung gang. Sebelum menuju jalan raya. Rumah besar dibanding rumah disekitarnya. Halaman luas untuk ukuran rumah di kota besar. Mendapat sapaan lembut, seorang Ibu yang sangat ramah.
"Selamat pagi nak," Ibu Sonia selalu menyambut Dinda.
"Selamat pagi Ibu," jawab Dinda.
"Berangkat kerja," tanya Ibu Sonia lagi.
"Ya, Bu," Jawab Dinda.
"Hati-Hati nak," kata Ibu Sonia.
"Terima kasih," jawab Dinda.
Tegur sapa, basa basi itu diakhiri dengan senyum tulus Ibu bertubuh tambun itu. Dari mas Aryo Dinda tahu nama ibu yang suka menyapa, Bu Sonia namanya.
****
Dinda kost, di rumah sahabat Ibu Sonia, letaknya selisih dua gang agak kebelakang. Antara kantor dan tempat kost berjarak satu kilometer. Untuk menuju kantor Dinda lebih memilih berjalan, selain berhemat, sambil olah raga.
Sudah dijalankan hampir dua tahun. Perkenalannya dengan Ibu Sonia semakin hari terjalin semakin baik.
*****
Seperti sore itu, sepulang kerja, Bu Sonia sudah menunggu Dinda di depan pintu pagar rumahnya. Dari jauh Dinda sudah melihat Bu Sonia, postur tubuh yang agak tambun , semakin membuat ciri khas terlihat.
"Malam nak," kata Ibu Sonia.
"Malam Ibu," jawab Sonia.
"Baru pulang," kata Ibu Sonia.
"Lembur, Bu."
"Nak, Ibu bisa minta tolong?"
"Titip kue, pesanan Ibu Rasti," kata Ibu Sonia.( Bu Rasti adalah Ibu kost Dinda)
"Ya Bu." jawab Dinda.
"Bungkus besar, untuk Bu Rasti, bungkus kecil, untuk kamu," kata Ibu Sonia.
"Terima kasih," kata Dinda.
"Sama-sama nak."
Malam itu, Dinda menikmati kue buatan Ibu Sonia. Kue yang sangat lezat," pujinya dalam hati.
*****
Angga baru pulang main, pria berusia dua puluh delapan tahun, belum mempunyai pekerjaan tetap. Ijazah Sarjana lulusan ekonomi, tidak membuatnya bangga, untuk mencari pekerjaan. Hanya main, begadang, mabuk, tidur, dan minta uang pada orang tuanya.
Banyak orang, usia seperti Angga sudah mapan, tidak dengan Angga. Anak ketujuh dari delapan bersaudara itu sama sekali tidak mempunyai, rasa tanggung jawab.
Kedua orang tuanya, selalu memanjakan. Membuatnya, tak pernah berpikir dewasa, untuk segala hal.
"Kamu, mau begini terus," tanya Ibu pada Angga.
"Begini gimana Bu," jawab Angga.
"Kerja, berumah tangga, kaya anaknya Tante Rasti," kata Ibu.
"Terus banding-bandingin, Angga sama anaknya Tante Rasti," kata Angga sewot.
"Tiap orang punya cara sukses, masing-masing Bu."
"Rumah tangga lah, agar hidupmu terarah."
"Mau Ibu kenalin sama anak yang kost, di rumah Tante Rasti?"
"Apaan, Ibu. Kaya jaman Siti Nurbaya saja."
"Siapa! … siapa! yang kos dirumah Tante Rasti? Dinda maksud ibu," kata Angga terkejut.
"Dinda namanya," kata Ibu gembira.
"Ya ampun Bu, tega amat sih, jodohin Angga sama Dinda."
"Kurus, hitam, cupu, dandanannya kaya mbak-mbak, paling cuma lulusan SMA."
Hinaan, dan cemoohan Angga, begitu dahsyat seolah-olah Dinda pasti mau sama Angga.
"Sombong! belum tentu Dinda mau sama Kamu," jawab Ibu dengan suara tinggi.
"Ayo kita taruhan, kalau Dinda mau sama Angga, Ibu mau kasih apa."
"Buktikan dulu," kata Ibu.
"Oke, satu bulan," jawab Angga.
"Kalau perlu sampai si Dinda mau Angga ajak Nikah," kata Angga Sombong.
"Nggak ... nggak! Dia bukan selera Angga.
"Nanti kalau jadi istri Angga, malu kalau dibawa kondangan, kaya jalan sama pembantu."
Ibu hanya geleng-geleng kepala, melihat kesombongan anaknya." Maafkan, anak hamba Tuhan, dia tidak mengerti, apa yang dilakukan, kata ibu Sonia bergumam lirih.
*****
Pagi itu, tidak seperti biasa Angga, duduk di halaman, sambil mengutak-atik motor kesayangannya, Ibu Sonia menyapu halaman. Ibu senang ketika melihat Dinda dari ujung gang.
"Pagi, Nak?"
"Selamat pagi Ibu," kata Dinda, memperlihatkan barisan gigi putihnya.
"Din, Aryo sudah berangkat kerja," tanya Angga pada Dinda.
"Maaf, Dinda kurang tahu Bang," jawab Dinda.
"Tadi waktu Dinda berangkat, motornya sudah tidak ada."
"Bilang sama Aryo, Abang cari dia, ditunggu di tempat biasa," kata Angga.
"Nanti Dinda sampaikan," kata Dinda.
"Mari Ibu."
"Silahkan. Hati-hati di jalan."
Baru sekali itu, Angga memperhatikan Dinda. Manis juga tuh, anak. Badannya ramping, rambutnya panjang, agak ikal di gerai, pantas saja si Aryo tergila-gila.(Aryo anak Tante Rasti) Ibu kos Dinda.
Nggak boleh dibiarkan, bisa-bisa digebet Aryo duluan, gumam Angga.
Dinda tidak menyangka, Angga mau menyapa, biasanya setiap Dinda menyapa tidak pernah dijawab. Kalaupun menjawab, seperti meledek, itu sebabnya Dinda tidak pernah tegur sapa.
Di rumah Tante Rasti, Angga punya Panggilan jelek, hanya orang rumah Tante Rasti yang tahu, sibangke julukannya.
Kenapa bangke, orang tidak berguna, seperti bangkai.
Angga, sering main di rumah Tante Ani, yang mengontrak di depan rumah Tante Rasti, Tante Ani janda dengan seorang anak. Dia bekerja sebagai Manager bilyard terbesar di Jakarta.
Bisik-bisik Tante mereka pacaran. Dan sudah jadi rahasia umum, Angga sering bermalam di rumah tante Ani.
***
"Mas, tadi pagi Bang Angga nanyain Mas Aryo,"
"Angga, bangke! Kata Aryo terkejut.
"Mau ngapain nanya Mas, sama Dinda."
"Dinda hanya mengangkat bahu, nggak tahu," jawab Dinda.
"Ada yang nggak beres, nih!"
"Kalau ditanya, jangan dijawab."
"Ya, Mas? Jawab Dinda."
Angga terkenal playboy, setiap ada anak baru pasti dipacarinya. Karena daerah itu banyak rumah kost, jadilah Angga, sering gonta ganti pacar, terakhir pacaran sama Tante Ani. Mengapa Dinda tidak ditaksir, karena Aryo selalu bilang, kalau Aryo suka sama Dinda. Jadi sesama teman dilarang saling mendahului.
Taruhan Angga sama Ibu, membuat janji pada sahabat dilanggar. Angga selalu mencari kesempatan, untuk bisa menemui Dinda.
Ternyata dugaan Angga meleset, Dinda susah sekali didekati. Membuat Angga penasaran, taruhan pada Ibu, satu bulan sudah lewat. Tidak membuat angga patah arang, justru semakin menggebu mengejarnya.
Keluarga Tante Rasti, khawatir, karena akhir-akhir ini Angga sering datang kerumah Aryo dengan alasan sangat tidak jelas. Atau hanya sekedar mengantarkan kue dari Ibu Sonia.
Dinda, gadis desa, mengadu nasib di kota, untuk mengubah hidup lebih baik. Akankah Dinda jatuh dipelukan Angga.
***
Part. 2Sudah satu minggu, Dinda diantar jemput, Aryo. Gadis mandiri itu, paling tidak suka merepotkan orang, akhirnya luluh ketika Tante Rasti memohon pada Dinda.Terbiasa, segala sesuatu dikerjakan sendiri. Berkali menolak, berkali tante Rasti memohon. Membuat Dinda tidak bisa berkutik lagi.Tidak hanya baik, beliau juga tulus dan amat penyayang. Ibu dari tiga orang anak laki-laki, Aryo, Bima dan Agil.Tante Rasti, adalah keluarga harmonis. satu sama lain anaknya, sangat rukun dan santun. Membuat Dinda nyaman sampai hampir dua tahun, kost di rumah Tante Rasti.Angga tidak diberi kesempatan, walau hanya sekedar menyapa atau mendekati Dinda. Ada sisi kosong hilang di hati. Sapaan Ibu Sonia. Suara khas, anggukan dan senyum tulus, sudah satu minggu ini, tidak
Part. 3****Seperti biasa setiap hari minggu, sesudah jalan pagi, keluarga Tante Rasti berkumpul di teras rumah. Ada halaman kecil ditanami apotik hidup dan bunga, ada jahe, sereh, lengkuas, kunyit, temulawak, bunga mawar, anggrek dan lainnya, Tante Rasti adalah kader PKK sangat aktif di Kelurahan. Mereka berbincang ringan sampai pembicaraan politik. Diselingi humor membuat suasana semakin ramai.Dari arah rumah depan, Tante Ani seperti orang sedang marah, jari telunjuknya mengacung-acung ke arah Dinda. Mereka tidak menyadari, kalau Dindalah sasaran Tante Ani. Karena merasa diacuhkan, Tante Ani pun semakin meradang.Hanya memakai celana sangat pendek, dan tanktop, Tante Ani menghampiri Dinda, tanpa basa-basi“Plak! Plak! Dua kali tamparan Tante Ani membuat Dinda terhuyung.
Part_4*****Sore itu kak Etha datang ke kamar Dinda. Baru saja pulang dari kantor, belum istirahat.“Dek, mohon maaf? Maaf sekali, kamu masih capek,” kata kak Etha.“Ada apa kak,” tanya Dinda“Ibu, masuk Rumah Sakit, kakak mau ngajak Adek jenguk Ibu.”“Bisa. Nggak apa-apa,” kata Dinda“Aduh, jadi ngerepotin Adek.”“Cuma gini aja, nggak jadi masalah,” kata Dinda.“Kita naik bajaj aja, biar cepat.”“Ok,” kata Dinda.
Part_5*****Angga sering di rumah kak Etha, hampir setiap hari. Dinda jadi risih juga diawasi terus, ke kantor hanya seratus meter saja, diantar jemput. Makan siang dikirim dari rumah ibu Sonia. Awalnya senang diperhatikan, lama-kelamaan merasa terganggu. Belum lagi, kalau dijalan ada yang menatap Dinda, langsung ditegur Angga, pake acara mata melotot, ini pacar apa satpam! Jadi nggak bisa bedakan.Setiap hari, ada saja pertanyaan diulang-ulang. Lebih tepatnya introgasi. Kalau jawab meleset sedikit, akan ada ceramah, panjang kali lebar kali tinggi. Anak-anak kak Etha protes, karena terlalu mengekang Dinda.“Om! Gitu banget gaya pacarannya, anak orang dibikin kaya tahanan,” kata Amel.“Harus diawasi, t
Part. 6*****Pihak keluarga Angga, mendesak untuk melamar Dinda. Tidak mau ditunda, walau hanya hitung bulan. Keluarga Dinda heran ada apa ini. Sebagai pihak perwakilan orang tua Dinda, emak (bibi) yang mengasuh Dinda sejak kecil mempertanyakan, mengapa begitu cepat melangsungkan pernikahan, kenal saja belum lama. Apalagi beda suku, akan beda juga adat istiadatnya.[Din? Apa sudah dipikir masak-masak, baru kenal. Pacaran satu tahun lah cukup untuk penjajakan. Kamu baru lima bulan sudah mau nikah, kata emak lewat telpon.][Sudah Dinda pikir segala resikonya, ujar Dinda][Kamu itu lho, Din! Keras banget sih! Mbok ya dengar omongan emak, nggak ada salahnya kan? ][Orang
Part. 7*****Ibu menelpon kak Etha, karena Dinda, tidak siuman dari pingsan. Tak lama kemudian kak Etha datang. Membawa Dinda kerumah sakit.Dokter dengan sigap menangani, diagnosa awal karena dehidrasi dan kelelahan, Dinda di opname, setelah cek darah dan semuanya bagus, dokter bertanya, kapan menstruasi terakhir, Dinda lupa, karena begitu banyaknya masalah dihadapi. Keesokan harinya Dinda tes urine, hasilnya positif.“Selamat bu? Atas kehamilannya,” kata dokter.Dinda senang, berharap ini awal baru, babak baru, dalam hidup Dinda. Semoga Angga berubah, walau dari kemarin Angga belum menjenguk Dinda.Ibu selalu menjaga, Dinda sudah menyuruh pulang. Berusaha sema
Part. 8****Di tinggal Dinda, Angga justru tidak minum, setiap hari hanya melamun, sesekali Angga membujuk ibu Sonia bicara sama bapak, untuk menjemput Dinda.Ibu mengacuhkan permintaan Angga. Banyak hal harus dipikirkan. Memikirkan anak Dinda, sekarang sudah berusia lima bulan menurut perhitungannya, pasti lucu, kangen sama menantu dan cucu.Maafkan ibu nak, benar kata Amel kamu terlalu baik untuk Angga, kata ibu bicara sendiri.Ibu menyesal, telah menjodohkan kamu dengan Angga, kalau saja mau mendengarkan Amel, anak itu menentang habis-habisan perjodohan ini, karena tahu tingkah Angga."Oma, om itu jahat, nggak ada bagus-bagusnya, dia pernah jadi simpanan mamanya temen Amel," suara Amel terdengar jelas.
Part 9****Akhirnya kepulangan Angga datang juga. Ibu, Dinda, Aning, dan Kak Etha menjemput. Jujur dalam hati Dinda tidak mau ikut. Berat hati, karena takut. Selama Angga di lapas tidak menjenguk.Kak Etha, sebetulnya keberatan ibu menjemput, jika setiap ada masalah selalu diistimewakan, Angga tidak akan pernah dewasa. Itu alasan kak Etha. Ibu selalu melindungi Angga, dengan alasan kasihan. Atas nama kasihanlah, Angga memperalat ibu dan mengambil keuntungan.Uang Dinda tetap kak Etha pegang. Karena semua kebutuhan Dinda dan Aning, ibu sama sekali tidak mengijinkan Dinda mengeluarkan. Ibu ingin Dinda punya tabungan, agar sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, tidak repot.Jam sepuluh tepat, Angga keluar, pertama dicari A