Part_4
*****
Sore itu kak Etha datang ke kamar Dinda. Baru saja pulang dari kantor, belum istirahat.
“Dek, mohon maaf? Maaf sekali, kamu masih capek,” kata kak Etha.
“Ada apa kak,” tanya Dinda
“Ibu, masuk Rumah Sakit, kakak mau ngajak Adek jenguk Ibu.”
“Bisa. Nggak apa-apa,” kata Dinda
“Aduh, jadi ngerepotin Adek.”
“Cuma gini aja, nggak jadi masalah,” kata Dinda.
“Kita naik bajaj aja, biar cepat.”
“Ok,” kata Dinda.
Di Sepanjang perjalanan kak Etha menangis, matanya sampai sembab, Dinda hanya bisa menenangkan kak Etha. Perempuan seharusnya dipanggil Ibu, karena seusia dengan mamanya.
“Tenang kak, jangan panik. Karena akan membuat kakak tambah nggak nyaman.”
Digenggamnya tangan Dinda erat sekali, sampai Dinda merasa kesakitan.
Baru sadar, ketika Dinda menggerakkan tangannya.
“Maaf ya, kakak panik.”
Dinda hanya tersenyum. Terlihat sekali, kak Etha sayang bu Sonia, kekuatirannya begitu terlihat.
Bajaj jalannya sudah melaju kencang, masih disuruh kencang lagi, sampai Abang bajaj ikut panik.
"Jangan kencang-kencang pak, bahaya,” kata Dinda pada supir bajaj.
“Saya bingung nih, Ibu yang satu maunya ngebut,” jawab pak supir bajaj.
“Jangan ngebut. Keselamatan lebih utama,” kata Dinda lagi.
Sampai dirumah sakit, kak Etha dan Dinda langsung ke ruang dimana ibu Sonia di rawat. Selang Nastrogastrik (NGT) selang untuk menyuplai makanan lewat hidung sudah terpasang. Juga selang oksigen, dada ibu Sonia sesak. Kelihatan sekali badannya lemah.
Dinda mencium kedua pipinya, ditariknya tangan Dinda.”Ibu senang kamu datang, nak,” bisik ibu Sonia.
“Sembuh ya ibu? Jangan banyak pikiran.”
“Terima kasih nak,” ibu Sonia tersenyum.
*****
Kak Etha mengajak Dinda, menunggu Ibu Sonia di Rumah Sakit.
“Kalau nggak ada acara, mau nggak Adek temani kakak tunggu ibu?"
“Boleh, tapi kalau sudah ada yang tunggu, Dinda pulang kak.” ada rencana mau kerumah Tante Rasti.
Angga mendengar pembicaraan kak Etha dan Dinda.
“Huuh, Tante Rasti lagi, Aryo lagi, nggak ada pembahasan lain apa,” Angga menggerutu.
Dinda berusaha untuk tidak masuk, dalam keluarga ini. Bagaimanapun Dinda hanya kenal ibu Sonia, sebatas kenal biasa.
Berusaha betul tidak memberi saran atau apapun. Diam itu terbaik. Dinda juga ingat pesan mas Aryo, jangan dekat-dekat si bangke. Dinda selalu menghindar ketika si bangke ada kesempatan mendekati.
*****
“Saya barang najis ya, setiap mau dekat kamu, kaya jijik kamu sama saya.”
Dinda kaget. Nih orang kepentok dimana kepalanya, ber- saya, aku. Biasanya lo, gue, begeng, mbak dan segala yang jelek diucapin.
“Kamu ngerasa, barang najis,” jawab Dinda.
“Saya nggak mau ditampar sama tante girangmu itu, disangka rebut kamu,” jawab Dinda emosi.
“Maaf kan, tapi dia bukan pacar saya.”
“Bukan urusan saya,” jawab Dinda.
“Tolong jangan ganggu saya, atau saya pulang!"
Bangke diam, tidak tahu bagaimana caranya, agar Dinda mau didekati. Dinda sibuk membuat susu, untuk Ibu Sonia yang akan dimasukkan ke selang Nastrogastrik (NGT), terlihat sekali bu Sonia senang dengan keberadaan Dinda di sana.
Kak Etha selalu mencari cara supaya Dinda dekat dengan Angga. Dinda tahu, tapi tidak dipedulikan, terpenting ibu Sonia cepat sembuh. Kak Etha selalu ada disamping Dinda, sepertinya tahu kalau Dinda kurang suka didekati Angga.
“Bu, jangan terlalu berharap Dinda jadi menantu ibu, dia nggak suka sama Angga.”
“Kasihan kalau terpaksa,” kata kak Etha pada ibu Sonia.
“Kamu Angga, jangan sombong sama perempuan, buktinya dia lebih milih Aryo dari kamu. Berarti Aryo itu anak baik," ujar kak Etha.
“Perempuan cari suami pilih baik dari pada ganteng.”
Terdengar jelas, di telinga ketika Dinda baru kembali dari toilet.
Pembicaraan terhenti. Ketika Dinda datang. Kak Etha, kehabisan untuk memulai pembicaraan, suasana jadi serba kikuk. Sampai tiba-tiba Angga bicara.
“Din, ikut saya nebus obat buat ibu yuk? Disini nggak ada.”
Dinda mengiyakan, nggak tahu itu karena tidak enak hati sama ibu Sonia, kak Etha, rasa kasihan sama Angga, atau mencairkan suasana. Obat dicari memang susah, sudah beberapa apotik tidak ada. Akhirnya dapat juga. Dinda berusaha menutupi keletihan. Setelah berjam-jam keliling.
“Minum dulu sebentar, saya haus,” kata Angga. Dicarinya cafeteria, kecil tapi nyaman untuk istirahat.
“Mau minum apa,” kata Angga.
“Terserah,” kata Dinda singkat.
“Jangan terserah, selera kita kan beda, saya seleranya sama kamu. Kamu seleranya sama Aryo,” kata Angga meledek.
“Ya, sudah! es Aryo satu,” kata Dinda datar.
“Es Aryo abis, adanya es Angga, mau kan?"
Coba kamu baiknya seperti ini terus, kelihatan ganteng, nggak nyebelin, ngeselin jadi disumpahin orang terus, kata Dinda dalam hati.
“Jangan ngelamun,” kata Angga sambil membawa dua mangkuk besar es campur.
“Banyak sekali, mana habis saya,” kata Dinda.
“Tenang, kalau nggak abis, abang habisin,” kata Angga.
Angga menghabiskan es campurnya dengan lahap sekali, ketika es campur di mangkuknya habis, tanpa sungkan dia ikut menghabiskan es campur Dinda.
Dinda sampai heran, ini manusia perutnya isinya apa ya?"
Ibu Sonia kelihatan bahagia sekali, melihat Dinda dan Angga pergi berdua.
“Capek, nak? kata Bu Sonia.
“Dinda hanya senyum.”
“Carinya jauh bu,” kata Angga.
“Terima kasih ya, nak? kata ibu Sonia.
“Sama-sama bu,” jawab Dinda
*****
Awal mula Dinda mempunyai sudut pandang beda tentang Angga.
Manusia pasti bisa berubah, tidak mungkin jadi batu terus. Ada sisi baik Angga, tadi terlihat, Dinda bicara sendiri, atau ini awal cinta, ditepisnya pikiran itu jauh-jauh.
Mas Aryo lebih baik, walau tidak ganteng. Disamping mas Aryo Dinda lebih nyaman, kemana kamu mas, baru sekarang merasa kehilangan, keluh Dinda.
Malam ini kak Etha, Dinda menunggu ibu Sonia, karena kelas VIP, jadi penunggu pasien bebas keluar masuk kamar.
“Dek, kamu tidur dulu, gantian. Kalau kakak mengantuk, kamu jaga ibu ya.
Seharian sudah capek keliling, Dinda langsung tidur pulas di sofa, ac ruangan ibu begitu dingin, membuat Dinda menggigil.
Tiba-tiba badan terasa hangat, ada selimut tebal yang menutupi tubuh Dinda. Karena mengantuk, Dinda tertidur lagi.
Dinda kaget, ketika bangun sudah jam empat pagi. Kak Etha tidur sambil duduk di sebelah ibu Sonia. Ada Angga tidur di bawah kaki Dinda. Sebagian badannya diselimuti dari selimut dipakai Dinda.
Dinda cepat- cepat mandi, selesai mandi ingatannya masih ke Angga. jangan-jangan sibangke cari kesempatan dalam kesempitan. Tapi Dinda tidak merasa ada yang meraba, Dibuang pikiran buruknya jauh, ada kak Etha mana berani bangke.
*****
“Maaf, semalam saya selimuti, kamu kedinginan. karena selimutnya cuma satu, jadi di bagi dua. Jangan kuatir aman, nggak sentuh kamu sama sekali.”
Dinda diam saja, tidak bereaksi atau berkomentar, tapi Dinda juga tidak marah, Kak Etha juga memberi penjelasan, bahwa semalam Angga mau tidur di luar. Seperti takut sekali Dinda marah.
Kenapa hati ini jadi begini, luluh sama bangke. Mas Aryo, ada rasa nggak sih, sama Dinda, sudah dua kali Dinda kerumah mas Aryo tapi selalu menghindar, ada apa mas? Dinda bicara sendiri.
*****
Pagi itu Anggamengajak pergi.
“Cari sarapan yuk."
“Kalau jauh nggak mau,” kata Dinda.
“Depan Rumah Sakit,” jawab Angga.
“Ya sudah, sekalian kakak dibelikan juga,” kata kak Etha.
Angga dan Dinda mencari sarapan, suasana sudah mencair, mereka bercanda, tertawa ada saja topik yang dibahas. Tiba-tiba Angga bilang,
“Kamu itu sekarang pacar saya.”
“Dari mana judulnya,” kata Dinda.
“Dari semalam, ketika kita tidur satu selimut berdua.”
“Dinda tidak menerima tapi tidak menolak juga, dipikiran Angga berbeda, tidak menolak berarti YA.”
Setelah sarapan Angga menemui ibu Sonia.
“Bu, Angga mau kasih tahu ibu, kalau Angga sama Dinda sudah pacaran, ya kan Dinda,” kata Angga.
“Menantu pilihan ibu, sudah Angga dapatkan, ibu sembuh ya,” kata Angga sambil menangis.
“Angga janji mau jadi anak baik, menurut dan nggak buat ibu susah."
Ibu memeluk Angga, di usap kepala Angga seperti anak kecil,
Kak Etha, Dinda juga menangis, nggak sangka orang segarang, sekeras, se badung Angga bisa menangis untuk wanita yang dia sayangi.
*****
Angga mulai buat peraturan, tidak boleh cerita tentang Aryo, Bima, Agil, tante Rasti dan om Hari. Tidak boleh berkunjung atau dikunjungi. Cerita Kebaikan maupun kejelekannya. Demi ibu, supaya tidak jadi pikiran.
“Mereka nggak salah bang, kenapa jadi dilibatkan,” kata Dinda meminta penjelasan.
“Tidak ada penjelasan, turuti saja abangmu ini.” demi ibu katanya.
“Bang, saya manusia lho, perlu sosialisasi, tiba-tiba memutuskan tanpa sebab, bagaimana ceritanya.”
“Adiknya abang Angga yang manis, jangan berdebat, damai saja kita.”
*****
Ini bukan Dinda banget, Dinda itu banyak teman, banyak saudara, tidak bisa dikekang seperti ini, tapi tidak bisa berkutik, hanya diam, untuk siapa?
Ibu Sonia, kak Etha, Angga atau atas nama cinta. Apakah permintaan maaf Angga pada ibu Sonia, membuat Dinda jatuh hati.
Betulkah pelukan ibu Sonia untuk Angga, membuat Dinda yakin akan cinta Angga untuknya. Atas nama cinta, Dinda menyakinkan dirinya memilih Angga. Atau karena putus asa menunggu Aryo yang tidak ada kepastiannya.
*****
Part_5*****Angga sering di rumah kak Etha, hampir setiap hari. Dinda jadi risih juga diawasi terus, ke kantor hanya seratus meter saja, diantar jemput. Makan siang dikirim dari rumah ibu Sonia. Awalnya senang diperhatikan, lama-kelamaan merasa terganggu. Belum lagi, kalau dijalan ada yang menatap Dinda, langsung ditegur Angga, pake acara mata melotot, ini pacar apa satpam! Jadi nggak bisa bedakan.Setiap hari, ada saja pertanyaan diulang-ulang. Lebih tepatnya introgasi. Kalau jawab meleset sedikit, akan ada ceramah, panjang kali lebar kali tinggi. Anak-anak kak Etha protes, karena terlalu mengekang Dinda.“Om! Gitu banget gaya pacarannya, anak orang dibikin kaya tahanan,” kata Amel.“Harus diawasi, t
Part. 6*****Pihak keluarga Angga, mendesak untuk melamar Dinda. Tidak mau ditunda, walau hanya hitung bulan. Keluarga Dinda heran ada apa ini. Sebagai pihak perwakilan orang tua Dinda, emak (bibi) yang mengasuh Dinda sejak kecil mempertanyakan, mengapa begitu cepat melangsungkan pernikahan, kenal saja belum lama. Apalagi beda suku, akan beda juga adat istiadatnya.[Din? Apa sudah dipikir masak-masak, baru kenal. Pacaran satu tahun lah cukup untuk penjajakan. Kamu baru lima bulan sudah mau nikah, kata emak lewat telpon.][Sudah Dinda pikir segala resikonya, ujar Dinda][Kamu itu lho, Din! Keras banget sih! Mbok ya dengar omongan emak, nggak ada salahnya kan? ][Orang
Part. 7*****Ibu menelpon kak Etha, karena Dinda, tidak siuman dari pingsan. Tak lama kemudian kak Etha datang. Membawa Dinda kerumah sakit.Dokter dengan sigap menangani, diagnosa awal karena dehidrasi dan kelelahan, Dinda di opname, setelah cek darah dan semuanya bagus, dokter bertanya, kapan menstruasi terakhir, Dinda lupa, karena begitu banyaknya masalah dihadapi. Keesokan harinya Dinda tes urine, hasilnya positif.“Selamat bu? Atas kehamilannya,” kata dokter.Dinda senang, berharap ini awal baru, babak baru, dalam hidup Dinda. Semoga Angga berubah, walau dari kemarin Angga belum menjenguk Dinda.Ibu selalu menjaga, Dinda sudah menyuruh pulang. Berusaha sema
Part. 8****Di tinggal Dinda, Angga justru tidak minum, setiap hari hanya melamun, sesekali Angga membujuk ibu Sonia bicara sama bapak, untuk menjemput Dinda.Ibu mengacuhkan permintaan Angga. Banyak hal harus dipikirkan. Memikirkan anak Dinda, sekarang sudah berusia lima bulan menurut perhitungannya, pasti lucu, kangen sama menantu dan cucu.Maafkan ibu nak, benar kata Amel kamu terlalu baik untuk Angga, kata ibu bicara sendiri.Ibu menyesal, telah menjodohkan kamu dengan Angga, kalau saja mau mendengarkan Amel, anak itu menentang habis-habisan perjodohan ini, karena tahu tingkah Angga."Oma, om itu jahat, nggak ada bagus-bagusnya, dia pernah jadi simpanan mamanya temen Amel," suara Amel terdengar jelas.
Part 9****Akhirnya kepulangan Angga datang juga. Ibu, Dinda, Aning, dan Kak Etha menjemput. Jujur dalam hati Dinda tidak mau ikut. Berat hati, karena takut. Selama Angga di lapas tidak menjenguk.Kak Etha, sebetulnya keberatan ibu menjemput, jika setiap ada masalah selalu diistimewakan, Angga tidak akan pernah dewasa. Itu alasan kak Etha. Ibu selalu melindungi Angga, dengan alasan kasihan. Atas nama kasihanlah, Angga memperalat ibu dan mengambil keuntungan.Uang Dinda tetap kak Etha pegang. Karena semua kebutuhan Dinda dan Aning, ibu sama sekali tidak mengijinkan Dinda mengeluarkan. Ibu ingin Dinda punya tabungan, agar sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, tidak repot.Jam sepuluh tepat, Angga keluar, pertama dicari A
Part 10*****Waktu terus berjalan. Tidak terasa Aning sudah berusia lima tahun, bersekolah di TK, pintar sekali, umur lima tahun dia sudah lancar membaca, Aning hafal nama-nama Menteri Kabinet pembangunan, jamannya Presiden Soeharto, dia hafal nama dua puluh lima Presiden di dunia, Aning juga hafal nama-nama Bendera negara di dunia.Dinda rajin membeli buku ensiklopedia, globe, dan bercerita tentang dunia, walau belum mengerti, Dinda tetap bercerita, untuk menambah daya ingat Aning.Les tari Bali dan les renang juga diberikan untuk Aning. Ingin suatu ketika jika sudah besar berwawasan luas, jangan seperti ibunya. Perempuan kampung hidupnya kurang beruntung.Bapak mertua sayang sekali
Part_11***Dinda melihat ibu mertua tidak turun dari ranjang. Perutnya diikat syal panjang, pakai kaos kaki dan baju rangkap, merintih kesakitan. Ibu sering sakit, apalagi kalau ada pikiran.Mungkin juga karena lelah mengawasi Aning dan Lesta tidak bisa diam. Walau ada pengasuh, tidak lepas tangan, untuk urusan cucu. Ibu memberi saran."Nak, sudah waktunya kamu berhenti kerja, tapi harus punya kegiatan di rumah agar bisa memantau anak-anak.""Usaha apa ya, bu," kata Dinda."Kamu itu pinter, rajin, semangat, coba kamu kursus salon, dimana-mana salon ibu lihat ramai semua."Bagaimana seorang ibu, tidak modis, sederhana, orang kampung sama seperti Dinda, menyarankan kursus salon. Ide cemerlang dari man
Bapak Menikah Lagi*****Akhir-akhir ini, bapak mertua berbeda, minta dibelikan celana Jeans, T-Shirt, sepatu sport, ada apa rupanya dengan lelaki tujuh puluh dua tahun? seperti bukan bapak, beli bunga mawar merah dan putih, ditaruh di pintu kamar.“Ada apa bapak, beda sekali hari ini,” tanya Dinda.“Nanti kamu akan tahu nak," kata bapak tersenyum.“Wah! Opa Aning main teka-teki,” kata Dinda berseloroh.“Tenang aja nak, tidak akan mengurangi rasa cinta saya sama kalian.”Dinda masih belum 'ngeh' ucapan bapak.Sore itu bapak sibuk, menyuruh bibi beli makanan, jaman now,
Part 14****Sejak kejadian datang ke rumah mertua dan diusir pulang, terlihat bapak mertua sangat menyesal sekali. Karena telah kasar pada Dinda. Kabar didapat dari bibi yang masih berkomunikasi.Ditambah akhir-akhir ini bapak sering ribut dengan Suaria. Gaya hidup berfoya-foya belanja dari Mall ke Mall, kumpul dengan teman-temannya membuat bapak kewalahan juga. Suaria itu, pemarah, liar, boros, pendendam, dan suka mencuri.Awal rumah tangga, selalu mengancam, akan pergi kalau permintaanya tidak dituruti. Sekarang bapak tidak seperti dulu dengan Suaria.“Silahkan pergi, kalau kamu ingin pergi, saya tidak peduli,” kata bapak pada Suaria.Bapak pernah memergoki, Suaria buka brankas, dan marah sekali. Itu awal bapak mengeta
Part 13*****Dinda mengontrak rumah daerah pinggiran Jakarta, udaranya masih bagus. Pagi hari masih merasakan embun walau hanya sebentar.Lingkungan komplek lumayan aman, untuk anak-anak. Perlu lingkungan baik, untuk tumbuh kembang anak, pertimbangan Dinda. Sedih hati, ternyata bapak sangat berubah, hampir tidak mengenalinya. Setiap mau bicara, harus tengak-tengok, kalau tidak ada Suaria, baru bapak berani bicara sama Dinda. Sudah begitu, luar biasa pengaruh dalam hidup bapak?"Bapak tidak membantu sama sekali, ketika Dinda pindah, Aning dan Lesta tidak berani dekat. Anak-anak mendekat, ketika sudah dipanggil. Apalagi kalau ada Suaria, Aning dan Lesta sama sekali tidak mau.Kak Etha sedih Dinda pindah, karena tidak ada mengawasi bapak. Bagaimana kalau sakit
Bapak Menikah Lagi*****Akhir-akhir ini, bapak mertua berbeda, minta dibelikan celana Jeans, T-Shirt, sepatu sport, ada apa rupanya dengan lelaki tujuh puluh dua tahun? seperti bukan bapak, beli bunga mawar merah dan putih, ditaruh di pintu kamar.“Ada apa bapak, beda sekali hari ini,” tanya Dinda.“Nanti kamu akan tahu nak," kata bapak tersenyum.“Wah! Opa Aning main teka-teki,” kata Dinda berseloroh.“Tenang aja nak, tidak akan mengurangi rasa cinta saya sama kalian.”Dinda masih belum 'ngeh' ucapan bapak.Sore itu bapak sibuk, menyuruh bibi beli makanan, jaman now,
Part_11***Dinda melihat ibu mertua tidak turun dari ranjang. Perutnya diikat syal panjang, pakai kaos kaki dan baju rangkap, merintih kesakitan. Ibu sering sakit, apalagi kalau ada pikiran.Mungkin juga karena lelah mengawasi Aning dan Lesta tidak bisa diam. Walau ada pengasuh, tidak lepas tangan, untuk urusan cucu. Ibu memberi saran."Nak, sudah waktunya kamu berhenti kerja, tapi harus punya kegiatan di rumah agar bisa memantau anak-anak.""Usaha apa ya, bu," kata Dinda."Kamu itu pinter, rajin, semangat, coba kamu kursus salon, dimana-mana salon ibu lihat ramai semua."Bagaimana seorang ibu, tidak modis, sederhana, orang kampung sama seperti Dinda, menyarankan kursus salon. Ide cemerlang dari man
Part 10*****Waktu terus berjalan. Tidak terasa Aning sudah berusia lima tahun, bersekolah di TK, pintar sekali, umur lima tahun dia sudah lancar membaca, Aning hafal nama-nama Menteri Kabinet pembangunan, jamannya Presiden Soeharto, dia hafal nama dua puluh lima Presiden di dunia, Aning juga hafal nama-nama Bendera negara di dunia.Dinda rajin membeli buku ensiklopedia, globe, dan bercerita tentang dunia, walau belum mengerti, Dinda tetap bercerita, untuk menambah daya ingat Aning.Les tari Bali dan les renang juga diberikan untuk Aning. Ingin suatu ketika jika sudah besar berwawasan luas, jangan seperti ibunya. Perempuan kampung hidupnya kurang beruntung.Bapak mertua sayang sekali
Part 9****Akhirnya kepulangan Angga datang juga. Ibu, Dinda, Aning, dan Kak Etha menjemput. Jujur dalam hati Dinda tidak mau ikut. Berat hati, karena takut. Selama Angga di lapas tidak menjenguk.Kak Etha, sebetulnya keberatan ibu menjemput, jika setiap ada masalah selalu diistimewakan, Angga tidak akan pernah dewasa. Itu alasan kak Etha. Ibu selalu melindungi Angga, dengan alasan kasihan. Atas nama kasihanlah, Angga memperalat ibu dan mengambil keuntungan.Uang Dinda tetap kak Etha pegang. Karena semua kebutuhan Dinda dan Aning, ibu sama sekali tidak mengijinkan Dinda mengeluarkan. Ibu ingin Dinda punya tabungan, agar sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, tidak repot.Jam sepuluh tepat, Angga keluar, pertama dicari A
Part. 8****Di tinggal Dinda, Angga justru tidak minum, setiap hari hanya melamun, sesekali Angga membujuk ibu Sonia bicara sama bapak, untuk menjemput Dinda.Ibu mengacuhkan permintaan Angga. Banyak hal harus dipikirkan. Memikirkan anak Dinda, sekarang sudah berusia lima bulan menurut perhitungannya, pasti lucu, kangen sama menantu dan cucu.Maafkan ibu nak, benar kata Amel kamu terlalu baik untuk Angga, kata ibu bicara sendiri.Ibu menyesal, telah menjodohkan kamu dengan Angga, kalau saja mau mendengarkan Amel, anak itu menentang habis-habisan perjodohan ini, karena tahu tingkah Angga."Oma, om itu jahat, nggak ada bagus-bagusnya, dia pernah jadi simpanan mamanya temen Amel," suara Amel terdengar jelas.
Part. 7*****Ibu menelpon kak Etha, karena Dinda, tidak siuman dari pingsan. Tak lama kemudian kak Etha datang. Membawa Dinda kerumah sakit.Dokter dengan sigap menangani, diagnosa awal karena dehidrasi dan kelelahan, Dinda di opname, setelah cek darah dan semuanya bagus, dokter bertanya, kapan menstruasi terakhir, Dinda lupa, karena begitu banyaknya masalah dihadapi. Keesokan harinya Dinda tes urine, hasilnya positif.“Selamat bu? Atas kehamilannya,” kata dokter.Dinda senang, berharap ini awal baru, babak baru, dalam hidup Dinda. Semoga Angga berubah, walau dari kemarin Angga belum menjenguk Dinda.Ibu selalu menjaga, Dinda sudah menyuruh pulang. Berusaha sema
Part. 6*****Pihak keluarga Angga, mendesak untuk melamar Dinda. Tidak mau ditunda, walau hanya hitung bulan. Keluarga Dinda heran ada apa ini. Sebagai pihak perwakilan orang tua Dinda, emak (bibi) yang mengasuh Dinda sejak kecil mempertanyakan, mengapa begitu cepat melangsungkan pernikahan, kenal saja belum lama. Apalagi beda suku, akan beda juga adat istiadatnya.[Din? Apa sudah dipikir masak-masak, baru kenal. Pacaran satu tahun lah cukup untuk penjajakan. Kamu baru lima bulan sudah mau nikah, kata emak lewat telpon.][Sudah Dinda pikir segala resikonya, ujar Dinda][Kamu itu lho, Din! Keras banget sih! Mbok ya dengar omongan emak, nggak ada salahnya kan? ][Orang