Beranda / Romansa / Takdir Dinda / Awal Pergumulan Dinda

Share

Awal Pergumulan Dinda

Part_4

*****

Sore itu kak Etha datang ke kamar Dinda. Baru saja pulang dari kantor, belum  istirahat. 

“Dek, mohon maaf? Maaf sekali, kamu masih capek,” kata kak Etha.

“Ada apa kak,” tanya Dinda

“Ibu, masuk Rumah Sakit, kakak mau ngajak Adek jenguk Ibu.”

“Bisa. Nggak apa-apa,” kata Dinda

“Aduh, jadi ngerepotin Adek.”

“Cuma gini aja, nggak jadi masalah,” kata Dinda.

“Kita naik bajaj aja, biar cepat.”

“Ok,” kata Dinda.

Di Sepanjang perjalanan kak Etha menangis, matanya sampai sembab, Dinda hanya bisa menenangkan kak Etha. Perempuan seharusnya dipanggil Ibu, karena seusia dengan mamanya.

“Tenang kak, jangan panik. Karena akan membuat kakak tambah nggak nyaman.”

Digenggamnya tangan Dinda erat sekali, sampai Dinda merasa kesakitan.

Baru sadar, ketika Dinda menggerakkan tangannya.

“Maaf ya, kakak panik.”

Dinda hanya tersenyum. Terlihat sekali, kak Etha sayang bu Sonia, kekuatirannya begitu terlihat. 

Bajaj jalannya sudah melaju kencang, masih disuruh kencang lagi, sampai Abang bajaj ikut panik.

"Jangan kencang-kencang pak, bahaya,” kata Dinda pada supir bajaj.

“Saya bingung nih, Ibu yang satu maunya ngebut,” jawab pak supir bajaj.

“Jangan ngebut. Keselamatan lebih utama,” kata Dinda lagi.

Sampai dirumah sakit, kak Etha dan Dinda langsung ke ruang dimana ibu Sonia di rawat. Selang Nastrogastrik (NGT) selang untuk menyuplai makanan lewat hidung sudah terpasang. Juga selang oksigen, dada ibu Sonia sesak. Kelihatan sekali badannya lemah.

Dinda mencium kedua pipinya, ditariknya tangan Dinda.”Ibu senang kamu datang, nak,” bisik ibu Sonia.

“Sembuh ya ibu? Jangan banyak pikiran.”

“Terima kasih nak,” ibu Sonia tersenyum.

*****

Kak Etha  mengajak Dinda, menunggu Ibu Sonia di Rumah Sakit. 

“Kalau nggak ada acara, mau nggak Adek temani kakak tunggu ibu?"

“Boleh, tapi kalau sudah ada yang tunggu, Dinda pulang kak.” ada rencana mau kerumah Tante Rasti.

Angga mendengar pembicaraan kak Etha dan Dinda.

“Huuh, Tante Rasti lagi, Aryo lagi, nggak ada pembahasan lain apa,” Angga menggerutu.

Dinda berusaha untuk tidak masuk, dalam keluarga ini. Bagaimanapun Dinda hanya kenal ibu Sonia, sebatas kenal biasa.

Berusaha betul  tidak memberi saran atau apapun. Diam itu terbaik. Dinda juga ingat pesan mas Aryo, jangan dekat-dekat si bangke. Dinda selalu menghindar ketika si bangke ada kesempatan mendekati.

*****

“Saya barang najis ya, setiap mau dekat kamu, kaya jijik kamu sama saya.”

Dinda kaget. Nih orang kepentok dimana kepalanya, ber- saya, aku. Biasanya lo, gue, begeng, mbak dan segala yang jelek diucapin.

“Kamu ngerasa, barang najis,” jawab Dinda.

“Saya nggak mau ditampar sama tante girangmu itu, disangka rebut kamu,” jawab Dinda emosi.

“Maaf kan, tapi dia bukan pacar saya.”

“Bukan urusan saya,” jawab Dinda.

“Tolong jangan ganggu saya, atau saya pulang!"

Bangke diam, tidak tahu bagaimana caranya, agar Dinda mau didekati. Dinda sibuk membuat susu, untuk Ibu Sonia yang akan dimasukkan ke selang Nastrogastrik (NGT), terlihat sekali bu Sonia senang dengan keberadaan Dinda di sana.

Kak Etha selalu mencari cara supaya Dinda dekat dengan Angga. Dinda tahu, tapi tidak dipedulikan, terpenting ibu Sonia cepat sembuh. Kak Etha selalu ada disamping Dinda, sepertinya tahu kalau Dinda kurang suka didekati Angga.

“Bu, jangan terlalu berharap Dinda jadi menantu ibu, dia nggak suka sama Angga.” 

“Kasihan kalau terpaksa,” kata kak Etha pada ibu Sonia.

“Kamu Angga, jangan sombong sama perempuan, buktinya dia lebih milih Aryo dari kamu. Berarti Aryo itu anak baik," ujar kak Etha.

“Perempuan cari suami  pilih baik dari pada ganteng.”

Terdengar jelas, di telinga ketika Dinda baru kembali dari toilet.

Pembicaraan terhenti. Ketika Dinda datang. Kak Etha, kehabisan untuk memulai pembicaraan, suasana jadi serba kikuk. Sampai tiba-tiba Angga bicara.

“Din, ikut saya nebus obat buat ibu yuk? Disini nggak ada.”

Dinda mengiyakan, nggak tahu itu karena tidak enak hati sama ibu Sonia, kak Etha, rasa kasihan sama Angga, atau mencairkan suasana. Obat  dicari memang susah, sudah beberapa apotik tidak ada. Akhirnya dapat juga. Dinda berusaha menutupi keletihan. Setelah berjam-jam keliling.

“Minum dulu sebentar, saya haus,” kata Angga. Dicarinya cafeteria, kecil tapi nyaman untuk istirahat.

“Mau minum apa,” kata Angga.

“Terserah,” kata Dinda singkat.

“Jangan terserah, selera kita kan beda, saya seleranya sama kamu. Kamu seleranya sama Aryo,” kata Angga meledek.

“Ya, sudah! es Aryo satu,” kata Dinda datar.

“Es Aryo abis, adanya es Angga, mau kan?"

Coba kamu baiknya seperti ini terus, kelihatan ganteng, nggak nyebelin, ngeselin jadi disumpahin orang terus, kata Dinda dalam hati.

“Jangan ngelamun,” kata Angga sambil membawa dua mangkuk besar es campur.

“Banyak sekali, mana habis saya,” kata Dinda.

“Tenang, kalau nggak abis, abang  habisin,” kata Angga.

Angga menghabiskan es campurnya dengan lahap sekali, ketika es campur di mangkuknya habis, tanpa sungkan dia ikut menghabiskan es campur Dinda.

Dinda sampai heran, ini manusia perutnya isinya apa ya?"

Ibu Sonia kelihatan bahagia sekali, melihat Dinda dan Angga pergi berdua.

“Capek, nak? kata Bu Sonia.

“Dinda hanya senyum.”

“Carinya jauh bu,” kata Angga.

“Terima kasih ya, nak? kata ibu Sonia.

“Sama-sama bu,” jawab Dinda

*****

Awal mula Dinda mempunyai sudut pandang beda tentang Angga.

Manusia pasti bisa berubah, tidak mungkin jadi batu terus. Ada sisi baik Angga, tadi terlihat, Dinda bicara sendiri, atau ini awal cinta, ditepisnya pikiran itu jauh-jauh. 

Mas Aryo lebih baik, walau tidak ganteng. Disamping mas Aryo Dinda lebih nyaman, kemana kamu mas, baru sekarang merasa kehilangan, keluh Dinda.

Malam ini kak Etha, Dinda menunggu ibu Sonia, karena kelas VIP, jadi penunggu pasien bebas keluar masuk kamar. 

“Dek, kamu tidur dulu, gantian. Kalau kakak mengantuk, kamu jaga ibu ya.

Seharian sudah capek keliling, Dinda langsung tidur pulas di sofa, ac ruangan ibu begitu dingin, membuat Dinda menggigil.

Tiba-tiba badan terasa hangat, ada selimut tebal yang menutupi tubuh Dinda. Karena mengantuk, Dinda tertidur lagi.

Dinda kaget, ketika bangun sudah jam empat pagi. Kak Etha tidur sambil duduk di sebelah ibu Sonia. Ada Angga tidur di bawah kaki Dinda. Sebagian badannya diselimuti dari selimut  dipakai Dinda.

Dinda cepat- cepat mandi, selesai mandi ingatannya masih ke Angga. jangan-jangan sibangke cari kesempatan dalam kesempitan. Tapi Dinda tidak merasa ada yang meraba, Dibuang pikiran buruknya jauh, ada kak Etha mana berani bangke.

*****

“Maaf, semalam saya selimuti, kamu kedinginan. karena selimutnya cuma satu, jadi di bagi dua. Jangan kuatir aman,  nggak sentuh kamu sama sekali.”

Dinda diam saja, tidak bereaksi atau berkomentar, tapi Dinda juga tidak marah, Kak Etha juga memberi penjelasan, bahwa semalam Angga mau tidur di luar. Seperti takut sekali Dinda marah.

Kenapa hati ini jadi begini, luluh sama bangke. Mas Aryo, ada rasa nggak sih, sama Dinda, sudah dua kali Dinda kerumah mas Aryo tapi selalu menghindar, ada apa  mas? Dinda bicara sendiri.

*****

Pagi itu Anggamengajak pergi.

“Cari sarapan yuk."

“Kalau jauh nggak mau,” kata Dinda.

“Depan Rumah Sakit,” jawab Angga.

“Ya sudah, sekalian kakak dibelikan juga,” kata kak Etha.

Angga dan Dinda mencari sarapan, suasana sudah mencair, mereka bercanda, tertawa ada saja topik yang dibahas. Tiba-tiba Angga bilang,

“Kamu itu sekarang pacar saya.”

“Dari mana judulnya,” kata Dinda.

“Dari semalam, ketika kita tidur satu selimut berdua.”

“Dinda tidak menerima tapi tidak menolak juga, dipikiran Angga berbeda, tidak menolak berarti YA.”

Setelah sarapan Angga menemui ibu Sonia.

“Bu, Angga mau kasih tahu ibu, kalau Angga sama Dinda sudah pacaran, ya kan Dinda,” kata Angga.

“Menantu pilihan ibu, sudah Angga dapatkan, ibu sembuh ya,” kata Angga sambil menangis.

“Angga janji mau jadi anak  baik, menurut dan nggak buat ibu susah."

Ibu memeluk Angga, di usap kepala Angga seperti anak kecil, 

Kak Etha, Dinda juga menangis, nggak sangka orang segarang, sekeras, se badung Angga bisa menangis untuk wanita yang dia sayangi.

*****

Angga mulai buat peraturan, tidak boleh cerita tentang Aryo, Bima, Agil, tante Rasti dan om Hari. Tidak boleh berkunjung atau dikunjungi. Cerita  Kebaikan maupun kejelekannya. Demi ibu, supaya tidak jadi pikiran.

“Mereka nggak salah bang, kenapa jadi dilibatkan,” kata Dinda meminta penjelasan.

“Tidak ada penjelasan, turuti saja abangmu ini.” demi ibu katanya.

“Bang, saya manusia lho, perlu sosialisasi, tiba-tiba memutuskan tanpa sebab, bagaimana ceritanya.”

“Adiknya abang Angga yang manis, jangan berdebat, damai saja kita.”

*****

Ini bukan Dinda banget, Dinda itu banyak teman, banyak saudara, tidak bisa dikekang seperti ini, tapi  tidak bisa berkutik, hanya diam, untuk siapa?

Ibu Sonia, kak Etha, Angga atau atas nama cinta. Apakah permintaan maaf Angga pada ibu Sonia, membuat Dinda jatuh hati.

Betulkah pelukan ibu Sonia untuk Angga, membuat Dinda yakin akan cinta Angga untuknya. Atas nama cinta, Dinda menyakinkan dirinya memilih Angga. Atau karena putus asa menunggu Aryo yang tidak ada kepastiannya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status