Part. 8
****
Di tinggal Dinda, Angga justru tidak minum, setiap hari hanya melamun, sesekali Angga membujuk ibu Sonia bicara sama bapak, untuk menjemput Dinda.
Ibu mengacuhkan permintaan Angga. Banyak hal harus dipikirkan. Memikirkan anak Dinda, sekarang sudah berusia lima bulan menurut perhitungannya, pasti lucu, kangen sama menantu dan cucu.
Maafkan ibu nak, benar kata Amel kamu terlalu baik untuk Angga, kata ibu bicara sendiri.
Ibu menyesal, telah menjodohkan kamu dengan Angga, kalau saja mau mendengarkan Amel, anak itu menentang habis-habisan perjodohan ini, karena tahu tingkah Angga.
"Oma, om itu jahat, nggak ada bagus-bagusnya, dia pernah jadi simpanan mamanya temen Amel," suara Amel terdengar jelas.
"Rumah tangga orang Kota, pendidikan, kaya saja dirusak, apalagi tante Dinda, orang desa, nggak tahu kejamnya Ibu Kota. Habislah riwayatnya," sungut Amel.
Kata-kata Amel menjadi penyesalannya, itu sebabnya, Ibu Sonia tidak memperdulikan ketika Angga merengek-rengek minta Dinda kembali.
Rupanya bapak memperhatikan juga, tingkah Angga suka melamun.
"Kapan kita ke Jawa, menjemput Dinda dan cucu kita," kata bapak pada ibu.
Ibu kaget, luar biasa. Ada rasa sedih, senang, dan haru. Manusia batu ini punya perasaan juga. Tapi Ibu tidak mau memperlihatkan kesenangannya sama bapak.
"Tidak pak, kita tidak akan pergi kesana," kata Ibu.
"Ada apa rupanya," bapak penasaran.
"Bercerai saja, biar Dinda punya masa depan yang lebih baik.
"Bapak juga tidak setuju kan, sama Dinda," kata ibu pada bapak.
"Siapa bilang bapak tidak setuju, Dinda itu terlalu baik, manusia macam Angga jodohnya binatang," kata bapak geram.
"Tak tega juga kulihat dia melamun terus, lama-lama gila dia," kata bapak.
Ibu menceritakan pada Etha tentang bapaknya mengajak ke Jawa. Etha hanya memperingatkan bapak melalui ibu, untuk tidak salah bicara pada bapaknya Dinda. Kita harus terima apapun itu keputusannya.
Akhirnya keberangkatan keluarga Angga direncanakan. Angga begitu antusias, sambil memeluk ibu mengucapkan terima kasih.
*****
Dinda bekerja sebagai SPG, walau gajinya tidak sebesar di Jakarta, kalau untuk hidup berdua dengan Aning sangat cukup. Emak tidak mau diberi uang, cukup untuk Dinda dan Aning saja, emak sudah senang. Sebulan sekali, Dinda pulang menengok Aning.
Badannya gemuk, rambutnya dipotong agak pendek, sangat serasi dengan wajah dan postur tubuhnya. Kelihatan sekali Dinda jauh lebih cantik.
Aning sudah berumur 9 bulan, wajahnya mirip Angga, sudah bisa bicara walau tidak jelas. Yangkung dan Yangti sayang sekali, rambutnya ikal beda dengan bayi pada umumnya. Itu rambut Angga, kulitnya bersih seperti Angga.
Tresnaningtyas anak yang yang dirindukan, ya ... betapa ibu selalu merindukanmu. Besar jadi perempuan hebat, tangguh ya nak?
*****
Seperti biasa Dinda pulang sebulan sekali. Semua keperluan Aning sudah disiapkan untuk satu bulan. Dari susu, diapers, sabun, dan juga kebutuhan lainnya.
Pagi itu bapak menggendong Aning, sambil berjemur, badannya gendut dengan rambut ikalnya. Matanya bulat dengan bulu mata lentik, bikin gemes yang melihat.
Emak sedang di dapur memasak untuk keluarga, adik-adik sibuk dengan urusannya masing-masing. Untung ada Aning penghibur hati emak dan bapak.
Bapak sayang sekali, pada Aning. Bapak cerewet kalau hal menyangkut Aning. Menangis sedikit saja, bapak sudah sibuk, Membuat adik-adik memanggil Aning ratu. Bahkan nama asli hampir terlupa.
*****
Tiba-tiba dua mobil membelok ke halaman rumah, Dinda kaget, dengan spontan diraihnya Aning dan dibawa pergi lewat belakang rumah." Dinda nggak mau pergi ikut mereka," teriak Dinda ketakutan.
Lewat kebun-kebun, sawah orang, Dinda terus berlari dan berlari, ada suara memanggil.
"Dinda ... ! Dinda ... ! tolong Dinda, abang salah, abang minta maaf."
Semakin Dinda berlari, dan terus berlari tidak sadar kalau Dinda tidak bawa uang sama sekali, susu tidak ada, pampers Aning penuh, dan Aning nangis terus, rupanya haus. Dinda bingung mau kemana.
Oh, ke rumah pakde To! Kata Dinda bicara sendiri.
Ke rumah pakde To, mas nya bapak. Jarak antara rumah Bapak ke rumah Pakde To sekitar dua kilometer, lumayan jauh.
Dinda kaget, baru mau masuk rumah Pakde To, ada ibu mertua dan bapak di ruang tamu.
Menangis pecah, ibu melihat Dinda, mereka berpelukan, menumpahkan rasa rindu, sudah hampir satu tahun tidak bertemu. Seisi rumah menangis. Bahkan bapak menangis.
"Nak, ibu tidak memaksa, Dinda ikut ke Jakarta, ibu tahu bagaimana penderitaanmu di sana, ibu kangen. Masa ditinggal pergi."
"Maaf, bu, Dinda takut kalau Aning dibunuh abang."
"Ibu tertawa terpingkal-pingkal, Dinda sekejam-kejamnya Angga dia masih punya perasaan, buktinya sejak kamu pergi Angga nggak pernah minum sama sekali."
Aning digendong oleh ibu, ditimang-timang, dicium, kelihatan sekali, tumpahan kerinduan ibu pada Dinda.
"Ayo, temui dulu bapak mertuamu, kakak, dan Amel. Mereka datang untuk kamu," kata ibu.
"Bapak membujuk Dinda untuk menemui keluarga Angga."
"Tenang ada bapak, disampingmu."
Akhirnya Dinda menemui mereka, semua menangis, Angga memeluk Dinda, tapi ditepis oleh Dinda. Angga diam dan menunduk.
*****
Malam itu Dinda duduk di depan rumah bersama ibu, bapak dan Angga.
"Din, bapak datang kesini, mengantarkan si anj***g ini menemui kamu untuk minta maaf, tapi jangan Dinda lihat karena bapak yang antar ya," ujar bapak.
"Apapun keputusanmu, bapak hargai, karena memang si Anj*** salah."
"Jangan takut nak, bicaralah," kata ibu.
"Din, abang janji nggak akan buat kamu menangis lagi, percayalah."
"Dinda masih mau disini pak," jawab Dinda.
"Dinda juga sudah kerja, jadi kalau buat Dinda sama Aning cukup."
"Bapak menghargai keputusanmu."
Angga menangis, memohon pada bapak untuk membujuk Dinda ikut ke Jakarta. Apa benar si bangke ini sudah tobat, kalau melihat caranya bicara, seperti tidak tersentuh minuman, tatapan matanya menunduk, tidak berani menatap lawan bicara.
Tiba-tiba Aning menangis, Angga sigap mengambil alih, untuk menggendong. Wajah Aning, mirip sekali dengan Angga. Hidung, mata, rambut, alis, bulu mata dan warna kulit.
"Ibu, kira-kira Aning itu mirip siapa ya," kata Dinda.
"Mirip bapaknya gitu lho?"
Dinda pergi, dari rumah karena menyelamatkan Aning. Dinda dipaksa minum jamu untuk menggugurkan kandungan sampai tujuh botol besar. Jamu itu tidak Dinda minum. Dinda mulai takut ketika, usia kandungan empat bulan dan perut sudah besar. Dinda pergi dari rumah, juga di tuduh selingkuh sama mas Aryo, dan abang selalu bilang Aning anak Aryo bukan anak abang," kata Dinda.
Aning, diambil bapak dan dikasihkan ibu, bapak sudah geram sekali, ditamparnya Angga berkali-kali dan ditonjok. Sampai Dinda menangis dan memisahkan,
Tidak tega melihat Angga dipukul bapak. Dinda menaruh badannya ditengah- tengah hingga hampir saja kena tonjok juga.
Hasil kesepakatan keluarga, Dinda tetap di kampung, dan Angga boleh menjenguk Dinda atau Aning kapan saja. Ibu sangat senang berarti ada jalan damai kedepannya.
*****
Angga berubah, tidak minum, bahasanya juga lebih enak didengar, lebih sering di tempat Dinda daripada di Jakarta, menengok Aning pun sekali- kali, kecuali Dinda pulang kampung.
Mulai beradaptasi, dengan lingkungan tempat tinggal Dinda, sudah banyak temannya, tapi tetap tidak mau bekerja, kalau uang habis ke Jakarta, begitu terus, Dinda juga tidak tahu, apakah Aning dapat kiriman atau tidak, karena Angga tidak pernah memberi uang, yang penting tidak minta sama Dinda, itu sudah lebih dari cukup.
*****
Angga mulai minum, temanya banyak, Dinda kesal, tapi seperti biasa Angga tidak bisa dinasehati termasuk dinasehati bapak.
"Bang, jangan buat ulah, ini Kampung orang lho? Dinda takut abang diapa-apain," kata Dinda.
"Saya sudah banyak ngalah sama kamu, jangan kamu pojokin saya terus, mentang-mentang diam, kamu injak-injak."
"Kalau ada apa-apa, gimana bang," kata Dinda.
"Jakarta bisa saya taklukkan masa kampung kaya gini aja nggak bisa ditaklukkan."
"Terserah abang, Dinda nggak ikut campur."
"Memang kamu istri yang tidak peduli sama suami, peduli sama dirimu dan keluargamu."
"Saya nggak betah disini, saya mau pulang, Aning mau saya bawa."
"Coba aja, kalau abang berani bawa Aning," kata Dinda.
"Kamu mengancam saya," kata Angga.
"Nggak ingat, tujuh botol jamu dipaksa minumkan ke saya, supaya Aning gugur, sekarang ngaku-ngaku bapaknya Aning.
"Kamu nggak liat Aning mirip siapa," kata Angga ngotot.
Malam itu Angga keluar, entah kemana, Dinda tunggu sampai pagi, nggak datang.
Mungkin pulang ke Jakarta," pikir Dinda.
Dinda takut juga Aning dibawa, pagi-pagi Dinda pulang kampung. Lega rasanya Aning ada dirumah. Bapak sudah mulai kesal, adik mengadu ke bapak tentang kelakuan Angga.
"Suruh pulang suamimu, dari pada buat onar, di Kampung orang, malu Din."
"Celurit bapak diambil sama Angga, kalau ada apa-apa, bapak nggak tanggung jawab."
"Dari mana bapak tahu, celuritnya diambil Angga."
"Bapak lihat sendiri."
Tiba-tiba, adik datang, memberitahu Angga ditangkap Polisi, kena razia senjata tajam. Malunya Dinda sama emak, bapak dan adik-adik.
"Maafkan Dinda pak, selalu buat susah."
"Kalau kamu tetap sama biang kerok itu, akan buat susah keluarga seumur hidup," bapak marah.
"Ingat, kamu jangan ke kantor polisi, biar dia diberi pelajaran, itu urusan bapak.
Keluarga Jakarta datang lagi, ibu cuma bisa ngelus dada, datang ke kantor polisi minta supaya jangan di tahan, karena bukan kriminal yang merugikan orang lain.
Akhirnya Angga ditahan, karena melawan polisi waktu ada razia. Dijatuhkan hukuman satu tahun penjara. Dua kali Ibu datang, untuk membesuk, tapi Dinda tidak sama sekali.
Akhirnya, Dinda dan Aning dibawa ibu ke Jakarta. Dinda bekerja di tempat lama, kebetulan ada karyawan berhenti. Lega sekali rasanya tidak ada Angga, bisa tertawa, bisa nyanyi, bisa bercanda, bapak mertua sangat sayang pada Aning.
Semoga ini pelajaran paling berharga, buat hidupmu, bang. Banyak surat yang ditulis Angga, berlembar- lembar. Tapi tidak satu juga Dinda baca, hidup ini terfokus buat Aning dan ibu. Bapak mertua pun sudah baik sama Dinda, sudah tegur, sapa. Mau menggendong Aning dan menjaga ketika Dinda kerja.
*****
Angga hanya bisa menyesali nasibnya, kebodohan demi kebodohan dilakukan merugikan diri sendiri.
Ingat Dinda. Betapa dia perempuan hebat, walau keras kepala. Bagaimana dia bisa, mempertahankan Aning Anaknya, di tengah tekanan luar biasa.
Din, Abang bangga punya kamu, bukan hanya jadi ibu yang baik buat Aning, juga Istri yang baik buat Abang. Kalau saja Dinda tidak mempertahankan Aning, pasti abang tidak bisa melihat gadis kecil cantik, dengan mata bulat, bulu mata lentik, rambut ikal dan lebat, kulit putih, gumum Angga sendiri. Terima kasih Din?"
Walau Dinda tidak pernah datang ke Lapas, paling tidak Angga sudah tenang, karena Dinda dan Aning sudah dibawa ibu ke Jakarta, bisa kumpul anak dan istri," kata Angga dalam hati.
****
Part 9****Akhirnya kepulangan Angga datang juga. Ibu, Dinda, Aning, dan Kak Etha menjemput. Jujur dalam hati Dinda tidak mau ikut. Berat hati, karena takut. Selama Angga di lapas tidak menjenguk.Kak Etha, sebetulnya keberatan ibu menjemput, jika setiap ada masalah selalu diistimewakan, Angga tidak akan pernah dewasa. Itu alasan kak Etha. Ibu selalu melindungi Angga, dengan alasan kasihan. Atas nama kasihanlah, Angga memperalat ibu dan mengambil keuntungan.Uang Dinda tetap kak Etha pegang. Karena semua kebutuhan Dinda dan Aning, ibu sama sekali tidak mengijinkan Dinda mengeluarkan. Ibu ingin Dinda punya tabungan, agar sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, tidak repot.Jam sepuluh tepat, Angga keluar, pertama dicari A
Part 10*****Waktu terus berjalan. Tidak terasa Aning sudah berusia lima tahun, bersekolah di TK, pintar sekali, umur lima tahun dia sudah lancar membaca, Aning hafal nama-nama Menteri Kabinet pembangunan, jamannya Presiden Soeharto, dia hafal nama dua puluh lima Presiden di dunia, Aning juga hafal nama-nama Bendera negara di dunia.Dinda rajin membeli buku ensiklopedia, globe, dan bercerita tentang dunia, walau belum mengerti, Dinda tetap bercerita, untuk menambah daya ingat Aning.Les tari Bali dan les renang juga diberikan untuk Aning. Ingin suatu ketika jika sudah besar berwawasan luas, jangan seperti ibunya. Perempuan kampung hidupnya kurang beruntung.Bapak mertua sayang sekali
Part_11***Dinda melihat ibu mertua tidak turun dari ranjang. Perutnya diikat syal panjang, pakai kaos kaki dan baju rangkap, merintih kesakitan. Ibu sering sakit, apalagi kalau ada pikiran.Mungkin juga karena lelah mengawasi Aning dan Lesta tidak bisa diam. Walau ada pengasuh, tidak lepas tangan, untuk urusan cucu. Ibu memberi saran."Nak, sudah waktunya kamu berhenti kerja, tapi harus punya kegiatan di rumah agar bisa memantau anak-anak.""Usaha apa ya, bu," kata Dinda."Kamu itu pinter, rajin, semangat, coba kamu kursus salon, dimana-mana salon ibu lihat ramai semua."Bagaimana seorang ibu, tidak modis, sederhana, orang kampung sama seperti Dinda, menyarankan kursus salon. Ide cemerlang dari man
Bapak Menikah Lagi*****Akhir-akhir ini, bapak mertua berbeda, minta dibelikan celana Jeans, T-Shirt, sepatu sport, ada apa rupanya dengan lelaki tujuh puluh dua tahun? seperti bukan bapak, beli bunga mawar merah dan putih, ditaruh di pintu kamar.“Ada apa bapak, beda sekali hari ini,” tanya Dinda.“Nanti kamu akan tahu nak," kata bapak tersenyum.“Wah! Opa Aning main teka-teki,” kata Dinda berseloroh.“Tenang aja nak, tidak akan mengurangi rasa cinta saya sama kalian.”Dinda masih belum 'ngeh' ucapan bapak.Sore itu bapak sibuk, menyuruh bibi beli makanan, jaman now,
Part 13*****Dinda mengontrak rumah daerah pinggiran Jakarta, udaranya masih bagus. Pagi hari masih merasakan embun walau hanya sebentar.Lingkungan komplek lumayan aman, untuk anak-anak. Perlu lingkungan baik, untuk tumbuh kembang anak, pertimbangan Dinda. Sedih hati, ternyata bapak sangat berubah, hampir tidak mengenalinya. Setiap mau bicara, harus tengak-tengok, kalau tidak ada Suaria, baru bapak berani bicara sama Dinda. Sudah begitu, luar biasa pengaruh dalam hidup bapak?"Bapak tidak membantu sama sekali, ketika Dinda pindah, Aning dan Lesta tidak berani dekat. Anak-anak mendekat, ketika sudah dipanggil. Apalagi kalau ada Suaria, Aning dan Lesta sama sekali tidak mau.Kak Etha sedih Dinda pindah, karena tidak ada mengawasi bapak. Bagaimana kalau sakit
Part 14****Sejak kejadian datang ke rumah mertua dan diusir pulang, terlihat bapak mertua sangat menyesal sekali. Karena telah kasar pada Dinda. Kabar didapat dari bibi yang masih berkomunikasi.Ditambah akhir-akhir ini bapak sering ribut dengan Suaria. Gaya hidup berfoya-foya belanja dari Mall ke Mall, kumpul dengan teman-temannya membuat bapak kewalahan juga. Suaria itu, pemarah, liar, boros, pendendam, dan suka mencuri.Awal rumah tangga, selalu mengancam, akan pergi kalau permintaanya tidak dituruti. Sekarang bapak tidak seperti dulu dengan Suaria.“Silahkan pergi, kalau kamu ingin pergi, saya tidak peduli,” kata bapak pada Suaria.Bapak pernah memergoki, Suaria buka brankas, dan marah sekali. Itu awal bapak mengeta
Part. 1Setiap pagi ketika hendak bekerja Dinda selalu melewati rumah bercat kuning gading, di ujung gang. Sebelum menuju jalan raya. Rumah besar dibanding rumah disekitarnya. Halaman luas untuk ukuran rumah di kota besar. Mendapat sapaan lembut, seorang Ibu yang sangat ramah."Selamat pagi nak," Ibu Sonia selalu menyambut Dinda."Selamat pagi Ibu," jawab Dinda."Berangkat kerja," tanya Ibu Sonia lagi."Ya, Bu," Jawab Dinda."Hati-Hati nak," kata Ibu Sonia."Terima kasih," jawab Dinda.Tegur sapa, basa basi itu diakhiri dengan senyum tulus Ibu bertubuh tambun itu. Dari mas Aryo Dinda tahu nama ibu yang suka menyapa, Bu Son
Part. 2Sudah satu minggu, Dinda diantar jemput, Aryo. Gadis mandiri itu, paling tidak suka merepotkan orang, akhirnya luluh ketika Tante Rasti memohon pada Dinda.Terbiasa, segala sesuatu dikerjakan sendiri. Berkali menolak, berkali tante Rasti memohon. Membuat Dinda tidak bisa berkutik lagi.Tidak hanya baik, beliau juga tulus dan amat penyayang. Ibu dari tiga orang anak laki-laki, Aryo, Bima dan Agil.Tante Rasti, adalah keluarga harmonis. satu sama lain anaknya, sangat rukun dan santun. Membuat Dinda nyaman sampai hampir dua tahun, kost di rumah Tante Rasti.Angga tidak diberi kesempatan, walau hanya sekedar menyapa atau mendekati Dinda. Ada sisi kosong hilang di hati. Sapaan Ibu Sonia. Suara khas, anggukan dan senyum tulus, sudah satu minggu ini, tidak