Beranda / Romansa / Takdir Dinda / Awal Kekelaman Dinda

Share

Awal Kekelaman Dinda

Part. 6

*****

Pihak keluarga Angga, mendesak untuk melamar Dinda. Tidak mau ditunda, walau hanya hitung bulan. Keluarga Dinda heran ada apa ini. Sebagai pihak perwakilan orang tua Dinda, emak (bibi) yang mengasuh Dinda sejak kecil mempertanyakan, mengapa begitu cepat melangsungkan pernikahan, kenal saja belum lama. Apalagi  beda suku, akan beda juga adat istiadatnya.

[Din? Apa sudah dipikir masak-masak,  baru kenal. Pacaran satu tahun lah cukup untuk penjajakan. Kamu baru lima bulan sudah mau nikah, kata emak lewat telpon.]

[Sudah Dinda pikir segala resikonya, ujar Dinda]

[Kamu itu lho, Din! Keras banget sih! Mbok ya dengar omongan emak, nggak ada salahnya kan? ]

[Orang Sumatera itu keras wataknya! Sanggup menjalaninya, kata Emak.]

[Emak setujuan orang jawa itu lho! Mas Aryo, santun, kalem, baik, nggak urak'an, dan satu suku, jadi lebih mudah kamu adaptasi.]

Emak pernah ke Jakarta, jenguk Dinda, menginap di keluarga Aryo, itu sebabnya kenal.

[Lihat nih! Emak sama bapak, puluhan tahun rumah tangga, nggak pernah ribut, karena satu adat, sudah saling memahami tradisi masing- masing.]

[Cobalah cah ayu? Dipikir lagi, ini untuk kebaikanmu.]

[Maunya sama bang Angga aja, Dinda cuma mau minta doa restu, emak nggak usah kuatir, masalah biaya, semua sudah disiapkan.]

[Yo wes, kamu sudah mantap, kalau ada apa-apa jangan disesali, jangan salahkan orang tua, ini pilihanmu!]

Akhir kesepakatan bahwa pernikahan diadakan di Kampung Dinda, dan hanya menikah, tidak ada rame-rame. Karena tradisi orang jawa, menikahkan anak itu harus cari hari baik, bulan baik, nggak asal nikah.

*****

Lamaran, seserahan langsung akad nikah, membuat orang di Kampung geleng-geleng kepala, karena ini baru pertama kalinya cara aneh.

Apa ada yang ditutupi dari semua hal aneh ini? Seserahan maharnya besar, membuat orang kampung heran.

Karena tidak dibuat acara hajatan besar, uang seserahan, setelah dikurangi untuk selamatan dan mengurus surat pernikahan, dibelikan sapi, dan dirawat sama orang, hasil dari sapi dibagi dua. Dibelikan sapi dapat empat, gemparlah kampung. Dinda dapat orang kaya.

*****

Acara pernikahan sudah selesai, Dinda dibawa kembali ke Jakarta. Di sepanjang perjalanan pulang ke Kampung sampai kembali ke Jakarta, tangan Dinda sama sekali tidak dilepas Angga. Dinda sampai malu sama orang di Kampung.

Tapi dibiarkan saja. Asal Angga tidak berulah. Sampai di Jakarta rupanya, kak Etha buat kejutan, kamar pengantin sudah di cat rapi, dihias, dari kamar set sampai isinya semua baru. Angga senyam, senyum sambil melirik ke Dinda.

“Abang mau buat kejutan Din,” kata Angga.

“Kejutan apa bang?” kata Dinda.

“Abang mau taruh kain putih di tempat tidur, abang mau tahu kesucian Dinda,” kata Angga.

“Dinda hanya tersenyum,” terserah abang aja,” kata Dinda.

Malam itu Dinda takut sekali, karena Angga kaya orang kesetanan, di kamar sudah ada beberapa botol minuman. Jantung  Dinda berdebar-debar, tidak tahu harus melakukan apa. Sementara Angga, mulai minum.

“Kenapa harus minum bang,” tanya Dinda.

“Nggak apa-apa Din, kan merayakan kebahagiaan kita,” jawab Angga.

“Harus dengan minum ya,” kata Dinda.

“Dengan orang yang kita cintai, bukan dengan minum,” kata Angga sudah mulai mabuk.

Kain putih sudah dibentangkan, Angga sudah tidak konsentrasi, Dinda hanya pasrah. Nasibnya kini di tangan Angga.

Kesuciannya sudah terenggut, di tangan Angga, malam pertama yang tidak mempunyai kesan istimewa.

Tangisannya pun tidak digubris Angga, karena Angga sudah mabuk berat.

Malam itu Dinda hanya menangisi bercak darah, yang ada di kain putih,  ini kesucian yang Dinda banggakan.

Keesokan harinya, Angga memperhatikan Dinda, matanya tidak berkedip.

“Ada apa Bang,” kata Dinda.

“Mana kain putih itu,” kata Angga.

“Cuma ini bercaknya, sedikit sekali,” kata Angga.

“Ya cuma itu, kata Dinda.

“Biasa banyak, pantas saya tidak merasakan apa-apa,” kata Angga.

“Bagaimana  mau merasakan apa-apa, abang mabuk, sampai-sampai  tidak gubris Dinda nangis kesakitan.”

“Kamu jujur saja Din, kita sudah suami istri, dan abang tidak akan menceraikan kamu, serius mau tanya,” apa kamu sudah pernah tidur sama Aryo?.

“Dinda menangis, tidak pernah terbayang akan seperti ini, Ternyata tidak setuju nya, emak, bapak di Kampung, Amel, Tia, Mas Aryo ada alasannya.

“Dinda bersumpah demi orang tua Dinda yang sudah tiada, kalau sampai Dinda pernah tidur sama laki-laki selain abang, di laknat lah Dinda sama Allah.”

“Ya, Sekarang abang percaya karena Dinda sudah bersumpah,” kata Angga tersenyum puas.

Sementara Dinda masih sakit hati, karena ulahnya Angga. Kok ada suami tidak percaya sama istrinya, apa iya darah suci pertama itu harus banyak, bahkan dengar-dengar ada yang tidak berdarah. Atau darah suci itu harus  memenuhi kain putih itu?"

Kain putih disimpan baik-baik, bahkan bercak darah dilingkari Dinda dan diberi tanggal, bulan, dan jam, untuk kenangan, bahwa saat itu, Angga sudah melukai hatinya. 

*****

Semenjak sudah rumah tangga, tidak pernah lagi, Angga mengantar atau menjemput. Itu bukan masalah besar buat Dinda, sudah terbiasa mandiri. Tetapi masalahnya, setiap habis gajian, uang Dinda diambil semua. Tanpa meninggalkan satu rupiah pun, dengan amplop-amplopnya. Seperti hari ini, setelah mengambil uang gaji, Angga langsung pergi. 

Sampai dirumah Dinda diam, mau menangis takut ibu mertua tahu, nggak tega kalau ibu sakit. Naluri Ibu memang luar biasa. Tiba-tiba Ibu mendekati Dinda.

“Nak, ibu bisa pinjam uangnya.”

“Belum gajian ibu?” Dinda berbohong.

“Sudah berapa kali dia ambil uangmu.”

“Semenjak Dinda pindah kesini ya,” kata  ibu pada Dinda.

“Besok, kita ke Bank, buat rekening,” kata ibu.

Dinda hanya diam saja, harus sedih atau kasihan, ibu terlalu mencintai Angga. Membuat anaknya tidak pernah dewasa.

Dinda janjian sama ibu ke Bank jam makan siang, kebetulan Bank dekat Rumah kak Etha.

“Maaf berapa gajimu sebulan Dek,” kata Kak Etha, ibu mau masukin tabungan sejumlah gajimu, yang sudah diambil Angga,” kata kak Etha.

“Rata-rata sama lembur delapan ratus ribu Kak,” kata Dinda.

“Besar juga ya, sudah berapa tahun kerja di kantor itu,” kata kak Etha.

“Hampir empat tahun.”

Jadilah hari itu, Dinda dibuatkan rekening atas namanya, dan setiap bulan yang datang ke kantor Dinda, kak Etha. 

Akhir bulan,  Angga seperti biasa datang ke kantor Dinda, betapa kagetnya, ada  Kak Etha disana. Cepat-cepat Angga pergi.

Angga takut, pasti masalah uang Dinda, yang diambil setiap bulan oleh Angga. 

Malamnya Angga mabuk, parah sepertinya ibu sudah tahu bakal apa yang terjadi, karena ibu menemani Dinda, sampai Angga pulang.

“Tiba-tiba, tangan Dinda ditarik kencang, sampai hampir mau jatuh.”

“Kamu kasih tahu ibu sama kak Etha, kalau gajimu saya ambil.” kata Angga kasar.

“Ibu yang mau pinjam uang,” Dinda bilang belum gajian.

“Tanpa ba bi bu, Angga menampar Dinda.

“Jangan sombong baru punya uang segitu aja, kalau  saya mau, minta sama Ani, lima kali lipat uang itu saya dapat!"

“Dinda menggigit bantal, supaya tangisannya tidak terdengar Ibu.

Hampir setiap malam Dinda kurang tidur, badannya tambah kurus, dan sering sakit. Angga tidak peduli.

Mulai ada aturan baru, setiap hari sebelum berangkat kerja, Dinda harus menyediakan rokok dua bungkus dan uang dua puluh ribu rupiah. Kalau dihitung gaji Dinda sebulan, sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan Angga saat itu. 

Sedangkan uang gaji ditabung semua, tabungan tanpa Atm, dan buku tabungannya di pegang kak Etha.

Dinda ceritalah sama kak Etha tentang rokok dan uang yang harus dikeluarkan.

Akhirnya kak Etha bilang juga ke ibu, jadilah hasil dari kesepakatan, ibu akan menyediakan rokok dan uang untuk Angga setiap hari, dan tidak boleh Angga tahu, rokok dan uang dari ibu. 

*****

Sore, sepulang kerja seperti biasa Dinda berjalan. Tidak sengaja berpapasan dengan Aryo, mau menghindarkan sudah tidak bisa.

“Din, mau bareng mas?” Aryo menawarkan bareng.

“Terima kasih mas, kata Dinda ketakutan kalau ada Angga.

“Kamu kurus sekali, Din?” kata Mas Aryo.

“Dinda hanya tersenyum.”

“Mas Aryo duluan aja, kalau ada bang Angga jadi masalah,” Dinda memohon.

Aryo seperti menyadari, minta maaf, lalu pergi. Tanpa mereka sadari mata Angga, melihat sinis mereka berdua.

Kurang ajar nih, perempuan! sudah kasih darah perawannya sedikit. Masih berani nemuin si Aryo  buat janjian selingkuh.” kata Angga dalam hati.

Gue mau buat perhitungan, udah kurus, hitam, pelit, berani melanggar aturan suami lagi, mentang-mentang banyak yang belain dirumah, Gue jadi kaya orang asing di rumah gue sendiri,” Angga bergumam dalam hati sendiri.

Alangkah kagetnya Dinda, Angga menatap sinis dirinya, hanya berpasrah saja.

“Janjian mau kemana kamu, sama mas Aryo mu itu,” tanya Angga sinis.

“Janjian apa bang?” kata Dinda meminta pengertian.

“Sudah jangan berlagak bodoh kamu, ternyata orang kampung lebih licik dari orang kota,” kata Angga teriak-teriak.

Kelihatan sekali Angga sudah mulai minum, karena jatah uang dari Dinda bisa untuk beli minuman beralkohol  lima botol setiap hari. Sangat leluasa untuk Angga mabuk sampai puas.

“Sama suami kamu diam, kalau nggak ditanya, nggak pernah tanya, punya mulut kaya orang bisu, tapi diluar senyum-senyum sama mantan.”

Memang, sejak masalah bertubi- tubi datang, Dinda sangat jarang komunikasi sama Angga. Apalagi berdiskusi berdua, tidak pernah. Angga punya dunia sendiri, Dinda juga demikian.

Akhirnya Dinda, diantar temannya pulang, karena kasihan melihat Dinda di maki-maki di jalanan. Tumbang juga kekokohan hatinya, Dinda menangis.

“Sudah jangan menangis Din, namanya juga orang mabuk,” kata bang Adi.

“Kalau belum mabuk, dia suka bilang sama abang, kasihan sama Dinda, uangnya abis sama Angga buat beli minuman.”

“Dinda nggak minta apa-apa dari bang Angga, cuma minta diperlakukan seperti manusia,” kata Dinda pada bang Adi.

“Sabar ya, nanti sambil bang Adi nasehati.”

*****

Pulang kerja Dinda langsung masuk kamar, badannya demam, mungkin karena malam selalu kurang tidur, kerjaan di kantor banyak. Selera makan menurun.

Dinda tidak tahu, ibu masuk kamar. Memegang kening Dinda.

“Kamu demam, ayo ke dokter,” kata Ibu.

“Nggak usah, Dinda istirahat saja, nanti juga sembuh,” jawab Dinda.

Malam itu seperti biasa Angga mabuk berat, pulang buat ulah, malam penyiksaan terjadi setiap hari, ada saja membuat Dinda menangis. Sampai akhirnya pingsan tidak sadarkan diri.

Ibu menangis, Angga tertidur, kemana Bapak mertua Dinda? Ada, hanya diam tidak berkomentar atau berinisiatif harus dibawa kemana Dinda. 

“Itu sebabnya, bapak kurang setuju, Angga menikah dengan orang tidak sesuku, badannya lembek, tidak kuat, baru dibawa mabuk sudah pingsan,” kata bapak sambil berlalu pergi.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status