Part 13
*****
Dinda mengontrak rumah daerah pinggiran Jakarta, udaranya masih bagus. Pagi hari masih merasakan embun walau hanya sebentar.
Lingkungan komplek lumayan aman, untuk anak-anak. Perlu lingkungan baik, untuk tumbuh kembang anak, pertimbangan Dinda. Sedih hati, ternyata bapak sangat berubah, hampir tidak mengenalinya. Setiap mau bicara, harus tengak-tengok, kalau tidak ada Suaria, baru bapak berani bicara sama Dinda. Sudah begitu, luar biasa pengaruh dalam hidup bapak?"
Bapak tidak membantu sama sekali, ketika Dinda pindah, Aning dan Lesta tidak berani dekat. Anak-anak mendekat, ketika sudah dipanggil. Apalagi kalau ada Suaria, Aning dan Lesta sama sekali tidak mau.
Kak Etha sedih Dinda pindah, karena tidak ada mengawasi bapak. Bagaimana kalau sakit
Part 14****Sejak kejadian datang ke rumah mertua dan diusir pulang, terlihat bapak mertua sangat menyesal sekali. Karena telah kasar pada Dinda. Kabar didapat dari bibi yang masih berkomunikasi.Ditambah akhir-akhir ini bapak sering ribut dengan Suaria. Gaya hidup berfoya-foya belanja dari Mall ke Mall, kumpul dengan teman-temannya membuat bapak kewalahan juga. Suaria itu, pemarah, liar, boros, pendendam, dan suka mencuri.Awal rumah tangga, selalu mengancam, akan pergi kalau permintaanya tidak dituruti. Sekarang bapak tidak seperti dulu dengan Suaria.“Silahkan pergi, kalau kamu ingin pergi, saya tidak peduli,” kata bapak pada Suaria.Bapak pernah memergoki, Suaria buka brankas, dan marah sekali. Itu awal bapak mengeta
Part. 1Setiap pagi ketika hendak bekerja Dinda selalu melewati rumah bercat kuning gading, di ujung gang. Sebelum menuju jalan raya. Rumah besar dibanding rumah disekitarnya. Halaman luas untuk ukuran rumah di kota besar. Mendapat sapaan lembut, seorang Ibu yang sangat ramah."Selamat pagi nak," Ibu Sonia selalu menyambut Dinda."Selamat pagi Ibu," jawab Dinda."Berangkat kerja," tanya Ibu Sonia lagi."Ya, Bu," Jawab Dinda."Hati-Hati nak," kata Ibu Sonia."Terima kasih," jawab Dinda.Tegur sapa, basa basi itu diakhiri dengan senyum tulus Ibu bertubuh tambun itu. Dari mas Aryo Dinda tahu nama ibu yang suka menyapa, Bu Son
Part. 2Sudah satu minggu, Dinda diantar jemput, Aryo. Gadis mandiri itu, paling tidak suka merepotkan orang, akhirnya luluh ketika Tante Rasti memohon pada Dinda.Terbiasa, segala sesuatu dikerjakan sendiri. Berkali menolak, berkali tante Rasti memohon. Membuat Dinda tidak bisa berkutik lagi.Tidak hanya baik, beliau juga tulus dan amat penyayang. Ibu dari tiga orang anak laki-laki, Aryo, Bima dan Agil.Tante Rasti, adalah keluarga harmonis. satu sama lain anaknya, sangat rukun dan santun. Membuat Dinda nyaman sampai hampir dua tahun, kost di rumah Tante Rasti.Angga tidak diberi kesempatan, walau hanya sekedar menyapa atau mendekati Dinda. Ada sisi kosong hilang di hati. Sapaan Ibu Sonia. Suara khas, anggukan dan senyum tulus, sudah satu minggu ini, tidak
Part. 3****Seperti biasa setiap hari minggu, sesudah jalan pagi, keluarga Tante Rasti berkumpul di teras rumah. Ada halaman kecil ditanami apotik hidup dan bunga, ada jahe, sereh, lengkuas, kunyit, temulawak, bunga mawar, anggrek dan lainnya, Tante Rasti adalah kader PKK sangat aktif di Kelurahan. Mereka berbincang ringan sampai pembicaraan politik. Diselingi humor membuat suasana semakin ramai.Dari arah rumah depan, Tante Ani seperti orang sedang marah, jari telunjuknya mengacung-acung ke arah Dinda. Mereka tidak menyadari, kalau Dindalah sasaran Tante Ani. Karena merasa diacuhkan, Tante Ani pun semakin meradang.Hanya memakai celana sangat pendek, dan tanktop, Tante Ani menghampiri Dinda, tanpa basa-basi“Plak! Plak! Dua kali tamparan Tante Ani membuat Dinda terhuyung.
Part_4*****Sore itu kak Etha datang ke kamar Dinda. Baru saja pulang dari kantor, belum istirahat.“Dek, mohon maaf? Maaf sekali, kamu masih capek,” kata kak Etha.“Ada apa kak,” tanya Dinda“Ibu, masuk Rumah Sakit, kakak mau ngajak Adek jenguk Ibu.”“Bisa. Nggak apa-apa,” kata Dinda“Aduh, jadi ngerepotin Adek.”“Cuma gini aja, nggak jadi masalah,” kata Dinda.“Kita naik bajaj aja, biar cepat.”“Ok,” kata Dinda.
Part_5*****Angga sering di rumah kak Etha, hampir setiap hari. Dinda jadi risih juga diawasi terus, ke kantor hanya seratus meter saja, diantar jemput. Makan siang dikirim dari rumah ibu Sonia. Awalnya senang diperhatikan, lama-kelamaan merasa terganggu. Belum lagi, kalau dijalan ada yang menatap Dinda, langsung ditegur Angga, pake acara mata melotot, ini pacar apa satpam! Jadi nggak bisa bedakan.Setiap hari, ada saja pertanyaan diulang-ulang. Lebih tepatnya introgasi. Kalau jawab meleset sedikit, akan ada ceramah, panjang kali lebar kali tinggi. Anak-anak kak Etha protes, karena terlalu mengekang Dinda.“Om! Gitu banget gaya pacarannya, anak orang dibikin kaya tahanan,” kata Amel.“Harus diawasi, t
Part. 6*****Pihak keluarga Angga, mendesak untuk melamar Dinda. Tidak mau ditunda, walau hanya hitung bulan. Keluarga Dinda heran ada apa ini. Sebagai pihak perwakilan orang tua Dinda, emak (bibi) yang mengasuh Dinda sejak kecil mempertanyakan, mengapa begitu cepat melangsungkan pernikahan, kenal saja belum lama. Apalagi beda suku, akan beda juga adat istiadatnya.[Din? Apa sudah dipikir masak-masak, baru kenal. Pacaran satu tahun lah cukup untuk penjajakan. Kamu baru lima bulan sudah mau nikah, kata emak lewat telpon.][Sudah Dinda pikir segala resikonya, ujar Dinda][Kamu itu lho, Din! Keras banget sih! Mbok ya dengar omongan emak, nggak ada salahnya kan? ][Orang
Part. 7*****Ibu menelpon kak Etha, karena Dinda, tidak siuman dari pingsan. Tak lama kemudian kak Etha datang. Membawa Dinda kerumah sakit.Dokter dengan sigap menangani, diagnosa awal karena dehidrasi dan kelelahan, Dinda di opname, setelah cek darah dan semuanya bagus, dokter bertanya, kapan menstruasi terakhir, Dinda lupa, karena begitu banyaknya masalah dihadapi. Keesokan harinya Dinda tes urine, hasilnya positif.“Selamat bu? Atas kehamilannya,” kata dokter.Dinda senang, berharap ini awal baru, babak baru, dalam hidup Dinda. Semoga Angga berubah, walau dari kemarin Angga belum menjenguk Dinda.Ibu selalu menjaga, Dinda sudah menyuruh pulang. Berusaha sema