Part. 3
****
Seperti biasa setiap hari minggu, sesudah jalan pagi, keluarga Tante Rasti berkumpul di teras rumah. Ada halaman kecil ditanami apotik hidup dan bunga, ada jahe, sereh, lengkuas, kunyit, temulawak, bunga mawar, anggrek dan lainnya, Tante Rasti adalah kader PKK sangat aktif di Kelurahan. Mereka berbincang ringan sampai pembicaraan politik. Diselingi humor membuat suasana semakin ramai.
Dari arah rumah depan, Tante Ani seperti orang sedang marah, jari telunjuknya mengacung-acung ke arah Dinda. Mereka tidak menyadari, kalau Dindalah sasaran Tante Ani. Karena merasa diacuhkan, Tante Ani pun semakin meradang.
Hanya memakai celana sangat pendek, dan tanktop, Tante Ani menghampiri Dinda, tanpa basa-basi
“Plak! Plak! Dua kali tamparan Tante Ani membuat Dinda terhuyung.
“Dasar anak kampung! Cupu! Hitam! Begeng! Berani sekali ngerebut laki gue!"
Tante Rasti kaget, akan membalas menampar tante Ani, Aryo dengan sigap menarik tante Ani. Mereka membawa ke rumah pak Rt. Tante Ani cemburu, karena Angga menjauhi. Setelah diselidiki, ternyata Dinda penyebabnya.
"Masa gue kalah sama anak kampung kaya elo! Teriak Tante Ani emosi.
Seketika warga berkumpul, ingin tahu ada apa sebenarnya. Dinda masuk kedalam menangis, Aryo berusaha menenangkan.
“Tenang, semua bisa diselesaikan dengan baik. Ini pasti ulah si bangke," ujar Aryo geram.
"Hal yang mas takutkan akhirnya terjadi, si bangke senang dengan keadaan ini," ujar Aryo sambil mengepal kedua tangannya.
*****
Sejak kejadian itu, Dinda berencana pindah kost, untuk tinggal di daerah itu lagi sangat tidak mungkin.
Tante Rasti meyakinkan Dinda, semua akan baik saja. Keputusan sudah bulat, pindah adalah cara terbaik menghindari konflik.
Kebetulan sekali, ada teman satu kantor, mau pindah rumah. Tempat kosnya sangat dekat dengan kantor, harganya lebih murah, walau agak sedikit kumuh, karena kamar mandi di luar.
Tidak apa, yang penting tidak melihat tante Ani. Setelah semua dirasa beres, Dinda pamitan.
“Tante Dinda minta maaf, kalau Dinda sudah banyak buat tante susah," ujar Dinda menangis memeluk ibunya Aryo.
“Dinda mau pamitan, pindah kos,” kata Dinda lirih.
“Kok tiba-tiba,” kata tante Rasti kaget.
“Terus gimana dengan Aryo,” kata tante Rasti lagi.
“Bagaimana maksudnya,” kata Dinda tidak mengerti.
“Aryo nggak pernah bilang apa gitu, sama Dinda?"
“Nggak ada pembicaraan apapun, selama ini?"
“Din, Aryo sangat mencintaimu, apapun dia korbankan untukmu. Apa Dinda nggak pernah merasa?"
“Tante, pernah Dinda menyinggung masalah ini, tapi Mas Aryo bilang, Dia menganggap Dinda seperti adiknya sendiri.”
“Sejak saat itu, Dinda memperlakukan mas Aryo, seperti kakak Dinda.”
“Oalah Aryo, bodoh sekali kamu itu le,” kata tante Rasti meratap sambil menangis.
“Sering-sering main sini ya, Dinda,” tante berharap kamu bisa jadi menantu di rumah ini.”
“Kalau jodoh tidak kemana,” kata Dinda.
“Sampaikan salam Dinda buat , om, mas Aryo, mas Bima dan Agil.”
“Ya, nanti tante sampaikan, mereka berpelukan, lama sekali.
*****
Di kamar tiga kali tiga meter ini terlalu sempit, sampai barang-barang pun banyak ditumpuk. Terasa pengap sekali, kipas angin terlalu kecil. Menambah kesempurnaan penderitaan Dinda. Untung saja ada Tia, teman sekantor kos disitu, ada teman mengobrol, tidak terlalu suntuk.
Sambil menatap langit-langit kamar, tiba- tiba Dinda ingat mas Aryo, lelaki sangat melindunginya, sabar, baik dan bertanggung jawab.Kedekatan Dinda dan Aryo, sering di salah artikan orang-orang sekitar tetangga.
Mereka menyangka kalau Dinda calon menantu keluarga itu. Sampai Dinda merasa risih dan mempertanyakan pada Aryo.
“Mas, mau tanya sedikit boleh.”
“Banyak juga boleh,” kata Aryo sambil meringis.
“Banyak tetangga mengira, Dinda ini calon menantu di keluarga sini.”
"Dinda jadi nggak enak hati aja.”
“Masalahnya ada tiga perjaka, mas Aryo, mas Bima dan Agil.
“Sudah, abaikan aja, nanti juga bosen sendiri.
“Ya, sudah kalau begitu.”
Sejak saat itu, setiap Aryo membicarakan hubungan, Dinda selalu menghindar, karena Dinda tahu, Aryo tidak menaruh hati. Ada wanita sedang dikejarnya, tapi hanya tersenyum saja ketika ditanya siapa.
****
Tiba-tiba teringat ibu Sonia, rindu juga sudah lama tidak berjumpa. Ibu tua luar biasa baiknya.
Apa kabar ibu, bagaimana kesehatan lambungnya? Semoga baik.
Tiba-tiba Tia memberi tahu,” ada tamu kamu Din."
Dinda turun ke bawah, jantung seperti mau lepas dari tempatnya.
Si bangke sama ibu Sonia, cepat-cepat Dinda cium tangan ibu Sonia.
“Ibu dari mana,” kata Dinda.
“Dari rumah, mau kesini.”
“Hai, kaget yaa,” kata sibangke.
“Biasa aja,” jawab Dinda.
“Ibu mau nginep disini,” kata bangke
“Bu, kamar saya kecil sekali.”
“Ya, nggak tidur di kamar mu lah.”
“Terus tidur dimana," kata Dinda heran.
“Ya, dikamar.”
Ini rumah kakak saya, jadi mulai sekarang, saya sama ibu pasti sering kesini. Lemas rasanya kaki Dinda, kalau tahu dari awal pasti tidak akan kos disini. Percuma, menghindar akhirnya tambah rumit.
*****
Sore itu Dinda dipanggil ibu Sonia, berbincang seputar, kesehatan, penyakit lambungnya sering kambuh, atau sakit di tengkuknya.
Dinda memang hobby membaca. Membuatkan tabel kecil makanan boleh dan tidak boleh dimakan.
Ibu tidak boleh makan coklat, kopi, ketan, nangka, teh pahit, asam dan pedas. Tapi yang terpenting ibu tidak boleh stres, kalau ibu stres memicu asam lambung naik.
Ibu mendengarkan dengan serius, tatapan matanya melihat Dinda tanpa berkedip, membuat Dinda jadi salah tingkah.
“Nak, ibu mau tanya, kamu asli dari mana.”
“Saya dari Jawa, anak ketiga dari lima bersaudara, saya diasuh bibi sejak kecil, karena orang tua saya sudah meninggal.”
“Kamu mau tidak jadi menantu saya,” kata Ibu.
“Anak saya itu, Sarjana Ekonomi, tapi tidak punya pekerjaan, kerjanya yaitu seperti kamu lihat.”
“Maaf ibu, mohon maaf sebelumnya. Saya belum bisa menjawab. Pertama, yang akan berumah tangga bang Angga, bukan ibu, jadi seharusnya dia datang ke saya bukan ibu."
"Kedua, saya masih punya masalah sama mas Aryo, anaknya tante Rasti, sampai ada titik temu, baru saya bisa menjawab, maaf, untuk usia bang Angga, ibu jangan susah berpikir."
"Dia laki-laki. punya cara sendiri. Kalau terlalu diperhatikan, maka selama hidupnya dia akan cari perhatian terus."
"Mungkin itu saja, dari saya. Ibu jaga kesehatan, jangan stres, jaga makan, perut tidak boleh dalam keadaan kosong."
“Ya nak, terima kasih, sudah bisa bincang-bincang.”
*****
Rupanya Angga mendengarkan pembicaraan Ibu dan Dinda.
“Belagu amat, nih, Anak! Beraninya nyeramahin ibu, bawa nama gue.”
“Lihat nanti! Gue bikin sengsara, seumur hidup. Jangan kira gue seneng sama lo ya.”
“Pake bawa nama si Aryo monyong lagi.”
*****
Malam itu, ibu kos ( Kak Etha) datang ke kamar Dinda. Entah apa tujuannya, hanya cerita ringan, masa dia sekolah. Membantu bu Sonia mengurus adiknya termasuk si bangke.
“Bu, pintu gerbang ditutup jam berapa," kata Dinda tiba-tiba bertanya.
“Jangan panggil saya ibu,” kata ibu kos, panggil saya kakak.
“Baik, kak,” jawab Dinda.
“Nah, begitukan enak didengarnya.”
Dinda nggak bisa tidur, membayangkan, mas Aryo datang, paling tidak menjenguk sebagai sahabat.
Kabar berita pun tidak ada, padahal Dinda sudah meletakkan surat di dalam kamarnya, di atas meja, pasti terlihat.
Si bangke, tamu tidak diharapkan yang datang. Manusia itu selalu menerima apa yang sebenarnya tidak dikehendaki.
“Huuuh Dinda mencoba memejamkan mata.”
****
Part_4*****Sore itu kak Etha datang ke kamar Dinda. Baru saja pulang dari kantor, belum istirahat.“Dek, mohon maaf? Maaf sekali, kamu masih capek,” kata kak Etha.“Ada apa kak,” tanya Dinda“Ibu, masuk Rumah Sakit, kakak mau ngajak Adek jenguk Ibu.”“Bisa. Nggak apa-apa,” kata Dinda“Aduh, jadi ngerepotin Adek.”“Cuma gini aja, nggak jadi masalah,” kata Dinda.“Kita naik bajaj aja, biar cepat.”“Ok,” kata Dinda.
Part_5*****Angga sering di rumah kak Etha, hampir setiap hari. Dinda jadi risih juga diawasi terus, ke kantor hanya seratus meter saja, diantar jemput. Makan siang dikirim dari rumah ibu Sonia. Awalnya senang diperhatikan, lama-kelamaan merasa terganggu. Belum lagi, kalau dijalan ada yang menatap Dinda, langsung ditegur Angga, pake acara mata melotot, ini pacar apa satpam! Jadi nggak bisa bedakan.Setiap hari, ada saja pertanyaan diulang-ulang. Lebih tepatnya introgasi. Kalau jawab meleset sedikit, akan ada ceramah, panjang kali lebar kali tinggi. Anak-anak kak Etha protes, karena terlalu mengekang Dinda.“Om! Gitu banget gaya pacarannya, anak orang dibikin kaya tahanan,” kata Amel.“Harus diawasi, t
Part. 6*****Pihak keluarga Angga, mendesak untuk melamar Dinda. Tidak mau ditunda, walau hanya hitung bulan. Keluarga Dinda heran ada apa ini. Sebagai pihak perwakilan orang tua Dinda, emak (bibi) yang mengasuh Dinda sejak kecil mempertanyakan, mengapa begitu cepat melangsungkan pernikahan, kenal saja belum lama. Apalagi beda suku, akan beda juga adat istiadatnya.[Din? Apa sudah dipikir masak-masak, baru kenal. Pacaran satu tahun lah cukup untuk penjajakan. Kamu baru lima bulan sudah mau nikah, kata emak lewat telpon.][Sudah Dinda pikir segala resikonya, ujar Dinda][Kamu itu lho, Din! Keras banget sih! Mbok ya dengar omongan emak, nggak ada salahnya kan? ][Orang
Part. 7*****Ibu menelpon kak Etha, karena Dinda, tidak siuman dari pingsan. Tak lama kemudian kak Etha datang. Membawa Dinda kerumah sakit.Dokter dengan sigap menangani, diagnosa awal karena dehidrasi dan kelelahan, Dinda di opname, setelah cek darah dan semuanya bagus, dokter bertanya, kapan menstruasi terakhir, Dinda lupa, karena begitu banyaknya masalah dihadapi. Keesokan harinya Dinda tes urine, hasilnya positif.“Selamat bu? Atas kehamilannya,” kata dokter.Dinda senang, berharap ini awal baru, babak baru, dalam hidup Dinda. Semoga Angga berubah, walau dari kemarin Angga belum menjenguk Dinda.Ibu selalu menjaga, Dinda sudah menyuruh pulang. Berusaha sema
Part. 8****Di tinggal Dinda, Angga justru tidak minum, setiap hari hanya melamun, sesekali Angga membujuk ibu Sonia bicara sama bapak, untuk menjemput Dinda.Ibu mengacuhkan permintaan Angga. Banyak hal harus dipikirkan. Memikirkan anak Dinda, sekarang sudah berusia lima bulan menurut perhitungannya, pasti lucu, kangen sama menantu dan cucu.Maafkan ibu nak, benar kata Amel kamu terlalu baik untuk Angga, kata ibu bicara sendiri.Ibu menyesal, telah menjodohkan kamu dengan Angga, kalau saja mau mendengarkan Amel, anak itu menentang habis-habisan perjodohan ini, karena tahu tingkah Angga."Oma, om itu jahat, nggak ada bagus-bagusnya, dia pernah jadi simpanan mamanya temen Amel," suara Amel terdengar jelas.
Part 9****Akhirnya kepulangan Angga datang juga. Ibu, Dinda, Aning, dan Kak Etha menjemput. Jujur dalam hati Dinda tidak mau ikut. Berat hati, karena takut. Selama Angga di lapas tidak menjenguk.Kak Etha, sebetulnya keberatan ibu menjemput, jika setiap ada masalah selalu diistimewakan, Angga tidak akan pernah dewasa. Itu alasan kak Etha. Ibu selalu melindungi Angga, dengan alasan kasihan. Atas nama kasihanlah, Angga memperalat ibu dan mengambil keuntungan.Uang Dinda tetap kak Etha pegang. Karena semua kebutuhan Dinda dan Aning, ibu sama sekali tidak mengijinkan Dinda mengeluarkan. Ibu ingin Dinda punya tabungan, agar sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, tidak repot.Jam sepuluh tepat, Angga keluar, pertama dicari A
Part 10*****Waktu terus berjalan. Tidak terasa Aning sudah berusia lima tahun, bersekolah di TK, pintar sekali, umur lima tahun dia sudah lancar membaca, Aning hafal nama-nama Menteri Kabinet pembangunan, jamannya Presiden Soeharto, dia hafal nama dua puluh lima Presiden di dunia, Aning juga hafal nama-nama Bendera negara di dunia.Dinda rajin membeli buku ensiklopedia, globe, dan bercerita tentang dunia, walau belum mengerti, Dinda tetap bercerita, untuk menambah daya ingat Aning.Les tari Bali dan les renang juga diberikan untuk Aning. Ingin suatu ketika jika sudah besar berwawasan luas, jangan seperti ibunya. Perempuan kampung hidupnya kurang beruntung.Bapak mertua sayang sekali
Part_11***Dinda melihat ibu mertua tidak turun dari ranjang. Perutnya diikat syal panjang, pakai kaos kaki dan baju rangkap, merintih kesakitan. Ibu sering sakit, apalagi kalau ada pikiran.Mungkin juga karena lelah mengawasi Aning dan Lesta tidak bisa diam. Walau ada pengasuh, tidak lepas tangan, untuk urusan cucu. Ibu memberi saran."Nak, sudah waktunya kamu berhenti kerja, tapi harus punya kegiatan di rumah agar bisa memantau anak-anak.""Usaha apa ya, bu," kata Dinda."Kamu itu pinter, rajin, semangat, coba kamu kursus salon, dimana-mana salon ibu lihat ramai semua."Bagaimana seorang ibu, tidak modis, sederhana, orang kampung sama seperti Dinda, menyarankan kursus salon. Ide cemerlang dari man