Part_5
*****
Angga sering di rumah kak Etha, hampir setiap hari. Dinda jadi risih juga diawasi terus, ke kantor hanya seratus meter saja, diantar jemput. Makan siang dikirim dari rumah ibu Sonia. Awalnya senang diperhatikan, lama-kelamaan merasa terganggu. Belum lagi, kalau dijalan ada yang menatap Dinda, langsung ditegur Angga, pake acara mata melotot, ini pacar apa satpam! Jadi nggak bisa bedakan.
Setiap hari, ada saja pertanyaan diulang-ulang. Lebih tepatnya introgasi. Kalau jawab meleset sedikit, akan ada ceramah, panjang kali lebar kali tinggi. Anak-anak kak Etha protes, karena terlalu mengekang Dinda.
“Om! Gitu banget gaya pacarannya, anak orang dibikin kaya tahanan,” kata Amel.
“Harus diawasi, takut diambil orang.”
“Jangan-jangan om nih! Ambil pacar orang,” kata Dio.
“Huush! Anak kecil, mau tahu urusan orang besar,” kata Angga.
“Jangan gitu dong om? Kak Dinda juga butuh teman, jangan egois.”
“Ini tantemu jangan panggil kakak,” kata Angga sewot.
“Yaeelah! Belum juga jadi, nanti kalau janur kuning melengkung, baru panggil tante.”
“Umur saja cuma beda tiga tahun,” kata Amel.
“Pikir lagi kak Dinda, mau sama om, daripada nyesel.”
“Eh, nih anak! Kompor sekali dirimu.”
Perdebatan om dan keponakan, membuat Dinda berpikir ulang, jauh sekali, waktu dekat sama mas Aryo. Memberikan kebebasan seluas-luasnya. Nyaman, tidak ada rasa takut salah, karena tidak ada introgasi. Bisa tertawa, nyanyi, melucu, mas Aryo hanya senyum.
Angga lain, Dinda nyanyi, langsung dikasih uang dua ribuan, Dinda tertawa katanya nggak sopan perempuan tertawanya lebar. Dinda melucu, Angga diam tanpa ekspresi. Hidupnya garing banget, kaya kerupuk kaleng, seribuan.
*****
Tiba-tiba Aryo telepon, menanyakan kabar, minta maaf tidak kasih kabar, dan menanyakan apa betul Dinda sudah pacaran sama Angga.
Aryo mau dengar dari Dinda langsung. Angga datang ke rumah, memberitahukan kalau Dinda dan Angga mau menikah. Suara Aryo bergetar, menahan tangis.
[Mas menyesal Din, nggak membalas suratmu, nggak menghubungimu, Mas pikir nggak secepat ini Dinda berubah]
[Mas kesel, kamu pindah tiba-tiba, jadi mas, nenangin diri, untuk mengambil langkah selanjutnya]
[Keluarga sudah perundingan, untuk menemui orang tua Dinda. malah si bangke kerumah, buat pengumuman. Mama sampai nangis, kata mas Aryo]
[Dinda dua kali ke rumah. Mas menghindar. Surat nggak dibales, telpon nggak diangkat. Dinda cuma minta kejelasan status, masa harus Dinda yang mengungkapkan]
[Hampir dua tahun Dinda serumah, kadang Dinda merasa seperti pacar. Kadang merasa seperti adik, kadang juga seperti teman. Mas nggak punya pendirian sebagai laki-laki]
[Sekarang ada Angga, sudah pasti mau sama Dinda, biar orangnya begitu, tapi Angga berani mengungkapkan, apa salah kalau Dinda terima]
[Maaf mas, kalau jodoh nggak akan kemana, tapi untuk saat ini keputusan sudah Dinda ambil]
[Coba pikir ulang Din, belum terlambat, daripada menyesal]
[Jangan buat Dinda jadi merasa bersalah, semua cuma waktu, jodoh, maut, rezeki itu diluar batas kemampuan Dinda]
[Mas tunggu kabar baik dari kamu,” kata mas Aryo menutup pembicaraan]
*****
Sore itu Angga datang, Dinda cuek, sudah bertekad, apapun yang terjadi, ini final karena diluar batas privasi. Angga tahu Dinda mau marah, si bangke itu tidak banyak komentar.
“Abang diam, Dinda mau bicara.”
“Tadi siang mas Aryo telpon, katanya abang dari rumah mereka. memberitahukan, lebih tepatnya mengumumkan kita mau menikah. Dengan berbagai syarat, mas Aryo tidak boleh menemui Dinda, menyapa, apalagi menghubungi. Apa maksud Abang.”
“Abang ke rumah mas Aryo mu itu, wajar melakukan semua itu, kamu pacar bahkan calon istri, calon ibu anak-anak, Kamu berarti buat abang.
“Seberapa berartinya Aryo buat kamu, sampai abang kamu rendah kan seperti ini! Asal kamu tahu, tidak pernah seorang Angga ngemis cinta sama perempuan, cuma sama kamu abang lakukan, demi … Ah sudahlah.” Angga tidak meneruskan kata-katanya.”
“Kalau hanya demi ibu Sonia, kayaknya harus dipikir ulang deh! Hubungan ini.”
“Maaf bang, jangan temui Dinda dulu, benar kata keponakanmu, gaya pacaran kita nggak sehat.”
“Kamu yang nggak sehat, jangan bawa-bawa Amel, anak kecil didengerin.”
“Sudah, abang keluar! Dinda mau istirahat.”
“Ini rumah kakakku lho! Kapan waktu saja, mau berdiri, duduk, selonjoran dimana saja, saya berhak. Jangan usir saya.”
“Baik, kalau begitu Dinda yang keluar!.
“Wah … wah, hebat, mau ke rumah mas Aryo lagi yah! Jangan-jangan hubungan kalian sudah jauuuh, kaya kali Bengawan Solo,” kata Angga meledek.
“Emosi Dinda sudah memuncak, bahkan hampir tidak terkendali, bangke ini sudah menghina, menuduh dan menyamaratakan semua perempuan seperti perempuan yang pernah dia kencani.”
“Abang pernah nggak kurang ajar sama Dinda,” tanya Dinda.
“Tentu tidak pernah, karena abang laki-laki baik,” jawab Angga bangga.
“Bukan karena laki-laki baik, tapi karena Dinda, tidak pernah memberi kesempatan Abang berbuat kurang ajar!.
“Begitu juga sama mas Aryo, jadi jangan menuduh, menghina Dinda rendah ya!" Belum jadi kita, sudah rumit.”
Angga mulai melunak, ternyata dugaannya meleset. Tidak semua perempuan bisa ditaklukkan.
Angga mulai jatuh cinta, tidak cantik tapi menarik, punya kepribadian luar biasa. tipe istri setia dan berprinsip, cocok jadi ibu dari anak-anak gue. Ibu memang hebat memilihkan menantu.
“Sudah jangan ribut, malu dengan teman kos yang lain, Angga melunak.”
“Malu? … Abang yang teriak-teriak, Dinda dari tadi bicara pelan, bahkan seperti berbisik.”
“Betul kamu bicara seperti berbisik, tapi sekali bicara, menusuk jantung.”
“Ya, abang minta maaf, tapi kamu tetap tidak boleh berhubungan sama Aryo.”
“Jadi apa gunanya berdebat,” kata Dinda.
Kami berhenti berdebat, ketika kak Etha datang.
“Dek, hari Minggu kerumah ibu ya.”
“Nah! ini baru mantap,” kata Angga.
“Maaf kak nggak bisa, Dinda mau ke Bogor stock opname.”
“Perusahaan apa sih minggu kok masuk,” Angga sewot.
“Setiap Perusahaan punya aturan masing-masing,” kak Etha membela Dinda.
“Wah! Sudah sekongkol kalian rupanya,” kata Angga.
“Nggak apa-apa dek, santai aja.”
Kak Etha pergi, Angga langsung interogasi, kenapa dari tadi nggak bahas masalah kerjaan hari Minggu. Kenapa harus hari Minggu. Apa bisa diantar,” katanya.
Aduh! … kepala mau pecah rasanya, dengar pertanyaan-pertanyaan Angga.
*****
Malam Minggu Angga nggak datang ke kos-an Dinda, lega lah, paling tidak bisa istirahat cukup malam itu.
Minggu pagi sekali, Dinda sudah berangkat ke Bogor bersama pak Bos, karena bu Bos sudah ada di Bogor dari hari Sabtu.
Dinda pamitan sama kak Etha, dan berpesan, kalau Dinda pamit ke Bogor, kalau abang tanya, jam lima sore paling lambat sudah sampai Jakarta lagi.
Ternyata banyak yang harus dikerjakan. Jam lima sore kerjaan belum selesai. sedangkan janji, jam lima sore sudah ada di Jakarta. Dinda mulai gelisah, kerja nggak fokus, jantung berdebar-debar. Kenapa seperti terdakwa,” kata Dinda dalam hati.
Jam delapan, kerjaan baru selesai. Lega juga Dinda. Langsung pulang diantar pak supir. Paling tidak jam sepuluh baru sampai rumah.
Benar dugaan Dinda, Bangke sudah berdiri di pintu kamar, dengan tampang aneh.
“Ibu pejabat sibuk sudah datang, sudah lewat lima jam lho! lima jam itu waktu yang lamaaa sekali, mau ngapa-ngapain aja bisa,” kata Angga.
“Apalagi tadi pagi abang lihat, Dinda jalannya hanya berdua sama pak Bos, kan bisa mampir dulu di Hotel,” Angga mengoceh.
Dinda heran, kok bau mulutnya beda, dari biasanya, bicaranya pun nyinyir banget.
Tia, teman sebelah kamar kost, mengedipkan mata. Maksudnya jangan di layani, dia mabuk minuman.
Seumur hidup Dinda belum pernah liat orang mabuk minuman.
“Kerjaan banyak,” kata Dinda pelan.
“Kerjaan, apa dikerjain,” kata Angga mulai memancing emosi.”
“Saya capek ya! Jangan pancing ribut,” kata Dinda.
“Tuh! Kalau orang salah kelihatan, nggak mau disalahin.”
Teman kost sebelah kamar, memberi isyarat untuk tidak melayaninya. Karena Angga sedang mabuk.
Dinda menemui kak Etha, meminta bantuan untuk membawa Angga keluar.
“Tuh Mah, om buat ulah lagi, udah jangan diladenin kak Dinda, putusin aja,” kata Amel marah.
“Hus … kamu itu, tantenya aja diam, kenapa jadi kamu yang sewot.
“Sewot lah, sama-sama perempuan, Mama ini nggak kasihan, jerumusin anak orang,” kata Amel.
Kak Etha menemui Angga, dengan bahasa daerahnya sama sekali nggak dimengerti Dinda. Kalau melihat mimik wajah kak Etha, marah besar.
Angga takut, dia langsung pergi, sambil gerutu.” Ah kamu curang Din, bawa-bawa kakak,” kata Angga, sambil agak sempoyongan jalannya.
Tia, menasehati Dinda, kalau pacaran aja sudah rumit, seperti ini bagaimana kalau sudah rumah tangga, untuk seumur hidup.
“Saya nggak bisa, membayangkan Din,” kata Tia sambil memeluk Dinda.
Di kamar, Dinda menangis. Semalaman tidak bisa tidur, langkah apa harus diambil. Jalan terbaik mana yang direstui Tuhan. Benar, kata-kata Amel. Nggak ada yang bisa diharapkan dari lelaki model Angga.
Pagi-pagi Amel datang ke kamar Dinda.
“Harus kak Dinda pikir ulang. Om itu, malas, banyak gaya, ngomongnya pinter, egois,” kata Amel.
“Kalau hanya tidak enak hati karena oma, Amel bersedia, jadi tumbal jelasin, biar oma biar ngerti.”
“Ini hanya kita sama-sama perempuan, kak Dinda terlalu baik buat om, nggak cocok.” kata Amel.
“Om itu cocoknya sama perempuan nggak bener atau tante girang,” kata Amel emosi.
“Amel! cepat berangkat kuliah,” kata kak Etha pada Amel.
“Amel pergi dulu ya kak,” kata Amel sambil memeluk Dinda.
Di kantor Dinda gelisah, kerja salah terus. Sampai-sampai temannya bingung.
“Ada apa sama kamu Din.” Kalau kamu mau cerita juga boleh, daripada dibawa sendiri.”
Dinda senyum-senyum kecut.
*****
Angga mohon-mohon minta maaf pada Dinda, nggak bermaksud melukai hatinya.
“Belum pernah abang, mencintai gadis seperti mencintai Dinda.”
“Rasa ketakutan kehilangan mu, membuat bertindak tidak pakai logika.”
“Abang janji, tidak akan mengulangi lagi.”
“Please … ya, Din.”
Raut wajah memelas membuat Dinda luluh, Tuhan saja Maha Pemaaf masa saya manusia tidak memaafkan,” kata Dinda dalam hati.
Akhirnya Dinda memaafkan juga, dengan sejuta janji Angga mau berubah. Dengan keyakinan bahwa manusia pasti merubah diri.
*****
Part. 6*****Pihak keluarga Angga, mendesak untuk melamar Dinda. Tidak mau ditunda, walau hanya hitung bulan. Keluarga Dinda heran ada apa ini. Sebagai pihak perwakilan orang tua Dinda, emak (bibi) yang mengasuh Dinda sejak kecil mempertanyakan, mengapa begitu cepat melangsungkan pernikahan, kenal saja belum lama. Apalagi beda suku, akan beda juga adat istiadatnya.[Din? Apa sudah dipikir masak-masak, baru kenal. Pacaran satu tahun lah cukup untuk penjajakan. Kamu baru lima bulan sudah mau nikah, kata emak lewat telpon.][Sudah Dinda pikir segala resikonya, ujar Dinda][Kamu itu lho, Din! Keras banget sih! Mbok ya dengar omongan emak, nggak ada salahnya kan? ][Orang
Part. 7*****Ibu menelpon kak Etha, karena Dinda, tidak siuman dari pingsan. Tak lama kemudian kak Etha datang. Membawa Dinda kerumah sakit.Dokter dengan sigap menangani, diagnosa awal karena dehidrasi dan kelelahan, Dinda di opname, setelah cek darah dan semuanya bagus, dokter bertanya, kapan menstruasi terakhir, Dinda lupa, karena begitu banyaknya masalah dihadapi. Keesokan harinya Dinda tes urine, hasilnya positif.“Selamat bu? Atas kehamilannya,” kata dokter.Dinda senang, berharap ini awal baru, babak baru, dalam hidup Dinda. Semoga Angga berubah, walau dari kemarin Angga belum menjenguk Dinda.Ibu selalu menjaga, Dinda sudah menyuruh pulang. Berusaha sema
Part. 8****Di tinggal Dinda, Angga justru tidak minum, setiap hari hanya melamun, sesekali Angga membujuk ibu Sonia bicara sama bapak, untuk menjemput Dinda.Ibu mengacuhkan permintaan Angga. Banyak hal harus dipikirkan. Memikirkan anak Dinda, sekarang sudah berusia lima bulan menurut perhitungannya, pasti lucu, kangen sama menantu dan cucu.Maafkan ibu nak, benar kata Amel kamu terlalu baik untuk Angga, kata ibu bicara sendiri.Ibu menyesal, telah menjodohkan kamu dengan Angga, kalau saja mau mendengarkan Amel, anak itu menentang habis-habisan perjodohan ini, karena tahu tingkah Angga."Oma, om itu jahat, nggak ada bagus-bagusnya, dia pernah jadi simpanan mamanya temen Amel," suara Amel terdengar jelas.
Part 9****Akhirnya kepulangan Angga datang juga. Ibu, Dinda, Aning, dan Kak Etha menjemput. Jujur dalam hati Dinda tidak mau ikut. Berat hati, karena takut. Selama Angga di lapas tidak menjenguk.Kak Etha, sebetulnya keberatan ibu menjemput, jika setiap ada masalah selalu diistimewakan, Angga tidak akan pernah dewasa. Itu alasan kak Etha. Ibu selalu melindungi Angga, dengan alasan kasihan. Atas nama kasihanlah, Angga memperalat ibu dan mengambil keuntungan.Uang Dinda tetap kak Etha pegang. Karena semua kebutuhan Dinda dan Aning, ibu sama sekali tidak mengijinkan Dinda mengeluarkan. Ibu ingin Dinda punya tabungan, agar sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, tidak repot.Jam sepuluh tepat, Angga keluar, pertama dicari A
Part 10*****Waktu terus berjalan. Tidak terasa Aning sudah berusia lima tahun, bersekolah di TK, pintar sekali, umur lima tahun dia sudah lancar membaca, Aning hafal nama-nama Menteri Kabinet pembangunan, jamannya Presiden Soeharto, dia hafal nama dua puluh lima Presiden di dunia, Aning juga hafal nama-nama Bendera negara di dunia.Dinda rajin membeli buku ensiklopedia, globe, dan bercerita tentang dunia, walau belum mengerti, Dinda tetap bercerita, untuk menambah daya ingat Aning.Les tari Bali dan les renang juga diberikan untuk Aning. Ingin suatu ketika jika sudah besar berwawasan luas, jangan seperti ibunya. Perempuan kampung hidupnya kurang beruntung.Bapak mertua sayang sekali
Part_11***Dinda melihat ibu mertua tidak turun dari ranjang. Perutnya diikat syal panjang, pakai kaos kaki dan baju rangkap, merintih kesakitan. Ibu sering sakit, apalagi kalau ada pikiran.Mungkin juga karena lelah mengawasi Aning dan Lesta tidak bisa diam. Walau ada pengasuh, tidak lepas tangan, untuk urusan cucu. Ibu memberi saran."Nak, sudah waktunya kamu berhenti kerja, tapi harus punya kegiatan di rumah agar bisa memantau anak-anak.""Usaha apa ya, bu," kata Dinda."Kamu itu pinter, rajin, semangat, coba kamu kursus salon, dimana-mana salon ibu lihat ramai semua."Bagaimana seorang ibu, tidak modis, sederhana, orang kampung sama seperti Dinda, menyarankan kursus salon. Ide cemerlang dari man
Bapak Menikah Lagi*****Akhir-akhir ini, bapak mertua berbeda, minta dibelikan celana Jeans, T-Shirt, sepatu sport, ada apa rupanya dengan lelaki tujuh puluh dua tahun? seperti bukan bapak, beli bunga mawar merah dan putih, ditaruh di pintu kamar.“Ada apa bapak, beda sekali hari ini,” tanya Dinda.“Nanti kamu akan tahu nak," kata bapak tersenyum.“Wah! Opa Aning main teka-teki,” kata Dinda berseloroh.“Tenang aja nak, tidak akan mengurangi rasa cinta saya sama kalian.”Dinda masih belum 'ngeh' ucapan bapak.Sore itu bapak sibuk, menyuruh bibi beli makanan, jaman now,
Part 13*****Dinda mengontrak rumah daerah pinggiran Jakarta, udaranya masih bagus. Pagi hari masih merasakan embun walau hanya sebentar.Lingkungan komplek lumayan aman, untuk anak-anak. Perlu lingkungan baik, untuk tumbuh kembang anak, pertimbangan Dinda. Sedih hati, ternyata bapak sangat berubah, hampir tidak mengenalinya. Setiap mau bicara, harus tengak-tengok, kalau tidak ada Suaria, baru bapak berani bicara sama Dinda. Sudah begitu, luar biasa pengaruh dalam hidup bapak?"Bapak tidak membantu sama sekali, ketika Dinda pindah, Aning dan Lesta tidak berani dekat. Anak-anak mendekat, ketika sudah dipanggil. Apalagi kalau ada Suaria, Aning dan Lesta sama sekali tidak mau.Kak Etha sedih Dinda pindah, karena tidak ada mengawasi bapak. Bagaimana kalau sakit