Vera menghampiri Ruben yang sedang ngumpul di kantin bersama teman-temannya. "Ben!" sapanya. Ruben menoleh, dari ekspresi wajahnya. Ia terlihat kurang berkenan dengan kehadiran Vera. "Ada apa, Ver?" "Gue mau ngomong sebentar!" jawabnya, "Eh, gue pinjem Rubennya ya!" katanya meminta ijin dengan teman-temannya. "Ambil aja sono, siapa yang butuh!" kelakar Tomi sambil menyedot teh botol di tangannya. "Sialan lo ah!" timpal Ruben yang kemudian mengikuti Vera pergi. Mereka bicara di taman sekolah, duduk berdampingan. "Ben, kemarin lo ke mana sih? Gue telepon puluhan kali tapi nggak pernah lo angkat. Dan loe juga nggak nelpon gue balik. Lo pergi ke mana sama Melanie?" "Gue pergi ke mana itu bukan urusan lo!" "Tapi gue kan pacar lo!" kesal Vera dengan nada tinggi. "Terus ... harus jadi malasah buat gue, gitu?" Vera memandangnya aneh dan marah, sepertinya Ruben cuek sekali dengan hubungan mereka, dan belakangan terkesan menghindar. "Lo udah punya cewe lain?" Ruben tak menjawab, t
Ruben sudah siap di atas motornya, kali ini ia yang akan bertanding. Memang sudah lama sekali ia tak melakukan hal itu. Setiap kali orangtuanya di rumah malah ruang lingkupnya jadi semakin terbatas. Karena orangtuanya pasti akan selalu menyuruh orang untuk mengawasinya, selama ini sebenarnya ia memang selalu diawasi. Tapi tak pernah bermasalah, apalagi jika Dennis ada di rumah. Terkadang kakaknya itu akan sedikit membelanya di depan orangtuanya. Lawan Ruben kali ini adalah Fiki, mereka memang musuh lama. Selain dalam trak Fiki adalah kapten Klub basket di sekolah, dan memang ia tak pernah akur dengan Ruben. Dan selain Ryo, Fikilah yang selalu membuat ulah dengan Ben. Tapi Ryo masih belum ada apa-apanya dibanding Fiki dan klub basketnya. Mereka sudah bersiap di garis start, banyak orang menonton di sisi jalan yang berasal dari kedua gank. Selina, seorang gadis cantik nan seksi memegang sapu tangan warna merah bercampur biru sebagai aba-aba. Selina adalah pacar Fiki, tapi gadis itu bu
Ruben mengajak Melanie ke pantai malam itu, mereka menghabiskan sepanjang malam dengan duduk dan ngobrol. Sisa waktu yang ada mereka pergunakan untuk tidur di dalam mobil. Melanie berbaring di jok belakang, sementara Ruben tidur bersandar di kursi depan. Kakinya ia julurkan ke aras dashboard dengan posisi miring. Sinar matahari yang sudah menyembur menembus kaca mobil membuat Ruben terjaga. Putih sinarnya mengenai wajahnya, ia membuka mata perlahan. Menggeliat. Ketika matanya terbuka lebar ia sadar kalau dirinya tak bangun di tempat tidurnya yang empuk dan hangat. Ia ada di dalam mobilnya. Oh iya, gue memang berada di sini sejak semalam. Ben menoleh ke belakang, dilihatnya gadis itu masih meringkuk di bawah jacketnya. Ben ingat semalam Melanie kedinginan makanya ia memberikan jacketnya untuk gadis itu. Ben tak berniat membangunkannya. Melanie terlihat lelah karena mereka ngobrol hingga sekitar jam 3 dini hari. Ben keluar dari mobil, ia melihat jam di tangannya. Itu sudah menunjuk j
Sekitar jam 8.45 malam Ben keluar dari kamarnya, ia berjalan ke dapur. Mengambil gelas dan menuang segelas air putih. Ia meneguknya dengan cepat. Lalu ia membuka pintu rak yang menempel dinding. Perutnya keroncongan karena belum diisi makanan apa pun selain secangkir kopi segar hangat tadi pagi bersama Melanie. Ben memungut sebungkus potato chips, menutup rak itu dengan kakinya sambil membuka bungkusan potato chipsnya. Ia pun melahap isinya sambil duduk di meja dapur. Duduk di meja dapur adalah kebiasaannya jika sedang menunggu Melanie memasak untuknya. Kakinya bergelantungan menciptakan gerakan kecil yang berirama. Mbok Jah masuk dari pintu belakang, perempuan tua itu baru saja membuang sampah keluar. Ia sedikit terkejut oleh sesosok tubuh yang duduk di meja, "Aduh, Den Ruben bikin mbok Jah kaget aja!" serunya "Den Ruben ngapain di sini?" "Laper, Mbok!" jawabnya sambil mengunyah. "Tadi Mbok Jah ketuk-ketuk pintu nggak dibukain, padahal kan Mbok bikinin makanan khusus buat Den Rub
Seperti biasa Tika tak mau diantar sampai ke rumahnya, tapi anehnya Ruben tak penah mempermasalahkan hal itu. Setelah mengantar Tika kini giliran menunggui Melanie deh. Ya, itu memang sudah rutinitasnya, ia tak mengijinkan Melanie pulang sendiri. Makanya jika Tomi dan Rico sibuk ya dirinya yang harus setia.Ben menunggu Melanie hingga selesai, dalam perjalanan pulang ...."Bagaimana acaramu ?" tanya Melanie."Lancar, kami pergi ke Master!""Oh ya. Bagaimana keadaan mereka, lama nggak ke sana!""Lain kali kita ke sana, mereka pada nanyain lo tuh!""Hubunganmu sendiri dengan Tika bagaimana?""Emm ... Lebih baik. Setidaknya dia senang bersama gue!""Baguslah. Aku bisa tenang!""Apa maksud lo?""Ya, aku akan merasa tenang karena kupikir kamu akan berubah!"Ben tersenyum."Tapi lo nggak akan ninggalin gue karena itu kan?"Melanie terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa.Artika tidur menelungkup, matanya terkunci ke monitor di laptopnya. Ia sedang mengerjakan skripsinya. Itu sudah 90%, hamp
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ben. Melanie masih diam. Mereka bicara di kantin bersama Rico dan Tomi pula. Melanie tak ingin memberi tahu Ben tentang Dennis yang kembali mengintimidasi dirinya. Tapi sepertinya Ben tahu tentang hal itu. "Mel, lo jujur aja sama kita!" seru Rico. "Nggak ada apa-apa kok. Mungkin kualitas suaraku saja yang menurun!" elaknya. "Nggak mungkin!" seru Ruben, "Gue tahu. Ini ada hubungannya sama keluarga gue!" tambahnya. "Ben. Kurasa ini nggak perlu dibahas lagi. Lagian aku masih bisa mencari pekerjaan baru kan!" "Mel, apa Kak Dennis datengin lo?" tanya Ben lagi. "Nggak!" jawabnya bohong. "Lo berbohong lagi kan? Tempo hari lo juga bohong. Lo tahu gue nggak suka itu!" seru Ben. Melanie diam. Ia bingung harus menjawab apa. "Mel, lo tahu kita bakal lindungin lo. Jadi lo nggak perlu takut," tambah Tomi,"Aku beneran nggak apa-apa, kok. Kalian kenapa sih?" katanya mencoba terlihat baik-baik saja, "Udah ... nggak perlu terlalu dipusingin. Nanti aku bis
Ben masih terdiam, ia memandang Fiki yang tersenyum padanya, sebuah senyum cibiran. Ben melirik Melanie yang masih disandra oleh Dito dan Farhan. Gadis itu memang tidak diikat, itu tidak perlu. Ia memang kalah dalam duel pertamannya di ring basket, tapi ia akan berusaha menang di duel kedua ini atau Melanie yang akan menanggung akibatnya.Fiki adalah orang yang selalu melakukan apa yang ia ucapkan. Jika Ben kalah maka Fiki akan melakukan ancamannya terhadap Melanie, dan Ben tidak akan membiarkan itu terjadi. Fiki berjalan ke tengah lapangan, Aldi dan Remon yang sedari tadi menahan Ben melepaskannya. Rasa sakit di ulu hatinya masih sedikit terasa, semoga saja ia bisa bertahan sampai akhir. Ben berdiri dan masuk ke posisinya. Keduanya memasang kuda-kuda dan saling menyerang.Ben jatuh di dua menit pertama, tapi ia segera bangkit dan membalas Fiki. Ia bahkan berhasil menjatuhkan Fiki beberapa kali. Tapi Fiki juga cukup kuat. Pertarungan mereka cukup serius, keduanya sama-sama memiliki ha
Erika, mamanya Ruben menyalahkan Melanie atas apa yang terjadi dengan putranya, ia bahkan mengusir gadis itu dari rumah sakit saat keadaan Ruben masih kritis. Melanie berlari keluar dengan airmata yang mengintip di ujung matanya. "Tom, lo di sini aja biar gue yang temenin Melanie!" seru Rico, ia memberi isyarat agar tomi menelponya nanti. Lalu ia pun berlari keluar mengejar sahabatnya. Ia melihat Melanie keluar dari lobi, ia pun mempercepat langkahnya agar bisa meraih gadis itu. "Mel, tunggu!" serunya seraya menarik lengan Melanie. Membuat langkahnya terhenti. "Omongan Tante Erika nggak usah lo pikirin. Mungkin dia lagi panik aja!" katanya mencoba menghibur. "Tapi apa yang dia katakan benar, Ben seperti itu karena aku!" "Itu nggak benar!" seru Rico, "Dengarin gue Mel, lo itu sangat berarti buat Ruben. Lo yang jadi semangat baru buat dia. Lo jangan pernah berfikir untuk meninggalkannya!" "Tapi, Ric." "Sadar atau nggak Ben itu cinta sama lo!" tegasnya lagi. "Rico!" desis Melani