"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ben. Melanie masih diam. Mereka bicara di kantin bersama Rico dan Tomi pula. Melanie tak ingin memberi tahu Ben tentang Dennis yang kembali mengintimidasi dirinya. Tapi sepertinya Ben tahu tentang hal itu. "Mel, lo jujur aja sama kita!" seru Rico. "Nggak ada apa-apa kok. Mungkin kualitas suaraku saja yang menurun!" elaknya. "Nggak mungkin!" seru Ruben, "Gue tahu. Ini ada hubungannya sama keluarga gue!" tambahnya. "Ben. Kurasa ini nggak perlu dibahas lagi. Lagian aku masih bisa mencari pekerjaan baru kan!" "Mel, apa Kak Dennis datengin lo?" tanya Ben lagi. "Nggak!" jawabnya bohong. "Lo berbohong lagi kan? Tempo hari lo juga bohong. Lo tahu gue nggak suka itu!" seru Ben. Melanie diam. Ia bingung harus menjawab apa. "Mel, lo tahu kita bakal lindungin lo. Jadi lo nggak perlu takut," tambah Tomi,"Aku beneran nggak apa-apa, kok. Kalian kenapa sih?" katanya mencoba terlihat baik-baik saja, "Udah ... nggak perlu terlalu dipusingin. Nanti aku bis
Ben masih terdiam, ia memandang Fiki yang tersenyum padanya, sebuah senyum cibiran. Ben melirik Melanie yang masih disandra oleh Dito dan Farhan. Gadis itu memang tidak diikat, itu tidak perlu. Ia memang kalah dalam duel pertamannya di ring basket, tapi ia akan berusaha menang di duel kedua ini atau Melanie yang akan menanggung akibatnya.Fiki adalah orang yang selalu melakukan apa yang ia ucapkan. Jika Ben kalah maka Fiki akan melakukan ancamannya terhadap Melanie, dan Ben tidak akan membiarkan itu terjadi. Fiki berjalan ke tengah lapangan, Aldi dan Remon yang sedari tadi menahan Ben melepaskannya. Rasa sakit di ulu hatinya masih sedikit terasa, semoga saja ia bisa bertahan sampai akhir. Ben berdiri dan masuk ke posisinya. Keduanya memasang kuda-kuda dan saling menyerang.Ben jatuh di dua menit pertama, tapi ia segera bangkit dan membalas Fiki. Ia bahkan berhasil menjatuhkan Fiki beberapa kali. Tapi Fiki juga cukup kuat. Pertarungan mereka cukup serius, keduanya sama-sama memiliki ha
Erika, mamanya Ruben menyalahkan Melanie atas apa yang terjadi dengan putranya, ia bahkan mengusir gadis itu dari rumah sakit saat keadaan Ruben masih kritis. Melanie berlari keluar dengan airmata yang mengintip di ujung matanya. "Tom, lo di sini aja biar gue yang temenin Melanie!" seru Rico, ia memberi isyarat agar tomi menelponya nanti. Lalu ia pun berlari keluar mengejar sahabatnya. Ia melihat Melanie keluar dari lobi, ia pun mempercepat langkahnya agar bisa meraih gadis itu. "Mel, tunggu!" serunya seraya menarik lengan Melanie. Membuat langkahnya terhenti. "Omongan Tante Erika nggak usah lo pikirin. Mungkin dia lagi panik aja!" katanya mencoba menghibur. "Tapi apa yang dia katakan benar, Ben seperti itu karena aku!" "Itu nggak benar!" seru Rico, "Dengarin gue Mel, lo itu sangat berarti buat Ruben. Lo yang jadi semangat baru buat dia. Lo jangan pernah berfikir untuk meninggalkannya!" "Tapi, Ric." "Sadar atau nggak Ben itu cinta sama lo!" tegasnya lagi. "Rico!" desis Melani
Ruben membuka matanya, ia melihat ke sekeliling. Dari cat tembok yang serba putih ia tahu bahwa dirinya berada di rumah sakit, tempat yang tak ia sukai. Detik kemudian ia tercekat,"Melanie!"Di mana Melanie?Ia melirik ke samping. Ada Tomi yang sedang duduk melamun. Ia memutar pandangannya, dilihatnya mamanya sedang menelpon seseorang, pasti papa. Pikirnya. "Tom!" desisnya. Tomi tersentak dan menghampirinya. "Ben, lo udah sadar. Syukurlah!" katanya girang karena sahabatnya sudah kembali, "Gimana keadaan lo?" "Remuk badan gue!" jawabnya dengan tawa kecil. Tomi ikut tertawa. "Bajingan kek lo terkadang emang pantes buat dihajar!" cibir Tomi. "Sialan lo!"***Tika duduk di tepian ranjang, sementara Dennis hanya berdiri memandangnya. Mendengarkannya bicara. "Maafkan aku, aku nggak bermaksud mengkhianatimu. Dia mengikutiku selama beberapa hari, aku sudah menghindar. Tapi dia bilang jika aku terus menghindar dia akan mengikutiku sampai masuk rumah. Jadi kupikir ... aku terima saja d
Ben keluar dari mobil dibantu oleh Rico, mereka berjalan sedikit menjauh dari mobil. Melanie langsung meluncur turun dan memeluk Ben dengan erat. Air mata merembes dari kelopaknya. "Aku senang kamu sudah sadar, aku takut sekali!" desisnya sambil mempererat pelukannya, membuat Ben tak bisa napas. Dan kepalanya pun berputar-putar sedari tadi. "Mel, kepala gue pusing dan gue nggak-bisa ber-napas!" katanya dengan suara yang lemah. "Ah!" Melanie terperanjat, ia melepaskan pelukannya, "Maaf, aku terlalu senang bisa melihatmu lagi!" katanya menatap pemuda itu, Ben membalas tatapannya. Sejujurnya ia senang Melanie memeluknya seperti itu. "He'em-he'em!" Rico dan Tomi berdehem hampir bersamaan, membuyarkan lamunan keduanya. Melanie sedikit menunduk karena malu, Ben sendiri malah hampir ambruk lagi karena tubuhnya masih lemah. Beruntung Tomi ada di belakangnya sehingga bisa menopang. "Lebih baik kita masuk sekarang!" ajak Melanie. Mereka membawa Ben masuk dan membaringkannya di s
Melanie keluar dari kamar, ia tak melihat Ruben di sofa. Tapi ia mendengar bunyi di dapur, bunyi yang berasal dari sendok yang jatuh. Ia pun menghampiri ke sana. Dilihatnya Ben baru saja mengambil sendok dari lantai lalu menaruhnya ke wastafel. "Kamu sedang apa?" tanya Melanie. Ben menoleh, "Aku ... aku lagi bikin teh!" "Membuat teh?" heran Melanie, ia mendekat. "Seenggaknya aku bisa membedakan gula dan garam!" sambungnya, ia memberikan secangkir teh manis hangat kepada gadis itu. Melanie tersenyum lalu menerima dan meminumnya. "Ya, kamu nggak salah memasukan barang. Seharusnya kamu nggak perlu lakukan ini. Kamu kan masih sakit!" "Aku baik-baik saja. Lihatlah!" ia menunjukan dirinya yang memang sudah tampak lebih segar. Melanie menaruh cangkir itu di meja. "Coba kulihat lukamu!" katanya menangkup kepala Ruben dengan kedua tangannya. Ia mengamati wajah pemuda itu. "Sepertinya perbanmu perlu diganti!" Ben hanya diam memandangnya. Dalam keadaan seperti ini sangat jelas sekali, b
Melanie masih diam terpaku di depan pintu melihat sosok yang berdiri tegap di depannya. "Kak Dennis!" desisnya. Meski sulit mulutnya berucap tapi sapaan itu akhirnya keluar juga. Dennis memandangnya tajam, dari belakang Dennis ada seseorang yang muncul "Tante Erika!" desisnya lagi. Sekarang Melanie semakin panik, ia berpegang daun pintu untuk menopang tubuhnya agar tak roboh. "Kamu jangan senang dulu, kami membiarkan Ben menginap di rumahmu bukan berarti kami setuju dengan hubungan kalian!" seru Dennis. "Apa saja yang kamu lakukan bersama Ruben?" tanya Erika. "Kami nggak melakukan apa pun!" "Rubbish!" maki Erika sambil melayangkan sebuah tamparan ke wajah Melanie. Membuat wajahnya terlempar ke samping, Melanie memegang pipinya yang merah dan panas. Perlahan ia mengangkat wajahnya. "Aku nggak akan membiarkan putraku terus kamu perdayai, jika kamu ingin selamat jauhi Ruben!" "Tapi_""Apa insiden di lapangan basket belum cukup bagimu, kamu masih ingin yang lebih dari itu?" seru
"Lo jatuh cinta sama seseorang, siapa?" tanya Vera. "Ntar juga lo tahu!" "Gue denger soal insiden di lapangan basket. Nampaknya parah banget, lo nggak patah tulang kan?" tanyanya sedikit cemas "Kalau ada yang patah nggak mungkin gue bisa ke sini, kali!" "Syukurlah!" "Abis ini lo jangan kek gitu lagi, gue yang repot tahu nggak!" kesal Ben. Vera tertawa kecil. "Maaf. Tapi gue tetap senang kok lo mau kesini, makasih ya!" Ben terdiam, ia jadi ingat sms yang ia dapat dari Artika. Kira-kira apa yang mau dia omongin ya? Ben jadi penasaran. Apa dia telepon sekarang saja dan minta ketemu. "Ver, gue balik dulu ya, kepala gue masih dikit pusing nih!" bohongnya. "Kalau kepala lo pusing seharusnya loe jangan nyetir mobil sendiri!" "Nggak apa-apa kok, udah biasa!" jawabnya berdiri. Ya, dulu dia sering menyetir mobil dengan keadaan setengah mabuk. Tapi tak pernah kecelakaan tuh. Tuhan aja yang masih sayang sama nyawanya. Akhirnya Ben pulang dari kediaman Vera, dalam perjalanan ia menelpo