Ruben mengajak Melanie ke pantai malam itu, mereka menghabiskan sepanjang malam dengan duduk dan ngobrol. Sisa waktu yang ada mereka pergunakan untuk tidur di dalam mobil. Melanie berbaring di jok belakang, sementara Ruben tidur bersandar di kursi depan. Kakinya ia julurkan ke aras dashboard dengan posisi miring. Sinar matahari yang sudah menyembur menembus kaca mobil membuat Ruben terjaga. Putih sinarnya mengenai wajahnya, ia membuka mata perlahan. Menggeliat. Ketika matanya terbuka lebar ia sadar kalau dirinya tak bangun di tempat tidurnya yang empuk dan hangat. Ia ada di dalam mobilnya. Oh iya, gue memang berada di sini sejak semalam. Ben menoleh ke belakang, dilihatnya gadis itu masih meringkuk di bawah jacketnya. Ben ingat semalam Melanie kedinginan makanya ia memberikan jacketnya untuk gadis itu. Ben tak berniat membangunkannya. Melanie terlihat lelah karena mereka ngobrol hingga sekitar jam 3 dini hari. Ben keluar dari mobil, ia melihat jam di tangannya. Itu sudah menunjuk j
Sekitar jam 8.45 malam Ben keluar dari kamarnya, ia berjalan ke dapur. Mengambil gelas dan menuang segelas air putih. Ia meneguknya dengan cepat. Lalu ia membuka pintu rak yang menempel dinding. Perutnya keroncongan karena belum diisi makanan apa pun selain secangkir kopi segar hangat tadi pagi bersama Melanie. Ben memungut sebungkus potato chips, menutup rak itu dengan kakinya sambil membuka bungkusan potato chipsnya. Ia pun melahap isinya sambil duduk di meja dapur. Duduk di meja dapur adalah kebiasaannya jika sedang menunggu Melanie memasak untuknya. Kakinya bergelantungan menciptakan gerakan kecil yang berirama. Mbok Jah masuk dari pintu belakang, perempuan tua itu baru saja membuang sampah keluar. Ia sedikit terkejut oleh sesosok tubuh yang duduk di meja, "Aduh, Den Ruben bikin mbok Jah kaget aja!" serunya "Den Ruben ngapain di sini?" "Laper, Mbok!" jawabnya sambil mengunyah. "Tadi Mbok Jah ketuk-ketuk pintu nggak dibukain, padahal kan Mbok bikinin makanan khusus buat Den Rub
Seperti biasa Tika tak mau diantar sampai ke rumahnya, tapi anehnya Ruben tak penah mempermasalahkan hal itu. Setelah mengantar Tika kini giliran menunggui Melanie deh. Ya, itu memang sudah rutinitasnya, ia tak mengijinkan Melanie pulang sendiri. Makanya jika Tomi dan Rico sibuk ya dirinya yang harus setia.Ben menunggu Melanie hingga selesai, dalam perjalanan pulang ...."Bagaimana acaramu ?" tanya Melanie."Lancar, kami pergi ke Master!""Oh ya. Bagaimana keadaan mereka, lama nggak ke sana!""Lain kali kita ke sana, mereka pada nanyain lo tuh!""Hubunganmu sendiri dengan Tika bagaimana?""Emm ... Lebih baik. Setidaknya dia senang bersama gue!""Baguslah. Aku bisa tenang!""Apa maksud lo?""Ya, aku akan merasa tenang karena kupikir kamu akan berubah!"Ben tersenyum."Tapi lo nggak akan ninggalin gue karena itu kan?"Melanie terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa.Artika tidur menelungkup, matanya terkunci ke monitor di laptopnya. Ia sedang mengerjakan skripsinya. Itu sudah 90%, hamp
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ben. Melanie masih diam. Mereka bicara di kantin bersama Rico dan Tomi pula. Melanie tak ingin memberi tahu Ben tentang Dennis yang kembali mengintimidasi dirinya. Tapi sepertinya Ben tahu tentang hal itu. "Mel, lo jujur aja sama kita!" seru Rico. "Nggak ada apa-apa kok. Mungkin kualitas suaraku saja yang menurun!" elaknya. "Nggak mungkin!" seru Ruben, "Gue tahu. Ini ada hubungannya sama keluarga gue!" tambahnya. "Ben. Kurasa ini nggak perlu dibahas lagi. Lagian aku masih bisa mencari pekerjaan baru kan!" "Mel, apa Kak Dennis datengin lo?" tanya Ben lagi. "Nggak!" jawabnya bohong. "Lo berbohong lagi kan? Tempo hari lo juga bohong. Lo tahu gue nggak suka itu!" seru Ben. Melanie diam. Ia bingung harus menjawab apa. "Mel, lo tahu kita bakal lindungin lo. Jadi lo nggak perlu takut," tambah Tomi. "Aku beneran nggak apa-apa, kok. Kalian kenapa sih?" katanya mencoba terlihat baik-baik saja, "Udah ... nggak perlu terlalu dipusingin. Nan
Ben masih terdiam, ia memandang Fiki yang tersenyum padanya, sebuah senyum cibiran. Ben melirik Melanie yang masih disandra oleh Dito dan Farhan. Gadis itu memang tidak diikat, itu tidak perlu. Ia memang kalah dalam duel pertamannya di ring basket, tapi ia akan berusaha menang di duel kedua ini atau Melanie yang akan menanggung akibatnya.Fiki adalah orang yang selalu melakukan apa yang ia ucapkan. Jika Ben kalah maka Fiki akan melakukan ancamannya terhadap Melanie, dan Ben tidak akan membiarkan itu terjadi. Fiki berjalan ke tengah lapangan, Aldi dan Remon yang sedari tadi menahan Ben melepaskannya. Rasa sakit di ulu hatinya masih sedikit terasa, semoga saja ia bisa bertahan sampai akhir. Ben berdiri dan masuk ke posisinya. Keduanya memasang kuda-kuda dan saling menyerang.Ben jatuh di dua menit pertama, tapi ia segera bangkit dan membalas Fiki. Ia bahkan berhasil menjatuhkan Fiki beberapa kali. Tapi Fiki juga cukup kuat. Pertarungan mereka cukup serius, keduanya sama-sama memiliki ha
Erika, mamanya Ruben menyalahkan Melanie atas apa yang terjadi dengan putranya, ia bahkan mengusir gadis itu dari rumah sakit saat keadaan Ruben masih kritis. Melanie berlari keluar dengan airmata yang mengintip di ujung matanya. "Tom, lo di sini aja biar gue yang temenin Melanie!" seru Rico, ia memberi isyarat agar tomi menelponya nanti. Lalu ia pun berlari keluar mengejar sahabatnya. Ia melihat Melanie keluar dari lobi, ia pun mempercepat langkahnya agar bisa meraih gadis itu. "Mel, tunggu!" serunya seraya menarik lengan Melanie. Membuat langkahnya terhenti. "Omongan Tante Erika nggak usah lo pikirin. Mungkin dia lagi panik aja!" katanya mencoba menghibur. "Tapi apa yang dia katakan benar, Ben seperti itu karena aku!" "Itu nggak benar!" seru Rico, "Dengarin gue Mel, lo itu sangat berarti buat Ruben. Lo yang jadi semangat baru buat dia. Lo jangan pernah berfikir untuk meninggalkannya!" "Tapi, Ric." "Sadar atau nggak Ben itu cinta sama lo!" tegasnya lagi. "Rico!" desis Melani
Ruben membuka matanya, ia melihat ke sekeliling. Dari cat tembok yang serba putih ia tahu bahwa dirinya berada di rumah sakit, tempat yang tak ia sukai. Detik kemudian ia tercekat,"Melanie!"Di mana Melanie?Ia melirik ke samping. Ada Tomi yang sedang duduk melamun. Ia memutar pandangannya, dilihatnya mamanya sedang menelpon seseorang, pasti papa. Pikirnya. "Tom!" desisnya. Tomi tersentak dan menghampirinya. "Ben, lo udah sadar. Syukurlah!" katanya girang karena sahabatnya sudah kembali, "Gimana keadaan lo?" "Remuk badan gue!" jawabnya dengan tawa kecil. Tomi ikut tertawa. "Bajingan kek lo terkadang emang pantes buat dihajar!" cibir Tomi. "Sialan lo!"***Tika duduk di tepian ranjang, sementara Dennis hanya berdiri memandangnya. Mendengarkannya bicara. "Maafkan aku, aku nggak bermaksud mengkhianatimu. Dia mengikutiku selama beberapa hari, aku sudah menghindar. Tapi dia bilang jika aku terus menghindar dia akan mengikutiku sampai masuk rumah. Jadi kupikir ... aku terima saja d
Ben keluar dari mobil dibantu oleh Rico, mereka berjalan sedikit menjauh dari mobil. Melanie langsung meluncur turun dan memeluk Ben dengan erat. Air mata merembes dari kelopaknya. "Aku senang kamu sudah sadar, aku takut sekali!" desisnya sambil mempererat pelukannya, membuat Ben tak bisa napas. Dan kepalanya pun berputar-putar sedari tadi. "Mel, kepala gue pusing dan gue nggak-bisa ber-napas!" katanya dengan suara yang lemah. "Ah!" Melanie terperanjat, ia melepaskan pelukannya, "Maaf, aku terlalu senang bisa melihatmu lagi!" katanya menatap pemuda itu, Ben membalas tatapannya. Sejujurnya ia senang Melanie memeluknya seperti itu. "He'em-he'em!" Rico dan Tomi berdehem hampir bersamaan, membuyarkan lamunan keduanya. Melanie sedikit menunduk karena malu, Ben sendiri malah hampir ambruk lagi karena tubuhnya masih lemah. Beruntung Tomi ada di belakangnya sehingga bisa menopang. "Lebih baik kita masuk sekarang!" ajak Melanie. Mereka membawa Ben masuk dan membaringkannya di s
Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" seru Rico.
Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi
Tiga hari setelah kepergian Melanie ....Ruben duduk di lantai kamarnya, duduk bersandar ranjang, kakinya ditekuk, kedua lengannya ia sandarkan pada lutut. Pandangannya kosong, sesekali air mata turun menggelinding melewati pipinya. Sudah tiga hari setelah pulang dari makam ia seperti itu. Ia berada di kamar itu pun karena Rico dan Tomi yang membawa tubuhnya. Dia pingsan saat berdiri setelah terlalu lama duduk di samping makam Melanie, tak mengucapkan apa pun selain Al- Fatihah dan nama gadis itu yang terucap puluhan kali. Hingga detik ini ia sama sekali tak beranjak sejak ia tersadar dari pingsannya. Saat ia sadar, ia mencari Melanie di setiap sudut kamar seperti orang gila. Setelah sadar bahwa Melanie telah pergi, ia menangis dan menyambar semua barang yang ada di meja kamarnya hingga berhamburan ke lantai sambil berteriak. Setelah itu tubuhnya melemas dan ia terduduk di sana hingga sekarang. Duduk melamun, tanpa makan, minum dan bicara. Erika sudah berusaha bicara padanya berkali-
"Mel, maukah kamu menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya."Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar."Aku nggak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu nggak boleh?""Ya, itu memang nggak boleh, seharusnya!" jawabnya."Kalau begitu kita harus menikah kan?"Melanie tertawa ...."Kita masih terlalu muda, Ben!""Kamu ragu dengan cintaku?" serunya membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati."Aku sangat mencintai kamu, dan cintaku tulus sama kamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius."Ben!" desis Melanie.Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya didesak dengan keadaan."Kita menikah hari ini, dan setelah itu nggak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup
Artika menghampiri Dennis yang sedang menenggak minuman di dalam gelas yang ada di genggamannya. Tiga botol sudah kosong, kini botol di mejanya bertambah menjadi enam. Terlihat ia sedang menenggak langsung dari mulut botol itu. Tika berdiri di sampingnya."Dennis, kamu kenapa?" tanyanya.Dennis tak menjawab, ia hanya melirik kekasihnya. Ia sudah setengah mabuk, tapi masih sadar. Wajahnya terlihat babak belur tanpa ada pengobatan, ia tak sempat lakukan itu. Sesampainya di pelabuhan ia langsung mengendarai mobilnya ke tempat ini, tempat di mana sekarang ia sedang mencoba menenangkan diri di dalam botol anggur dan Wisky."Apa kamu berkelahi dengan Ruben?" tanya Tika."Aku hanya ingin dia pulang, apa itu salah?" jawabnya, "Dia begitu keras kepala!" lanjutnya."Mungkin memang nggak seharusnya kamu memaksanya.""Aku tahu. Dia ... bahkan nggak bisa memaafkan aku!" serunya sambil menenggak lagi minumannya."Jika kamu sungguh-sungguh minta maaf, mungkin ....""Sudah kulakukan, tapi kesalahanku
Dennis keluar dari taksi dan memasuki area pembangunan itu. Ia berjalan menghampiri Ruben. "Ben!" desisnya. Ruben yang sedang mengaduk pasir dengan semen pun menoleh mendengar suara itu. Ia cukup terkejut karena Dennis ada di sana. Ben memandangnya, tak percaya. Heran dan marah. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" tanyanya. "Aa ....""Lo ngikutin gue!" katanya lagi sebelum Dennis sempat menjawab pertanyaan sebelumnya."Ben, apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Ben tak langsung menjawab, "Kamu nggak perlu bekerja seperti ini, kamu bisa menggunakan uangmu sesuka hatimu!" "Gue mau bekerja di mana dan seperti apa, itu bukan urusan lo." "Ben, tapi bukan bekerja seperti ini!" "Memangnya kenapa? Ada apa dengan pekerjaan ini. Apa pekerjaan seperti ini itu hina? Kak, pekerjaan ini halal dan seenggaknya ini lebih baik dari pada gue meminta pada kalian!" "Kamu nggak perlu meminta, semua itu milikmu. Ben, aku mohon. Mama pasti akan sedih jika tahu kamu bekerja seperti ini!" "Mereka ngg
Dennis sudah duduk di depan mobilnya, ia memandangi lautan biru, hiruk pikuk orang-orang di sana. Ada pertengkaran kecil beberapa pria, sepasang sejoli yang berjalan bergandengan tangan. Masih pagi begini aja sudah ada yang pacaran, dasar anak muda. Mata Dennis menangkap dua bocah yang sedang bermain bersama. Sepertinya mereka kakak beradik, sang adik terjatuh dan sang kakak membantunya berdiri, melihat luka di kakinya dan mencoba menenangkan adiknya yang menangis kesakitan. Sang kakak akhirnya menggendong adiknya di belakang dan berjalan menjauh. Dennis tersenyum, ia ingat masa kecilnya dulu. Saat membantu Ruben belajar berjalan. Menggendongnya bila habis terjatuh dan menangis. Bermain bersama, mereka memang berbeda 9 tahunan. Jadi selama ini Dennis memang selalu ikut menjaga Ruben dan hubungan mereka sangat dekat. Dennis menarik lengannya dan menilik jam tangannya. Itu sudah jam 9.10 tapi Ben belum muncul. Apakah adiknya itu tidak jadi menemuinya, atau tak sudi lagi bertemu dengan
Bangun pagi Melanie langsung ke dapur dan membuat sarapan, ia tak berani mengetuk pintu kamar Ruben. Ia tahu betul bagaimana pemuda itu jika sedang marah. Ben keluar kamar dan langsung duduk di meja makan, tapi ia tak menyentuh makanannya. Meletakkan kedua telapak tangannya yang ia satukan di depan mulutnya. Melanie menaruh teh manis hangat di depannya dan ikut duduk. Ia mengambilkan makanan untuk Ruben. Dan Ben juga belum menyentuh sendoknya. Melanie melirik, "Apa kamu masih marah soal semalam?" tanyanya, "Maafkan aku, aku nggak bermaksud berpikiran seperti itu. Kamu tahu, aku akan melakukan apa pun yang kamu katakan. Kamu tahu aku bahkan hampir nggak pernah membantahmu!" jelasnya. Ben masih diam, kali ini ia mengangkat sendoknya dan mulai menyendok sarapannya, memasukkannya ke mulut. Mengunyahnya pelan. "Ben, katakan sesuatu. Kamu tahu aku nggak bisa kalau kamu marah seperti ini!" "Aku nggak marah sama kamu!" sahutnya. "Apa!" "Harusnya aku yang minta maaf, karena telah bersik
Jam 5 dini hari, Melanie keluar dari kamarnya setelah solat subuh. Ia berjalan ke kamar sebelah, membuka pintunya perlahan. Melanie cukup tercekat menemukan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu. Ben sedang duduk di atas sajadah, kedua tangannya menenangadah ke atas. Sesekali ada isakan yang terdengar dari suaranya. "Hamba nggak akan meminta apa pun kecuali sedikit kebahagiaan untuk Melanie. Selama ini ... hamba selalu menyalahkan-Mu atas semua yang terjadi, ampuni hamba ya Allah ... Hanya kepada-Mu hamba memohon. Engkau yang mengetahui segala yang terbaik bagi kami, jika apa yang kami lakukan salah maka tegurlah kami. Berikannya kami jalan yang terbaik, agar kami tidak tersesat!" Terdengar Ben seperti menghirup ingusnya. "Engkau yang mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Hilangkanlah rasa takut ini ... yang selalu mendera jika malam datang, hamba sungguh sangat takut ... takut pada semua yang akan terjadi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" tangisnya. Melanie terdiam