Seperti biasa, tiga sekawan itu nongkrong di warung kopi Budhe Imah. Kawasannya memang tak terlalu ramai di jam-jam tertentu. Apalagi kalau udah larut gini.
Kepulan asap putih mengudara dari mulut dan hidung cowo ganteng yang berambut sedikit pirang itu. Di atas meja di depannya, di dalam asbak telah terkumpul beberapa putung rokok yang telah padam. Tomi yang baru mendudukkan pantatnya menggeleng, "Anjir... baru gue tinggal nyetor sebentar udah ludes aja sebungkus!" Senyum miring terlukis di bibir Ben, "Lo nyetor apa ngerem, ampe setahun!" tangannya mengedikkan abu diujung rokok yang terselip di antara kedua jarinya ke asbak. Rico terkekeh, "Ngeremin anak siapa lo di toilet?" "Brengsek, gue bukan buaya macam die ...," Tomi melempar kulit kacang ke jidat Ruben. Yang dilempari tetap asyik menyesapi rokok di tangannya. "Ya kirain ... lama ngejomblo terus nemu bencong lo sekep deh!" kelakar Rico. "Bangsad lo, gue masih normal tahu!" semprot Tomi nonyor kepala Rico. Benda pipih warna hitam di meja berdering, Tomi menatapnya, wajah cewe manis terpampang di layar. "Ben, si Ana tuh!" "Biarin ajah." "Lo udah putus? Baru juga 5 hari lo pacarin?" heran Rico. "Dia terlalu bawel, pengang kuping gue!" jawab Ben setelah mengepulkan asap bulat ke udara. Rico dan Tomi saling tatap sejenak lalu menggeleng. "Tolong ...." Suara perempuan dari kejauhan terdengar samar. Tapi itu membuat Ben mengulurkan tubuh untuk menilik asal suara. Terlihat seorang gadis berlari ketakutan, di belakangnya ada beberapa pria yang sepertinya para preman mengejar. Suara minta tolong kembali menggema. Ketiga pemuda di warung itu masih diam mengamati. Dan saat si gadis tersungkur, mereka berdiri. "Ben," desis Rico. Ben menyesap rokoknya sekali lagi sebelum meremasnya ke asbak dan beranjak. Dua temannya mengikuti. Gadis itu merangkak mundur, empat preman yang mengejarnya kini berjalan pelan sambil cengegesan. "Mau lari ke mana manis, nggak ada satu orang pun yang bisa kabur dari mami!" kata yang berambut ngondrong ikal. "Lo udah cukup bikin kita repot, mending sekarang lo nurut ajah!" lanjut yang botak. "Aku nggak mau kembali ke sana!" suara bergetar dipenuhi rasa takut itu sampai di telinga Ruben yang sudah berada di belakang si gadis. Gadis berambut panjang itu berhenti bergerak saat tangannya menyentuh sesuatu. Sepatu. Ia meraba lalu memutar kepala, menatap benda yang disentuhnya. Sebuah sepatu kets warna hitam-putih. Gadis itu menelan ludah, rasa takutnya kian bertambah. Perlahan ia merangkakkan pandangan ke atas hingga menemukan wajah cowo ganteng dengan mata abu-abu yang juga menatapnya dalam. Untuk beberapa saat mata mereka beradu. Para preman itu terkesiap. Ben membungkuk, membantu gadis itu berdiri dengan tatapan yang belum berpindah. Wajah gadis itu dihiasi lebam di pelipis dan sudut bibir sebelah kiri. Bahkan ada percikan darah. "Minggir!" suruhnya menggeser si gadis ke belakang tubuhnya. Lalu ia menatap para preman itu. "Heh, siapa lo? Jangan ikut campur!" seru yang bertato banyak. "Cuma para pengecut yang suka ngeroyok cewe!" "Mau jadi jagoan lo! Pipis ajah masih dicebokin emak lo. Haa ... haa ... haa ...," cibir si botak disertai tawa yang diikuti teman-temannya. Ben mengepalkan tinju. Tomi dan Rico kini maju ke sisinya. "Halah ... sikat aja. Ngapain ngobrol!" seru yang ngrondrong lalu menyerang. Mereka pun harus berkelahi. Rupanya para preman itu cukup tangguh, kewelahan juga ketiganya menghadapi. Melihat hal itu si gadis celingukan hingga menemukan potongan balok di dekat tong sampah. Ia bergegas memungut, menggenggamnya erat dan mulai mencari celah untuk menghantam salah satu dari dua preman yang mengeroyok Ben. Ia memukul punggung salah satunya, pria bertato itu meraung kesakitan. Sambil meraba punggungnya ia memutar tubuh. Menatap garang pada si gadis yang siap menghantamnya lagi. Sayangnya, seranganya kali ini mampu ditangkap si preman yang akhirnya memukul wajah gadis itu dan berhasil merebut balok. Gadis itu tersungkur. Tomi dan Rico sibuk dengan lawan mereka, Ben yang berhasil membuat si gondrong roboh membulatkan mata melihat pria bertato yang kini memegang balok tengah mendekati sang gadis yang terjerembat. Balok itu siap mendarat ke si gadis namun terhenti karena tangan Ben menangkapnya lebih dulu. Gadis itu yang sudah memejamkan mata saat hendak menerima pukulan pun kembali melek. Menemukan cowo ganteng itu memelintir batang balok kasar di tangan sang preman hingga terlepas. Mengambil alih lalu menggunakannya untuk menghajar preman itu hingga tugang langgang melarikan diri. "Cabut, wooi ... cabut!" serunya berlari yang diikuti teman-temannya. "Bangsat, banci!" maki Tomi. Ben melempar balok itu lalu berbalik menatap si gadis yang kini sudah berdiri. Mata mereka kembali beradu. Ada sesuatu yang aneh terjadi, Ben tak pernah menatap seorang gadis sampai tak berkedip seperti itu! Dan kedua temannya menyadari hingga mereka saling kerling lalu sama-sama mengedikkan bahu. Perlahan Ben mendekat. Gadis itu tetap memasang ancang-ancang. Di kota besar kita tak boleh mudah percaya pada seseorang. Itu yang ia percayai. "Lo nggak apa-apa?" tanya Ben. Gadis itu hanya menggeleng, rambutnya berantakan. "Jangan takut, kita bukan orang jahat kok," katanya meyakinkan. Gadis itu masih diam. Mereka kembali bertatapan. Menerawang kolam mata pemuda itu, sepertinya mereka memang orang-orang baik. Gadis itu pun menyimpulkan senyum tipis. "Kenalin, gue Ben!" Ben mengulurkan tangan. Lama gadis itu menatap tangan putih yang kini terdapat goresan luka yang sepertinya di dapat saat tadi menahan balok yang hampir saja mengenai tubuhnya. Perlahan ia pun menyambut uluran tangan itu sembari kembali menatap si pemilik tangan. "Melanie." ***Jam istirahat baru saja mulai, tapi Ruben dan Sita sudah dari 30 menit yang lalu mereka beduaan di taman belakang sekolah. "Ben, apa lo nggak bisa serius sedikit saja dalam pacaran!" pinta Sita. "Buat apa terlalu serius, kita masih muda, lo nggak berfikir mau nikah muda kan?" jawab Ben memainkan rambut Sita. "Ya nggaklah, siapa juga mau nikah muda," jawab Sita. Mereka duduk bersandar di kursi taman, tangan Ruben merangkul pundak Sita. Melanie melihatnya, tapi dia diam saja dan malah menyingkir, tentu, untuk apa marah, dirinya dan Ruben hanya berteman. Tetapi beda dengan Andien, ia langsung saja melabrak ke sana. "Ben, gue cari-cari dari tadi rupanya lo di sini, ini lagi!" kata Andien menarik lengan Sita menjauh dari Ben, "Ngapain sih lo nemplok-nemplok ke Ruben!" tambah Andien. Sita melempar tangan Andien dari dirinya lalu berdiri. "Suka-suka gue dong, gue kan sekarang pacaran sama Ruben!" "Apa! Ben itu masih pacar gue!" "Mantan mulai sekarang!" Andien menatap cowo be
Melanie membuka matanya perlahan, dan ketika matanya terbuka penuh ia melihat wajah seorang pria tepat di depan matanya, ia pun membelalak dan terbangun. Tapi tangan Ben masih nyangkut di tubuhnya, karena dekapan itu cukup erat ia pun melayangkan sebuah tamparan ke wajah pemuda itu, membuatnya tersentak dan bangun sambil memegang pipinya yang terasa panas dan pedas. "Ah ... auw!" rintihnya, "ada apa ini?" tanyanya masih setengah tak sadar, ia mengucek matanya dengan tangannya yang lain untuk memperjelas pandangannya karena ia seperti melihat seseorang di depannya. Ben pun terbangun dan terjaga sepenuhnya. "Melanie, jadi lo yang nampar gue?" tanya Ben sambil bangkit duduk, "Pagi-pagi begini sudah main gampar!" "Karena kamu emang pantes dapat itu!" "Maksud lo? Tunggu-tunggu ... lo ngapain di sini?" tanya Ben meski ia sudah tahu Melanie sering berada di sana. "Semalam itu kamu mabuk, makanya aku ada di sini!" "Maksud lo ... kita ...." "Nggak, jangan mikir yang nggak-nggak de
"Eh, Tom. Kamu yang jemput aku?" tanya Melanie, pagi itu Tomi yang menjemputnya, "Lo berharap si palyboy tengik itu, ngarep banget sih lo sama dia!" "Yee, siapa juga, aku tuh cuman nanya!" "Emangnya gue nggak pernah jemput lo apa?" protes Tomi."Udah ah, ntar telat!" serunya naik ke motor Tomi, "Jalan!" sambungnya menepuk pundak temannya, mereka pun melaju ke sekolah. Ryo mengejar Vera yang terus menghindarinya, ""Ver, please ... kasih gue kesempatan sekali lagi!" pintanya sambil memegang lengan gadis itu dengan kuat, "Lepasin, Yo. Gue udah bilang sama lo gue nggak mau balikan sama lo!" katanya melepaskan diri dan terus berjalan. "Tapi Ver ...," "Cukup!" potongnya sambil berbalik ke Ryo yang terus mengikutinya, "Lo berhenti ikutin gue atau gue teriak nih!" ancam Vera lalu berbalik lagi dan melangkah, Ryo hanya diam memandang gadis itu berlalu darinya, kemudian ia meninju angin dengan kesal. Saat itu Ruben lagi ngumpul berempat di tangga, Vera melewati mereka, sempat melirik
Malam itu sekitar jam 11 Ruben masuk ke kamarnya, Dennis sedang di ruang kerja sehingga tak terlalu mendengar suara mobil adiknya yang memasuki halaman rumah mereka. Dennis melihat jam di dinding yang sudah menunjuk angka 11 lebih 20 menit. Ia menutup sebuah map dan berdiri dari kursinya, berjalan keluar dari ruang kerjanya dan menuju kamar adiknya, ia membuka pintu kamar Ruben perlahan dan melihat adiknya yang sudah berada di bawah selimut. Ia pun melangkah lebih dekat, menatap wajah adiknya yang terlelap, ia menjulurkan tangan dan mengusap rambut anak muda yang sedang tertidur itu, lalu ia keluar, menutup pintunya kembali. Ruben membuka mata setelah kakaknya menghilang di balik pintu, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya, sengaja pura-pura tertidur karena tidak mau bertengkar di tengah malam begini. Dan rupanya ia senang dengan apa yang kakaknya lakukan tadi. Itu sudah lama sekali sejak terakhir kali Dennis melakukan hal itu, bahkan ia sudah lupa kapan. Ruben tersenyum la
Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat. Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico. "Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico, "Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya. "Nggak ah, nggak laper!" Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya, "Hai Mel, lama banget sih?" "Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben. "Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela. "Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!" "Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico. "Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri. T
Ruben duduk di meja makan bersama Vera dan keluarganya, ternyata orangtua Vera adalah rekan bisnis keluarga Ruben, ayah Vera pak Ferdi sangat antusias ketika tahu bahwa Ruben adalah putra kedua pak Handy Wirata, ia bahkan berfikir untuk menjodohkan keduanya dalam hubungan yang serius, dan sepertinya Handy Wirata tidak akan keberatan. Ruben tidak menceritakan banyak tentang keluarganya, tapi Vera yang tak berhenti bicara, ia tahu keluarga mereka adalah rekan bisnis maka ia memberitahu ayahnya tentang siapa Ruben. "Jadi orangtuamu masih di Amerika?" tanya Ferdi. "Iya, Om!" "Kenapa dari tadi kamu nggak bicara?" "Vera sudah bicara terlalu banyak, saya rasa itu sudah jadi perwakilan!" katanya memasukan sesendok nasi ke mulutnya, "Dia memang begitu!" sahut Pak Ferdi,"Papa, keahlian Vera bicara membuat Vera jadi ketua OSIS, itu berguna kan!" belanya pada diri sendiri. Setelah makan malam Ruben ngobrol dengan Vera di serambi belakang tapi tak terlalu lama karena Ruben sudah meminta di
Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu. Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran. "Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!" "Iya, kenapa? " "Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya. Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya. "Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh
Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip. Sementara di sekolah .... Melanie menghampiri Tomi dan Rico. "Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie. "Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico. "Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut. Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera ju