Share

Takdir Cinta Sang Ahli Waris
Takdir Cinta Sang Ahli Waris
Penulis: Y Airy

1. Perkenalan

Seperti biasa, tiga sekawan itu nongkrong di warung kopi Budhe Imah. Kawasannya memang tak terlalu ramai di jam-jam tertentu. Apalagi kalau udah larut gini.

Kepulan asap putih mengudara dari mulut dan hidung cowo ganteng yang berambut sedikit pirang itu. Di atas meja di depannya, di dalam asbak telah terkumpul beberapa putung rokok yang telah padam.

Tomi yang baru mendudukkan pantatnya menggeleng, "Anjir... baru gue tinggal nyetor sebentar udah ludes aja sebungkus!"

Senyum miring terlukis di bibir Ben, "Lo nyetor apa ngerem, ampe setahun!" tangannya mengedikkan abu diujung rokok yang terselip di antara kedua jarinya ke asbak.

Rico terkekeh, "Ngeremin anak siapa lo di toilet?"

"Brengsek, gue bukan buaya macam die ...," Tomi melempar kulit kacang ke jidat Ruben. Yang dilempari tetap asyik menyesapi rokok di tangannya.

"Ya kirain ... lama ngejomblo terus nemu bencong lo sekep deh!" kelakar Rico.

"Bangsad lo, gue masih normal tahu!" semprot Tomi nonyor kepala Rico.

Benda pipih warna hitam di meja berdering, Tomi menatapnya, wajah cewe manis terpampang di layar.

"Ben, si Ana tuh!"

"Biarin ajah."

"Lo udah putus? Baru juga 5 hari lo pacarin?" heran Rico.

"Dia terlalu bawel, pengang kuping gue!" jawab Ben setelah mengepulkan asap bulat ke udara.

Rico dan Tomi saling tatap sejenak lalu menggeleng.

"Tolong ...."

Suara perempuan dari kejauhan terdengar samar. Tapi itu membuat Ben mengulurkan tubuh untuk menilik asal suara. Terlihat seorang gadis berlari ketakutan, di belakangnya ada beberapa pria yang sepertinya para preman mengejar.

Suara minta tolong kembali menggema.

Ketiga pemuda di warung itu masih diam mengamati. Dan saat si gadis tersungkur, mereka berdiri.

"Ben," desis Rico.

Ben menyesap rokoknya sekali lagi sebelum meremasnya ke asbak dan beranjak. Dua temannya mengikuti.

Gadis itu merangkak mundur, empat preman yang mengejarnya kini berjalan pelan sambil cengegesan.

"Mau lari ke mana manis, nggak ada satu orang pun yang bisa kabur dari mami!" kata yang berambut ngondrong ikal.

"Lo udah cukup bikin kita repot, mending sekarang lo nurut ajah!" lanjut yang botak.

"Aku nggak mau kembali ke sana!" suara bergetar dipenuhi rasa takut itu sampai di telinga Ruben yang sudah berada di belakang si gadis. Gadis berambut panjang itu berhenti bergerak saat tangannya menyentuh sesuatu.

Sepatu.

Ia meraba lalu memutar kepala, menatap benda yang disentuhnya. Sebuah sepatu kets warna hitam-putih. Gadis itu menelan ludah, rasa takutnya kian bertambah. Perlahan ia merangkakkan pandangan ke atas hingga menemukan wajah cowo ganteng dengan mata abu-abu yang juga menatapnya dalam. Untuk beberapa saat mata mereka beradu.

Para preman itu terkesiap.

Ben membungkuk, membantu gadis itu berdiri dengan tatapan yang belum berpindah. Wajah gadis itu dihiasi lebam di pelipis dan sudut bibir sebelah kiri. Bahkan ada percikan darah.

"Minggir!" suruhnya menggeser si gadis ke belakang tubuhnya. Lalu ia menatap para preman itu.

"Heh, siapa lo? Jangan ikut campur!" seru yang bertato banyak.

"Cuma para pengecut yang suka ngeroyok cewe!"

"Mau jadi jagoan lo! Pipis ajah masih dicebokin emak lo. Haa ... haa ... haa ...," cibir si botak disertai tawa yang diikuti teman-temannya.

Ben mengepalkan tinju. Tomi dan Rico kini maju ke sisinya.

"Halah ... sikat aja. Ngapain ngobrol!" seru yang ngrondrong lalu menyerang. Mereka pun harus berkelahi.

Rupanya para preman itu cukup tangguh, kewelahan juga ketiganya menghadapi.

Melihat hal itu si gadis celingukan hingga menemukan potongan balok di dekat tong sampah. Ia bergegas memungut, menggenggamnya erat dan mulai mencari celah untuk menghantam salah satu dari dua preman yang mengeroyok Ben.

Ia memukul punggung salah satunya, pria bertato itu meraung kesakitan. Sambil meraba punggungnya ia memutar tubuh. Menatap garang pada si gadis yang siap menghantamnya lagi. Sayangnya, seranganya kali ini mampu ditangkap si preman yang akhirnya memukul wajah gadis itu dan berhasil merebut balok. Gadis itu tersungkur.

Tomi dan Rico sibuk dengan lawan mereka, Ben yang berhasil membuat si gondrong roboh membulatkan mata melihat pria bertato yang kini memegang balok tengah mendekati sang gadis yang terjerembat. Balok itu siap mendarat ke si gadis namun terhenti karena tangan Ben menangkapnya lebih dulu.

Gadis itu yang sudah memejamkan mata saat hendak menerima pukulan pun kembali melek. Menemukan cowo ganteng itu memelintir batang balok kasar di tangan sang preman hingga terlepas. Mengambil alih lalu menggunakannya untuk menghajar preman itu hingga tugang langgang melarikan diri.

"Cabut, wooi ... cabut!" serunya berlari yang diikuti teman-temannya.

"Bangsat, banci!" maki Tomi.

Ben melempar balok itu lalu berbalik menatap si gadis yang kini sudah berdiri. Mata mereka kembali beradu. Ada sesuatu yang aneh terjadi, Ben tak pernah menatap seorang gadis sampai tak berkedip seperti itu! Dan kedua temannya menyadari hingga mereka saling kerling lalu sama-sama mengedikkan bahu.

Perlahan Ben mendekat. Gadis itu tetap memasang ancang-ancang. Di kota besar kita tak boleh mudah percaya pada seseorang. Itu yang ia percayai.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Ben.

Gadis itu hanya menggeleng, rambutnya berantakan.

"Jangan takut, kita bukan orang jahat kok," katanya meyakinkan.

Gadis itu masih diam. Mereka kembali bertatapan. Menerawang kolam mata pemuda itu, sepertinya mereka memang orang-orang baik. Gadis itu pun menyimpulkan senyum tipis.

"Kenalin, gue Ben!" Ben mengulurkan tangan.

Lama gadis itu menatap tangan putih yang kini terdapat goresan luka yang sepertinya di dapat saat tadi menahan balok yang hampir saja mengenai tubuhnya. Perlahan ia pun menyambut uluran tangan itu sembari kembali menatap si pemilik tangan.

"Melanie."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status