Share

6. Nggak Wajar

Penulis: Y Airy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-30 06:23:17

Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat.

Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico.

"Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico,

"Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya.

"Nggak ah, nggak laper!"

Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya,

"Hai Mel, lama banget sih?"

"Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben.

"Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela.

"Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!"

"Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico.

"Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri.

Tomi nyengir kuda karena memang hanya dia yang nggak punya pacar.

"Lo pergi sama Bela, Ruben pasti bakal sibuk sama Melanie, nah gue ... kalau tahu gini gue bawa kucing gue !" celetus Tomi.

"Makanya cari pacar jangan ngurusin kucing mulu!" sahut Rico sambil menepuk pelan kepala temannya itu lalu pergi.

"Apaan sih!" hindarnya.

"Eh Mel, lo rapi banget?" tanya Ruben,

"Biasa aja, ngomong-ngomong ... ngapain kamu nelpon aku?"

"Ya mau main aja, ngapain lagi!" jawabnya.

***

Dennis membaca koran di ruang tengah, suara telepon berdering lagi, dari tadi sudah ada beberapa telepon dari klien dan karyawannya, itu memang hari libur tapi terkadang ada saja yang menanyakannya ini dan itu soal urusan kantor. Tapi tidak, ternyata kali ini yang menelpon adalah orangtuanya.

"Hallo, oh Mama!" ia diam mendengarkan mamanya bicara, lalu menjawab, "Ruben sedang pergi jogging dengan teman-temannya, Ma ... sesekali teleponlah ke ponselnya, kurasa dia akan senang!" usulnya.

"Kamu tahu Dennis, jika Mama menelponnya pada akhirnya kami akan bertengkar, adikmu itu sangat susah diajak berbicara!"

"Kalau begitu kusarankan agar Mama dan Papa pulang ke Indonesia, kurasa itu jauh lebih baik!"

"Kami memang akan pulang setelah papamu menyelesaikan proyek yang ada di sini!"

"Itu pasti akan butuh waktu lama!"

"Nanti akan Mama bicarakan dengan Papa, Mama harus pergi sekarang!" katanya menutup teleponnya.

Dennis menaruh teleponnya kembali ke tempatnya dan ia kembali membaca korannya.

***

Rico pergi dengan Bela, sementara Tomi pulang lebih dulu, seperti biasa Ruben menghabiskan waktu bersama Melanie, terkadang hubungan mereka seperti sepasang kekasih, terkadang seperti saudara.

Melanie gadis yang berfikiran dewasa, itu karena masalah hidup yang ia alami sejak kecil, sekarang saja ia harus menghidupi diri sendiri dan biaya sekolahnya. Ruben selalu merasa nyaman bersamanya, bahkan tidak pernah bosan menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol bersama gadis itu.

Di dalam mobil,

"Sepertinya hubungan lo sama Kak Dennis sudah lebih baik!"

"Sedikit, setidaknya dia sudah nggak terlalu berteriak kalau ngomong sama gue!"

"Memangnya dia suka teriak-teriak, apa dulu hidupnya di hutan!" canda Melanie dengan sedikit tawa, dan itu juga membuat Ben tertawa,

"Mungkin!" sahut Ben.

Keduanya tertawa tapi lambat laun tawa itu menghilang perlahan, mereka berpandangan, memang sejak tadi mereka duduk berhadapan, entah mengapa terkadang Ruben merasakan ada hal lain yang ia temukan pada diri Melanie, hal yang membuatnya tak bisa lepas darinya, tapi sampai sekarang ia belum tahu apa itu, yang jelas ia tidak ingin berpisah dengannya. Sementara Melanie sendiri memang menyadari dirinya jatuh cinta dengan Ruben, tapi hubungan mereka hanyalah sebatas teman, jadi ia tak pernah menuntut yang lebih dari itu, meski sebenarnya ia cemburu dengan setiap gadis yang didekati Ruben.

Mereka saling mendekat perlahan hingga bibir mereka bertemu dan saling berpagutan, tapi sekejap saja mereka sadar dengan perbuatan mereka, mereka langsung saling melepaskan diri dan duduk di tempatnya masing-masing dengan tingkah yang sedikit kikuk.

"Sorry, gue ... gue nggak bermaksud kurangajar, eee ...!" kata Ruben terbata.

"Mungkin lebih baik kita jalan sekarang!" pinta Melanie, masih tak menoleh ke arah pemuda di sampingnya.

Ruben menyalakan mesin mobil lalu menjalankannya, mereka masih diam selama perjalanan. Ruben melirik Melanie,

"Lo marah?" tanyanya.

"Ha, marah? Marah untuk apa?" jawabnya sedikit kaku.

"Soal yang tadi !"

"Sudahlah, jangan dibahas, ntar ujung-ujungnya kita berantem!" dalih Melanie,

Kediaman kembali merebak.

"Gimana kalau kita nonton aja, ada beberapa film baru, kalau lo mau!" tawarnya Ruben menoleh Melanie sejenak.

"Boleh juga," setujunya dengan senyum tipis, "Pacar lo pasti bakal cemburu kalau tahu hari ini kita nonton bareng!"

"Biarin, cuek aja lagi!" sahutnya.

"Tapi saat ini ... pacar lo siapa? Vera ... apa Alice?" tanya Melanie menatapnya,

Ruben tak langsung menjawab, ia malah menggaruk pelipis.

Melanie menghela nafas, "Ben, punya dua pacar sekaligus itu buruk loh!"

"Gue sama Alice ... kita emang jalan bareng. Tapi kita nggak bikin komitmen apa pun!" akunya jujur mengedikkan salah satu tangan.

Jadi sudah jelas, Vera yang sekarang berstatus pacar Ruben. Dari hampir semua pacar Ruben, entah kenapa Melanie tak keberatan dengan Vera meski tetap saja rasa cemburu itu ada. Vera itu berbeda.

Mereka pun pergi ke bioskop untuk nonton film, Ruben memang lebih banyak meluangkan waktu untuk Melanie, hampir setiap hari mereka bersama. Selama itu Vera menghubunginya berkali-kali tapi tak pernah diangkatnya.

"Aduh, kok nggak pernah diangkat sih, ini kan hari minggu bukannya ngajak gue jalan tapi malah nggak tahu ke mana?" kesalnya, lalu ia menelpon Tomi, Tomi yang sedang tidur di rumah mengangkat hpnya dengan malas.

"Hallo!" jawabnya lesu.

"Tom, lo tahu Ruben di mana nggak?"

"Ruben, lagi main sama Melanie!"

"Apa! Melanie, yang pacarnya kan gue!" mendengar suara Vera membuat Tomi terbangun duduk, "Melanie itu kan teman baiknya Ben, ya biarinlah mereka jalan!"

"Tapi kan nggak harus segitunya, jangan-jangan sebenarnya mereka pacaran!"

"Kalaupun iya, nggak masalah kan, abang Tomi kan ada!" godanya dengan senyum nakal seolah Vera bisa melihat.

"Apa, lo ini ...!" Vera menutup teleponnya.

"Kok dimatiin sih, Vera-Vera, daripada lo pilih Ruben mending pacaran sama gue, yang udah pasti setia!" keluhnya lalu menghela nafas.

Vera mencoba menelpon Ruben lagi tapi masih sama, tidak diangkat, ia pun mulai berfikiran negatif dengan hubungan mereka. Selesai nonton Ruben mengantar Melanie pulang , ia tak masuk dan langsung pulang ke rumahnya sendiri, itu sudah sore ketika ia sampai di rumah. Dennis duduk di ruang tamu bersama seseorang, sepertinya teman kerjanya. Ruben masuk melewati mereka tanpa menyapa.

"Ben!" panggil Dennis melihat adiknya baru pulang, ia mendekat ke adiknya dan berbicara pelan.

"Dari mana saja kamu, jogging pulang sesore ini?"

"Main dulu sama temen-temen, udah ah gue cape!" jawabnya lalu menaiki tangga berjalan menuju ke kamarnya.

Dennis hanya menggelengkan kepala dan kembali menemani tamunya.

Setelah mandi Ruben membuka hpnya dan melihat banyak misscall dari Vera, tapi ia tak menelponnya balik malah melempar hpnya ke ranjang lalu ia pun merebahkan diri ke ranjang dan terlelap.

Esoknya saat turun dari mobil Vera langsung menghampiri, "Ben, kemarin kenapa nggak angkat telepon dari gue, gue telepon lo ratusan kali!" kesalnya.

"Sorry gue sibuk!"

"Sibuk dengan Melanie, iya kan!"

"Gue paling nggak suka sama cewe yang mulai cerewet soal hubungan gue sama Melanie!" ketusnya tegas. Vera tahu akan hal itu, jauh sebelum mereka pacaran. Awalnya ia pikir itu tak masalah, namun sekarang ....

"Itu karena hubungan persahabatan kalian nggak wajar, tentu saja itu membuat banyak cewe bertanya-tanya dan heran!"

"Apa pun hubungan gue sama Melanie, itu bukan urusan lo, gue nggak mau mutusin lo cuman karena alasan seperti ini. Gue pikir lo beda dari semua mantan gue, rupanya sama aja!" nada suara Ruben penuh kekecewaan. Dan itu membuat Vera khawatir.

"Bukan gitu,"

Ruben membuang muka kesal.

"Ok. Gue minta maaf, gue janji nggak bakal kepoin hubungan persahabatan lo sama Melanie. Jangan marah, ya!" pintanya meraih tangan cowo itu. Menggenggamnya.

Ryo melihat Vera dan Ruben dari jauh, ia menggerutu sendiri, ia menyadari dirinya masih sayang dengan Vera, selain itu ia kesal dengan Ruben karena selalu merebut perhatian semua cewe, termasuk Vera. Tapi pengaruh Ruben cukup besar di sekolah, keluarganya banyak memberikan bantuan di sekolah itu, bahkan menjadi donatur terbesar di sana. Salah satu temannya menghampiri,

"Kalau lo berniat mengalahkan Ruben itu percuma, nggak mungkin, kecuali

... lo minta bantuan sama orang lain yang juga berpengaruh di sekolah ini!"

"Maksud lo?"

"Ruben kan nggak disenangi di klub basket, lo bisa manfaatin mereka!"

"Itu sama artinya gue jadi pengecut!"

"Nggak secara langsung, tapi ya terserah lo, kalau lo mau ngerebut Vera dari Ruben lo harus bener-bener berusaha, jangan nunggu si Ruben mencampakan Vera lebih dulu!"

Ryo membenarkan itu, jika sampai Ruben mencampakkan Vera lebih dulu dan dirinya baru mendapatkan Vera kembali sama artinya ia membiarkan harga dirinya terinjak dan membuat Ruben lebih di atas angin, ia mulai memikirkan cara untuk mengambil hati Vera kembali.

Saat pulang Ruben tidak mengantar Vera tapi ia janji malam nanti akan datang ke rumahnya untuk makan malam bersama keluarga Vera, mungkin terlalu cepat Vera mengenalkannya pada keluarganya karena hubungan mereka juga belum tentu akan berlanjut lama. Tapi setidaknya Vera jauh lebih baik dari semua mantannya. Dan tentu saja Melanie yang ia antarkan pulang.

***

Bab terkait

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   7. Rumah Nenek

    Ruben duduk di meja makan bersama Vera dan keluarganya, ternyata orangtua Vera adalah rekan bisnis keluarga Ruben, ayah Vera pak Ferdi sangat antusias ketika tahu bahwa Ruben adalah putra kedua pak Handy Wirata, ia bahkan berfikir untuk menjodohkan keduanya dalam hubungan yang serius, dan sepertinya Handy Wirata tidak akan keberatan. Ruben tidak menceritakan banyak tentang keluarganya, tapi Vera yang tak berhenti bicara, ia tahu keluarga mereka adalah rekan bisnis maka ia memberitahu ayahnya tentang siapa Ruben. "Jadi orangtuamu masih di Amerika?" tanya Ferdi. "Iya, Om!" "Kenapa dari tadi kamu nggak bicara?" "Vera sudah bicara terlalu banyak, saya rasa itu sudah jadi perwakilan!" katanya memasukan sesendok nasi ke mulutnya, "Dia memang begitu!" sahut Pak Ferdi,"Papa, keahlian Vera bicara membuat Vera jadi ketua OSIS, itu berguna kan!" belanya pada diri sendiri. Setelah makan malam Ruben ngobrol dengan Vera di serambi belakang tapi tak terlalu lama karena Ruben sudah meminta di

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   8. Dia Seperti Bidadari

    Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu. Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran. "Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!" "Iya, kenapa? " "Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya. Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya. "Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   9. Tika

    Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip. Sementara di sekolah .... Melanie menghampiri Tomi dan Rico. "Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie. "Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico. "Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut. Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera ju

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   10. Aku Bukan Papa

    Ruben menjemput Vera di rumahnya dan mengajaknya pergi. Mereka duduk di caffe .... "Ben, Ryo masih aja ngejar- gejar gue!" Vera memberitahukannya tapi sepertinya Ruben tak masalah dengan hal itu. "Terus masalahnya?" "Ya kan sekarang kita pacaran, paling nggak lo lakuin sesuatu!" pintanya. "Biarin aja!" sahutnya santai."Kok lo gitu sih?" protes Vera,"Semua orang berhak buat masih mempertahankan perasaannya, kita juga nggak bisa paksa mereka buat lupain kita!" "Tapi gue nggak nyaman! Lagian makin hari gue makin sayang sama lo!" Vera memberitahukan perasaannya. Meski apa yang dikatakan Ruben ada benarnya,Buset...kalau gini caranya bakal susah gue nglepasin nih cewe."Ver, terus gue harus ngapain? Kalau Ryo masih sayang sama lo, ya itu hak dia!""Tapi gue udah terlanjur kecewa sama dia,"Ben menggaruk pelipis dengan telunjuk, "Boleh gue tanya?"Vera menatap lebih serius karena ia merasa air muka Ben sedikit aneh."Apa?""Kenapa lo mau pacaran sama gue? Padahal lo tahu ... gue ngga

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   11. Lo Itu Milik Gue

    Pagi itu Dennis sudah berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Ben. Kamu masih di dalam?" tanyanya agak keras. Tapi ia tak mendengar jawaban, maka ia pun memutar gagang pintu kamar itu dan membuka pintunya. Mendorongnya terbuka sedikit lebar dan melongokkan kepalanya untuk melihat apa adiknya ada di dalam kamar atau tidak. Ia melihat Ruben masih terlelap di bawah selimut, maka ia pun memunculkan seluruh badannya ke dalam kamar. Ia masuk membiarkan pintu tetap terbuka. Dennis mencoba membangunkan Ben, saat tangannya hendak menggoncangkan tubuh adiknya ia melihat sesuatu yang terselip di antara tangan dan dada adiknya. Sebuah frame, ia pun mengambilnya, mencabutnya secara perlahan agar adiknya tidak terbangun dulu. Setelah benda itu ada di tangannya maka ia pun membalik benda itu. Itu adalah foto nenek mereka. Sebuah foto perempuan tua yang sedang tersenyum. Selalu foto nenek yang dipeluknya, Tapi ia juga melihat foto gadis penyanyi caffe itu di dalam frame, diletakkan di ujung di dal

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   12. Siapa Melanie?

    Ruben duduk berdua di dalam mobil bersama Melanie. Tadi Ben sempat memberi pesan pada Tomi untuk Melanie. Katanya Ben menunggunya di parkiran sepulang sekolah, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Tapi keduanya masih diam tak bersuara, akhirnya Ruben mengawali pembicaraan. "Gue minta maaf, soal tadi. Seharusnya gue nggak bentak lo kaya' gitu!" katanya menyesal, lalu ia melanjutkan kalimatnya, "Gue nggak tahu gimana harus bersikap. Lo tahu kan gue nggak bisa kehilangan lo. Lo itu berarti banget buat gue, Mel!" jelasnya memandang gadis itu. "Ben, kamu nggak harus menggantungkan hidup kamu hanya pada satu orang. Kamu harus bisa berdiri di atas kaki kamu sendiri!" "Tapi Mel, sejak kita ketemu, hidup gue berubah. Gue merasa punya arti, gue nunda sekolah ke Wina karena gue pingin selalu deket sama lo!" "Sebesar apa arti aku buat kamu?" tuntut Melanie,"Segalanya, segalanya Mel!" "Ben," mata Melanie memanas,"Buat saat ini ... gue nggak bisa kehilangan lo. Gue nggak siap!" aku Ben,M

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   13. Kita Teman Kan?

    Ruben menelpon Melanie karena dia tak ada di rumah. "Lo di mana?" tanya Ruben setengah berteriak. "Di caffe!" jawab Melanie pelan. "Apa!" kaget Ruben, "Lo bilang ... oh My!" umpat Ruben menutup teleponnya dan langsung berlari ke mobil, menjalankan mobilnya dengan laju super cepat. Melanie duduk lemas, ia tak mungkin memberitahukan Ruben bahwa Dennis mengintimidasi dirinya. Jika ia memberitahu Ben soal itu hubungan kedua kakak adik itu akan semakin buruk. Ben sangat berharap hubunganya dengan kakaknya akan seperti dulu. Kini Melanie tak tahu harus bicara apa, jika Ruben sampai di caffe nanti. Melanie masih menunggu Ruben datang, tepat saat hendak ke panggung malah Ben datang dan langsung menariknya kembali ke ruang rias. "Ben!" desisnya "Kenapa lo bohong ke gue?" tanyanya dengan nada marah. "Itu ... aku bisa jelasin tapi nggak sekarang!" "Gue mau penjelasan lo sekarang!" "Ben!" "Sek-ka-rang!" geramnya. Sepertinya cowo itu benar-benar marah. Akhirnya Melanie meminta menejer

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30
  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   14. Ancaman Ruben

    Vera menghampiri Ruben yang sedang ngumpul di kantin bersama teman-temannya. "Ben!" sapanya. Ruben menoleh, dari ekspresi wajahnya. Ia terlihat kurang berkenan dengan kehadiran Vera. "Ada apa, Ver?" "Gue mau ngomong sebentar!" jawabnya, "Eh, gue pinjem Rubennya ya!" katanya meminta ijin dengan teman-temannya. "Ambil aja sono, siapa yang butuh!" kelakar Tomi sambil menyedot teh botol di tangannya. "Sialan lo ah!" timpal Ruben yang kemudian mengikuti Vera pergi. Mereka bicara di taman sekolah, duduk berdampingan. "Ben, kemarin lo ke mana sih? Gue telepon puluhan kali tapi nggak pernah lo angkat. Dan loe juga nggak nelpon gue balik. Lo pergi ke mana sama Melanie?" "Gue pergi ke mana itu bukan urusan lo!" "Tapi gue kan pacar lo!" kesal Vera dengan nada tinggi. "Terus ... harus jadi malasah buat gue, gitu?" Vera memandangnya aneh dan marah, sepertinya Ruben cuek sekali dengan hubungan mereka, dan belakangan terkesan menghindar. "Lo udah punya cewe lain?" Ruben tak menjawab, t

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-30

Bab terbaru

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   44. Mel, Ini Aku

    Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" seru Rico.

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   43. Tak Bisa Tinggal

    Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   42. Bunuh Saja Aku

    Tiga hari setelah kepergian Melanie ....Ruben duduk di lantai kamarnya, duduk bersandar ranjang, kakinya ditekuk, kedua lengannya ia sandarkan pada lutut. Pandangannya kosong, sesekali air mata turun menggelinding melewati pipinya. Sudah tiga hari setelah pulang dari makam ia seperti itu. Ia berada di kamar itu pun karena Rico dan Tomi yang membawa tubuhnya. Dia pingsan saat berdiri setelah terlalu lama duduk di samping makam Melanie, tak mengucapkan apa pun selain Al- Fatihah dan nama gadis itu yang terucap puluhan kali. Hingga detik ini ia sama sekali tak beranjak sejak ia tersadar dari pingsannya. Saat ia sadar, ia mencari Melanie di setiap sudut kamar seperti orang gila. Setelah sadar bahwa Melanie telah pergi, ia menangis dan menyambar semua barang yang ada di meja kamarnya hingga berhamburan ke lantai sambil berteriak. Setelah itu tubuhnya melemas dan ia terduduk di sana hingga sekarang. Duduk melamun, tanpa makan, minum dan bicara. Erika sudah berusaha bicara padanya berkali-

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   41. Bahagia Bersamamu

    "Mel, maukah kamu menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya."Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar."Aku nggak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu nggak boleh?""Ya, itu memang nggak boleh, seharusnya!" jawabnya."Kalau begitu kita harus menikah kan?"Melanie tertawa ...."Kita masih terlalu muda, Ben!""Kamu ragu dengan cintaku?" serunya membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati."Aku sangat mencintai kamu, dan cintaku tulus sama kamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius."Ben!" desis Melanie.Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya didesak dengan keadaan."Kita menikah hari ini, dan setelah itu nggak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   40. Dilema Dennis

    Artika menghampiri Dennis yang sedang menenggak minuman di dalam gelas yang ada di genggamannya. Tiga botol sudah kosong, kini botol di mejanya bertambah menjadi enam. Terlihat ia sedang menenggak langsung dari mulut botol itu. Tika berdiri di sampingnya."Dennis, kamu kenapa?" tanyanya.Dennis tak menjawab, ia hanya melirik kekasihnya. Ia sudah setengah mabuk, tapi masih sadar. Wajahnya terlihat babak belur tanpa ada pengobatan, ia tak sempat lakukan itu. Sesampainya di pelabuhan ia langsung mengendarai mobilnya ke tempat ini, tempat di mana sekarang ia sedang mencoba menenangkan diri di dalam botol anggur dan Wisky."Apa kamu berkelahi dengan Ruben?" tanya Tika."Aku hanya ingin dia pulang, apa itu salah?" jawabnya, "Dia begitu keras kepala!" lanjutnya."Mungkin memang nggak seharusnya kamu memaksanya.""Aku tahu. Dia ... bahkan nggak bisa memaafkan aku!" serunya sambil menenggak lagi minumannya."Jika kamu sungguh-sungguh minta maaf, mungkin ....""Sudah kulakukan, tapi kesalahanku

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   39. Semua Milikmu

    Dennis keluar dari taksi dan memasuki area pembangunan itu. Ia berjalan menghampiri Ruben. "Ben!" desisnya. Ruben yang sedang mengaduk pasir dengan semen pun menoleh mendengar suara itu. Ia cukup terkejut karena Dennis ada di sana. Ben memandangnya, tak percaya. Heran dan marah. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" tanyanya. "Aa ....""Lo ngikutin gue!" katanya lagi sebelum Dennis sempat menjawab pertanyaan sebelumnya."Ben, apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Ben tak langsung menjawab, "Kamu nggak perlu bekerja seperti ini, kamu bisa menggunakan uangmu sesuka hatimu!" "Gue mau bekerja di mana dan seperti apa, itu bukan urusan lo." "Ben, tapi bukan bekerja seperti ini!" "Memangnya kenapa? Ada apa dengan pekerjaan ini. Apa pekerjaan seperti ini itu hina? Kak, pekerjaan ini halal dan seenggaknya ini lebih baik dari pada gue meminta pada kalian!" "Kamu nggak perlu meminta, semua itu milikmu. Ben, aku mohon. Mama pasti akan sedih jika tahu kamu bekerja seperti ini!" "Mereka ngg

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   38. Aku Bukan Kakakmu

    Dennis sudah duduk di depan mobilnya, ia memandangi lautan biru, hiruk pikuk orang-orang di sana. Ada pertengkaran kecil beberapa pria, sepasang sejoli yang berjalan bergandengan tangan. Masih pagi begini aja sudah ada yang pacaran, dasar anak muda. Mata Dennis menangkap dua bocah yang sedang bermain bersama. Sepertinya mereka kakak beradik, sang adik terjatuh dan sang kakak membantunya berdiri, melihat luka di kakinya dan mencoba menenangkan adiknya yang menangis kesakitan. Sang kakak akhirnya menggendong adiknya di belakang dan berjalan menjauh. Dennis tersenyum, ia ingat masa kecilnya dulu. Saat membantu Ruben belajar berjalan. Menggendongnya bila habis terjatuh dan menangis. Bermain bersama, mereka memang berbeda 9 tahunan. Jadi selama ini Dennis memang selalu ikut menjaga Ruben dan hubungan mereka sangat dekat. Dennis menarik lengannya dan menilik jam tangannya. Itu sudah jam 9.10 tapi Ben belum muncul. Apakah adiknya itu tidak jadi menemuinya, atau tak sudi lagi bertemu dengan

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   37. Allah Tidak Pernah Meninggalkan Kita

    Bangun pagi Melanie langsung ke dapur dan membuat sarapan, ia tak berani mengetuk pintu kamar Ruben. Ia tahu betul bagaimana pemuda itu jika sedang marah. Ben keluar kamar dan langsung duduk di meja makan, tapi ia tak menyentuh makanannya. Meletakkan kedua telapak tangannya yang ia satukan di depan mulutnya. Melanie menaruh teh manis hangat di depannya dan ikut duduk. Ia mengambilkan makanan untuk Ruben. Dan Ben juga belum menyentuh sendoknya. Melanie melirik, "Apa kamu masih marah soal semalam?" tanyanya, "Maafkan aku, aku nggak bermaksud berpikiran seperti itu. Kamu tahu, aku akan melakukan apa pun yang kamu katakan. Kamu tahu aku bahkan hampir nggak pernah membantahmu!" jelasnya. Ben masih diam, kali ini ia mengangkat sendoknya dan mulai menyendok sarapannya, memasukkannya ke mulut. Mengunyahnya pelan. "Ben, katakan sesuatu. Kamu tahu aku nggak bisa kalau kamu marah seperti ini!" "Aku nggak marah sama kamu!" sahutnya. "Apa!" "Harusnya aku yang minta maaf, karena telah bersik

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   36. Kamu Menyesal?

    Jam 5 dini hari, Melanie keluar dari kamarnya setelah solat subuh. Ia berjalan ke kamar sebelah, membuka pintunya perlahan. Melanie cukup tercekat menemukan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu. Ben sedang duduk di atas sajadah, kedua tangannya menenangadah ke atas. Sesekali ada isakan yang terdengar dari suaranya. "Hamba nggak akan meminta apa pun kecuali sedikit kebahagiaan untuk Melanie. Selama ini ... hamba selalu menyalahkan-Mu atas semua yang terjadi, ampuni hamba ya Allah ... Hanya kepada-Mu hamba memohon. Engkau yang mengetahui segala yang terbaik bagi kami, jika apa yang kami lakukan salah maka tegurlah kami. Berikannya kami jalan yang terbaik, agar kami tidak tersesat!" Terdengar Ben seperti menghirup ingusnya. "Engkau yang mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Hilangkanlah rasa takut ini ... yang selalu mendera jika malam datang, hamba sungguh sangat takut ... takut pada semua yang akan terjadi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" tangisnya. Melanie terdiam

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status