Share

6. Nggak Wajar

Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat.

Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico.

"Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico,

"Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya.

"Nggak ah, nggak laper!"

Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya,

"Hai Mel, lama banget sih?"

"Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben.

"Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela.

"Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!"

"Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico.

"Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri.

Tomi nyengir kuda karena memang hanya dia yang nggak punya pacar.

"Lo pergi sama Bela, Ruben pasti bakal sibuk sama Melanie, nah gue ... kalau tahu gini gue bawa kucing gue !" celetus Tomi.

"Makanya cari pacar jangan ngurusin kucing mulu!" sahut Rico sambil menepuk pelan kepala temannya itu lalu pergi.

"Apaan sih!" hindarnya.

"Eh Mel, lo rapi banget?" tanya Ruben,

"Biasa aja, ngomong-ngomong ... ngapain kamu nelpon aku?"

"Ya mau main aja, ngapain lagi!" jawabnya.

***

Dennis membaca koran di ruang tengah, suara telepon berdering lagi, dari tadi sudah ada beberapa telepon dari klien dan karyawannya, itu memang hari libur tapi terkadang ada saja yang menanyakannya ini dan itu soal urusan kantor. Tapi tidak, ternyata kali ini yang menelpon adalah orangtuanya.

"Hallo, oh Mama!" ia diam mendengarkan mamanya bicara, lalu menjawab, "Ruben sedang pergi jogging dengan teman-temannya, Ma ... sesekali teleponlah ke ponselnya, kurasa dia akan senang!" usulnya.

"Kamu tahu Dennis, jika Mama menelponnya pada akhirnya kami akan bertengkar, adikmu itu sangat susah diajak berbicara!"

"Kalau begitu kusarankan agar Mama dan Papa pulang ke Indonesia, kurasa itu jauh lebih baik!"

"Kami memang akan pulang setelah papamu menyelesaikan proyek yang ada di sini!"

"Itu pasti akan butuh waktu lama!"

"Nanti akan Mama bicarakan dengan Papa, Mama harus pergi sekarang!" katanya menutup teleponnya.

Dennis menaruh teleponnya kembali ke tempatnya dan ia kembali membaca korannya.

***

Rico pergi dengan Bela, sementara Tomi pulang lebih dulu, seperti biasa Ruben menghabiskan waktu bersama Melanie, terkadang hubungan mereka seperti sepasang kekasih, terkadang seperti saudara.

Melanie gadis yang berfikiran dewasa, itu karena masalah hidup yang ia alami sejak kecil, sekarang saja ia harus menghidupi diri sendiri dan biaya sekolahnya. Ruben selalu merasa nyaman bersamanya, bahkan tidak pernah bosan menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol bersama gadis itu.

Di dalam mobil,

"Sepertinya hubungan lo sama Kak Dennis sudah lebih baik!"

"Sedikit, setidaknya dia sudah nggak terlalu berteriak kalau ngomong sama gue!"

"Memangnya dia suka teriak-teriak, apa dulu hidupnya di hutan!" canda Melanie dengan sedikit tawa, dan itu juga membuat Ben tertawa,

"Mungkin!" sahut Ben.

Keduanya tertawa tapi lambat laun tawa itu menghilang perlahan, mereka berpandangan, memang sejak tadi mereka duduk berhadapan, entah mengapa terkadang Ruben merasakan ada hal lain yang ia temukan pada diri Melanie, hal yang membuatnya tak bisa lepas darinya, tapi sampai sekarang ia belum tahu apa itu, yang jelas ia tidak ingin berpisah dengannya. Sementara Melanie sendiri memang menyadari dirinya jatuh cinta dengan Ruben, tapi hubungan mereka hanyalah sebatas teman, jadi ia tak pernah menuntut yang lebih dari itu, meski sebenarnya ia cemburu dengan setiap gadis yang didekati Ruben.

Mereka saling mendekat perlahan hingga bibir mereka bertemu dan saling berpagutan, tapi sekejap saja mereka sadar dengan perbuatan mereka, mereka langsung saling melepaskan diri dan duduk di tempatnya masing-masing dengan tingkah yang sedikit kikuk.

"Sorry, gue ... gue nggak bermaksud kurangajar, eee ...!" kata Ruben terbata.

"Mungkin lebih baik kita jalan sekarang!" pinta Melanie, masih tak menoleh ke arah pemuda di sampingnya.

Ruben menyalakan mesin mobil lalu menjalankannya, mereka masih diam selama perjalanan. Ruben melirik Melanie,

"Lo marah?" tanyanya.

"Ha, marah? Marah untuk apa?" jawabnya sedikit kaku.

"Soal yang tadi !"

"Sudahlah, jangan dibahas, ntar ujung-ujungnya kita berantem!" dalih Melanie,

Kediaman kembali merebak.

"Gimana kalau kita nonton aja, ada beberapa film baru, kalau lo mau!" tawarnya Ruben menoleh Melanie sejenak.

"Boleh juga," setujunya dengan senyum tipis, "Pacar lo pasti bakal cemburu kalau tahu hari ini kita nonton bareng!"

"Biarin, cuek aja lagi!" sahutnya.

"Tapi saat ini ... pacar lo siapa? Vera ... apa Alice?" tanya Melanie menatapnya,

Ruben tak langsung menjawab, ia malah menggaruk pelipis.

Melanie menghela nafas, "Ben, punya dua pacar sekaligus itu buruk loh!"

"Gue sama Alice ... kita emang jalan bareng. Tapi kita nggak bikin komitmen apa pun!" akunya jujur mengedikkan salah satu tangan.

Jadi sudah jelas, Vera yang sekarang berstatus pacar Ruben. Dari hampir semua pacar Ruben, entah kenapa Melanie tak keberatan dengan Vera meski tetap saja rasa cemburu itu ada. Vera itu berbeda.

Mereka pun pergi ke bioskop untuk nonton film, Ruben memang lebih banyak meluangkan waktu untuk Melanie, hampir setiap hari mereka bersama. Selama itu Vera menghubunginya berkali-kali tapi tak pernah diangkatnya.

"Aduh, kok nggak pernah diangkat sih, ini kan hari minggu bukannya ngajak gue jalan tapi malah nggak tahu ke mana?" kesalnya, lalu ia menelpon Tomi, Tomi yang sedang tidur di rumah mengangkat hpnya dengan malas.

"Hallo!" jawabnya lesu.

"Tom, lo tahu Ruben di mana nggak?"

"Ruben, lagi main sama Melanie!"

"Apa! Melanie, yang pacarnya kan gue!" mendengar suara Vera membuat Tomi terbangun duduk, "Melanie itu kan teman baiknya Ben, ya biarinlah mereka jalan!"

"Tapi kan nggak harus segitunya, jangan-jangan sebenarnya mereka pacaran!"

"Kalaupun iya, nggak masalah kan, abang Tomi kan ada!" godanya dengan senyum nakal seolah Vera bisa melihat.

"Apa, lo ini ...!" Vera menutup teleponnya.

"Kok dimatiin sih, Vera-Vera, daripada lo pilih Ruben mending pacaran sama gue, yang udah pasti setia!" keluhnya lalu menghela nafas.

Vera mencoba menelpon Ruben lagi tapi masih sama, tidak diangkat, ia pun mulai berfikiran negatif dengan hubungan mereka. Selesai nonton Ruben mengantar Melanie pulang , ia tak masuk dan langsung pulang ke rumahnya sendiri, itu sudah sore ketika ia sampai di rumah. Dennis duduk di ruang tamu bersama seseorang, sepertinya teman kerjanya. Ruben masuk melewati mereka tanpa menyapa.

"Ben!" panggil Dennis melihat adiknya baru pulang, ia mendekat ke adiknya dan berbicara pelan.

"Dari mana saja kamu, jogging pulang sesore ini?"

"Main dulu sama temen-temen, udah ah gue cape!" jawabnya lalu menaiki tangga berjalan menuju ke kamarnya.

Dennis hanya menggelengkan kepala dan kembali menemani tamunya.

Setelah mandi Ruben membuka hpnya dan melihat banyak misscall dari Vera, tapi ia tak menelponnya balik malah melempar hpnya ke ranjang lalu ia pun merebahkan diri ke ranjang dan terlelap.

Esoknya saat turun dari mobil Vera langsung menghampiri, "Ben, kemarin kenapa nggak angkat telepon dari gue, gue telepon lo ratusan kali!" kesalnya.

"Sorry gue sibuk!"

"Sibuk dengan Melanie, iya kan!"

"Gue paling nggak suka sama cewe yang mulai cerewet soal hubungan gue sama Melanie!" ketusnya tegas. Vera tahu akan hal itu, jauh sebelum mereka pacaran. Awalnya ia pikir itu tak masalah, namun sekarang ....

"Itu karena hubungan persahabatan kalian nggak wajar, tentu saja itu membuat banyak cewe bertanya-tanya dan heran!"

"Apa pun hubungan gue sama Melanie, itu bukan urusan lo, gue nggak mau mutusin lo cuman karena alasan seperti ini. Gue pikir lo beda dari semua mantan gue, rupanya sama aja!" nada suara Ruben penuh kekecewaan. Dan itu membuat Vera khawatir.

"Bukan gitu,"

Ruben membuang muka kesal.

"Ok. Gue minta maaf, gue janji nggak bakal kepoin hubungan persahabatan lo sama Melanie. Jangan marah, ya!" pintanya meraih tangan cowo itu. Menggenggamnya.

Ryo melihat Vera dan Ruben dari jauh, ia menggerutu sendiri, ia menyadari dirinya masih sayang dengan Vera, selain itu ia kesal dengan Ruben karena selalu merebut perhatian semua cewe, termasuk Vera. Tapi pengaruh Ruben cukup besar di sekolah, keluarganya banyak memberikan bantuan di sekolah itu, bahkan menjadi donatur terbesar di sana. Salah satu temannya menghampiri,

"Kalau lo berniat mengalahkan Ruben itu percuma, nggak mungkin, kecuali

... lo minta bantuan sama orang lain yang juga berpengaruh di sekolah ini!"

"Maksud lo?"

"Ruben kan nggak disenangi di klub basket, lo bisa manfaatin mereka!"

"Itu sama artinya gue jadi pengecut!"

"Nggak secara langsung, tapi ya terserah lo, kalau lo mau ngerebut Vera dari Ruben lo harus bener-bener berusaha, jangan nunggu si Ruben mencampakan Vera lebih dulu!"

Ryo membenarkan itu, jika sampai Ruben mencampakkan Vera lebih dulu dan dirinya baru mendapatkan Vera kembali sama artinya ia membiarkan harga dirinya terinjak dan membuat Ruben lebih di atas angin, ia mulai memikirkan cara untuk mengambil hati Vera kembali.

Saat pulang Ruben tidak mengantar Vera tapi ia janji malam nanti akan datang ke rumahnya untuk makan malam bersama keluarga Vera, mungkin terlalu cepat Vera mengenalkannya pada keluarganya karena hubungan mereka juga belum tentu akan berlanjut lama. Tapi setidaknya Vera jauh lebih baik dari semua mantannya. Dan tentu saja Melanie yang ia antarkan pulang.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status