Malam itu sekitar jam 11 Ruben masuk ke kamarnya, Dennis sedang di ruang kerja sehingga tak terlalu mendengar suara mobil adiknya yang memasuki halaman rumah mereka. Dennis melihat jam di dinding yang sudah menunjuk angka 11 lebih 20 menit. Ia menutup sebuah map dan berdiri dari kursinya, berjalan keluar dari ruang kerjanya dan menuju kamar adiknya, ia membuka pintu kamar Ruben perlahan dan melihat adiknya yang sudah berada di bawah selimut. Ia pun melangkah lebih dekat, menatap wajah adiknya yang terlelap, ia menjulurkan tangan dan mengusap rambut anak muda yang sedang tertidur itu, lalu ia keluar, menutup pintunya kembali.
Ruben membuka mata setelah kakaknya menghilang di balik pintu, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya, sengaja pura-pura tertidur karena tidak mau bertengkar di tengah malam begini. Dan rupanya ia senang dengan apa yang kakaknya lakukan tadi. Itu sudah lama sekali sejak terakhir kali Dennis melakukan hal itu, bahkan ia sudah lupa kapan. Ruben tersenyum lalu kembali meringkuk dan menutup matanya. Esoknya saat Dennis turun ke meja makan, ia tak melihat Ruben, biasanya anak itu sudah duduk di kursinya dan meneguk segelas susu hangat, tapi pagi ini ... bahkan semua yang ada di meja makan masih rapi, Dennis pun memanggil mbok Jah, karena tidak menyahut maka ia menghampirinya ke dapur. "Mbok Jah, di mana Ruben?" wanita itu memang sudah tua sehingga kurang tidak dengar jika dipanggil. Wanita tua itu sedang membersihkan dapur, ia pun menoleh dengan suara Dennis yang agak lantang, "Iya Den!" "Aku nggak melihat Ruben pagi ini!" "Den Ruben sudah berangkat pagi tadi Den!" "Sepagi itu? Dia pasti sengaja menghindar dariku!" lirihnya. Ruben duduk di dalam mobilnya di halaman rumah Melanie, dan memberi tanda dengan klakson seperti biasa untuk memberitahukan keberadaannya. Melanie keluar dan menghampirinya, masuk ke dalam mobilnya, "Tumben sepagi ini sudah stand by!" "Eh, gue udah bilang belom kalau kak Dennis sekarang ada di rumah?" "Belum tuh!" "Semalam itu ... dia ngeliatin gue tidur, dan dia ngusap rambut gue kaya' waktu kecil dulu!" cerita Ruben. Melanie sedikit menelengkan kepala saat cowo itu bercerita layaknya anak kecil, "Itu udah lama banget nggak dia lakuin, coba bayangin ..., " Ruben bercerita dengan ekspresi wajah yang bahagia, Melihat kebahagiaan itu, "Kamu senang ketika kak Dennis lakuin itu?" "Ya," singkatnya. Raut bahagia itu kini menjadi masam, mengingat sikap Dennis saat baru pulang yang justru langsung memarahinya. "Ituu bagus, mungkin hubungan kalian akan membaik!" "Entahlah!" sahutnya sambil meyandarkan diri, "Terkadang dia sulit ditebak!" "Itu karena kalian sudah terlalu lama nggak memahami satu sama lain, cobalah untuk jadi anak yang baik Ben, sedikit punurut!" "Gue selalu nurut sama lo!" "Kakak kamu maksudku!" Melanie sedikit kesal karena ia tahu Ben akan mengalihkan perbincangan. "Apa itu bisa merubah keadaan?" "Coba saja dulu, mungkin dia terlalu lelah bekerja!" "Gue rasa nggak ada kata lelah buat bekerja baginya!" "Sudahlah, kita berangkat saja nanti telat kalau kebanyakan ngobrol di sini!" pinta Melanie. *** Sesampainya di sekolah Ben tak melihat Vera di parkiran seperti yang biasa dilakukan semua mantannya, begitu keluar dari mobil ia malah melihat Sita yang berdiri di samping mobilnya sendiri. Gadis itu menghampiri, "Ben, bisa nggak kita ngomong sebentar?" pintanya, "Apalagi, nggak ada yang perlu diomongin kan!" cueknya, "Kasih saja dia waktu sedikit!" suruh Melanie sambil berjalan menjauh, "Ok, lo mau ngomong apa?" tanya Ruben terdengar ogah-ogahan, "Ben, gue bener-bener minta maaf soal hari itu, tapi gue mohon gue masih tetep mau jadi pacar lo, kita balikan lagi ya!" rengeknya, "Sita, lo tahu kan gue nggak mungkin balikan lagi sama cewe yang udah gue putusin!" "Tapi gue sayang banget sama lo," "Gue nggak mau sampai berbuat kasar atau ngomong kasar sama lo, jadi berhenti ngemis-ngemis sama gue, ngerti!" jelas Ruben lalu pergi, Sita masih di sana, airmatanya hampir jatuh dari kantungnya. Lagipula jika Ruben memberinya harapan lebih itu akan lebih buruk lagi nantinya. Ruben tidak langsung ke kelas, ia mampir ke ruang OSIS lebih dulu, pintu ruangan itu terbuka, ia pun berdiri bersandar di pintu memandang Vera yang sudah disibukkan oleh jabatannya sebagai ketua OSIS. Salah satu temannya melihat dan memberi isyarat agar Vera menoleh ke arah orang yang berdiri di pintu itu. Vera pun menoleh dan mendapati Ben yang tersenyum padanya, Vera menghampirinya, "Gue lagi sedikit sibuk!" "Ya, gue tahu, kapan lo nggak sibuknya?" "Mungkin istirahat kedua!" "Fine, gue cabut dulu kalau gitu!" katanya masih memandang Vera, Vera mengangguk dan menatap pemuda itu pergi. *** Dennis duduk di ruang kepala sekolah, di depannya duduk pak Kepala Sekolah, mereka berhadapan membicarakan adiknya, "Sebenarnya Ruben, memiliki prestasi yang cukup bagus dalam segi mata pelajaran!" "Saya bisa lihat itu, dia memang anak pandai!" Dennis mengakui itu, "Hanya terkadang dia membuat sedikit masalah, berkelahi dengan teman pria, dan membuat banyak anak perempuan berkelahi memperebutkannya sebagai pacar! Padahal anak cowo di sekolah ini banyak sekali!" jelas Pak Rega, yang memang pusing dengan ulah Ruben. "Apa dia sering membuat masalah yang serius?" "Sejauh ini tidak, tapi beberapa waktu lalu dia sempat memacari guru musiknya, tapi jangan khawatir guru itu sudah diganti, Ruben tidak akan mungkin naksir dengan guru lelaki, kan!" kata pak Rega dengan sedikit candaan. "Maafkan saya, kalau adik saya sering membuat Anda pusing, tapi ... saya harus pergi sekarang, terima kasih!" katanya berdiri lalu menjabat tangan pak Rega. "Terima kasih sudah meluangkan waktu Anda untuk datang ke sini" Dennis meninggalkan ruangan itu dan berjalan menuju ruang kelas Ruben, tapi sekara g adalah waktu istirahat pertama, jadi Ruben pasti sedang ngumpul di tangga. Rico melihat Dennis dari kejauhan, "Itu kak Dennis ya, atau gue salah lihat?" seru Rico, Ruben menoleh, melihat kakaknya berjalan ke arah mereka, makin dekat dan semakin dekat, tapi ia tak lari untuk menghindar, ia justru terkesan menunggu kakaknya sampai. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" "Untuk melihat apa yang kamu lakukan selama ini!" "Gue bukan anak kecil lagi yang perlu dikontrol!" "Kalau begitu bersikaplah dewasa, sepulang sekolah nanti jangan kemana-mana, langsunglah pulang aku ingin bicara!" perintahnya dengan nada tegas. "Apa Kakak akan ada di rumah saat gue pulang?" "Aku pulang setelah jam kantor selesai!" "Ya kalau gitu ngapain gue pulang cepet, nggak ada bedanya kan!" "Aku nggak mau kamu keluyuran sepulang sekolah nanti, kalau kamu nggak menurutiku, aku akan membawamu ke Amerika dan menetap di sana!" ancamnya lalu pergi. Ben mengepalkan tinjunya dengan geram. Selalu mengancam seperti itu! Dari dulu Ruben memang tidak mau diajak ke Amerika, ia lebih suka sekolah di jakarta bersama Rico dan Tomi, apalagi sekarang ada Melanie yang bisa memahaminya, jika dirinya dibawa ke Amerika itu artinya ia akan berpisah dengan Melanie dan tentu ia tak mau itu terjadi. Di istirahat kedua Ben berbicara berdua di kantin dengan Vera, pulangnya ia juga pergi dengan Vera, jam 5 sore ia baru masuk rumahnya. Saat itu Dennis juga baru saja masuk ke rumah, ia melihat adiknya berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamarnya, dan ia hanya diam melihatnya. Ia masuk ke kamarnya untuk mandi, Ruben juga melakukan hal yang sama, sebelum makan malam Ruben masuk ke ruang kerja kakaknya , itu memang permintaan Dennis. Mereka duduk berhadapan, berseberangan meja. "Aku sedikit kecewa dengan masalah yang kamu buat di sekolah!" "Itu hanya masalah kecil!" "Tapi jika dibiarkan lama-lama kamu bisa membuat masalah besar, kamu ingin sok jadi jagoan?" "Gue cuma butuh sedikit hiburan, di rumah sepi sekali, nggak seru kalau di sekolah juga sepi!" katanya sedikit memutar-mutar kursi yang didudukkinya. "Ruben, kamu sudah mulai beranjak dewasa, jangan selalu bersikap seperti anak kecil!" "Terus mau kalian tuh apa?" tanya Ruben menghentikan kegiatan kecilnya, "Jadilah anak baik, itu saja!" "Apa dengan begitu kalian akan sering di rumah, nggak kan!" "Ben!" "Ya-ya gue tahu, kalian selalu sibuk, banyak pekerjaan, karena memang itu kerjaan kalian, ngurusin bisnis mulu, lama-kelamaan lo bener-bener jadi kek Papa sama Mama, lupa sama gue!" "Kita nggak lupa sama kamu!" "Oh ya, nelpon gue aja nggak pernah tuh!" "Ben!" "Udahlah, gue cape ngomongin masalah ini mulu, lo di rumah atau nggak, nggak ada bedanya!" kesalnya keluar dari ruangan itu. "Ben, kita belum selesai bicara!" seru Dennis berdiri, "Anggap aja udah selesai!" sambungnya lagi sebelum sampai di pintu, "Ben!" panggil kakaknya, Ruben berhenti di pintu tapi ia tak menoleh, "Kontrol tagihan ATM mu!" pesan Dennis, Ruben tak menyahut ia melanjutkan langkahnya. Memang sedikit susah berbicara dengan adiknya, ia mencoba untuk tidak bersikap kasar, kalau ia kasar anak itu pasti akan kabur, dan apa yang akan ia katakan pada orangtuanya. Ruben masuk ke kamarnya, ia tidak pergi ke meja makan, ia malah menelpon Rico dan Tomi untuk datang ke rumahnya lalu ia main game seorang diri sembari menunggu temannya datang. Tak berapa lama keduanya datang dan langsung masuk ke kamar Ruben, mbok Jah membawa baki berisi banyak makanan dan minuman ke kamar Ruben, Dennis melihatnya danbertanya. "Mbok Jah, itu untuk siapa banyak sekali?" "Temen-temennya Den Ruben!" jawabnya meneruskan langkahnya. Dennis juga berjalan ke arah kamar adiknya, ia membuka pintu dan melihat tiga orang anak muda yang sedang main game sambil bercanda di dalam kamar itu. Mbok Jah masuk untuk meletakkan makanan yang dipesan Ruben. Dennis hanya diam, tak berkomentar, ia tahu memang kedua anak itulah teman baik adiknya sejak dulu dan mereka sudah biasa menginap. Ia pun menyingkir dari sana dan pergi ke kamarnya. Ketiga pemuda itu bermain sampai larut dan akhirnya tertidur berserakan di lantai kamar. Paginya mereka sudah siap dengan pakaian olah raga, kebetulan itu hari libur makanya mereka berniat untuk jogging. Dennis keluar kamar, ia hendak mengambil koran harian, "Kalian mau ke mana?" "Jogging, Kak!" jawab Tomi. "Kak Dennis mau ikut? Siapa tahu dapet jodoh!" tambah Rico dengan senyum penuh arti, "Nggak, kalian saja yang pergi!" katanya sambil berlalu. Ruben keluar kamar dan mereka pun pergi Jogging. Di tempat jogging .... "Eh, kurang seru nih, kita suruh aja Melanie ke sini!" usul Tomi, "Bener juga tuh, sekalian gue juga mau telepon Bela!" tambah Rico. Ruben pun menelpon Melanie yang baru saja membersihkan rumahnya. "Hallo!" "Hai, lo sibuk nggak Mel?" "Baru selesai bersihin rumah!" "Ke tempat jogging ya sekarang!" suruhnya, "Hei, main perintah aja, aku belum mandi nih!" "Nggak usah mandi, kan mau jogging!" "Tapi badan aku bau, abis bersih-bersih!" "Ya udah cepetan mandi terus ke sini, gue tunggu!" "Iya ...!" katanya menutup teleponnya, "Ada-ada aja sih ni anak, udah semalam nggak ada yang nungguin pulang!" kesalnya menggerutu. Ia pun pergi mandi lalu langsung menuju ke tempat jogging, tapi ia tak memakai baju olah raga, karena ia memang tak berniat buat jogging, bersih-bersih rumah juga sudah termasuk olahraga. ***Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat. Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico. "Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico, "Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya. "Nggak ah, nggak laper!" Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya, "Hai Mel, lama banget sih?" "Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben. "Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela. "Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!" "Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico. "Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri. T
Ruben duduk di meja makan bersama Vera dan keluarganya, ternyata orangtua Vera adalah rekan bisnis keluarga Ruben, ayah Vera pak Ferdi sangat antusias ketika tahu bahwa Ruben adalah putra kedua pak Handy Wirata, ia bahkan berfikir untuk menjodohkan keduanya dalam hubungan yang serius, dan sepertinya Handy Wirata tidak akan keberatan. Ruben tidak menceritakan banyak tentang keluarganya, tapi Vera yang tak berhenti bicara, ia tahu keluarga mereka adalah rekan bisnis maka ia memberitahu ayahnya tentang siapa Ruben. "Jadi orangtuamu masih di Amerika?" tanya Ferdi. "Iya, Om!" "Kenapa dari tadi kamu nggak bicara?" "Vera sudah bicara terlalu banyak, saya rasa itu sudah jadi perwakilan!" katanya memasukan sesendok nasi ke mulutnya, "Dia memang begitu!" sahut Pak Ferdi,"Papa, keahlian Vera bicara membuat Vera jadi ketua OSIS, itu berguna kan!" belanya pada diri sendiri. Setelah makan malam Ruben ngobrol dengan Vera di serambi belakang tapi tak terlalu lama karena Ruben sudah meminta di
Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu. Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran. "Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!" "Iya, kenapa? " "Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya. Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya. "Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh
Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip. Sementara di sekolah .... Melanie menghampiri Tomi dan Rico. "Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie. "Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico. "Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut. Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera ju
Ruben menjemput Vera di rumahnya dan mengajaknya pergi. Mereka duduk di caffe .... "Ben, Ryo masih aja ngejar- gejar gue!" Vera memberitahukannya tapi sepertinya Ruben tak masalah dengan hal itu. "Terus masalahnya?" "Ya kan sekarang kita pacaran, paling nggak lo lakuin sesuatu!" pintanya. "Biarin aja!" sahutnya santai."Kok lo gitu sih?" protes Vera,"Semua orang berhak buat masih mempertahankan perasaannya, kita juga nggak bisa paksa mereka buat lupain kita!" "Tapi gue nggak nyaman! Lagian makin hari gue makin sayang sama lo!" Vera memberitahukan perasaannya. Meski apa yang dikatakan Ruben ada benarnya,Buset...kalau gini caranya bakal susah gue nglepasin nih cewe."Ver, terus gue harus ngapain? Kalau Ryo masih sayang sama lo, ya itu hak dia!""Tapi gue udah terlanjur kecewa sama dia,"Ben menggaruk pelipis dengan telunjuk, "Boleh gue tanya?"Vera menatap lebih serius karena ia merasa air muka Ben sedikit aneh."Apa?""Kenapa lo mau pacaran sama gue? Padahal lo tahu ... gue ngga
Pagi itu Dennis sudah berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Ben. Kamu masih di dalam?" tanyanya agak keras. Tapi ia tak mendengar jawaban, maka ia pun memutar gagang pintu kamar itu dan membuka pintunya. Mendorongnya terbuka sedikit lebar dan melongokkan kepalanya untuk melihat apa adiknya ada di dalam kamar atau tidak. Ia melihat Ruben masih terlelap di bawah selimut, maka ia pun memunculkan seluruh badannya ke dalam kamar. Ia masuk membiarkan pintu tetap terbuka. Dennis mencoba membangunkan Ben, saat tangannya hendak menggoncangkan tubuh adiknya ia melihat sesuatu yang terselip di antara tangan dan dada adiknya. Sebuah frame, ia pun mengambilnya, mencabutnya secara perlahan agar adiknya tidak terbangun dulu. Setelah benda itu ada di tangannya maka ia pun membalik benda itu. Itu adalah foto nenek mereka. Sebuah foto perempuan tua yang sedang tersenyum. Selalu foto nenek yang dipeluknya, Tapi ia juga melihat foto gadis penyanyi caffe itu di dalam frame, diletakkan di ujung di dal
Ruben duduk berdua di dalam mobil bersama Melanie. Tadi Ben sempat memberi pesan pada Tomi untuk Melanie. Katanya Ben menunggunya di parkiran sepulang sekolah, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Tapi keduanya masih diam tak bersuara, akhirnya Ruben mengawali pembicaraan. "Gue minta maaf, soal tadi. Seharusnya gue nggak bentak lo kaya' gitu!" katanya menyesal, lalu ia melanjutkan kalimatnya, "Gue nggak tahu gimana harus bersikap. Lo tahu kan gue nggak bisa kehilangan lo. Lo itu berarti banget buat gue, Mel!" jelasnya memandang gadis itu. "Ben, kamu nggak harus menggantungkan hidup kamu hanya pada satu orang. Kamu harus bisa berdiri di atas kaki kamu sendiri!" "Tapi Mel, sejak kita ketemu, hidup gue berubah. Gue merasa punya arti, gue nunda sekolah ke Wina karena gue pingin selalu deket sama lo!" "Sebesar apa arti aku buat kamu?" tuntut Melanie,"Segalanya, segalanya Mel!" "Ben," mata Melanie memanas,"Buat saat ini ... gue nggak bisa kehilangan lo. Gue nggak siap!" aku Ben,M
Ruben menelpon Melanie karena dia tak ada di rumah. "Lo di mana?" tanya Ruben setengah berteriak. "Di caffe!" jawab Melanie pelan. "Apa!" kaget Ruben, "Lo bilang ... oh My!" umpat Ruben menutup teleponnya dan langsung berlari ke mobil, menjalankan mobilnya dengan laju super cepat. Melanie duduk lemas, ia tak mungkin memberitahukan Ruben bahwa Dennis mengintimidasi dirinya. Jika ia memberitahu Ben soal itu hubungan kedua kakak adik itu akan semakin buruk. Ben sangat berharap hubunganya dengan kakaknya akan seperti dulu. Kini Melanie tak tahu harus bicara apa, jika Ruben sampai di caffe nanti. Melanie masih menunggu Ruben datang, tepat saat hendak ke panggung malah Ben datang dan langsung menariknya kembali ke ruang rias. "Ben!" desisnya "Kenapa lo bohong ke gue?" tanyanya dengan nada marah. "Itu ... aku bisa jelasin tapi nggak sekarang!" "Gue mau penjelasan lo sekarang!" "Ben!" "Sek-ka-rang!" geramnya. Sepertinya cowo itu benar-benar marah. Akhirnya Melanie meminta menejer
Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" seru Rico.
Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi
Tiga hari setelah kepergian Melanie ....Ruben duduk di lantai kamarnya, duduk bersandar ranjang, kakinya ditekuk, kedua lengannya ia sandarkan pada lutut. Pandangannya kosong, sesekali air mata turun menggelinding melewati pipinya. Sudah tiga hari setelah pulang dari makam ia seperti itu. Ia berada di kamar itu pun karena Rico dan Tomi yang membawa tubuhnya. Dia pingsan saat berdiri setelah terlalu lama duduk di samping makam Melanie, tak mengucapkan apa pun selain Al- Fatihah dan nama gadis itu yang terucap puluhan kali. Hingga detik ini ia sama sekali tak beranjak sejak ia tersadar dari pingsannya. Saat ia sadar, ia mencari Melanie di setiap sudut kamar seperti orang gila. Setelah sadar bahwa Melanie telah pergi, ia menangis dan menyambar semua barang yang ada di meja kamarnya hingga berhamburan ke lantai sambil berteriak. Setelah itu tubuhnya melemas dan ia terduduk di sana hingga sekarang. Duduk melamun, tanpa makan, minum dan bicara. Erika sudah berusaha bicara padanya berkali-
"Mel, maukah kamu menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya."Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar."Aku nggak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu nggak boleh?""Ya, itu memang nggak boleh, seharusnya!" jawabnya."Kalau begitu kita harus menikah kan?"Melanie tertawa ...."Kita masih terlalu muda, Ben!""Kamu ragu dengan cintaku?" serunya membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati."Aku sangat mencintai kamu, dan cintaku tulus sama kamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius."Ben!" desis Melanie.Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya didesak dengan keadaan."Kita menikah hari ini, dan setelah itu nggak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup
Artika menghampiri Dennis yang sedang menenggak minuman di dalam gelas yang ada di genggamannya. Tiga botol sudah kosong, kini botol di mejanya bertambah menjadi enam. Terlihat ia sedang menenggak langsung dari mulut botol itu. Tika berdiri di sampingnya."Dennis, kamu kenapa?" tanyanya.Dennis tak menjawab, ia hanya melirik kekasihnya. Ia sudah setengah mabuk, tapi masih sadar. Wajahnya terlihat babak belur tanpa ada pengobatan, ia tak sempat lakukan itu. Sesampainya di pelabuhan ia langsung mengendarai mobilnya ke tempat ini, tempat di mana sekarang ia sedang mencoba menenangkan diri di dalam botol anggur dan Wisky."Apa kamu berkelahi dengan Ruben?" tanya Tika."Aku hanya ingin dia pulang, apa itu salah?" jawabnya, "Dia begitu keras kepala!" lanjutnya."Mungkin memang nggak seharusnya kamu memaksanya.""Aku tahu. Dia ... bahkan nggak bisa memaafkan aku!" serunya sambil menenggak lagi minumannya."Jika kamu sungguh-sungguh minta maaf, mungkin ....""Sudah kulakukan, tapi kesalahanku
Dennis keluar dari taksi dan memasuki area pembangunan itu. Ia berjalan menghampiri Ruben. "Ben!" desisnya. Ruben yang sedang mengaduk pasir dengan semen pun menoleh mendengar suara itu. Ia cukup terkejut karena Dennis ada di sana. Ben memandangnya, tak percaya. Heran dan marah. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" tanyanya. "Aa ....""Lo ngikutin gue!" katanya lagi sebelum Dennis sempat menjawab pertanyaan sebelumnya."Ben, apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Ben tak langsung menjawab, "Kamu nggak perlu bekerja seperti ini, kamu bisa menggunakan uangmu sesuka hatimu!" "Gue mau bekerja di mana dan seperti apa, itu bukan urusan lo." "Ben, tapi bukan bekerja seperti ini!" "Memangnya kenapa? Ada apa dengan pekerjaan ini. Apa pekerjaan seperti ini itu hina? Kak, pekerjaan ini halal dan seenggaknya ini lebih baik dari pada gue meminta pada kalian!" "Kamu nggak perlu meminta, semua itu milikmu. Ben, aku mohon. Mama pasti akan sedih jika tahu kamu bekerja seperti ini!" "Mereka ngg
Dennis sudah duduk di depan mobilnya, ia memandangi lautan biru, hiruk pikuk orang-orang di sana. Ada pertengkaran kecil beberapa pria, sepasang sejoli yang berjalan bergandengan tangan. Masih pagi begini aja sudah ada yang pacaran, dasar anak muda. Mata Dennis menangkap dua bocah yang sedang bermain bersama. Sepertinya mereka kakak beradik, sang adik terjatuh dan sang kakak membantunya berdiri, melihat luka di kakinya dan mencoba menenangkan adiknya yang menangis kesakitan. Sang kakak akhirnya menggendong adiknya di belakang dan berjalan menjauh. Dennis tersenyum, ia ingat masa kecilnya dulu. Saat membantu Ruben belajar berjalan. Menggendongnya bila habis terjatuh dan menangis. Bermain bersama, mereka memang berbeda 9 tahunan. Jadi selama ini Dennis memang selalu ikut menjaga Ruben dan hubungan mereka sangat dekat. Dennis menarik lengannya dan menilik jam tangannya. Itu sudah jam 9.10 tapi Ben belum muncul. Apakah adiknya itu tidak jadi menemuinya, atau tak sudi lagi bertemu dengan
Bangun pagi Melanie langsung ke dapur dan membuat sarapan, ia tak berani mengetuk pintu kamar Ruben. Ia tahu betul bagaimana pemuda itu jika sedang marah. Ben keluar kamar dan langsung duduk di meja makan, tapi ia tak menyentuh makanannya. Meletakkan kedua telapak tangannya yang ia satukan di depan mulutnya. Melanie menaruh teh manis hangat di depannya dan ikut duduk. Ia mengambilkan makanan untuk Ruben. Dan Ben juga belum menyentuh sendoknya. Melanie melirik, "Apa kamu masih marah soal semalam?" tanyanya, "Maafkan aku, aku nggak bermaksud berpikiran seperti itu. Kamu tahu, aku akan melakukan apa pun yang kamu katakan. Kamu tahu aku bahkan hampir nggak pernah membantahmu!" jelasnya. Ben masih diam, kali ini ia mengangkat sendoknya dan mulai menyendok sarapannya, memasukkannya ke mulut. Mengunyahnya pelan. "Ben, katakan sesuatu. Kamu tahu aku nggak bisa kalau kamu marah seperti ini!" "Aku nggak marah sama kamu!" sahutnya. "Apa!" "Harusnya aku yang minta maaf, karena telah bersik
Jam 5 dini hari, Melanie keluar dari kamarnya setelah solat subuh. Ia berjalan ke kamar sebelah, membuka pintunya perlahan. Melanie cukup tercekat menemukan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu. Ben sedang duduk di atas sajadah, kedua tangannya menenangadah ke atas. Sesekali ada isakan yang terdengar dari suaranya. "Hamba nggak akan meminta apa pun kecuali sedikit kebahagiaan untuk Melanie. Selama ini ... hamba selalu menyalahkan-Mu atas semua yang terjadi, ampuni hamba ya Allah ... Hanya kepada-Mu hamba memohon. Engkau yang mengetahui segala yang terbaik bagi kami, jika apa yang kami lakukan salah maka tegurlah kami. Berikannya kami jalan yang terbaik, agar kami tidak tersesat!" Terdengar Ben seperti menghirup ingusnya. "Engkau yang mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Hilangkanlah rasa takut ini ... yang selalu mendera jika malam datang, hamba sungguh sangat takut ... takut pada semua yang akan terjadi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" tangisnya. Melanie terdiam