"Eh, Tom. Kamu yang jemput aku?" tanya Melanie, pagi itu Tomi yang menjemputnya,
"Lo berharap si palyboy tengik itu, ngarep banget sih lo sama dia!" "Yee, siapa juga, aku tuh cuman nanya!" "Emangnya gue nggak pernah jemput lo apa?" protes Tomi. "Udah ah, ntar telat!" serunya naik ke motor Tomi, "Jalan!" sambungnya menepuk pundak temannya, mereka pun melaju ke sekolah. Ryo mengejar Vera yang terus menghindarinya, " "Ver, please ... kasih gue kesempatan sekali lagi!" pintanya sambil memegang lengan gadis itu dengan kuat, "Lepasin, Yo. Gue udah bilang sama lo gue nggak mau balikan sama lo!" katanya melepaskan diri dan terus berjalan. "Tapi Ver ...," "Cukup!" potongnya sambil berbalik ke Ryo yang terus mengikutinya, "Lo berhenti ikutin gue atau gue teriak nih!" ancam Vera lalu berbalik lagi dan melangkah, Ryo hanya diam memandang gadis itu berlalu darinya, kemudian ia meninju angin dengan kesal. Saat itu Ruben lagi ngumpul berempat di tangga, Vera melewati mereka, sempat melirik sejenak. Ruben memandangnya hingga menjauh dan tiba-tiba ia beranjak mengejarnya. "Ben, lo mau ke mana?" tanya Rico, tapi temannya itu tak menyahut, ia menghampiri Vera, "Hai Ver!" sapanya, Vera menoleh, ia sedikit terkejut tahu siapa yang mengejarnya. "Ben!" berhenti. "Mau ke mana?" "Ke ruang OSIS!" "Bareng yuk!" ajaknya. "Emangnya lo mau ngapain ke sana?" tanyanya heran, karena ia tahu Ben tak punya kepentingan di sana. "Nganterin lo " jawabnya singkat, Vera tersenyum, "Nggak ada yang marah nih?" "Kalau pun ada ... cuekin aja lagi!" jawabnya lagi, Vera kembali tersenyum sambil geleng kepala pelan. Mereka berjalan ke ruang OSIS sambil sama-sama mencuri pandang sesekali. Sebenarnya yang sesekali mencuri pandang itu Vera, kalau Ruben sudah jelas memandangnya sepanjang perjalanan sampai di depan pintu ruang OSIS, mereka berhenti di sana sejenak, saling memandang sebelum Vera masuk dan membiarkan Ruben masih di pintu, berdiri sambil mengantongi tangannya dan tersenyum. *** Dennis turun dari taxi sambil membawa sebuah koper, ia memasuki halaman rumahnya dan mengetuk pintu, tak berapa lama mbok Jah membuka pintu dari dalam, "Eh, Den Dennis!" mata wanita itu mengerjap. "Ruben ada di rumah, Mbok?" "Lho ... ini kan masih jam sekolah, Den. Ya masih di sekolah, tapi biasanya Den Ruben pulangnya sore atau malam!" "Apa! Malam, anak itu!" herannya lalu ia masuk ke dalam rumah, "Jika dia pulang Bari tahu aku, aku mau istirahat dulu!" "Iya, Den!" jawab wanita tua itu sambil menutup pintu. Dalam perjalanan hp Ruben berdering beberapa kali, itu dari Vera, selama jam pelajaran terakhir tadi Ruben asyik chatting dengan Vera. Ruben tak mengangkat teleponnya karena ia sedang bersama Sita. "Kenapa nggak diangkat?" "Lagi nggak mau angkat aja," Ben mengantar Sita langsung pulang ke rumahnya padahal sebenarnya tadi Sita memintanya untuk menemaninya ke salon. Mereka berdiri di depan pintu. "Bener nih lo nggak mau mampir?" tanya Sita penuh harap "Gue buru-buru!" "Karena temen-temen lo lagi?" Sita mengerucutkan bibirnya yang tipis. "Gue juga punya privasi kan," jawabnya sambil berjalan menuju mobil, "Pasti karena Melanie, kan?" teriak Sita. Ben menghentikan langkahnya, "Kenapa sih lo selalu mentingin dia banget? Sedikit-sedikit Melanie, emangnya dia itu istri lo!" kesal Sita. Ruben berbalik, "Gue udah bilang sama lo buat nggak ngurusin urusan gue, gue nggak suka sama cewe manja dan cerewet kaya' lo, ngerti !" marahnya, dan kemarahan itu jelas terlihat di matanya. Ia memang tidak suka jika ditanyain soal hubungannya dengan Melanie. "Ben!" Sita mulai panik, takut jika cowo itu mutusin hubungan mereka. "Gue harap ini terakhir kalinya lo bahas soal ini!" gerutunya lalu kembali berbalik ke mobilnya dan masuk ke sana. Sita melangkah mengejar, "Ben!" ia meraba kaca mobil itu, "Ben, lo nggak marah kan? Ben maafin gue!" rengeknya tapi pemuda itu tidak peduli, ia menginjak gas mobilnya dan melaju kencang. "Ben!" seru Sita, ia mengambil teleponnya dan menelpon Ruben, tapi tak pernah diangkat. Lalu ia mengirim pesan singkat di chattroom. Ruben bahkan tak menyentuh hpnya sama sekali, ia terus melaju. *** Vera duduk di taman sambil sesekali melihat jam tangannya, ia mulai kesal. Tiba-tiba ada sekuntum bunga di hadapannya, tangan Ruben muncul dari belakang, Vera mengambil bunga itu, Ben pun duduk di sampingnya. "Sorry ya nunggu lama!" "Oh, nggak apa-apa kok, pasti sulit ya melarikan diri dari Sita?" katanya dengan nada yang penuh pengertian. "Nggak juga sih!" Mereka akhirnya pergi jalan-jalan seharian. Sekitar jam 10 malam Ben baru masuk rumahnya, ketika ia hendak naik ke tangga, ia dikejutkan dengan suara seseorang. "Bagus, anak sekolah larut malam baru pulang, mau jadi apa kamu?" Ruben menoleh, "Kak Dennis!" desisnya, ada rasa bahagia juga rindu saat melihat sosok Dennis. Dennis mendekat , "Kenapa kamu ini, semakin lama malah semakin liar, keluyuran tiap malam!" Wajah Ruben berubah sekejap, "Gue cuman main, Kak!" cueknya, ia pikir Dennis akan memeluknya dengan kerinduan yang sama seperti yang ia rasakan. "Main, main apa, main dengan para berandalan di jalanan! Mabuk-mabukkan, buat malu keluarga!" "Ok, gue emang suka mabuk, bisanya cuma main-main, tapi lo sadar nggak itu karena apa? Buat apa gue diem di rumah yang udah kaya' kuburan, nggak ada kehidupan sama sekali! " "Ruben!" "Lo," tunjuk Ruben ke dada kakaknya "Lo itu nggak ada bedanya sama mama dan papa, semuanya sama !" geramnya lalu berlari ke atas , "Ben, Ruben!" seru kakaknya tapi Ruben tak menggubrisnya, ia masuk ke kamarnya dan mengunci pintu, membanting tasnya ke ranjang. Rumahnya sekarang memang sudah berbeda, berbeda dari 12 tahun yang lalu, sebelum usianya 6 tahun rumah itu seperti surga, penuh dengan tawa dan kasih sayang tapi entah kenapa lambat laun itu semua menghilang dan mulai pudar, hanya ada tangan neneknya yang masih menghangatkan suasana dan memberinya kasih sayang hingga akhirnya nenek pun harus meninggal saat usianya masih 10 tahun, saat itulah semua berubah, rumah itu benar-benar sepi, tak ada lagi tawa yang bergema, semua orang sibuk, ia hanya bermain ditemani piano peninggalan nenek dan bayang-bayang dari neneknya dan juga kenangan masa kecil. *** Paginya Ruben duduk di meja makan, ia meneguk segelas susu hangat dan menggigit rotinya lalu mengunyahnya, saat itu Dennis datang dan duduk di hadapannya, ia meneguk segelas air putih sambil memandang adiknya. Ruben berdiri dan mulai melangkah, "Kamu mau ke mana?" "Ya sekolah, ke mana lagi?" "Ini masih terlalu pagi!" "Nggak ada bedanya!" jawabnya lalu melanjutkan langkah, Dennis hanya diam. Ia pikir tak ada gunanya berdebat dengan adiknya saat ini, anak itu pasti tidak akan menggubris ocehannya. Di sekolah .... Ryo masih berusaha membujuk Vera, tapi nampaknya sudah tak ada lagi kesempatan untuknya. Vera melihat Ruben keluar dari mobil, ia pun meninggalkan Ryo dan menghampiri cowo incaran para cewe itu. "Hai, Ben!" sapanya, Ruben pun tersenyum padanya, Ryo melihat itu dari tempatnya berdiri. "Ruben! Oh ... jadi karena dia Vera nggak mau balikan lagi sama gue? Kenapa harus Ruben? " geramnya sendiri. Di pintu masuk kelas, Melanie di sapa Sita, "Hai, Mel?" "Hai!" sahutnya dengan senyuman, "Lo lihat Ruben nggak?" "Baru dateng kayaknya di depan!" "Thanks ya!" Sita tak membahas apa yang terjadi kemarin di depan rumahnya kepada Melanie, ia takut salah bicara lagi seperti kemarin saat bersama Ruben, itu saja sudah cukup membuat Ruben marah padanya. Ia pun berlalu menuju ke depan, dan apa yang ia lihat, ia melihat Ruben bersama Vera. Ia pun menghampiri keduanya, "Ben!" mereka berdua berhenti, tapi tampaknya hal itu tak memberi efek apa-apa pada Ruben. "Ben, kok lo jalan sama Vera, kita belum putus kan? Kalau lo masih marah soal kemarin, gue minta maaf, tapi jangan putusin gue!" pintanya manja merengkuh lengan Ruben. "Sorry, kaya' nya kita nggak bisa lanjut!" "Tapi Ben!" "Lp mau bilang kalau lo sayang sama gue? Basi tahu nggak! Hampir semua cewe juga bilang gitu, bosen dengernya!" Ruben melepas tangan Sita dari lengannya. "Ben maafin gue, please!" rengeknya lagi, tapi Ruben tetap saja berjalan pergi menggandeng Vera, dan Sita hanya bisa melihat itu, sepertinya memang sudah tak ada harapan lagi, ia tahu ia bisa saja kehilangan Ruben sejak tempo hari Ruben mulai melirik Vera, dan yang ia takutkan itu memang terjadi. Ternyata Andien benar, Ruben hanya menjadikannya salah satu dari koleksinya saja, tapi entah mengapa dirinya tak bisa membenci pria itu. Melanie duduk sendiri di kelas sambil membaca buku, di sekolah ia memang tak dekat dengan anak lain selain Ruben, Rico dan Tomi. Jika semuanya sibuk maka ia akan sendirian dan hanya buku yang jadi temannya. Andien yang sedang berjalan melihat Sita menangis di taman belakang, ia pun menghampirinya, "Kenapa lo, baru diputusin Ruben?" Sita tak menjawab tapi Andien sudah pasti tahu jawabannya itu, "Udahlah ngapain ditangisin, nggak ada gunanya, di sekolah ini cuma ada satu cewe doang yang nggak bakalan jadi korban!" seru Andien sambil duduk di sampingnya, Sita menoleh, "Lo pasti tahu siapa dia, gue rasa ... dia memang beruntung!" Malamnya, di caffe Ruben duduk berhadapan dengan Melanie, mereka sedang menunggu Tomi dan Rico, selain itu menunggu giliran Melanie menyanyi, ia bukan satu-satunya penyanyi di sana, selain Melanie ada band lain yang mengisi sampai jam 7 malam. "Gue lihat Sita nangis sampai bengkak, lo apain dia?" "Nggak gue apa-apain kok, selain gue pecat jadi pacar gue, dia terlalu kepo urusan pribadi gue?" "Dia kan pacar lo, wajar dong!" "Bekas!" desisnya, kemudian ia melihat gadis yang tempo hari di caffe itu, "Eh, gue ke sana dulu ya!" katanya beranjak. Melanie hanya menggeleng pelan. Ruben menghampiri gadis itu, "Hai, Alice!" "Ruben, sorry ya aku telat!" "Oh, nggak apa-apa!" jawabnya dengan senyuman, ia mengajaknya duduk di sebuah meja. Saat itu Rico dan Tomi baru datang menghampiri Melanie. "Hai Mel, si Ruben mana?" tanya Rico, "Tuh!" tunjuknya dengan dagu ke tempat Ruben duduk, keduanya menoleh ke sana, "Yaelah, kalau gini caranya ngapain kita ke sini!" celetus Tomi, "Jadi bodyguard!" tukas Melanie. "Jadi lo sering dicuekin cari mangsa!" sahut Rico sambil duduk, Ruben lama ngobrol dengan Alice dan akhirnya ia mengantarnya pulang setelah menghampiri teman-temannya sejenak untuk menitipkan Melanie pulang nanti. Setelah itu ia pun juga langsung pulang. Akhir-akhir ini ia sering tak menunggu Melanie sampai selesai. ***Malam itu sekitar jam 11 Ruben masuk ke kamarnya, Dennis sedang di ruang kerja sehingga tak terlalu mendengar suara mobil adiknya yang memasuki halaman rumah mereka. Dennis melihat jam di dinding yang sudah menunjuk angka 11 lebih 20 menit. Ia menutup sebuah map dan berdiri dari kursinya, berjalan keluar dari ruang kerjanya dan menuju kamar adiknya, ia membuka pintu kamar Ruben perlahan dan melihat adiknya yang sudah berada di bawah selimut. Ia pun melangkah lebih dekat, menatap wajah adiknya yang terlelap, ia menjulurkan tangan dan mengusap rambut anak muda yang sedang tertidur itu, lalu ia keluar, menutup pintunya kembali. Ruben membuka mata setelah kakaknya menghilang di balik pintu, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya, sengaja pura-pura tertidur karena tidak mau bertengkar di tengah malam begini. Dan rupanya ia senang dengan apa yang kakaknya lakukan tadi. Itu sudah lama sekali sejak terakhir kali Dennis melakukan hal itu, bahkan ia sudah lupa kapan. Ruben tersenyum la
Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat. Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico. "Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico, "Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya. "Nggak ah, nggak laper!" Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya, "Hai Mel, lama banget sih?" "Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben. "Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela. "Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!" "Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico. "Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri. T
Ruben duduk di meja makan bersama Vera dan keluarganya, ternyata orangtua Vera adalah rekan bisnis keluarga Ruben, ayah Vera pak Ferdi sangat antusias ketika tahu bahwa Ruben adalah putra kedua pak Handy Wirata, ia bahkan berfikir untuk menjodohkan keduanya dalam hubungan yang serius, dan sepertinya Handy Wirata tidak akan keberatan. Ruben tidak menceritakan banyak tentang keluarganya, tapi Vera yang tak berhenti bicara, ia tahu keluarga mereka adalah rekan bisnis maka ia memberitahu ayahnya tentang siapa Ruben. "Jadi orangtuamu masih di Amerika?" tanya Ferdi. "Iya, Om!" "Kenapa dari tadi kamu nggak bicara?" "Vera sudah bicara terlalu banyak, saya rasa itu sudah jadi perwakilan!" katanya memasukan sesendok nasi ke mulutnya, "Dia memang begitu!" sahut Pak Ferdi,"Papa, keahlian Vera bicara membuat Vera jadi ketua OSIS, itu berguna kan!" belanya pada diri sendiri. Setelah makan malam Ruben ngobrol dengan Vera di serambi belakang tapi tak terlalu lama karena Ruben sudah meminta di
Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu. Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran. "Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!" "Iya, kenapa? " "Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya. Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya. "Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh
Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip. Sementara di sekolah .... Melanie menghampiri Tomi dan Rico. "Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie. "Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico. "Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut. Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera ju
Ruben menjemput Vera di rumahnya dan mengajaknya pergi. Mereka duduk di caffe .... "Ben, Ryo masih aja ngejar- gejar gue!" Vera memberitahukannya tapi sepertinya Ruben tak masalah dengan hal itu. "Terus masalahnya?" "Ya kan sekarang kita pacaran, paling nggak lo lakuin sesuatu!" pintanya. "Biarin aja!" sahutnya santai."Kok lo gitu sih?" protes Vera,"Semua orang berhak buat masih mempertahankan perasaannya, kita juga nggak bisa paksa mereka buat lupain kita!" "Tapi gue nggak nyaman! Lagian makin hari gue makin sayang sama lo!" Vera memberitahukan perasaannya. Meski apa yang dikatakan Ruben ada benarnya,Buset...kalau gini caranya bakal susah gue nglepasin nih cewe."Ver, terus gue harus ngapain? Kalau Ryo masih sayang sama lo, ya itu hak dia!""Tapi gue udah terlanjur kecewa sama dia,"Ben menggaruk pelipis dengan telunjuk, "Boleh gue tanya?"Vera menatap lebih serius karena ia merasa air muka Ben sedikit aneh."Apa?""Kenapa lo mau pacaran sama gue? Padahal lo tahu ... gue ngga
Pagi itu Dennis sudah berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Ben. Kamu masih di dalam?" tanyanya agak keras. Tapi ia tak mendengar jawaban, maka ia pun memutar gagang pintu kamar itu dan membuka pintunya. Mendorongnya terbuka sedikit lebar dan melongokkan kepalanya untuk melihat apa adiknya ada di dalam kamar atau tidak. Ia melihat Ruben masih terlelap di bawah selimut, maka ia pun memunculkan seluruh badannya ke dalam kamar. Ia masuk membiarkan pintu tetap terbuka. Dennis mencoba membangunkan Ben, saat tangannya hendak menggoncangkan tubuh adiknya ia melihat sesuatu yang terselip di antara tangan dan dada adiknya. Sebuah frame, ia pun mengambilnya, mencabutnya secara perlahan agar adiknya tidak terbangun dulu. Setelah benda itu ada di tangannya maka ia pun membalik benda itu. Itu adalah foto nenek mereka. Sebuah foto perempuan tua yang sedang tersenyum. Selalu foto nenek yang dipeluknya, Tapi ia juga melihat foto gadis penyanyi caffe itu di dalam frame, diletakkan di ujung di dal
Ruben duduk berdua di dalam mobil bersama Melanie. Tadi Ben sempat memberi pesan pada Tomi untuk Melanie. Katanya Ben menunggunya di parkiran sepulang sekolah, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Tapi keduanya masih diam tak bersuara, akhirnya Ruben mengawali pembicaraan. "Gue minta maaf, soal tadi. Seharusnya gue nggak bentak lo kaya' gitu!" katanya menyesal, lalu ia melanjutkan kalimatnya, "Gue nggak tahu gimana harus bersikap. Lo tahu kan gue nggak bisa kehilangan lo. Lo itu berarti banget buat gue, Mel!" jelasnya memandang gadis itu. "Ben, kamu nggak harus menggantungkan hidup kamu hanya pada satu orang. Kamu harus bisa berdiri di atas kaki kamu sendiri!" "Tapi Mel, sejak kita ketemu, hidup gue berubah. Gue merasa punya arti, gue nunda sekolah ke Wina karena gue pingin selalu deket sama lo!" "Sebesar apa arti aku buat kamu?" tuntut Melanie,"Segalanya, segalanya Mel!" "Ben," mata Melanie memanas,"Buat saat ini ... gue nggak bisa kehilangan lo. Gue nggak siap!" aku Ben,M
Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" se
Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi
Tiga hari setelah kepergian Melanie ....Ruben duduk di lantai kamarnya, duduk bersandar ranjang, kakinya ditekuk, kedua lengannya ia sandarkan pada lutut. Pandangannya kosong, sesekali air mata turun menggelinding melewati pipinya. Sudah tiga hari setelah pulang dari makam ia seperti itu. Ia berada di kamar itu pun karena Rico dan Tomi yang membawa tubuhnya. Dia pingsan saat berdiri setelah terlalu lama duduk di samping makam Melanie, tak mengucapkan apa pun selain Al- Fatihah dan nama gadis itu yang terucap puluhan kali. Hingga detik ini ia sama sekali tak beranjak sejak ia tersadar dari pingsannya. Saat ia sadar, ia mencari Melanie di setiap sudut kamar seperti orang gila. Setelah sadar bahwa Melanie telah pergi, ia menangis dan menyambar semua barang yang ada di meja kamarnya hingga berhamburan ke lantai sambil berteriak. Setelah itu tubuhnya melemas dan ia terduduk di sana hingga sekarang. Duduk melamun, tanpa makan, minum dan bicara. Erika sudah berusaha bicara padanya berkali-
"Mel, maukah kamu menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya."Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar."Aku nggak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu nggak boleh?""Ya, itu memang nggak boleh, seharusnya!" jawabnya."Kalau begitu kita harus menikah kan?"Melanie tertawa ...."Kita masih terlalu muda, Ben!""Kamu ragu dengan cintaku?" serunya membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati."Aku sangat mencintai kamu, dan cintaku tulus sama kamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius."Ben!" desis Melanie.Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya didesak dengan keadaan."Kita menikah hari ini, dan setelah itu nggak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup
Artika menghampiri Dennis yang sedang menenggak minuman di dalam gelas yang ada di genggamannya. Tiga botol sudah kosong, kini botol di mejanya bertambah menjadi enam. Terlihat ia sedang menenggak langsung dari mulut botol itu. Tika berdiri di sampingnya."Dennis, kamu kenapa?" tanyanya.Dennis tak menjawab, ia hanya melirik kekasihnya. Ia sudah setengah mabuk, tapi masih sadar. Wajahnya terlihat babak belur tanpa ada pengobatan, ia tak sempat lakukan itu. Sesampainya di pelabuhan ia langsung mengendarai mobilnya ke tempat ini, tempat di mana sekarang ia sedang mencoba menenangkan diri di dalam botol anggur dan Wisky."Apa kamu berkelahi dengan Ruben?" tanya Tika."Aku hanya ingin dia pulang, apa itu salah?" jawabnya, "Dia begitu keras kepala!" lanjutnya."Mungkin memang nggak seharusnya kamu memaksanya.""Aku tahu. Dia ... bahkan nggak bisa memaafkan aku!" serunya sambil menenggak lagi minumannya."Jika kamu sungguh-sungguh minta maaf, mungkin ....""Sudah kulakukan, tapi kesalahanku
Dennis keluar dari taksi dan memasuki area pembangunan itu. Ia berjalan menghampiri Ruben. "Ben!" desisnya. Ruben yang sedang mengaduk pasir dengan semen pun menoleh mendengar suara itu. Ia cukup terkejut karena Dennis ada di sana. Ben memandangnya, tak percaya. Heran dan marah. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" tanyanya. "Aa ....""Lo ngikutin gue!" katanya lagi sebelum Dennis sempat menjawab pertanyaan sebelumnya."Ben, apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Ben tak langsung menjawab, "Kamu nggak perlu bekerja seperti ini, kamu bisa menggunakan uangmu sesuka hatimu!" "Gue mau bekerja di mana dan seperti apa, itu bukan urusan lo." "Ben, tapi bukan bekerja seperti ini!" "Memangnya kenapa? Ada apa dengan pekerjaan ini. Apa pekerjaan seperti ini itu hina? Kak, pekerjaan ini halal dan seenggaknya ini lebih baik dari pada gue meminta pada kalian!" "Kamu nggak perlu meminta, semua itu milikmu. Ben, aku mohon. Mama pasti akan sedih jika tahu kamu bekerja seperti ini!" "Mereka ngg
Dennis sudah duduk di depan mobilnya, ia memandangi lautan biru, hiruk pikuk orang-orang di sana. Ada pertengkaran kecil beberapa pria, sepasang sejoli yang berjalan bergandengan tangan. Masih pagi begini aja sudah ada yang pacaran, dasar anak muda. Mata Dennis menangkap dua bocah yang sedang bermain bersama. Sepertinya mereka kakak beradik, sang adik terjatuh dan sang kakak membantunya berdiri, melihat luka di kakinya dan mencoba menenangkan adiknya yang menangis kesakitan. Sang kakak akhirnya menggendong adiknya di belakang dan berjalan menjauh. Dennis tersenyum, ia ingat masa kecilnya dulu. Saat membantu Ruben belajar berjalan. Menggendongnya bila habis terjatuh dan menangis. Bermain bersama, mereka memang berbeda 9 tahunan. Jadi selama ini Dennis memang selalu ikut menjaga Ruben dan hubungan mereka sangat dekat. Dennis menarik lengannya dan menilik jam tangannya. Itu sudah jam 9.10 tapi Ben belum muncul. Apakah adiknya itu tidak jadi menemuinya, atau tak sudi lagi bertemu dengan
Bangun pagi Melanie langsung ke dapur dan membuat sarapan, ia tak berani mengetuk pintu kamar Ruben. Ia tahu betul bagaimana pemuda itu jika sedang marah. Ben keluar kamar dan langsung duduk di meja makan, tapi ia tak menyentuh makanannya. Meletakkan kedua telapak tangannya yang ia satukan di depan mulutnya. Melanie menaruh teh manis hangat di depannya dan ikut duduk. Ia mengambilkan makanan untuk Ruben. Dan Ben juga belum menyentuh sendoknya. Melanie melirik, "Apa kamu masih marah soal semalam?" tanyanya, "Maafkan aku, aku nggak bermaksud berpikiran seperti itu. Kamu tahu, aku akan melakukan apa pun yang kamu katakan. Kamu tahu aku bahkan hampir nggak pernah membantahmu!" jelasnya. Ben masih diam, kali ini ia mengangkat sendoknya dan mulai menyendok sarapannya, memasukkannya ke mulut. Mengunyahnya pelan. "Ben, katakan sesuatu. Kamu tahu aku nggak bisa kalau kamu marah seperti ini!" "Aku nggak marah sama kamu!" sahutnya. "Apa!" "Harusnya aku yang minta maaf, karena telah bersik
Jam 5 dini hari, Melanie keluar dari kamarnya setelah solat subuh. Ia berjalan ke kamar sebelah, membuka pintunya perlahan. Melanie cukup tercekat menemukan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu. Ben sedang duduk di atas sajadah, kedua tangannya menenangadah ke atas. Sesekali ada isakan yang terdengar dari suaranya. "Hamba nggak akan meminta apa pun kecuali sedikit kebahagiaan untuk Melanie. Selama ini ... hamba selalu menyalahkan-Mu atas semua yang terjadi, ampuni hamba ya Allah ... Hanya kepada-Mu hamba memohon. Engkau yang mengetahui segala yang terbaik bagi kami, jika apa yang kami lakukan salah maka tegurlah kami. Berikannya kami jalan yang terbaik, agar kami tidak tersesat!" Terdengar Ben seperti menghirup ingusnya. "Engkau yang mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Hilangkanlah rasa takut ini ... yang selalu mendera jika malam datang, hamba sungguh sangat takut ... takut pada semua yang akan terjadi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" tangisnya. Melanie terdiam