Melanie membuka matanya perlahan, dan ketika matanya terbuka penuh ia melihat wajah seorang pria tepat di depan matanya, ia pun membelalak dan terbangun. Tapi tangan Ben masih nyangkut di tubuhnya, karena dekapan itu cukup erat ia pun melayangkan sebuah tamparan ke wajah pemuda itu, membuatnya tersentak dan bangun sambil memegang pipinya yang terasa panas dan pedas.
"Ah ... auw!" rintihnya, "ada apa ini?" tanyanya masih setengah tak sadar, ia mengucek matanya dengan tangannya yang lain untuk memperjelas pandangannya karena ia seperti melihat seseorang di depannya. Ben pun terbangun dan terjaga sepenuhnya. "Melanie, jadi lo yang nampar gue?" tanya Ben sambil bangkit duduk, "Pagi-pagi begini sudah main gampar!" "Karena kamu emang pantes dapat itu!" "Maksud lo? Tunggu-tunggu ... lo ngapain di sini?" tanya Ben meski ia sudah tahu Melanie sering berada di sana. "Semalam itu kamu mabuk, makanya aku ada di sini!" "Maksud lo ... kita ...." "Nggak, jangan mikir yang nggak-nggak deh, najis tahu nggak aku tidur sama playboy cap kadal kaya' kamu!" "Semalam lo tidur di kasur gue kan? Kalau gue mabuk otomatis gue nggak inget apa-apa, jangan-jangan ... lo perkosa gue lagi!" "Apa! Eh kadal, jangan ngawur ya, aku masih virgin tahu!" nimpuk tubuh Ben dengan bantal. Ben menepis bantal itu ke tepi. "Kalau gitu gue juga masih perjaka, selamet!" sahutnya sambil mengelus dada, Melanie nyengir dengan sahutan Ruhen, lalu ia tertawa. Ben memandangnya aneh. "Kenapa lo ketawa?" "Emangnya kamu masih perjaka?" kelakarnya masih dalam tawa sambil menuju kamar mandi. "Maksud lo apa, gue nggak sebrengsek itu kali!" sahut Ben tak terima. Melanie tak menjawab, ia masuk kamar mandi dan menutup pintunya, Ben menyusul tapi pintunya terkunci dari dalam. "Mel, bukain dong gue kebelet nih!" "Pake kamar mandi yang lain, kita udah hampir telat!" "Gue udah nggak tahan nih!" katanya menabok-nabok pintu. "Bodo!" Niat pengen ngerjain, tapi rupanya tidak mempan, mungkin karena Melanie sudah terlalu hafal, Ben pun pergi ke kamar sebelah untuk mandi di sana. Selesai itu mereka berangkat sekolah, Di dalam mobil .... "Ben, apa nggak sebaiknya kamu hindari minuman keras, itu nggak baik buat kesehatan. Kamu itu masih terlalu muda jadi jangan hancurin hidup kamu seperti itu!" "Kadang gue butuh, lagian siapa yang peduli!" jawabnya tetap fokus ke depan. "Aku peduli sama kamu, Rico dan Tomi juga, dan ... orangtua kamu!" "Gue nggak mau bahas mereka!" "Ben!" "Mel, jangan bikin gue badmood pagi-pagi gini!" kesalnya. Melanie diam karena ia tak mau membuat Ben marah, karena jika marah pemuda ini sering melakukan hal yang gila. Memang susah menasehati anak yang satu ini. Mereka diam tak saling bicara lagi sampai di sekolah, begitu Ruben memarkir mobilnya Sita sudah langsung saja menghampirinya, rupanya gadis itu sudah sejak tadi menunggunya. Ia melihat Melanie turun dari dalam mobil kekasihnya, ia memandangnya dengan tatapan cemburu, kemudian Ben juga turun, wajahnya langsung tersenyum, "Ben, gue nungguin lo dari tadi!" "Ada apaan?" jawabnya setengah acuh, "Ya nggak ada apa-apa, kita kan pacaran wajar dong kalo gue nungguin lo!" Melanie berjalan masuk lebih dulu tanpa berkata apa pun, Sita meliriknya. Setelah Melanie jauh dari keduanya, "Kenapa sih loe selalu bareng Melanie?" "Itu bukan urusan lo, jangan banyak tanya!" "Jelas dong gue nanya, secara pacar lo itu gue, tapi yang lo perhatiin dia terus!" "Terus lo nggak suka?" "Ya jelas dong gue nggak suka!" "Ya udah, kalo gitu lo bisa berhenti dong jadi pacar gue, nggak susah kok gue cari pacar baru yang nggak cerewet!" "Apa, lo mau putusin gue?" Ben tidak menjawab, ia berjalan masuk, Sita mengejarnya. "Ben, tunggu!" katanya menahan tangan cowo itu. "Lo nggak serius kan, gue nggak mau kita putus, kita kan baru jadian 2 hari!" "Masalah buat gue?" jawab Ben enteng. "Ok, gue minta maaf, gue janji nggak akan nanya-nanya lagi soal Melanie, tapi kita nggak akan putus kan!" rengek Sita. Ben menghela nafas. "Kita lihat aja nanti!" katanya melanjutkan langkahnya. Saat istirahat di kantin, Melanie sedang duduk sendiri sambil minum jus, Tomi dan Rico menghampirinya sambil membawa makanan. "Woi, minum atau ngaduk semen lo dari tadi diaduk-aduk mulu tuh jus!" seru Tomi, Melanie menoleh. Keduanya duduk. "Kenapa lo, Mel? Mikirin Ruben lagi, udahlah nggak usah mikirin tuh bocah!" seru Rico. "Nggak kok!" jawabnya singkat. "Nggak ada hal lain yang lo pikirin selain Ruben, jadi nggak usah bohong!" tambah Rico. "Ya kalo kamu udah tahu ngapain nanya-nanya!" "Ya wajarlah gue nanya, punya mulut juga!" jawabnya sambil mengunyah makanannya. "Ric, menurut kamu bisa nggak Ruben berubah?" "Bahas itu lagi lo, gue juga nggak tahu. Yang bisa ngendaliin dia kan lo, harusnya lo yang lebih tahu, dia itu nurutnya sama lo!" "Tapi setiap kali aku nasehatin, dia pasti selalu marah!" "Ya ... kalo gitu ya biarin aja, ntar kalo udah waktunya dia juga bakal berubah sendiri, biasanya ... cowok itu bisa jinak kalo dia udah jatuh cinta!" "Jatuh cinta, mana mungkin Ben bisa jatuh cinta!" sela Tomi. Tiba-tiba Bela datang dan menarik Rico dari meja membawanya sedikit menjauh. "Ada apa sih sayang, main tarik aja! Untung nggak melar gue." "Makin lama gue lihat lo makin deket aja sama tuh penyanyi caffe!" "Bela, Melanie itu temen gue!" "Tapi kalian terlalu akrab!" "Udah deh nggak usah lebay, nggak ada apa-apa antara gue sama dia ok, kan sayang gue cuman lo!" jelas Rico. "Tapi tetep aja gue ngerasa cemburu!" "Gini aja deh, lo coba deket sama dia, lo pasti bakal suka berteman sama dia, gimana?" mereka masih ngobrol berdua mendiskusikan sesuatu. Ben dan Sita berjalan menuju kantin, di pintu kantin mereka berpapasan dengan Vera, si ketua OSIS. Vera melirik Ruben, dan Ruben pun membalas lirikan itu disertai senyuman. Sita menyadari hal itu, "Ben, Ruben!" panggilnya mencoba mengambil perhatiannya lagi, Ben Menoleh. "Kenapa?" "Lo lihatin dia kaya' gitu sih, lo suka sama dia?" Ben tak menjawabnya. Ia masuk ke dalam kantin dan duduk di samping Tomi dan Melanie, Sita mengikuti, ia duduk di sela Ben dan Melanie , ia sengaja melakukan itu dengan niat agar keduanya tak terlalu dekat. Di perpustakaan .... Vera duduk membaca sebuah buku, Ryo menghampirinya, Vera menoleh dan menghela nafas ketika tahu siapa yang ada di sampingnya. Ia hendak pergi tapi Ryo menghalangi. "Ada apa lagi, Yo?" "Gue mau ngomong!" "Nggak ada lagi yang perlu diomongin!" "Please Ver, gue emang salah ... tapi gue udah sadar sekarang bahwa gue masih sayang sama lo," "Terus mau lo apa?" "Gue mau kita balikan lagi!" "Apa!" Vera menutup bukunya, "Lo gila ya, setelah lo selingkuh dan putusin gue, lo mau kita balikan lagi!" murka Vera. "Ver, gue minta maaf!" "Basi!" Vera ngeloyor pergi keluar, Ryo mengejarnya. "Ver, tunggu! Ver, please, kasih gue kesempatan sekali lagi!" pinta Ryo tapi Vera tak menggubrisnya, ia sudah terlanjur sakit hati. Lagipula ia sudah mulai menyukai pria lain, sebenarnya sudah lama ia menyukai Ruben, hanya ... karena Ruben tak memperhatikannya maka ia pun tak seperti gadis lain yang mengejar-ngejar pemuda yang menjadi idaman para cewe itu. Lagipula saat itu ia sudah terlebih dahulu pacaran dengan Ryo, dan awalnya hubungan mereka indah karena Vera juga benar-benar menyukai Ryo, sebelum akhirnya ia tahu kalau ternyata Ryo juga punya pacar lain di luar sekolah. Pulangnya .... "Sorry ya, gue nggak bisa anterin lo pulang, lo bawa mobil sendiri kan?" Ben menggaruk tengkuknya. "Tapi gue maunya lo yang anterin gue pulang!" manja Sita. "Sita lo jangan manja deh, gue ada urusan lain!" katanya masuk mobil dan meninggalkan Sita di parkiran, Ben melaju dengan cepat keluar sekolah. Sita merasa cukup kesal karena pacarnya meninggalkannya begitu saja, ia pun masuk ke mobilnya dan melaju juga. Baru beberapa meter di luar gedung sekolah, Sita melihat mobil Ruben yang berhenti di samping Melanie yang sedang jalan kaki. "Hai Mel, masuk gi!" suruhnya. "Nggak nganterin tuan putri kamu itu?" "Tuan putri gue kan cuman lo!" "Gombal!" makinya lalu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sita meremas setir mobilnya dengan geram, "Kenapa selalu Melanie, seperti apa sih sebenarnya hubungan mereka?" kesal Sita. "Mel, lo mau langsung pulang?" tanya Ben, Melanie mangangguk. "Gue mampir ya, sekalian gue laper nih!" "Kalau kamu laper ya mampir aja ke warteg, ngapain ke rumahku?" pasang wajah pura-pura cemberut. "Kan lo koki gue, udah lama nih loe nggak masak buat gue!" "Ya udah, kita mampir dulu ke pasar!" Mereka mampir ke pasar untuk membeli bahan makanan, setelah itu langsung menuju rumah Melanie dan memasak bersama sambil bercanda, setelah itu menyantap makanannya dan menonton tv sampai tertidur, hanya Ruben yang tertidur sementara Melanie membersihkan dapur yang cukup berantakan. Sekitar pukul 5 sore Ruben terbangun, kemudian mereka siap-siap untuk pergi ke caffe. Terkadang Ruben juga bermain piano di sana, hanya ia menolak tawaran menejer caffe yang memintanya menjadi pemain piano tetap karena banyak alasan. Salah satunya dia gampang badmood dan kalau kem gitu biasanya suka semaunya. Kalo lagi ingin dia pasti akan main sendiri tanpa diperintah, banyak loh sebenarnya yang suka permainan pianonya, dia sangat mahir dalam hal itu, dan piano adalah salah satu yang bisa membuatnya tenang kalau sedang galau atau marah. Karena Rico dan Tomi punya acara masing-masing maka selama menunggu Melanie, Ben menggoda dua wanita pengunjung caffe, keduanya menarik tapi dia lebih tertarik dengan yang berambut panjang dan berwarna coklat tua, mereka mengobrol dan langsung akrab, sepertinya bakal jadi pacarnya juga. Setidaknya gadis itu tidak secerewet Sita dan tidak satu sekolah, berarti aman. ***"Eh, Tom. Kamu yang jemput aku?" tanya Melanie, pagi itu Tomi yang menjemputnya, "Lo berharap si palyboy tengik itu, ngarep banget sih lo sama dia!" "Yee, siapa juga, aku tuh cuman nanya!" "Emangnya gue nggak pernah jemput lo apa?" protes Tomi."Udah ah, ntar telat!" serunya naik ke motor Tomi, "Jalan!" sambungnya menepuk pundak temannya, mereka pun melaju ke sekolah. Ryo mengejar Vera yang terus menghindarinya, ""Ver, please ... kasih gue kesempatan sekali lagi!" pintanya sambil memegang lengan gadis itu dengan kuat, "Lepasin, Yo. Gue udah bilang sama lo gue nggak mau balikan sama lo!" katanya melepaskan diri dan terus berjalan. "Tapi Ver ...," "Cukup!" potongnya sambil berbalik ke Ryo yang terus mengikutinya, "Lo berhenti ikutin gue atau gue teriak nih!" ancam Vera lalu berbalik lagi dan melangkah, Ryo hanya diam memandang gadis itu berlalu darinya, kemudian ia meninju angin dengan kesal. Saat itu Ruben lagi ngumpul berempat di tangga, Vera melewati mereka, sempat melirik
Malam itu sekitar jam 11 Ruben masuk ke kamarnya, Dennis sedang di ruang kerja sehingga tak terlalu mendengar suara mobil adiknya yang memasuki halaman rumah mereka. Dennis melihat jam di dinding yang sudah menunjuk angka 11 lebih 20 menit. Ia menutup sebuah map dan berdiri dari kursinya, berjalan keluar dari ruang kerjanya dan menuju kamar adiknya, ia membuka pintu kamar Ruben perlahan dan melihat adiknya yang sudah berada di bawah selimut. Ia pun melangkah lebih dekat, menatap wajah adiknya yang terlelap, ia menjulurkan tangan dan mengusap rambut anak muda yang sedang tertidur itu, lalu ia keluar, menutup pintunya kembali. Ruben membuka mata setelah kakaknya menghilang di balik pintu, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya, sengaja pura-pura tertidur karena tidak mau bertengkar di tengah malam begini. Dan rupanya ia senang dengan apa yang kakaknya lakukan tadi. Itu sudah lama sekali sejak terakhir kali Dennis melakukan hal itu, bahkan ia sudah lupa kapan. Ruben tersenyum la
Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat. Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico. "Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico, "Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya. "Nggak ah, nggak laper!" Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya, "Hai Mel, lama banget sih?" "Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben. "Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela. "Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!" "Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico. "Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri. T
Ruben duduk di meja makan bersama Vera dan keluarganya, ternyata orangtua Vera adalah rekan bisnis keluarga Ruben, ayah Vera pak Ferdi sangat antusias ketika tahu bahwa Ruben adalah putra kedua pak Handy Wirata, ia bahkan berfikir untuk menjodohkan keduanya dalam hubungan yang serius, dan sepertinya Handy Wirata tidak akan keberatan. Ruben tidak menceritakan banyak tentang keluarganya, tapi Vera yang tak berhenti bicara, ia tahu keluarga mereka adalah rekan bisnis maka ia memberitahu ayahnya tentang siapa Ruben. "Jadi orangtuamu masih di Amerika?" tanya Ferdi. "Iya, Om!" "Kenapa dari tadi kamu nggak bicara?" "Vera sudah bicara terlalu banyak, saya rasa itu sudah jadi perwakilan!" katanya memasukan sesendok nasi ke mulutnya, "Dia memang begitu!" sahut Pak Ferdi,"Papa, keahlian Vera bicara membuat Vera jadi ketua OSIS, itu berguna kan!" belanya pada diri sendiri. Setelah makan malam Ruben ngobrol dengan Vera di serambi belakang tapi tak terlalu lama karena Ruben sudah meminta di
Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu. Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran. "Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!" "Iya, kenapa? " "Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya. Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya. "Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh
Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip. Sementara di sekolah .... Melanie menghampiri Tomi dan Rico. "Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie. "Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico. "Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut. Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera ju
Ruben menjemput Vera di rumahnya dan mengajaknya pergi. Mereka duduk di caffe .... "Ben, Ryo masih aja ngejar- gejar gue!" Vera memberitahukannya tapi sepertinya Ruben tak masalah dengan hal itu. "Terus masalahnya?" "Ya kan sekarang kita pacaran, paling nggak lo lakuin sesuatu!" pintanya. "Biarin aja!" sahutnya santai."Kok lo gitu sih?" protes Vera,"Semua orang berhak buat masih mempertahankan perasaannya, kita juga nggak bisa paksa mereka buat lupain kita!" "Tapi gue nggak nyaman! Lagian makin hari gue makin sayang sama lo!" Vera memberitahukan perasaannya. Meski apa yang dikatakan Ruben ada benarnya,Buset...kalau gini caranya bakal susah gue nglepasin nih cewe."Ver, terus gue harus ngapain? Kalau Ryo masih sayang sama lo, ya itu hak dia!""Tapi gue udah terlanjur kecewa sama dia,"Ben menggaruk pelipis dengan telunjuk, "Boleh gue tanya?"Vera menatap lebih serius karena ia merasa air muka Ben sedikit aneh."Apa?""Kenapa lo mau pacaran sama gue? Padahal lo tahu ... gue ngga
Pagi itu Dennis sudah berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Ben. Kamu masih di dalam?" tanyanya agak keras. Tapi ia tak mendengar jawaban, maka ia pun memutar gagang pintu kamar itu dan membuka pintunya. Mendorongnya terbuka sedikit lebar dan melongokkan kepalanya untuk melihat apa adiknya ada di dalam kamar atau tidak. Ia melihat Ruben masih terlelap di bawah selimut, maka ia pun memunculkan seluruh badannya ke dalam kamar. Ia masuk membiarkan pintu tetap terbuka. Dennis mencoba membangunkan Ben, saat tangannya hendak menggoncangkan tubuh adiknya ia melihat sesuatu yang terselip di antara tangan dan dada adiknya. Sebuah frame, ia pun mengambilnya, mencabutnya secara perlahan agar adiknya tidak terbangun dulu. Setelah benda itu ada di tangannya maka ia pun membalik benda itu. Itu adalah foto nenek mereka. Sebuah foto perempuan tua yang sedang tersenyum. Selalu foto nenek yang dipeluknya, Tapi ia juga melihat foto gadis penyanyi caffe itu di dalam frame, diletakkan di ujung di dal
Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" seru Rico.
Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi
Tiga hari setelah kepergian Melanie ....Ruben duduk di lantai kamarnya, duduk bersandar ranjang, kakinya ditekuk, kedua lengannya ia sandarkan pada lutut. Pandangannya kosong, sesekali air mata turun menggelinding melewati pipinya. Sudah tiga hari setelah pulang dari makam ia seperti itu. Ia berada di kamar itu pun karena Rico dan Tomi yang membawa tubuhnya. Dia pingsan saat berdiri setelah terlalu lama duduk di samping makam Melanie, tak mengucapkan apa pun selain Al- Fatihah dan nama gadis itu yang terucap puluhan kali. Hingga detik ini ia sama sekali tak beranjak sejak ia tersadar dari pingsannya. Saat ia sadar, ia mencari Melanie di setiap sudut kamar seperti orang gila. Setelah sadar bahwa Melanie telah pergi, ia menangis dan menyambar semua barang yang ada di meja kamarnya hingga berhamburan ke lantai sambil berteriak. Setelah itu tubuhnya melemas dan ia terduduk di sana hingga sekarang. Duduk melamun, tanpa makan, minum dan bicara. Erika sudah berusaha bicara padanya berkali-
"Mel, maukah kamu menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya."Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar."Aku nggak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu nggak boleh?""Ya, itu memang nggak boleh, seharusnya!" jawabnya."Kalau begitu kita harus menikah kan?"Melanie tertawa ...."Kita masih terlalu muda, Ben!""Kamu ragu dengan cintaku?" serunya membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati."Aku sangat mencintai kamu, dan cintaku tulus sama kamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius."Ben!" desis Melanie.Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya didesak dengan keadaan."Kita menikah hari ini, dan setelah itu nggak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup
Artika menghampiri Dennis yang sedang menenggak minuman di dalam gelas yang ada di genggamannya. Tiga botol sudah kosong, kini botol di mejanya bertambah menjadi enam. Terlihat ia sedang menenggak langsung dari mulut botol itu. Tika berdiri di sampingnya."Dennis, kamu kenapa?" tanyanya.Dennis tak menjawab, ia hanya melirik kekasihnya. Ia sudah setengah mabuk, tapi masih sadar. Wajahnya terlihat babak belur tanpa ada pengobatan, ia tak sempat lakukan itu. Sesampainya di pelabuhan ia langsung mengendarai mobilnya ke tempat ini, tempat di mana sekarang ia sedang mencoba menenangkan diri di dalam botol anggur dan Wisky."Apa kamu berkelahi dengan Ruben?" tanya Tika."Aku hanya ingin dia pulang, apa itu salah?" jawabnya, "Dia begitu keras kepala!" lanjutnya."Mungkin memang nggak seharusnya kamu memaksanya.""Aku tahu. Dia ... bahkan nggak bisa memaafkan aku!" serunya sambil menenggak lagi minumannya."Jika kamu sungguh-sungguh minta maaf, mungkin ....""Sudah kulakukan, tapi kesalahanku
Dennis keluar dari taksi dan memasuki area pembangunan itu. Ia berjalan menghampiri Ruben. "Ben!" desisnya. Ruben yang sedang mengaduk pasir dengan semen pun menoleh mendengar suara itu. Ia cukup terkejut karena Dennis ada di sana. Ben memandangnya, tak percaya. Heran dan marah. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" tanyanya. "Aa ....""Lo ngikutin gue!" katanya lagi sebelum Dennis sempat menjawab pertanyaan sebelumnya."Ben, apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Ben tak langsung menjawab, "Kamu nggak perlu bekerja seperti ini, kamu bisa menggunakan uangmu sesuka hatimu!" "Gue mau bekerja di mana dan seperti apa, itu bukan urusan lo." "Ben, tapi bukan bekerja seperti ini!" "Memangnya kenapa? Ada apa dengan pekerjaan ini. Apa pekerjaan seperti ini itu hina? Kak, pekerjaan ini halal dan seenggaknya ini lebih baik dari pada gue meminta pada kalian!" "Kamu nggak perlu meminta, semua itu milikmu. Ben, aku mohon. Mama pasti akan sedih jika tahu kamu bekerja seperti ini!" "Mereka ngg
Dennis sudah duduk di depan mobilnya, ia memandangi lautan biru, hiruk pikuk orang-orang di sana. Ada pertengkaran kecil beberapa pria, sepasang sejoli yang berjalan bergandengan tangan. Masih pagi begini aja sudah ada yang pacaran, dasar anak muda. Mata Dennis menangkap dua bocah yang sedang bermain bersama. Sepertinya mereka kakak beradik, sang adik terjatuh dan sang kakak membantunya berdiri, melihat luka di kakinya dan mencoba menenangkan adiknya yang menangis kesakitan. Sang kakak akhirnya menggendong adiknya di belakang dan berjalan menjauh. Dennis tersenyum, ia ingat masa kecilnya dulu. Saat membantu Ruben belajar berjalan. Menggendongnya bila habis terjatuh dan menangis. Bermain bersama, mereka memang berbeda 9 tahunan. Jadi selama ini Dennis memang selalu ikut menjaga Ruben dan hubungan mereka sangat dekat. Dennis menarik lengannya dan menilik jam tangannya. Itu sudah jam 9.10 tapi Ben belum muncul. Apakah adiknya itu tidak jadi menemuinya, atau tak sudi lagi bertemu dengan
Bangun pagi Melanie langsung ke dapur dan membuat sarapan, ia tak berani mengetuk pintu kamar Ruben. Ia tahu betul bagaimana pemuda itu jika sedang marah. Ben keluar kamar dan langsung duduk di meja makan, tapi ia tak menyentuh makanannya. Meletakkan kedua telapak tangannya yang ia satukan di depan mulutnya. Melanie menaruh teh manis hangat di depannya dan ikut duduk. Ia mengambilkan makanan untuk Ruben. Dan Ben juga belum menyentuh sendoknya. Melanie melirik, "Apa kamu masih marah soal semalam?" tanyanya, "Maafkan aku, aku nggak bermaksud berpikiran seperti itu. Kamu tahu, aku akan melakukan apa pun yang kamu katakan. Kamu tahu aku bahkan hampir nggak pernah membantahmu!" jelasnya. Ben masih diam, kali ini ia mengangkat sendoknya dan mulai menyendok sarapannya, memasukkannya ke mulut. Mengunyahnya pelan. "Ben, katakan sesuatu. Kamu tahu aku nggak bisa kalau kamu marah seperti ini!" "Aku nggak marah sama kamu!" sahutnya. "Apa!" "Harusnya aku yang minta maaf, karena telah bersik
Jam 5 dini hari, Melanie keluar dari kamarnya setelah solat subuh. Ia berjalan ke kamar sebelah, membuka pintunya perlahan. Melanie cukup tercekat menemukan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu. Ben sedang duduk di atas sajadah, kedua tangannya menenangadah ke atas. Sesekali ada isakan yang terdengar dari suaranya. "Hamba nggak akan meminta apa pun kecuali sedikit kebahagiaan untuk Melanie. Selama ini ... hamba selalu menyalahkan-Mu atas semua yang terjadi, ampuni hamba ya Allah ... Hanya kepada-Mu hamba memohon. Engkau yang mengetahui segala yang terbaik bagi kami, jika apa yang kami lakukan salah maka tegurlah kami. Berikannya kami jalan yang terbaik, agar kami tidak tersesat!" Terdengar Ben seperti menghirup ingusnya. "Engkau yang mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Hilangkanlah rasa takut ini ... yang selalu mendera jika malam datang, hamba sungguh sangat takut ... takut pada semua yang akan terjadi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" tangisnya. Melanie terdiam