Reagan tiba-tiba terdiam kaku, lalu menarik tangannya dari genggaman Eva tanpa sadar. Eva yang tidak menduga hal itu, langsung mengernyitkan dahinya. Mengikuti arah pandangan Reagan, dia melihat Nadine berdiri tidak jauh dari mereka.Dengan alis berkerut, Reagan bertanya pada Stendy, "Kamu ngundang Nadine?""Ya. Kita semua teman, 'kan?" jawab Stendy sambil tersenyum tanpa rasa bersalah."Kenapa nggak bilang dari awal?"Stendy mengangkat bahu dengan santai. "Aku sibuk dan lupa. Lagian, kupikir itu nggak masalah, 'kan?"Di sisi lain, Nadine juga melihat Reagan. Namun, dia hanya melirik sekilas sebelum memalingkan pandangannya. Dia datang ke sini hanya untuk memberikan ucapan selamat dan segera pergi. Nadine masih harus sibuk membaca dan mencari referensi. Dia tidak berniat menghabiskan terlalu banyak waktu di acara ini.Memikirkan hal itu, Nadine melangkah ke arah Stendy. "Selamat ulang tahun. Semoga setiap tahun selalu seindah hari ini. Ini hadiah dariku. Nggak terlalu mewah, semoga kam
Stendy tertawa dengan suara rendah. "Aku nggak salah orang, kok."Nadine terlihat bingung dan tidak memahami apa yang baru saja terjadi. Lalu, Stendy kembali berkata, "Yang ingin kucium memang kamu."Nadine tertegun dan kehabisan kata-kata cukup lama. Otaknya terasa kacau. Untuk seketika, dia tidak bisa membedakan apakah ini kenyataan atau hanya mimpi.Sebab, semua ini terlalu gila!Stendy tersenyum tipis. Wajah tampannya menampilkan aura nakal. Ditambah dengan aroma alkohol yang samar-samar, penampilan Stendy terkesan semakin cuek. "Kenapa? Kaget?"Bukan hanya kaget, Nadine merasa seolah-olah hampir terkena serangan jantung."Kamu ...." Nadine mencoba berbicara, tetapi tidak bisa merangkai satu kalimat pun dengan jelas."Ya, aku suka kamu," lanjut Stendy."Kamu ngomong apaan?! Mana mungkin kita bisa ...!""Gimana kamu bisa tahu kalau belum dicoba?""Bukannya kamu dan Reagan ...." Sahabat baik?"Kalian sudah putus. Aku suka kamu dan nggak ada yang salah dengan mendekati seseorang yang
"Kamu juga sama saja!" Reagan menoleh ke arah Nadine. "Kamu ini benar-benar murahan. Dari sekian banyak orang, kenapa kamu malah goda dia? Sudah puas kamu sekarang?"Mendengar tuduhannya, Nadine merasa marah dan kesal. Jelas-jelas dia yang tiba-tiba dilibatkan dalam masalah ini, memangnya apa kesalahannya?Menghadapi tudingan Reagan, Stendy justru tampak luar biasa tenang. Dia menyentuh hidungnya yang terluka sambil tersenyum sinis. "Apa yang kami lakukan? Kamu sudah lihat sendiri, 'kan?"Reagan bertanya dengan ekspresi datar. "Jadi, nggak ada yang mau kamu jelaskan?""Mau jelaskan apanya? Jelaskan aku suka sama Nadine? Aku mau mendekatinya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, wajah Nadine langsung memucat. Sementara itu, emosi Reagan memuncak. Dia mengangkat tinjunya dan melayangkannya ke wajah Stendy."Berengsek! Kamu suka dia? Mau dekatin dia? Apa hakmu?!"Stendy dipukul hingga memalingkan wajahnya dan kepalanya berdengung. Namun, dia langsung refleks menarik Nadine ke belakang untuk me
"Astaga! Ada apa ini? Kalian berdua sudah gila ya?""Cepat hentikan! Reagan! Stendy!"Kedua orang itu masing-masing menarik Reagan dan Stendy.Philip berteriak, "Kak Reagan, tenangkan dirimu!"Teddy ikut menimpali, "Stendy, jangan gila! Apa yang nggak bisa dibicarakan sampai harus berkelahi?"Reagan dan Stendy berteriak bersamaan, "Jangan tarik aku! Lepaskan!"Melihat kedua orang itu yang hendak saling menyerang, Philip dan Teddy tentu tidak akan melepaskan tangan mereka."Coba ceritakan apa yang terjadi." Teddy menatap kedua orang itu secara bergantian."Kalau ada masalah, dibicarakan saja baik-baik. Kita ini sahabat, jangan sampai merusak persahabatan kita!" timpal Philip melerai mereka.Teddy kembali membujuk, "Reagan, hari ini ulang tahun Stendy. Kalau ada masalah, kita bicarakan saja lain hari."Stendy menyeka darah di sudut bibirnya, lalu tersenyum sambil melirik Reagan yang tampak marah. "Yang kubilang tadi itu semuanya serius. Aku sudah pikirkan dengan matang sebelum mengambil
Namun detik berikutnya, tangan Stendy malah ditahan oleh sebuah tangan lainnya. Stendy mengerutkan alisnya melihat orang yang datang itu. Dengan nada kesal, dia bertanya, "Kamu?"Nadine bergumam dengan perlahan, "Pak Arnold, kenapa kamu ...." Pada saat itu, suara Nadine terdengar seperti hendak menangis.Arnold menatap Nadine dengan penuh perhatian. "Kamu baik-baik saja?"Nadine mengangguk dan menjawab, "Ya." Namun jelas sekali, dia tidak baik-baik saja."Kebetulan mobilku ada di sini. Kuantarkan kamu pulang?""Oke, terima kasih."Arnold melingkarkan tangannya di sekitar Nadine dan bersiap untuk membawanya pergi. Di sisi lain, Nadine merasa seolah-olah menemukan penyelamatnya. Dengan kehadiran Arnold, dia kembali merasa aman."Pak Arnold, kenapa kamu bisa di sini?"Di sebelah vila ini ada sebuah hotel mewah tempat diadakannya konferensi akademik yang dihadirinya. Saat istirahat, Arnold keluar untuk menghirup udara segar dan tanpa sengaja melihat kejadian ini."Kebetulan ada urusan," ja
Stendy menatapnya dengan tenang. "Aku sudah pernah tanyakan padamu, 'kan? Bukannya kamu sendiri yang suruh aku mendekatinya? Lalu kenapa kamu keberatan sekarang?"Seketika, Reagan teringat dengan percakapan grup mereka beberapa waktu lalu dan wajahnya langsung memucat. Nadine yang sudah terguncang, semakin gemetar hebat dan hampir jatuh. Arnold menahannya dengan sigap."Kubawa kamu pulang sekarang."Stendy mengadangnya sambil memicingkan mata. "Kamu mau bawa dia ke mana? Jangan lupa, ini vilaku. Bukan tempat yang bisa kamu datangi dan pergi semaumu."Reagan yang mulai menyadari sesuatu, menatap mereka dengan tajam dan dipenuhi amarah yang mendidih.Arnold yang biasanya terlihat ramah dan kalem, kali ini menunjukkan tatapan berbahaya. "Tuan rumah konferensi di Hotel Malawi adalah Pak Arbana dari Kota Nova, yang kebetulan juga pemilik Grup Arbana.""Dia juga hadir dalam konferensi ini dan sekarang acaranya hampir selesai. Hanya dengan satu panggilan telepon dariku, dia akan tiba di sini
"Benarkah?" tanya Nadine.Arnold mengangguk. "Ya."Nadine menarik napas dalam-dalam. "Terima kasih, aku jadi lebih lega sekarang."Melihat suasana hati Nadine yang mulai tenang, perasaan Arnold juga menjadi lebih rileks. "Kamu lapar nggak? Seingatku ada restoran yang enak di dekat sini."Setelah berpikir sejenak, Nadine tidak menolak ajakannya.Menu andalan restoran itu adalah hot pot kuah pedas. Namun karena Arnold tidak terlalu bisa makan pedas, mereka akhirnya memesan kuah dua rasa. Kuah pedas yang berwarna kemerahan itu mendidih dan mengepulkan uap panas. Penampilannya terlihat begitu menggugah selera.Meskipun suasana hati Nadine masih agak suram, energi dari suasana restoran yang ramai ini sedikit mengurangi perasaan sedih di hatinya. Daging iga sapi yang empuk dan lezat, serta sayuran yang segar, membangkitkan nafsu makannya yang semula telah hilang.Di luar masih hujan deras dan angin bertiup kencang. Namun di dalam restoran, suasananya hangat dan nyaman. Percakapan dari meja-m
Arnold melambaikan tangan, "Nggak usah buru-buru." Hanya sebuah jaket, dia masih punya banyak di lemari."Aku cuma pulang untuk ambil beberapa baju ganti. Setelah ini, aku harus kembali ke laboratorium." Suaranya terdengar berat dan bindeng. Dia juga mengenakan masker, pertanda bahwa dia sedang mengalami flu yang cukup parah."Tunggu." Nadine masuk ke apartemennya dan kembali dengan membawa termos. "Ini jahe yang aku rebus kemarin. Pastikan diminum saat masih hangat."Arnold mengernyitkan alis sejenak mendengar kata "jahe," tetapi Nadine tidak menyadarinya. Dia hanya menambahkan, "Di dalam tas juga ada obat flu yang sering kugunakan. Aku sudah tuliskan cara pemakaiannya di kotak."Arnold yang jarang sakit, sempat merasa ragu untuk menerima termos itu. Dia hampir saja mengembalikannya, tetapi kemudian mendengar Nadine berkata dengan nada penuh rasa bersalah, "Bagaimanapun juga, kamu jadi kena flu gara-gara aku semalam."Mendengar itu, Arnold membatalkan niatnya untuk menolak dan menarik