[ Datang saja.]Di sisi lain, Eva hampir melompat kegirangan ketika melihat pesan dari Reagan. Selama ini, dia sudah beberapa kali mencoba mendekati Reagan dengan berbagai cara, bahkan dengan godaan. Namun, pria itu selalu menolak dan tidak pernah merespons. Eva mengira kali ini akan sama, tetapi tidak disangka-sangka, Reagan justru setuju.Dia segera bangun, lalu bersiap-siap mengganti pakaian dan keluar.Teman sekamarnya yang belum tidur merasa heran melihat Eva masih ingin keluar di larut malam. "Eva, kamu mau ke mana malam-malam begini?""Kamu nggak ngerti. Waktu sedetik saja sangat berharga bagi pujaan hati. Yang bisa membuat si primadona kampus kita ini tergila-gila cuma pacarnya yang kaya dan tampan itu.," celetuk teman sekamarnya yang sedang asyik bermain game. Wajah Eva langsung memerah karena malu.Selama ini, Reagan selalu menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Hal ini membuat Eva merasa bahwa pria itu bisa mencampakkannya kapan saja dan membuatnya merasa tidak aman.Namun,
"Akhirnya kamu sadar juga?" Teddy langsung bangkit dari sofa. "Nggak mau sok suci lagi ya?"Mendengar ejekannya, ekspresi Reagan bahkan tidak berubah sedikit pun. "Cuma sandiwara, kok. Bukannya nggak pernah begini juga dulu."Teddy menepuk tangannya. Dia merasa puas karena sahabatnya, Reagan, akhirnya kembali "normal". "Oke, akan kuatur segera. Dijamin bersih, nggak akan ada masalah."Setelah menutup telepon, Teddy sudah mengirimkan alamatnya dalam waktu kurang dari 5 menit.[ Hotel Bliss, 1080. Gadis ini sudah lama kuincar, masih perawan. Aku hadiahkan untukmu. ]Reagan menyeringai tipis, lalu mengambil jaketnya dan keluar. Malam semakin larut dan kehangatan malam pun menyelimuti.Keesokan paginya, Teddy keluar dari kamar sebelah dengan mengenakan jubah mandi. Semalam dia minum cukup banyak dan ketika terbangun lagi, hari sudah menjelang siang.Hotel Bliss adalah properti milik keluarga Teddy dan dia tinggal di suite mewah yang dikhususkan untuknya. Luasnya bahkan lebih besar daripada
"Hm ... untuk merayakan kamu lulus peninjauan awal, gimana kalau kutraktir makan enak?"Nadine tertawa. "Bukannya seharusnya aku yang traktir?"Kelly mengangkat alisnya. "Kita ini sahabat, nggak usah terlalu perhitungan. Ya sudah, sepakat ya. Kamu beres-beres dulu, aku jemput sekarang."Nadine meletakkan ponselnya, lalu kembali ke kamar dan membuka lemari. Dia memilih gaun bermotif bunga kecil dengan kerah V. Sudah dua bulan berlalu, rambutnya kini sudah mencapai tulang selangka. Karena cuaca yang panas, Nadine mengikat rambutnya dengan pita yang warnanya serasi dengan gaunnya.Setengah jam kemudian, Kelly mengirim pesan bahwa dia sudah sampai di bawah.Nadine mengganti sepatu, lalu mengambil tasnya dan turun ke lantai bawah.Mobil Kelly diparkir di ujung gang. Sambil menunggu, Kelly mengeluarkan ponselnya untuk bermain. Saat mendongak, dia kebetulan melihat Arnold sedang berjalan mendekat. Di sampingnya, ada seorang mahasiswa yang membawa ransel dan berpenampilan ceria dengan potongan
Nadine mendongak dan menyadari bahwa dagu Arnold hampir menyentuh kepalanya. Jika bukan karena lengan pria itu yang menahan tubuhnya, Nadine pasti sudah jatuh ke dalam pelukan Arnold. Menyadari situasinya, Nadine buru-buru mundur dua langkah.Arnold menelan ludah dan menarik kembali tangannya, lalu berkata dengan suara lembut, "Pakai sepatu hak tinggi mudah jatuh, sebaiknya pakai flat saja."Nadine tertawa kecil mendengar ucapannya. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Terima kasih."Sementara itu, Kelly yang sudah lama menunggu di luar berteriak setelah mendengar suara dari dalam gedung, "Nadine? Itu kamu ya?"Nadine melirik ke arah luar. "Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa.""Hm," jawab Arnold dengan singkat. Saat berjalan naik ke lantai atas, Arnold masih bisa mendengar percakapan dari lantai bawah."Kenapa lama sekali?" tanya Kelly dengan heran."Ada sedikit insiden," jawab Nadine sambil tersenyum."Ketemu kakakku nggak?" Kelly hanya tahu bahwa Arnold tinggal di sekitar sini, t
Sebelum memasuki ruang ujian, Nadine memeriksa kembali kartu ujian, pena, dan alat hitung yang diperlukan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Kelly sempat bercanda ingin memakai kebaya untuk mengantarkan Nadine ke lokasi ujian sebagai simbol kesuksesan. Namun, Nadine tahu Kelly sedang sibuk dengan dua proyek besar dan tidak mungkin bangun pagi, apalagi di musim dingin seperti ini.Sesuai dugaan, Nadine melihat di sekeliling lokasi ujian, tetapi tidak menemukan sosok Kelly. Namun, dia juga tidak merasa kecewa. Terkadang, memang ada teman yang tidak sering berkomunikasi dengan kita, tetapi tetap terasa sangat dekat. Orang-orang zaman sekarang menyebutnya "persahabatan yang tidak memerlukan balasan".Ujian berlangsung selama dua jam. Ketika waktu habis, para peserta menunjukkan berbagai ekspresi. Ada yang bersemangat dan ada yang kecewa. Sementara itu, Nadine tampak sangat tenang.Saat baru keluar dari ruang ujian, hujan rintik-rintik mulai turun. Daerah di sekitar sini juga sulit
Nadine memahami maksud dari perkataan Clarine dan hanya tersenyum tipis tanpa banyak membantah.Clarine bertanya lagi, "Kalau nggak salah, kamu dulu kuliah di Universitas Brata, 'kan? Kali ini kamu mau coba ke mana?"Nadine menjawab, "Tetap di Universitas Brata.""Master akademik atau master profesional?" tanya Clarine lebih lanjut."Master akademik," jawab Nadine.Clarine mengangkat alisnya, terkejut karena Nadine memilih jurusan yang sama dengannya. "Jurusan apa?""Biologi," jawab Nadine.Clarine semakin penasaran karena mengingat mereka mengambil jurusan yang sama. "Kamu sudah punya calon pembimbing?"Nadine mengangguk dan berkata dengan terus terang, "Ya, Bu Freya.""Siapa? Bu Freya Salim?" tanya Clarine dengan terkejut."Iya," jawab Nadine.Clarine tiba-tiba teringat pernah melihat Nadine bekerja sebagai petugas kebersihan di rumah Freya. Ekspresinya berubah agak aneh. "Jangan bilang, kamu pikir dengan membantu membersihkan rumah profesor, dia akan melunak dan menerimamu sebagai m
Malam lebih panjang saat musim dingin. Sebelum pukul 7 malam, lampu jalanan sudah menyala, memberikan kehangatan pada cuaca malam yang dingin.Dari stasiun MRT sampai Universitas Brata, ada banyak pedagang kaki lima. Bisa dibilang semuanya lengkap di sini.Ketika melewati jembatan, Nadine mendengar suara penjual ubi. Dia mengejapkan matanya karena matanya agak perih tertiup angin. Kemudian, dia menoleh dan berkata kepada Arnold, "Tunggu aku sebentar."Arnold berdiri diam di tempatnya. Dua menit kemudian, terlihat Nadine yang kembali dengan memegang dua buah ubi panas. "Nah."Ubi panas itu masih mengepul. Rasanya manis saat digigit. Nadine memegangnya sambil meniupnya, lalu mencoba menggigit lagi. Setelah merasakan rasa manis, dia tersenyum lebar.Nadine menoleh dan bertanya, "Punyamu manis nggak?"Arnold mengangguk. Ini pertama kalinya dia makan ubi semanis ini.Nadine terlihat agak bangga. "Ya, 'kan? Aku sangat beruntung. Tiap kali pasti dapat yang manis."Arnold ikut tersenyum meliha
Hari Sabtu, cuaca sangat bagus. Sinar matahari menembus awan tebal. Nadine berkeringat sedikit setelah lari pagi. Dia pulang untuk mandi, lalu berganti pakaian dan mengambil obat yang baru dibelinya. Setelah itu, dia memesan taksi ke rumah Freya."Bu, obat-obat ini harus diminum tiga kali sehari. Sekarang cuaca dingin, jadi nggak perlu taruh di kulkas. Sebelum diminum, ingat dihangatkan dulu."Freya tidak takut pada apa pun. Yang paling dibencinya adalah obat tradisional. Bukan cuma pahit, tetapi juga bau.Freya menatap obat berwarna hitam itu. Dia mundur sedikit, lalu bertanya, "Ini harus diminum?""Tentu saja. Aku sudah berpesan pada bibi di rumah. Dia harus mengawasimu minum obat," sahut Nadine.Ekspresi Freya tampak masam, "Ya sudah, aku sudah ngerti."Freya tidak mungkin menolak niat baik muridnya. Ketika melihat Freya yang merajuk seperti anak kecil, Nadine diam-diam tersenyum. "Obatnya memang pahit. Makanya, aku buatkan kue kacang hijau untukmu. Makan sepotong setiap kali kamu m