Namun, Reagan juga bukan orang yang lemah. Dia mengangkat tangan dan mengarahkan tinjunya kepada Arnold."Mukul aku? Kamu kira kamu siapa?" Sambil mengayunkan tinju, Reagan memakinya, "Waktu kami jatuh cinta, kamu masih entah ada di mana ...."Arnold menangkap tinju yang dilayangkan Reagan. Berbeda dengan Reagan yang marah dan panik, Arnold tampak jauh lebih tenang dan rasional, meskipun sorot dingin di matanya tak bisa disembunyikan."Lalu kamu siapa? Mantan pacar yang sudah putus tapi terus menerornya atau pelaku pemerkosaan?" Setiap ucapan Arnold bagaikan pisau tajam yang menusuk di titik kelemahan Reagan."Kamu cari mati ...." Reagan mengerahkan kekuatan untuk menarik kembali tinjunya. Namun, genggaman Arnold tak bergerak sedikit pun."Cukup!" Saat itu Nadine sudah sepenuhnya sadar. Dia bangkit dari sofa sambil memegang erat jaket yang diberikan Arnold dengan tangan gemetaran. Tanpa melirik Reagan sedikit pun, Nadine berbicara sambil menunduk pada Arnold, "Arnold, maaf membuatmu me
Saat masih kuliah, Nadine paling suka makan di lantai dua, khususnya di stan makanan nusantara. Ada seorang bibi yang selalu tersenyum ramah saat melayaninya. Setiap kali Nadine datang, bibi itu selalu mengobrol dengannya, lalu menambah porsi daging ke piringnya.Dari kejauhan, Nadine sudah melihat stan tempat bibi itu berada. Semuanya masih sama seperti dulu.Tiga tahun setelah lulus, Nadine tidak yakin apakah bibi itu masih ingat dirinya. Namun, ketika dia berdiri dalam antrean dan maju untuk mengambil makanan, bibi itu sibuk menyiapkan porsi tanpa berkata apa pun.Akan tetapi, saat merasakan berat makanan di piringnya, Nadine tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Bibi."Arnold kemudian membayar dengan kartunya dan mencari tempat duduk."Sudah lama nggak makan di sini, rasanya masih sama seperti dulu," kata Nadine sambil tersenyum puas. Keterampilan memasak koki di sini masih tetap mempertahankan kualitasnya, bahkan mungkin semakin baik.Nadine teringat masa-masa kuliah. "Waktu kulia
Setelah masuk ke rumah, hal pertama yang dilakukan Nadine adalah menata buku-buku yang ada dalam karung. Setelah semuanya selesai, tubuhnya telah dibanjiri keringat.Setelah mandi dan keluar ke ruang tamu, Nadine melihat salep yang diletakkan di atas meja. Dia mengambilnya, lalu membuka tutup dan mengoleskan salep ke area memar di dada dan pinggangnya sambil bercermin. Salep itu terasa dingin dengan aroma mint yang segar. Dalam waktu singkat, rasa sakitnya mulai mereda.Saat ini masih belum terlalu larut, Nadine sebenarnya berniat untuk membaca buku. Namun setelah kelelahan seharian, kepalanya terasa sangat berat. Akhirnya, dia memilih untuk berbaring dan tertidur dengan cepat.Di tengah malam, Nadine mengalami mimpi buruk. Dalam mimpi itu, Reagan menyerangnya bagaikan seorang iblis. Tidak peduli seberapa kerasnya pun dia mencoba melawan, Reagan tetap tidak bisa diusir.Rasa takut dan cemas itu terasa begitu nyata, membuat Nadine mencengkeram erat kerah bajunya dan terbangun dengan nap
[ Datang saja.]Di sisi lain, Eva hampir melompat kegirangan ketika melihat pesan dari Reagan. Selama ini, dia sudah beberapa kali mencoba mendekati Reagan dengan berbagai cara, bahkan dengan godaan. Namun, pria itu selalu menolak dan tidak pernah merespons. Eva mengira kali ini akan sama, tetapi tidak disangka-sangka, Reagan justru setuju.Dia segera bangun, lalu bersiap-siap mengganti pakaian dan keluar.Teman sekamarnya yang belum tidur merasa heran melihat Eva masih ingin keluar di larut malam. "Eva, kamu mau ke mana malam-malam begini?""Kamu nggak ngerti. Waktu sedetik saja sangat berharga bagi pujaan hati. Yang bisa membuat si primadona kampus kita ini tergila-gila cuma pacarnya yang kaya dan tampan itu.," celetuk teman sekamarnya yang sedang asyik bermain game. Wajah Eva langsung memerah karena malu.Selama ini, Reagan selalu menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Hal ini membuat Eva merasa bahwa pria itu bisa mencampakkannya kapan saja dan membuatnya merasa tidak aman.Namun,
"Akhirnya kamu sadar juga?" Teddy langsung bangkit dari sofa. "Nggak mau sok suci lagi ya?"Mendengar ejekannya, ekspresi Reagan bahkan tidak berubah sedikit pun. "Cuma sandiwara, kok. Bukannya nggak pernah begini juga dulu."Teddy menepuk tangannya. Dia merasa puas karena sahabatnya, Reagan, akhirnya kembali "normal". "Oke, akan kuatur segera. Dijamin bersih, nggak akan ada masalah."Setelah menutup telepon, Teddy sudah mengirimkan alamatnya dalam waktu kurang dari 5 menit.[ Hotel Bliss, 1080. Gadis ini sudah lama kuincar, masih perawan. Aku hadiahkan untukmu. ]Reagan menyeringai tipis, lalu mengambil jaketnya dan keluar. Malam semakin larut dan kehangatan malam pun menyelimuti.Keesokan paginya, Teddy keluar dari kamar sebelah dengan mengenakan jubah mandi. Semalam dia minum cukup banyak dan ketika terbangun lagi, hari sudah menjelang siang.Hotel Bliss adalah properti milik keluarga Teddy dan dia tinggal di suite mewah yang dikhususkan untuknya. Luasnya bahkan lebih besar daripada
"Hm ... untuk merayakan kamu lulus peninjauan awal, gimana kalau kutraktir makan enak?"Nadine tertawa. "Bukannya seharusnya aku yang traktir?"Kelly mengangkat alisnya. "Kita ini sahabat, nggak usah terlalu perhitungan. Ya sudah, sepakat ya. Kamu beres-beres dulu, aku jemput sekarang."Nadine meletakkan ponselnya, lalu kembali ke kamar dan membuka lemari. Dia memilih gaun bermotif bunga kecil dengan kerah V. Sudah dua bulan berlalu, rambutnya kini sudah mencapai tulang selangka. Karena cuaca yang panas, Nadine mengikat rambutnya dengan pita yang warnanya serasi dengan gaunnya.Setengah jam kemudian, Kelly mengirim pesan bahwa dia sudah sampai di bawah.Nadine mengganti sepatu, lalu mengambil tasnya dan turun ke lantai bawah.Mobil Kelly diparkir di ujung gang. Sambil menunggu, Kelly mengeluarkan ponselnya untuk bermain. Saat mendongak, dia kebetulan melihat Arnold sedang berjalan mendekat. Di sampingnya, ada seorang mahasiswa yang membawa ransel dan berpenampilan ceria dengan potongan
Nadine mendongak dan menyadari bahwa dagu Arnold hampir menyentuh kepalanya. Jika bukan karena lengan pria itu yang menahan tubuhnya, Nadine pasti sudah jatuh ke dalam pelukan Arnold. Menyadari situasinya, Nadine buru-buru mundur dua langkah.Arnold menelan ludah dan menarik kembali tangannya, lalu berkata dengan suara lembut, "Pakai sepatu hak tinggi mudah jatuh, sebaiknya pakai flat saja."Nadine tertawa kecil mendengar ucapannya. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Terima kasih."Sementara itu, Kelly yang sudah lama menunggu di luar berteriak setelah mendengar suara dari dalam gedung, "Nadine? Itu kamu ya?"Nadine melirik ke arah luar. "Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa.""Hm," jawab Arnold dengan singkat. Saat berjalan naik ke lantai atas, Arnold masih bisa mendengar percakapan dari lantai bawah."Kenapa lama sekali?" tanya Kelly dengan heran."Ada sedikit insiden," jawab Nadine sambil tersenyum."Ketemu kakakku nggak?" Kelly hanya tahu bahwa Arnold tinggal di sekitar sini, t
Sebelum memasuki ruang ujian, Nadine memeriksa kembali kartu ujian, pena, dan alat hitung yang diperlukan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Kelly sempat bercanda ingin memakai kebaya untuk mengantarkan Nadine ke lokasi ujian sebagai simbol kesuksesan. Namun, Nadine tahu Kelly sedang sibuk dengan dua proyek besar dan tidak mungkin bangun pagi, apalagi di musim dingin seperti ini.Sesuai dugaan, Nadine melihat di sekeliling lokasi ujian, tetapi tidak menemukan sosok Kelly. Namun, dia juga tidak merasa kecewa. Terkadang, memang ada teman yang tidak sering berkomunikasi dengan kita, tetapi tetap terasa sangat dekat. Orang-orang zaman sekarang menyebutnya "persahabatan yang tidak memerlukan balasan".Ujian berlangsung selama dua jam. Ketika waktu habis, para peserta menunjukkan berbagai ekspresi. Ada yang bersemangat dan ada yang kecewa. Sementara itu, Nadine tampak sangat tenang.Saat baru keluar dari ruang ujian, hujan rintik-rintik mulai turun. Daerah di sekitar sini juga sulit
Saat ini, Nadine tertarik pada sesuatu di rak lain, sama sekali tidak menyadari bahwa dua pria di sampingnya sedang berkonflik sengit.Setelah Arnold selesai membayar, dia menoleh dan melihat Nadine sedang menatap sebuah kue fondan di dalam etalase. Lima tingkat, setiap tingkat menampilkan figur karakter yang unik."Bagus?""Bagus." Nadine mengangguk. "Dibuat dengan sangat detail."Dia menunjuk ke tingkat kedua. "Pak, menurutmu orang yang berkacamata dan mengerutkan dahi ini mirip kamu nggak?"Arnold menatapnya sejenak, lalu menyahut dengan serius, "Nggak mirip. Aku 'kan nggak sering mengerutkan dahi."Nadine berujar, "Tapi, bisa jadi kamu sering mengerutkan dahi tanpa sadar? Misalnya, sekarang ini."Arnold langsung termangu, seperti anak kecil yang ketahuan melakukan kesalahan. Dia mendadak merasa malu dan canggung."Hahaha ...." Nadine tidak bisa menahan tawa. "Kamu lucu juga."Saat mereka bertiga baru saja keluar dari toko kue, ponsel Arnold berbunyi."Halo, Ibu?""Arnold, pulang ke
Selesai makan, Inez pergi membayar tagihan.Keduanya hampir tidak menyentuh makanan mereka, masih tersisa cukup banyak di meja.Kedua ibu ini tenggelam dalam pikirannya masing-masing, dengan kekhawatiran yang berbeda. Sementara itu, Stendy dan Arnold bisa dibilang sama-sama mendapatkan hasil yang memuaskan.Yang satu membeli jas, yang satu membeli sepatu kulit. Semuanya berjalan lancar.Stendy menawarkan, "Di depan ada jual teh susu, mau beli?"Arnold juga menawarkan, "Toko kue di sebelah situ cukup terkenal ...."Keduanya berbicara hampir bersamaan. Kemudian, mereka saling bertukar pandang, seakan-akan ada ketegangan yang tak terlihat.Stendy bertanya, "Nad, kita beli teh susu?"Arnold bertanya, "Mau lihat-lihat nggak?"Dua pria dewasa itu sama-sama menatapnya dengan penuh harap.Nadine sungguh kehabisan kata-kata. Lagi-lagi begini!"Gimana kalau kalian pergi beli sendiri dan aku ke toilet?"Stendy mengangguk. "Oke." Kemudian, dia menoleh ke Arnold dan bertanya dengan nada santai, "Pa
Begitu mendongak dan melihat Nadine, wajah yang awalnya tanpa ekspresi langsung tersenyum tipis.Nadine berpikir, karena ini untuk orang tua, memilih sepatu tidak bisa hanya mempertimbangkan modelnya, tetapi juga kenyamanannya. Namun, tidak bisa juga hanya mengutamakan kenyamanan dan mengabaikan modelnya.Dia teringat pertemuan di toko buku. Pria tua itu bertongkat, mengenakan rompi, rambut tersisir rapi, memancarkan aura seorang gentleman dari ujung kepala hingga kaki. Dalam hal berpakaian, beliau pasti juga sangat memperhatikan detail.Karena itu, Nadine menghabiskan lebih banyak waktu untuk memilih.Umumnya, bahan kulit untuk sepatu hanya ada beberapa jenis. Dia menunjuk 2 sepatu yang paling nyaman, lalu meminta pramuniaga untuk mengeluarkan semua model yang tersedia dengan bahan tersebut.Sementara itu, Arnold pergi ke toilet.Tak lama kemudian, Nadine sudah memilih 2 pasang."Menurutku dua-duanya bagus. Pak Stendy, kamu pilih salah satu?"Stendy langsung mengeluarkan kartu. "Pilih
Arnold berpikir sejenak. "Abu muda saja."Mata Nadine langsung berbinar-binar. Itu juga warna yang dia sukai!Arnold memberi isyarat pada pramuniaga. "Ambil yang ini, tolong gesek kartunya."Setelah Arnold berganti kembali ke pakaiannya sendiri, Nadine menunjuk ke kerah bajunya. "Ini belum rapi."Arnold mencoba merapikannya, tetapi tetap belum benar. Akhirnya, Nadine mengambil inisiatif untuk membantunya.Arnold cukup tinggi, jadi Nadine harus sedikit berjinjit. Keduanya berdiri sangat dekat, begitu dekat hingga bisa merasakan napas satu sama lain.Aroma khas dari tubuh Nadine meresap ke dalam indra penciuman Arnold. Jantungnya berdetak kencang, bahkan dia refleks menelan ludah.Arnold bisa merasakan dengan jelas jari-jari ramping Nadine yang merapikan kerah bajunya. Ujung jari hangatnya tanpa sengaja menyentuh kulit lehernya, mengirimkan sensasi seolah-olah ada aliran listrik yang menyentuh jiwanya.....Hari ini, Yenny ada janji makan malam dengan seseorang. Karena masih ada waktu, d
Henry langsung bersemangat. Bukan hanya memasukkan patung tanah liat ke dalam kotak, tetapi juga memberikan tas kertas sebagai tambahan."Hati-hati di jalan! Kapan-kapan mampir lagi ...."Henry melambaikan tangan ke arah punggung Arnold, lalu mendekat ke layar ponsel dengan bangga dan berkata, "Lihat, 'kan? Aku sudah bilang kalau aku jago membuat patung. Kakak tadi jelas sangat menyukainya!"[ Ehem! Sadar sedikit! Yang dia suka itu wanita tadi, bukan patung tanah liatmu! ][ Jadi, cowok tadi diam-diam kembali sendiri untuk membeli patungnya? ][ Aku tebak mereka berdua pasti masih belum mengungkapkan perasaan untuk satu sama lain. ][ Detektif di atas, aku salut padamu! ]....Nadine melihat Arnold kembali dengan sebotol air, tetapi di tangannya ada satu tas tambahan. Dia tidak bisa menahan rasa penasaran. "Itu apa?"Arnold menjawab dengan santai, "Cuma beli sedikit barang sekalian."Nadine tidak berpikir terlalu jauh. Mereka menyeberang dan berjalan menyusuri pusat perbelanjaan di dep
"Maaf!""Maaf ya ...."Keduanya berbicara dan mundur pada saat yang sama. Tatapan mereka bertemu. Selain rasa canggung, ada juga sedikit kehangatan yang mulai muncul."Kamu ....""Aku ....""Pak, gimana kalau kamu bicara dulu?"Arnold menunduk sedikit, seperti sedang berpikir atau mungkin ragu. Saat dia mendongak, sepertinya dia sudah mengambil keputusan besar. "Nad, sebenarnya aku ....""Lihat, sudah jadi ...." Suara santai dari pemilik lapak terdengar.Nadine yang wajahnya sudah merah karena malu, merasa seperti diselamatkan. Dia buru-buru menoleh ke arah pemilik lapak. "Secepat ini?""Gimana lagi? Aku memang seberbakat itu." Sambil menanggapi, dia menyodorkan patung tanah liat ke arah Nadine.Nadine hanya melirik sekilas, lalu sudut bibirnya langsung berkedut. Benar saja, tidak boleh berharap terlalu banyak.Patung-patung sebelumnya memang tidak begitu jelas, tetapi setidaknya masih memiliki fitur wajah. Namun, yang ini ....Tidak ada wajah, hanya dua bentuk manusia yang samar, deng
Arnold mengamati figur tanah liat itu dengan saksama. Sekilas memang terlihat seperti sosok manusia, tapi bentuknya hanya berupa garis besar yang samar. Bahkan, jika dibilang berbentuk manusia pun rasanya agak dipaksakan.Apalagi tentang detail ekspresi dan gerakannya, tidak ada satu pun yang terlihat! Akhirnya, Arnold mengutarakan pendapatnya dengan jujur. "Hmm ... sepertinya dibuat agak asal-asalan. Aku nggak bisa tebak."Dia melirik ke arah kerajinan lain yang dipajang di lapak itu. Ternyata, semua figur tanah liat di sini memiliki gaya yang sama. Singkatnya, mereka semua jelek. Namun, yang lebih aneh lagi, tidak ada penjual di lapak ini.Di sana hanya ada sebuah tripod dengan sebuah ponsel terpasang di atasnya. Yang lebih mencurigakan lagi, kamera ponsel itu menghadap ke arah mereka.Nadine berpikir sejenak, lalu berkata, "Memang terlihat asal-asalan, tapi kalau dilihat dari sudut ini ... sepertinya agak mirip Cupid, bukan?"Begitu dia selesai berbicara, seseorang tiba-tiba muncul
"Sudah makan siang?" tanya Arnold."Belum. Kamu?""Kebetulan, aku juga belum."Tatapan mereka bertemu. Sesuatu yang disebut "kekompakan" perlahan menyelimuti mereka.Dua puluh menit kemudian ....Nadine dan Arnold duduk di sebuah restoran barbeku. Di atas panggangan, lemak dari potongan daging sapi mulai meleleh dan mengeluarkan suara desisan menggoda.Daging yang sedang dipanggang itu berwarna keemasan dengan sedikit bagian yang renyah, menciptakan perpaduan sempurna antara lemak dan daging. Dengan gerakan terampil, Arnold membalikkan daging beberapa kali, memastikan bagian luarnya matang sempurna.Kemudian, dia mengambil selembar selada segar, meletakkan daging di atasnya, membungkusnya dengan rapi, lalu menyodorkannya ke arah Nadine.Nadine yang sedang sibuk membalas pesan di ponselnya, tidak langsung menyadari. Ketika mendongak, dia terkejut sesaat. "Pak Arnold, aku bisa ambil sendiri ...."Namun, Arnold tidak menarik kembali tangannya. "Buka mulut."Nadine terdiam.Arnold terkekeh
Nadine bercanda, "Kak, kamu mau berinvestasi di semua proyek laboratorium kami hanya dengan 200 juta? Murah sekali!"Aditya tertawa. "Mana berani aku punya mimpi sebesar itu? Satu proyek saja sudah cukup!"Karena dia sudah berbicara sejauh ini, Nadine akhirnya menerima uang itu.Aditya sendiri tidak pernah menyangka bahwa 200 juta yang dia berikan begitu saja dengan alasan sederhana ini, suatu hari nanti akan membawa keuntungan yang luar biasa besar baginya.....Setelah laboratorium baru mulai beroperasi, laboratorium sementara di Universitas Teknologi dan Bisnis tidak lagi digunakan. Dulu, Moesda berbaik hati meminjamkan tempat itu kepada mereka. Meskipun itu lebih karena koneksi dengan Arnold, Nadine tetap sangat berterima kasih.Oleh karena itu, dia membeli bunga dan buah-buahan pada hari Sabtu, lalu datang langsung untuk mengembalikan kunci laboratorium serta mengungkapkan rasa terima kasihnya.Kantor Moesda berada di lantai tiga gedung administrasi Universitas Teknologi dan Bisni