Di sepanjang perjalanan, Nadine dan Arnold hanya berbincang di awal. Kemudian, mereka sama-sama terdiam.Hari ini, Arnold mengendarai mobil listrik. Dia bisa merasakan Nadine agak murung. Jadi, Arnold mempertahankan kecepatan mobilnya tetap stabil agar Nadine merasa nyaman.Sesampainya di kompleks vila, satpam di depan gerbang menyapa Nadine, "Bu Nadine, aku sudah lama nggak lihat kamu. Apa kamu pergi dinas?"Nadine hanya tersenyum dam tidak menanggapi ucapan satpam. Arnold juga tidak bertanya setelah melihat wajah Nadine.Nadine dan Arnold tetap terdiam. Setelah sampai di depan pintu vila, Arnold menghentikan mobilnya."Tolong tunggu aku sebentar. Aku akan segera keluar setelah memindahkan bukunya," kata Nadine. Selesai bicara, dia turun dari mobil."Apa kamu memerlukan bantuanku?" tanya Arnold.Nadine menggeleng dan menjawab, "Nggak usah. Bukunya nggak banyak, aku bisa pindahkan sendiri."Setelah itu, Nadine berjalan masuk. Dia menekan bel, lalu terdengar suara Julia. "Sebentar!"Mel
Suara Nadine yang serak terdengar gemetaran. Bak seekor burung yang ketakutan, dia tampak begitu putus asa nan memesona. Tubuh Reagan semakin panas. Dia melepaskan bajunya dan tangannya langsung merayap masuk dari bawah rok.Nadine panik. "Reagan, wanita seperti apa yang nggak bisa kamu dapatkan? Kenapa harus maksa mantan pacar yang sudah putus? Kalau kamu mau, aku bisa telepon Eva untuk datang sekarang.""Ah ... jangan!" teriak Nadine.Melihat Nadine yang berusaha untuk menghindar dan sepasang matanya yang memancarkan perlawanan, emosi Reagan langsung memuncak. "Kenapa? Baru pisah beberapa hari saja sudah asing? Kita bukannya nggak pernah tidur bersama sebelumnya. Kamu mau pura-pura suci?"Saking marahnya, sekujur tubuh Nadine gemetaran. "Berengsek!" makinya.Reagan tertawa dingin dan mencengkeram dagunya. "Kamu pikir kamu masih berharga setelah meninggalkanku? Cuma orang bodoh yang mau nerima wanita yang sudah pernah ditiduri pria lain."Air mata Nadine berderai tanpa henti. Dia mena
Namun, Reagan juga bukan orang yang lemah. Dia mengangkat tangan dan mengarahkan tinjunya kepada Arnold."Mukul aku? Kamu kira kamu siapa?" Sambil mengayunkan tinju, Reagan memakinya, "Waktu kami jatuh cinta, kamu masih entah ada di mana ...."Arnold menangkap tinju yang dilayangkan Reagan. Berbeda dengan Reagan yang marah dan panik, Arnold tampak jauh lebih tenang dan rasional, meskipun sorot dingin di matanya tak bisa disembunyikan."Lalu kamu siapa? Mantan pacar yang sudah putus tapi terus menerornya atau pelaku pemerkosaan?" Setiap ucapan Arnold bagaikan pisau tajam yang menusuk di titik kelemahan Reagan."Kamu cari mati ...." Reagan mengerahkan kekuatan untuk menarik kembali tinjunya. Namun, genggaman Arnold tak bergerak sedikit pun."Cukup!" Saat itu Nadine sudah sepenuhnya sadar. Dia bangkit dari sofa sambil memegang erat jaket yang diberikan Arnold dengan tangan gemetaran. Tanpa melirik Reagan sedikit pun, Nadine berbicara sambil menunduk pada Arnold, "Arnold, maaf membuatmu me
Saat masih kuliah, Nadine paling suka makan di lantai dua, khususnya di stan makanan nusantara. Ada seorang bibi yang selalu tersenyum ramah saat melayaninya. Setiap kali Nadine datang, bibi itu selalu mengobrol dengannya, lalu menambah porsi daging ke piringnya.Dari kejauhan, Nadine sudah melihat stan tempat bibi itu berada. Semuanya masih sama seperti dulu.Tiga tahun setelah lulus, Nadine tidak yakin apakah bibi itu masih ingat dirinya. Namun, ketika dia berdiri dalam antrean dan maju untuk mengambil makanan, bibi itu sibuk menyiapkan porsi tanpa berkata apa pun.Akan tetapi, saat merasakan berat makanan di piringnya, Nadine tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Bibi."Arnold kemudian membayar dengan kartunya dan mencari tempat duduk."Sudah lama nggak makan di sini, rasanya masih sama seperti dulu," kata Nadine sambil tersenyum puas. Keterampilan memasak koki di sini masih tetap mempertahankan kualitasnya, bahkan mungkin semakin baik.Nadine teringat masa-masa kuliah. "Waktu kulia
Setelah masuk ke rumah, hal pertama yang dilakukan Nadine adalah menata buku-buku yang ada dalam karung. Setelah semuanya selesai, tubuhnya telah dibanjiri keringat.Setelah mandi dan keluar ke ruang tamu, Nadine melihat salep yang diletakkan di atas meja. Dia mengambilnya, lalu membuka tutup dan mengoleskan salep ke area memar di dada dan pinggangnya sambil bercermin. Salep itu terasa dingin dengan aroma mint yang segar. Dalam waktu singkat, rasa sakitnya mulai mereda.Saat ini masih belum terlalu larut, Nadine sebenarnya berniat untuk membaca buku. Namun setelah kelelahan seharian, kepalanya terasa sangat berat. Akhirnya, dia memilih untuk berbaring dan tertidur dengan cepat.Di tengah malam, Nadine mengalami mimpi buruk. Dalam mimpi itu, Reagan menyerangnya bagaikan seorang iblis. Tidak peduli seberapa kerasnya pun dia mencoba melawan, Reagan tetap tidak bisa diusir.Rasa takut dan cemas itu terasa begitu nyata, membuat Nadine mencengkeram erat kerah bajunya dan terbangun dengan nap
[ Datang saja.]Di sisi lain, Eva hampir melompat kegirangan ketika melihat pesan dari Reagan. Selama ini, dia sudah beberapa kali mencoba mendekati Reagan dengan berbagai cara, bahkan dengan godaan. Namun, pria itu selalu menolak dan tidak pernah merespons. Eva mengira kali ini akan sama, tetapi tidak disangka-sangka, Reagan justru setuju.Dia segera bangun, lalu bersiap-siap mengganti pakaian dan keluar.Teman sekamarnya yang belum tidur merasa heran melihat Eva masih ingin keluar di larut malam. "Eva, kamu mau ke mana malam-malam begini?""Kamu nggak ngerti. Waktu sedetik saja sangat berharga bagi pujaan hati. Yang bisa membuat si primadona kampus kita ini tergila-gila cuma pacarnya yang kaya dan tampan itu.," celetuk teman sekamarnya yang sedang asyik bermain game. Wajah Eva langsung memerah karena malu.Selama ini, Reagan selalu menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Hal ini membuat Eva merasa bahwa pria itu bisa mencampakkannya kapan saja dan membuatnya merasa tidak aman.Namun,
"Akhirnya kamu sadar juga?" Teddy langsung bangkit dari sofa. "Nggak mau sok suci lagi ya?"Mendengar ejekannya, ekspresi Reagan bahkan tidak berubah sedikit pun. "Cuma sandiwara, kok. Bukannya nggak pernah begini juga dulu."Teddy menepuk tangannya. Dia merasa puas karena sahabatnya, Reagan, akhirnya kembali "normal". "Oke, akan kuatur segera. Dijamin bersih, nggak akan ada masalah."Setelah menutup telepon, Teddy sudah mengirimkan alamatnya dalam waktu kurang dari 5 menit.[ Hotel Bliss, 1080. Gadis ini sudah lama kuincar, masih perawan. Aku hadiahkan untukmu. ]Reagan menyeringai tipis, lalu mengambil jaketnya dan keluar. Malam semakin larut dan kehangatan malam pun menyelimuti.Keesokan paginya, Teddy keluar dari kamar sebelah dengan mengenakan jubah mandi. Semalam dia minum cukup banyak dan ketika terbangun lagi, hari sudah menjelang siang.Hotel Bliss adalah properti milik keluarga Teddy dan dia tinggal di suite mewah yang dikhususkan untuknya. Luasnya bahkan lebih besar daripada
"Hm ... untuk merayakan kamu lulus peninjauan awal, gimana kalau kutraktir makan enak?"Nadine tertawa. "Bukannya seharusnya aku yang traktir?"Kelly mengangkat alisnya. "Kita ini sahabat, nggak usah terlalu perhitungan. Ya sudah, sepakat ya. Kamu beres-beres dulu, aku jemput sekarang."Nadine meletakkan ponselnya, lalu kembali ke kamar dan membuka lemari. Dia memilih gaun bermotif bunga kecil dengan kerah V. Sudah dua bulan berlalu, rambutnya kini sudah mencapai tulang selangka. Karena cuaca yang panas, Nadine mengikat rambutnya dengan pita yang warnanya serasi dengan gaunnya.Setengah jam kemudian, Kelly mengirim pesan bahwa dia sudah sampai di bawah.Nadine mengganti sepatu, lalu mengambil tasnya dan turun ke lantai bawah.Mobil Kelly diparkir di ujung gang. Sambil menunggu, Kelly mengeluarkan ponselnya untuk bermain. Saat mendongak, dia kebetulan melihat Arnold sedang berjalan mendekat. Di sampingnya, ada seorang mahasiswa yang membawa ransel dan berpenampilan ceria dengan potongan
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala
Nadine menoleh. Stendy menatapnya dengan bingung."Pak Stendy, sepertinya aku merepotkanmu lagi."Stendy sempat tertegun, lalu tersenyum tipis, "Aku suka direpotkan olehmu."Nadine menunduk, "Tapi rasa sukamu itu ... sepertinya aku nggak punya apa pun untuk membalasnya selain dengan ucapan terima kasih. Apakah itu sepadan?"Sebuah kalimat dengan makna ganda.Stendy tidak menyangka Nadine akan berterus terang seperti ini. Dia diam sejenak, lalu tetap tersenyum, "Sejak awal, sikapmu sudah sangat jelas. Tapi, sikapku juga sama jelasnya. Menolak adalah hakmu, tapi bertahan adalah pilihanku. Aku selalu percaya ...."Nadine mengangkat wajah.Stendy menatap matanya, lalu berkata dengan pelan, "Ketulusan akan menembus hati sekeras apa pun. Kalau sekarang belum tembus, berarti waktunya belum tiba.""Kalau waktunya memang nggak pernah datang?" tanyanya."Aku akan terus menunggu.""Itu akan membuatmu kecewa," ujarnya."Aku siap kalah, jadi aku nggak takut," jawabnya.Nadine membungkuk masuk ke da
Pria gemuk itu juga akhirnya berhenti berpura-pura, "Kami ini sudah sangat sopan sama kamu! Kalau di kampung kami, wanita keras kepala seperti kamu sudah dihajar sampai babak belur! Kalau kamu nurut dan kasih satu miliar, kami langsung pergi!"Si kakek menghela napas, lalu mulai berperan pura-pura bijak, "Nona, kenapa harus begini? Kalau kamu tadi nurut dari awal, dua anakku juga nggak bakal marah. Cuma karena uang segitu, kamu rela mempertaruhkan keselamatanmu?""Kami cuma cari uang. Kamu saja nyetir Mercy. Uang satu miliar cuma recehan bagi kamu. Tenang saja, kami orangnya bisa dipercaya. Selama kamu mau bayar, kami langsung pergi dan nggak akan ganggu kamu lagi!"Nadine tak menyangka mereka seberani ini. Sudah tidak memakai kedok sama sekali. Apa bedanya dengan perampokan?Meski belum pernah mengalami situasi seperti ini, dia tetap tahu prinsip mengorbankan harta demi keselamatan. Akan tetapi ... satu miliar? Mustahil.Dengan wajah dingin, dia menjawab, "Aku cuma punya 60 juta. Mau