Hari terus berjalan. Antara sedih dan senang. Bukan hanya bisa bareng dan mengobrol dengan Salsa, kemudian mendapat ilmu baru setiap kali bertemu dosen, tapi aku juga semakin dekat pada tujuanku, kembali pada kehidupan yang menjadi hakku sebagai Arjuna Brawijaya.Tak peduli, seberapa besar perjuangan ini. Yang tidak hanya harus berlaku sebagai seorang perempuan dan menipu semua orang, terutama Salsa dan Hasan. Jika Salsa adalah seseorang yang kucintai, maka Hasan adalah pria yang mencintaiku dan aku harus berpura –pura mencintainya.Dari kebohongan yang kuciptakan, setidaknya aku punya tempat nyaman di sisi Salsa. Dia bahkan memberiku banyak motivasi kehidupan dan bagaimana caranya menjadi manusia sebagai seorang makluk yang hidupnya serba terbatas. Bagaimana hidup dengan menahan nafsu dan juga peduli pada orang lain.Lalu, dari Hasan meski harus menumbalkan sedikit keperjakaanku, aku bisa menemukan banyak hal tentang Bianca dan keluarga Kakek Brawijaya. Setidaknya, itu yang aku yakin
“Memangnya Kakak dulu kenal dia di mana?” tanyaku penasaran.“Hem, papiku dan papi dia kan teman. Bisnis bareng juga. Jadi di beberapa acara kami bertemu. Aku juga terkejut dia pergi ke universitas ini. Kupikir dia ke luar negeri.” Hasan menceritakan bagaimana perkenalannya dengan Bianca.Wah, teman bisnis. Artinya benar jika Hasan anak orang kaya. Pantas saja penampilannya berbeda, dan dia juga tidak pelit. Andai dia cucu Kakekku, pasti aku tidak akan segan memoroti uangnya.Dan sekarang, hubungan dengan Hasan menjadi batu loncatan bagiku untuk bisa masuk ke dalam lingkungan para konglomerat. Dengan begitu juga aku bisa masuk ke rumah besar Kakek. Aku penasaran, apakah semua masih sama seperti dulu?“Oh, artinya kalian sudah akrab,” celetukku kemudian.“Wah, kalau gitu, aku mau dong, Kak, dibawa jalan ke rumah dia!”Aku bisa memanfaatkan Hasan untuk bisa mengorek lebih dalam pada gadis yang mencintainya itu. Apalagi posisi Bianca sekarang masih dalam masa pendekatan. Dia pasti akan m
Tatapan mereka menakutkan. Apa kini mereka melihatku sebagai pria? Dan kemudian akhirnya berpikir bahwa aku ini seorang penipu! Oh tidak! Itu tidak boleh terjadi!Mataku melebar karena itu. Lalu segera memperbaiki suara dengan berdeham berkali –kali. “Eham. Eham. Ehm, maaf saya harus pergi,” ucapku pada orang –orang yang sempat menatap aneh kepadaku.Sambil berjalan menjauhi mereka, kuketik pesan, [ Ya, tentu saja. Aku akan datang. Kamu benar –benar pria luar biasa. ]“Hemh, Hasan pasti tambah ge –er sekarang. Dan yang pasti, dia akan semakin senang melakukan tugas –tugas yang kuberikan dalam bentuk permintaan.”Langkahku terus terayun menuju asrama yang kutinggali, saat sampai di depan gerbang kupercepat langkah begitu melihat sosok Paman sendirian berjaga di pos. Pria itu harus menjelaskan apa yang dia katakan pada Salsa sebenarnya. Jangan –jangan malah Paman sendiri yang mengatakan pada Salsa mengenai penyamaranku.“Hei, Jun! Kemarilah!” seru Paman begitu melihatku. Dia sampai meni
Sekitar sepuluh menit berjalan aku sampai di taman tempat di mana aku dan Hasan sepakat bertemu. Dari kejauhan, kulihat pria itu tengah bersandar ke sebuah mobil sport berwarna putih. Wah, jadi dia benar –benar anak orang kaya.Hem, andai aku tenang hidup sebagai Arjuna di keluarga Brawijaya tanpa gangguan Om Rudi, pasti aku juga akan menaiki mobil seperti itu. Aku juga akan lebih percaya diri mendekati Salsa.Bisa jadi Salsa menyukai Hasan, juga karena dia kaya. Aku tak menyalahkan para wanita yang menyukai itu. Mereka punya hak untuk bersikap realistis. Namun, tetap saja aku ingin kelak, Salsa mau menerimaku sebagai pria biasa tanpa embel –embel kekayaan Brawijaya.Hasan sudah melihat ke arahku. Namun, kenapa dia tidak menyapa. Sampai langkahku benar –benar dekat“Hai!” sapaku.Pria itu mengecilkan mata memindai tubuhku dari atas hingga bawah. “Ya? Siapa?”Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Menyenangkan sekali membuat orang lain pangling begini. Kalau begitu sudah pasti Om Rudi
“Dia ...?” Bianca menunjuk ragu ke arahku. Tampaknya gadis itu baru sadar bahwa ada orang lain antara dirinya dan pria idamannya.“Ah, ya, ini temanku. Dia sangat ingin ikut.”“O ya?” Bianca menyahut pelan. Sangat pelan. Menatapku begitu lama. Seolah mengenaliku.“Hai,” sapaku. Kusodorkan tangan untuk basa –basi menyalaminya. “Andrea,” ucapku menyebut nama belakang dari Junia. Saat menatap sesaat ke arah Hasan, pemuda itu tersenyum. Seolah sedang memuji betapa cerdasnya aku. Memperkenalkan diri dengan nama lain tanpa berbohong. “Kenapa kamu mirip seseorang?” gumamnya. Bianca meraih dan menyalami tanganku dengan malas.“Hem, sebaiknya kita lekas melanjutkan rencana kita.” Hasan berdiri lebih dekat pada Bianca dan jadi penghalang antara kami.Gadis itu pun manggut –manggut setuju. Dia pasti tidak mau membuang waktu untuk membahas hal tak penting, sementara pria yang disukai ada di rumahnya.“Ayo kita ke kamarku saja!” ajaknya.Kami pun mengekornya ketika ia berjalan lebih dulu menuju a
“Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa Paman sudah menyelidikinya jika dia bukanlah orang suruhan dari Om Rudi?” tanyaku penasaran.“Sepertinya begitu,” ucap Paman.Aku diam tak lagi menyahuti ucapan Paman, aku kini kembali melanjutkan makan dan membiarkan Paman berada di sini sebentar.“Kenapa kamarmu berantakan lagi?” Paman melihat-lihat kamar yang cukup rapi ini tapi dia masih saja mengatakan jika kamarku tidak rapi. Padahal hanya ada beberapa baju saja yang berserakan di bawah.Lagi pula, kenapa dia bertanya kenapa berantakan lagi? Memangnya kamarku ini museum yang hanya berisi barang pajangan dan tidak digunakan? Jadi rapi terus.“Nanti aku beresin,” ucapku karena masih makan.“Jangan malas jadi orang, kamu itu sudah dewasa,” ucap Paman mulai menasehatiku.“Kamu harus ingat bagaimana kedua orang tua kamu mempertahankan kamu agar tetap hidup, mereka berjuang keras untuk kamu, jadi kamu jangan pernah menyepelekan segala hal yang aku suruh karena itu semua demi kebaikan kamu kedepan
“Ya, aku yakin, Paman. Aku ke sana ‘kan tidak sendiri. Tapi datang bersama gebetan Bianca, jadi ... mereka pasti tidak akan mencurigaiku.”“Gebetan? Gebetan gadis itu? Maksudku Bianca, anaknya Rudi?” tanyanya.“Ya.” Aku mengangguk.Paman kemudian mengerutkan kening. Entah, apa yang dipikirkannya? Terkejut dan membaca sesuatu atau malah tidak tahu sama sekali tentang istilah gebetan.“Gebetan? Kamu ke sana dengan seorang pria?”“Ya.” Aku kembali mengangguk. “Ap –apa yang salah?” Baru saja aku tersadar, bahwa wujudku di kampus adalah seorang Junia. Masa iya dekat dengan pria?“Ehm, jadi ... aku dan gebetannya itu ceritanya dekat, Paman.”“Sedekat apa kalian sampai dia mau membawamu ke tempat Bianca?” Pria itu memelototiku. “Sepertinya dia juga bukan orang miskin, sampai bisa bergaul dengan anak Rudi yang kaya raya. Ada yang tidak beres di sini, Jun.” Pria itu kemudian menatap ke arah laptop dengan merk apel berlubang. Sesuatu yang jelas –jelas sangat mahal. Tentu saja membuat Paman Hamz
Saat akan segera pergi dari sana tiba-tiba saja aku menabrak seseorang karena berjalan tidak berhati-hati melihat ke arah depan. Begitu mendongak, melihat siapa yang baru saja kutabrak, seketika mataku melebar karena terkejut. Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa ini karena kunjunganku semalam?Di waktu yang sama, seseorang menyambar tubuhku menjauh dari pria bertubuh tambun itu. Siapa pria ini? Hei, kenapa pria –pria ini berkeliaran di sekitar toilet wanita?“Maaf aku tidak sengaja,” ucapku sembari membungkuk sembari menyembunyikan wajahku.“Lain kali hati –hati. Jauhi pria itu!” tegas seorang pria yang tadi menjauhkanku dari Om Rudi. Pria yang mengenakan setelan rapi. Dia bukan mahasiswa juga dosen yang kukenal di sini.“Masa iya mahasiswa pakai setelan? Apa dosen baru?” gumamku seiring kepergian pria itu menjauh dariku.Aku harus mengendalikan diri dan bergegas dari sana karena takut jika Om Rudi mengenaliku. Setidaknya dia pasti melihat wajah tampanku, meski hanya beberapa detik. K