Share

TUAN MUDA 16 DIGIT
TUAN MUDA 16 DIGIT
Author: Iceisya

Bab 1: Menyamar Sebagai Satpam

Seorang pemuda berwajah tampan melangkah tenang memasuki halaman kantor megah yang bertuliskan "Anugerah Langit Corporation." Dengan seragam satpam yang tampak biasa saja, tak ada yang istimewa kecuali wajah tampannya. Wajahnya yang bersih dan terawat tampak tak selaras dengan seragam satpam yang ia kenakan. Di atas saku seragamnya tertera nama "Kemal Halim." Namun, tidak ada yang tahu, di balik penampilan sederhana itu, tersembunyi sosok yang sangat penting yang bisa mengguncang perusahaan ini dari dalam.

Begitu sampai, ia menyadari betapa cepatnya para karyawan berdatangan ke kantor tersebut. Mereka sibuk berjalan tanpa meliriknya sedikit pun, seolah kehadirannya tidak berarti. Beberapa dari mereka bahkan melemparkan komentar sinis ketika melintas di dekatnya.

“Satpam baru, ya? Wajahnya lumayan. Tapi aku ragu apa dia mampu bertahan, atau sama saja seperti satpam-satpam sebelumnya,” salah seorang karyawan berkata dengan nada mengejek, diikuti tawa kecil dari rekannya.

Nama aslinya Darren Harison, anak orang terkaya di negaranya. Ia diminta untuk mengambil alih semua bisnis keluarga karena  sang ayah sedang sakit keras. 

Darren menahan napas sejenak, membiarkan ucapan itu berlalu. Amarahnya menggelitik di dalam dada, tapi ia memilih untuk menahan diri. Meski bisa saja ia membalas, Darren tahu bahwa penyamarannya sebagai satpam harus tetap terjaga jauh lebih penting. Belum saatnya dia menunjukkan diri siapa sebenarnya. Seorang pewaris tunggal perusahaan terbesar di negeri ini.

Ia diam dan terus menjalankan tugasnya. Namun, setiap langkah karyawannya menjadi pengingat betapa banyak yang perlu diubah di perusahaan ini. Baginya, hari itu hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk mengetahui kenyataan yang tersembunyi di balik dinding megah Anugerah Langit Corporation.

Setelah menghabiskan hari pertama yang melelahkan, Darren kembali ke apartemen kecil yang ia sewa. Duduk di atas ranjang, tubuhnya terasa letih bukan hanya karena pekerjaan fisik yang tidak sesuai dengan jobdesknya, tetapi lebih karena tertekan. Perusahaan yang kelihatannya kokoh dari luar, ternyata dipenuhi keangkuhan, antipati,  sikap sinis, dan masalah-masalah internal yang tidak kelihatan di permukaan.

Keesokan paginya, Darren berdiri di depan cermin di apartemennya. Seragam satpam itu sekarang sudah terasa akrab di tubuhnya. Rambutnya sengaja ia biarkan sedikit berantakan, berbeda jauh dari penampilan rapi dan formal yang biasanya ia kenakan. Dia menatap cermin dalam-dalam, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa penyamaran ini adalah langkah yang tepat.

Sebelum berangkat, Darren menghubungi Vina, wanita yang paling dipercaya keluarganya untuk mengurus perusahaan.

"Bu Vina, hari ini rapat direksi, kan?" tanya Darren melalui telepon.

"Iya, Mas Darren. Semua sudah siap. Bagaimana? Apakah anda bisa menghadirinya?" tanya Vina dengan nada hati-hati.

Darren menghela napas. “Aku belum ingin memperkenalkan diriku sekarang. Aku punya rencana sendiri untuk perusahaan. Sementara waktu biarkan aku menyamar. Aku ingin melihat langsung bagaimana para direksi dan manajer ini bekerja tanpa tahu bahwa aku mengawasi mereka. Atur supaya aku bisa berada di sana sebagai satpam tanpa menarik perhatian.”

"Baik, Mas Darren. Serahkan padaku."

Pukul sembilan pagi, para pejabat tinggi perusahaan mulai berdatangan. Suasana kantor tampak berubah drastis. Para karyawan tampak lebih serius dan sibuk, memastikan semua berjalan lancar menjelang rapat penting tersebut. Darren berdiri di sudut ruangan, mengawasi dari kejauhan, memantau setiap gerakan dengan tatapan tajam namun tak mencolok.

Di ruang rapat, suasana semakin tegang. Meja panjang dari kayu mahoni dipenuhi oleh para direktur dan manajer, masing-masing mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Kursi di ujung meja tetap kosong, kursi yang seharusnya ditempati oleh Darren sebagai pewaris perusahaan. Namun, Darren berdiri beberapa meter dari meja, berpura-pura menjadi petugas keamanan.

Tak lama kemudian, Vina memasuki ruangan dengan penuh wibawa. Langkahnya mantap, setiap orang berdiri menghormati kedatangannya. Wajahnya menunjukkan keyakinan yang teguh, kualitas yang membuatnya sangat dihormati di perusahaan.

"Silakan duduk," katanya singkat namun tegas.

Semua orang segera duduk dengan tertib, tak satupun yang berani melawan otoritas Vina. Ia mengambil tempat di dekat kursi kosong yang dikhususkan untuk Darren. Beberapa wajah di ruangan menunjukkan kekecewaan, terutama mereka yang berharap bertemu langsung dengan pewaris perusahaan.

"Saya mewakili Tuan Darren dalam pertemuan ini," kata Vina, memecah keheningan yang menguasai ruangan. "Beliau sedang menangani urusan penting, dan semua keputusan yang diambil dalam rapat ini telah disetujui olehnya."

Rapat dimulai. Satu per satu laporan keuangan, performa proyek, hingga kondisi perusahaan dibahas secara rinci. Vina mendengarkan dengan seksama, memberikan tanggapan yang tegas sesuai arahan Darren. Sementara itu, Darren berdiri diam, mencerna setiap kata, setiap isyarat, mencoba mengidentifikasi siapa saja yang benar-benar peduli pada perusahaan dan siapa yang hanya peduli pada kepentingan pribadi mereka.

Namun, ketenangan rapat itu berubah ketika Baron, salah satu direktur cabang yang berkuasa, angkat bicara.

"Bu Vina," kata Baron dengan nada yang nyaris menantang. "Perusahaan ini sedang dalam krisis. Kita kekurangan dana, proyek-proyek banyak yang tertunda. Saya pikir sudah waktunya kita melakukan perubahan rencana anggaran dan mengganti beberapa pejabat perusahaan yang tidak kompeten, yang membuat perusahaan ini bermasalah."

Suasana ruangan berubah tegang. Darren memperhatikan dengan cermat, merasakan bahwa ada lebih banyak hal yang tak terkatakan dalam pernyataan Baron.

Vina menatapnya tajam sebelum berkata, "Semua keputusan semua wewenang Tuan Darren. Ia pasti akan meninjau kembali setiap laporan dan mengambil keputusan terbaik. Saat ini kita hanya diminta untuk memberikan laporan"

Baron menyipitkan mata. "Tapi waktu kita tidak banyak. Sedikit saja terlambat masa depan perusahaan ini yang menjadi taruhan. Kalau boleh jujur, aku sedikit ragu apa Tuan Darren mampu mengambil keputusan sepenting ini?"

Kalimat itu menusuk seperti pisau. Darren merasakan panas di dadanya, namun tetap menjaga sikap. Ia ingin melihat sejauh mana keraguan Baron terhadap dirinya.

Vina menoleh dengan tenang ke arah Baron, tetapi suaranya penuh peringatan. "Saya sarankan Anda menjaga kata-kata Anda. Tuan Darren mungkin muda, tapi kecerdasannya tidak diragukan. Dan kita semua tahu posisinya tidak bisa dipertanyakan."

“Tapi…,” Baron hendak menyela, namun segera dipotong oleh ucapan Vina yang tajam.

“Saya ingatkan anda, meski anda direktur salah satu perusahaan cabang, anda bukan pemilik perusahan ini. Kalau memang tuan Darren menghendaki perubahan, semua akan menjadi wewenang beliau. Bahkan merubah posisi anda saat ini pun merupakan kewenangannya.”

Di tempatnya, Darren terus mengamati keadaan. Ia mulai memahami keadaan. “Baron ini merupakan salah satu kepercayaan ayah, tapi ia terlihat lebih ingin mendominasi. Sepertinya orang ini harus mendapatkan perhatian khusus, dan sepertinya selama ini banyak kebijakan perusahaan diambil olehnya,” gumamnya dalam hati.

Baron diam, namun wajahnya menunjukkan perlawanan yang masih membara. Sesaat semua menjadi tegang. Pandangan Vina menekan tertuju ke arah Baron. Sementara Baron sendiri tak sedikitpun mengedipkan matanya. Seolah-olah tatapan matanya menantang perempuan di depannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status