Seorang pemuda berwajah tampan melangkah tenang memasuki halaman kantor megah yang bertuliskan "Anugerah Langit Corporation." Dengan seragam satpam yang tampak biasa saja, tak ada yang istimewa kecuali wajah tampannya. Wajahnya yang bersih dan terawat tampak tak selaras dengan seragam satpam yang ia kenakan. Di atas saku seragamnya tertera nama "Kemal Halim." Namun, tidak ada yang tahu, di balik penampilan sederhana itu, tersembunyi sosok yang sangat penting yang bisa mengguncang perusahaan ini dari dalam.
Begitu sampai, ia menyadari betapa cepatnya para karyawan berdatangan ke kantor tersebut. Mereka sibuk berjalan tanpa meliriknya sedikit pun, seolah kehadirannya tidak berarti. Beberapa dari mereka bahkan melemparkan komentar sinis ketika melintas di dekatnya.
“Satpam baru, ya? Wajahnya lumayan. Tapi aku ragu apa dia mampu bertahan, atau sama saja seperti satpam-satpam sebelumnya,” salah seorang karyawan berkata dengan nada mengejek, diikuti tawa kecil dari rekannya.
Nama aslinya Darren Harison, anak orang terkaya di negaranya. Ia diminta untuk mengambil alih semua bisnis keluarga karena sang ayah sedang sakit keras.
Darren menahan napas sejenak, membiarkan ucapan itu berlalu. Amarahnya menggelitik di dalam dada, tapi ia memilih untuk menahan diri. Meski bisa saja ia membalas, Darren tahu bahwa penyamarannya sebagai satpam harus tetap terjaga jauh lebih penting. Belum saatnya dia menunjukkan diri siapa sebenarnya. Seorang pewaris tunggal perusahaan terbesar di negeri ini.
Ia diam dan terus menjalankan tugasnya. Namun, setiap langkah karyawannya menjadi pengingat betapa banyak yang perlu diubah di perusahaan ini. Baginya, hari itu hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk mengetahui kenyataan yang tersembunyi di balik dinding megah Anugerah Langit Corporation.
Setelah menghabiskan hari pertama yang melelahkan, Darren kembali ke apartemen kecil yang ia sewa. Duduk di atas ranjang, tubuhnya terasa letih bukan hanya karena pekerjaan fisik yang tidak sesuai dengan jobdesknya, tetapi lebih karena tertekan. Perusahaan yang kelihatannya kokoh dari luar, ternyata dipenuhi keangkuhan, antipati, sikap sinis, dan masalah-masalah internal yang tidak kelihatan di permukaan.
Keesokan paginya, Darren berdiri di depan cermin di apartemennya. Seragam satpam itu sekarang sudah terasa akrab di tubuhnya. Rambutnya sengaja ia biarkan sedikit berantakan, berbeda jauh dari penampilan rapi dan formal yang biasanya ia kenakan. Dia menatap cermin dalam-dalam, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa penyamaran ini adalah langkah yang tepat.
Sebelum berangkat, Darren menghubungi Vina, wanita yang paling dipercaya keluarganya untuk mengurus perusahaan.
"Bu Vina, hari ini rapat direksi, kan?" tanya Darren melalui telepon.
"Iya, Mas Darren. Semua sudah siap. Bagaimana? Apakah anda bisa menghadirinya?" tanya Vina dengan nada hati-hati.
Darren menghela napas. “Aku belum ingin memperkenalkan diriku sekarang. Aku punya rencana sendiri untuk perusahaan. Sementara waktu biarkan aku menyamar. Aku ingin melihat langsung bagaimana para direksi dan manajer ini bekerja tanpa tahu bahwa aku mengawasi mereka. Atur supaya aku bisa berada di sana sebagai satpam tanpa menarik perhatian.”
"Baik, Mas Darren. Serahkan padaku."
Pukul sembilan pagi, para pejabat tinggi perusahaan mulai berdatangan. Suasana kantor tampak berubah drastis. Para karyawan tampak lebih serius dan sibuk, memastikan semua berjalan lancar menjelang rapat penting tersebut. Darren berdiri di sudut ruangan, mengawasi dari kejauhan, memantau setiap gerakan dengan tatapan tajam namun tak mencolok.
Di ruang rapat, suasana semakin tegang. Meja panjang dari kayu mahoni dipenuhi oleh para direktur dan manajer, masing-masing mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Kursi di ujung meja tetap kosong, kursi yang seharusnya ditempati oleh Darren sebagai pewaris perusahaan. Namun, Darren berdiri beberapa meter dari meja, berpura-pura menjadi petugas keamanan.
Tak lama kemudian, Vina memasuki ruangan dengan penuh wibawa. Langkahnya mantap, setiap orang berdiri menghormati kedatangannya. Wajahnya menunjukkan keyakinan yang teguh, kualitas yang membuatnya sangat dihormati di perusahaan.
"Silakan duduk," katanya singkat namun tegas.
Semua orang segera duduk dengan tertib, tak satupun yang berani melawan otoritas Vina. Ia mengambil tempat di dekat kursi kosong yang dikhususkan untuk Darren. Beberapa wajah di ruangan menunjukkan kekecewaan, terutama mereka yang berharap bertemu langsung dengan pewaris perusahaan.
"Saya mewakili Tuan Darren dalam pertemuan ini," kata Vina, memecah keheningan yang menguasai ruangan. "Beliau sedang menangani urusan penting, dan semua keputusan yang diambil dalam rapat ini telah disetujui olehnya."
Rapat dimulai. Satu per satu laporan keuangan, performa proyek, hingga kondisi perusahaan dibahas secara rinci. Vina mendengarkan dengan seksama, memberikan tanggapan yang tegas sesuai arahan Darren. Sementara itu, Darren berdiri diam, mencerna setiap kata, setiap isyarat, mencoba mengidentifikasi siapa saja yang benar-benar peduli pada perusahaan dan siapa yang hanya peduli pada kepentingan pribadi mereka.
Namun, ketenangan rapat itu berubah ketika Baron, salah satu direktur cabang yang berkuasa, angkat bicara.
"Bu Vina," kata Baron dengan nada yang nyaris menantang. "Perusahaan ini sedang dalam krisis. Kita kekurangan dana, proyek-proyek banyak yang tertunda. Saya pikir sudah waktunya kita melakukan perubahan rencana anggaran dan mengganti beberapa pejabat perusahaan yang tidak kompeten, yang membuat perusahaan ini bermasalah."
Suasana ruangan berubah tegang. Darren memperhatikan dengan cermat, merasakan bahwa ada lebih banyak hal yang tak terkatakan dalam pernyataan Baron.
Vina menatapnya tajam sebelum berkata, "Semua keputusan semua wewenang Tuan Darren. Ia pasti akan meninjau kembali setiap laporan dan mengambil keputusan terbaik. Saat ini kita hanya diminta untuk memberikan laporan"
Baron menyipitkan mata. "Tapi waktu kita tidak banyak. Sedikit saja terlambat masa depan perusahaan ini yang menjadi taruhan. Kalau boleh jujur, aku sedikit ragu apa Tuan Darren mampu mengambil keputusan sepenting ini?"
Kalimat itu menusuk seperti pisau. Darren merasakan panas di dadanya, namun tetap menjaga sikap. Ia ingin melihat sejauh mana keraguan Baron terhadap dirinya.
Vina menoleh dengan tenang ke arah Baron, tetapi suaranya penuh peringatan. "Saya sarankan Anda menjaga kata-kata Anda. Tuan Darren mungkin muda, tapi kecerdasannya tidak diragukan. Dan kita semua tahu posisinya tidak bisa dipertanyakan."
“Tapi…,” Baron hendak menyela, namun segera dipotong oleh ucapan Vina yang tajam.
“Saya ingatkan anda, meski anda direktur salah satu perusahaan cabang, anda bukan pemilik perusahan ini. Kalau memang tuan Darren menghendaki perubahan, semua akan menjadi wewenang beliau. Bahkan merubah posisi anda saat ini pun merupakan kewenangannya.”
Di tempatnya, Darren terus mengamati keadaan. Ia mulai memahami keadaan. “Baron ini merupakan salah satu kepercayaan ayah, tapi ia terlihat lebih ingin mendominasi. Sepertinya orang ini harus mendapatkan perhatian khusus, dan sepertinya selama ini banyak kebijakan perusahaan diambil olehnya,” gumamnya dalam hati.
Baron diam, namun wajahnya menunjukkan perlawanan yang masih membara. Sesaat semua menjadi tegang. Pandangan Vina menekan tertuju ke arah Baron. Sementara Baron sendiri tak sedikitpun mengedipkan matanya. Seolah-olah tatapan matanya menantang perempuan di depannya.
Sebuah Apartemen sederhana berdiri kokoh di sudut ibukota. Sebuah tempat yang dipilih Darren untuk menjadi tempat tinggalnya sementara. Memang sudah satu pekan lebih ia kembali ke tanah air, dari negara tempat ia menempuh pendidikan S3 nya. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk kembali ke rumah. Rumah yang membersamainya tumbuh dikala masih anak-anak dulu.Sebuah insiden pernah terjadi ketika ia masih berusia sebelas tahun. Darren kehilangan kakak perempuannya. Sang kakak tewas jatuh dari tingkat tiga rumahnya akibat sebuah kecelakaan. Dan semua orang menyalahkan Darren, sementara yang ia tahu itu adalah kecerobohan ibunya.Nada dering panggilan telepon berbunyi dari Handphone milik Darren. Ia tidak langsung memeriksanya, hanya melihat siapa nama pemanggil. Layar Handphone nya menunjukkan panggilan itu dari kontak yang diberikan nama ‘Ibu’.Dua panggilan berlalu begitu saja. Ia memang sengaja mengabaikannya. Sampai akhirnya notifikasi lain masuk, yang membuat perhatiannya sedikit
Darren menunggu dengan tenang di pos keamanan, memperhatikan Baron yang baru saja melangkah masuk ke kantor dengan percaya diri. Arogan, seperti biasanya, pikirnya. Senyum tipis melintas di wajah Darren saat melihat Baron, yang sama sekali tidak menyadari bahwa gerak-geriknya sudah dipantau. Darren menunggu beberapa detik hingga Baron benar-benar masuk ke ruangannya dan memastikan tak ada karyawan lain yang berkeliaran di sekitar.Setelah suasana cukup sepi, Darren bergerak. Ia merogoh sakunya, mengambil telepon genggam. Jari-jarinya menari cepat di layar, lalu menghentikan pilihannya pada sebuah kontak yang tertulis ‘Spy Eye’. beberapa saat kemudian, sambungan tersambung."Es Ei," suara Darren terdengar rendah, tapi tegas. "Aku ingin kau pantau apa yang dilakukan Baron di kantor ini lewat CCTV. Aku juga sudah memasang beberapa mini spy cam di lokasi-lokasi penting. Semua sudah terkoneksi pada akun yang aku berikan."Telepon di tangan Darren hening sesaat, hanya suara napas tenang di
Darren merasa denyut jantungnya meningkat saat mendengar jawaban Bu Vina. “Ke rekening Ayahku?” tanyanya, memastikan. Bu Vina mengangguk menanggapi. “Aku rasa itu tidak mungkin. Semua rekening ayah sudah dipindahnamakan kepadaku. Segala sesuatu berkenaan dengan perusahaan saat ini semuanya dialihkan padaku.”Bu Vina menatap Darren dengan penuh kebingungan. “Tapi laporan keuangan menunjukkan aliran dana yang menuju ke rekening ayahmu. Laba perusahaan dibagi menjadi dua, enam puluh persen dan empat puluh persen. Keduanya rekening atas nama Tuan Harison.”Darren merasakan kegelisahan. “Jika semua sudah dialihkan kepadaku, bagaimana mungkin dana itu masih mengalir ke rekening Ayah? Ada sesuatu yang tidak beres di sini, Bu Vina. Itu artinya pendapatan bersih perusahaan bukan hanya mengalir kepadaku, tapi juga ke rekening itu.”Di luar, petir menggelegar dan hujan mulai turun deras, suara gemuruhnya seolah mencerminkan ketegangan yang menyelimuti mereka. Suasana di dalam restoran menjadi se
Suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation yang biasanya sibuk dan dinamis berubah menjadi tegang ketika sebuah mobil polisi terparkir di halaman. Karyawan-karyawan yang sedang menikmati istirahat siang mereka segera berhenti, menatap ke arah mobil dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang tidak nyaman.Pak Leo, Kepala Manajer perusahaan yang terkenal perfeksionis, kini terlihat berantakan. Ia berdiri di depan pintu masuk kantor dengan tangan terborgol, wajahnya menunjukkan kombinasi antara ketidakpercayaan dan kemarahan. Seorang polisi muda, dengan nada tegas, berusaha menjelaskan situasi kepada Leo.“Pak Leo, kami memiliki bukti yang cukup kuat mengenai dugaan penggelapan dana perusahaan yang Anda lakukan. Kami perlu membawa Anda untuk proses lebih lanjut,” ucap polisi itu, sambil menatap langsung ke arah Leo. Ia juga menunjukkan surat penangkapan resmi kepolisian untuk Leo.“Tunggu sebentar! Ini s