Seorang pemuda berwajah tampan melangkah tenang memasuki halaman kantor megah yang bertuliskan "Anugerah Langit Corporation." Dengan seragam satpam yang tampak biasa saja, tak ada yang istimewa kecuali wajah tampannya. Wajahnya yang bersih dan terawat tampak tak selaras dengan seragam satpam yang ia kenakan. Di atas saku seragamnya tertera nama "Kemal Halim." Namun, tidak ada yang tahu, di balik penampilan sederhana itu, tersembunyi sosok yang sangat penting yang bisa mengguncang perusahaan ini dari dalam.
Begitu sampai, ia menyadari betapa cepatnya para karyawan berdatangan ke kantor tersebut. Mereka sibuk berjalan tanpa meliriknya sedikit pun, seolah kehadirannya tidak berarti. Beberapa dari mereka bahkan melemparkan komentar sinis ketika melintas di dekatnya.
“Satpam baru, ya? Wajahnya lumayan. Tapi aku ragu apa dia mampu bertahan, atau sama saja seperti satpam-satpam sebelumnya,” salah seorang karyawan berkata dengan nada mengejek, diikuti tawa kecil dari rekannya.
Nama aslinya Darren Harison, anak orang terkaya di negaranya. Ia diminta untuk mengambil alih semua bisnis keluarga karena sang ayah sedang sakit keras.
Darren menahan napas sejenak, membiarkan ucapan itu berlalu. Amarahnya menggelitik di dalam dada, tapi ia memilih untuk menahan diri. Meski bisa saja ia membalas, Darren tahu bahwa penyamarannya sebagai satpam harus tetap terjaga jauh lebih penting. Belum saatnya dia menunjukkan diri siapa sebenarnya. Seorang pewaris tunggal perusahaan terbesar di negeri ini.
Ia diam dan terus menjalankan tugasnya. Namun, setiap langkah karyawannya menjadi pengingat betapa banyak yang perlu diubah di perusahaan ini. Baginya, hari itu hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk mengetahui kenyataan yang tersembunyi di balik dinding megah Anugerah Langit Corporation.
Setelah menghabiskan hari pertama yang melelahkan, Darren kembali ke apartemen kecil yang ia sewa. Duduk di atas ranjang, tubuhnya terasa letih bukan hanya karena pekerjaan fisik yang tidak sesuai dengan jobdesknya, tetapi lebih karena tertekan. Perusahaan yang kelihatannya kokoh dari luar, ternyata dipenuhi keangkuhan, antipati, sikap sinis, dan masalah-masalah internal yang tidak kelihatan di permukaan.
Keesokan paginya, Darren berdiri di depan cermin di apartemennya. Seragam satpam itu sekarang sudah terasa akrab di tubuhnya. Rambutnya sengaja ia biarkan sedikit berantakan, berbeda jauh dari penampilan rapi dan formal yang biasanya ia kenakan. Dia menatap cermin dalam-dalam, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa penyamaran ini adalah langkah yang tepat.
Sebelum berangkat, Darren menghubungi Vina, wanita yang paling dipercaya keluarganya untuk mengurus perusahaan.
"Bu Vina, hari ini rapat direksi, kan?" tanya Darren melalui telepon.
"Iya, Mas Darren. Semua sudah siap. Bagaimana? Apakah anda bisa menghadirinya?" tanya Vina dengan nada hati-hati.
Darren menghela napas. “Aku belum ingin memperkenalkan diriku sekarang. Aku punya rencana sendiri untuk perusahaan. Sementara waktu biarkan aku menyamar. Aku ingin melihat langsung bagaimana para direksi dan manajer ini bekerja tanpa tahu bahwa aku mengawasi mereka. Atur supaya aku bisa berada di sana sebagai satpam tanpa menarik perhatian.”
"Baik, Mas Darren. Serahkan padaku."
Pukul sembilan pagi, para pejabat tinggi perusahaan mulai berdatangan. Suasana kantor tampak berubah drastis. Para karyawan tampak lebih serius dan sibuk, memastikan semua berjalan lancar menjelang rapat penting tersebut. Darren berdiri di sudut ruangan, mengawasi dari kejauhan, memantau setiap gerakan dengan tatapan tajam namun tak mencolok.
Di ruang rapat, suasana semakin tegang. Meja panjang dari kayu mahoni dipenuhi oleh para direktur dan manajer, masing-masing mengenakan pakaian formal terbaik mereka. Kursi di ujung meja tetap kosong, kursi yang seharusnya ditempati oleh Darren sebagai pewaris perusahaan. Namun, Darren berdiri beberapa meter dari meja, berpura-pura menjadi petugas keamanan.
Tak lama kemudian, Vina memasuki ruangan dengan penuh wibawa. Langkahnya mantap, setiap orang berdiri menghormati kedatangannya. Wajahnya menunjukkan keyakinan yang teguh, kualitas yang membuatnya sangat dihormati di perusahaan.
"Silakan duduk," katanya singkat namun tegas.
Semua orang segera duduk dengan tertib, tak satupun yang berani melawan otoritas Vina. Ia mengambil tempat di dekat kursi kosong yang dikhususkan untuk Darren. Beberapa wajah di ruangan menunjukkan kekecewaan, terutama mereka yang berharap bertemu langsung dengan pewaris perusahaan.
"Saya mewakili Tuan Darren dalam pertemuan ini," kata Vina, memecah keheningan yang menguasai ruangan. "Beliau sedang menangani urusan penting, dan semua keputusan yang diambil dalam rapat ini telah disetujui olehnya."
Rapat dimulai. Satu per satu laporan keuangan, performa proyek, hingga kondisi perusahaan dibahas secara rinci. Vina mendengarkan dengan seksama, memberikan tanggapan yang tegas sesuai arahan Darren. Sementara itu, Darren berdiri diam, mencerna setiap kata, setiap isyarat, mencoba mengidentifikasi siapa saja yang benar-benar peduli pada perusahaan dan siapa yang hanya peduli pada kepentingan pribadi mereka.
Namun, ketenangan rapat itu berubah ketika Baron, salah satu direktur cabang yang berkuasa, angkat bicara.
"Bu Vina," kata Baron dengan nada yang nyaris menantang. "Perusahaan ini sedang dalam krisis. Kita kekurangan dana, proyek-proyek banyak yang tertunda. Saya pikir sudah waktunya kita melakukan perubahan rencana anggaran dan mengganti beberapa pejabat perusahaan yang tidak kompeten, yang membuat perusahaan ini bermasalah."
Suasana ruangan berubah tegang. Darren memperhatikan dengan cermat, merasakan bahwa ada lebih banyak hal yang tak terkatakan dalam pernyataan Baron.
Vina menatapnya tajam sebelum berkata, "Semua keputusan semua wewenang Tuan Darren. Ia pasti akan meninjau kembali setiap laporan dan mengambil keputusan terbaik. Saat ini kita hanya diminta untuk memberikan laporan"
Baron menyipitkan mata. "Tapi waktu kita tidak banyak. Sedikit saja terlambat masa depan perusahaan ini yang menjadi taruhan. Kalau boleh jujur, aku sedikit ragu apa Tuan Darren mampu mengambil keputusan sepenting ini?"
Kalimat itu menusuk seperti pisau. Darren merasakan panas di dadanya, namun tetap menjaga sikap. Ia ingin melihat sejauh mana keraguan Baron terhadap dirinya.
Vina menoleh dengan tenang ke arah Baron, tetapi suaranya penuh peringatan. "Saya sarankan Anda menjaga kata-kata Anda. Tuan Darren mungkin muda, tapi kecerdasannya tidak diragukan. Dan kita semua tahu posisinya tidak bisa dipertanyakan."
“Tapi…,” Baron hendak menyela, namun segera dipotong oleh ucapan Vina yang tajam.
“Saya ingatkan anda, meski anda direktur salah satu perusahaan cabang, anda bukan pemilik perusahan ini. Kalau memang tuan Darren menghendaki perubahan, semua akan menjadi wewenang beliau. Bahkan merubah posisi anda saat ini pun merupakan kewenangannya.”
Di tempatnya, Darren terus mengamati keadaan. Ia mulai memahami keadaan. “Baron ini merupakan salah satu kepercayaan ayah, tapi ia terlihat lebih ingin mendominasi. Sepertinya orang ini harus mendapatkan perhatian khusus, dan sepertinya selama ini banyak kebijakan perusahaan diambil olehnya,” gumamnya dalam hati.
Baron diam, namun wajahnya menunjukkan perlawanan yang masih membara. Sesaat semua menjadi tegang. Pandangan Vina menekan tertuju ke arah Baron. Sementara Baron sendiri tak sedikitpun mengedipkan matanya. Seolah-olah tatapan matanya menantang perempuan di depannya.
Sebuah Apartemen sederhana berdiri kokoh di sudut ibukota. Sebuah tempat yang dipilih Darren untuk menjadi tempat tinggalnya sementara. Memang sudah satu pekan lebih ia kembali ke tanah air, dari negara tempat ia menempuh pendidikan S3 nya. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk kembali ke rumah. Rumah yang membersamainya tumbuh dikala masih anak-anak dulu.Sebuah insiden pernah terjadi ketika ia masih berusia sebelas tahun. Darren kehilangan kakak perempuannya. Sang kakak tewas jatuh dari tingkat tiga rumahnya akibat sebuah kecelakaan. Dan semua orang menyalahkan Darren, sementara yang ia tahu itu adalah kecerobohan ibunya.Nada dering panggilan telepon berbunyi dari Handphone milik Darren. Ia tidak langsung memeriksanya, hanya melihat siapa nama pemanggil. Layar Handphone nya menunjukkan panggilan itu dari kontak yang diberikan nama ‘Ibu’.Dua panggilan berlalu begitu saja. Ia memang sengaja mengabaikannya. Sampai akhirnya notifikasi lain masuk, yang membuat perhatiannya sedikit
Darren menunggu dengan tenang di pos keamanan, memperhatikan Baron yang baru saja melangkah masuk ke kantor dengan percaya diri. Arogan, seperti biasanya, pikirnya. Senyum tipis melintas di wajah Darren saat melihat Baron, yang sama sekali tidak menyadari bahwa gerak-geriknya sudah dipantau. Darren menunggu beberapa detik hingga Baron benar-benar masuk ke ruangannya dan memastikan tak ada karyawan lain yang berkeliaran di sekitar.Setelah suasana cukup sepi, Darren bergerak. Ia merogoh sakunya, mengambil telepon genggam. Jari-jarinya menari cepat di layar, lalu menghentikan pilihannya pada sebuah kontak yang tertulis ‘Spy Eye’. beberapa saat kemudian, sambungan tersambung."Es Ei," suara Darren terdengar rendah, tapi tegas. "Aku ingin kau pantau apa yang dilakukan Baron di kantor ini lewat CCTV. Aku juga sudah memasang beberapa mini spy cam di lokasi-lokasi penting. Semua sudah terkoneksi pada akun yang aku berikan."Telepon di tangan Darren hening sesaat, hanya suara napas tenang di
Darren merasa denyut jantungnya meningkat saat mendengar jawaban Bu Vina. “Ke rekening Ayahku?” tanyanya, memastikan. Bu Vina mengangguk menanggapi. “Aku rasa itu tidak mungkin. Semua rekening ayah sudah dipindahnamakan kepadaku. Segala sesuatu berkenaan dengan perusahaan saat ini semuanya dialihkan padaku.”Bu Vina menatap Darren dengan penuh kebingungan. “Tapi laporan keuangan menunjukkan aliran dana yang menuju ke rekening ayahmu. Laba perusahaan dibagi menjadi dua, enam puluh persen dan empat puluh persen. Keduanya rekening atas nama Tuan Harison.”Darren merasakan kegelisahan. “Jika semua sudah dialihkan kepadaku, bagaimana mungkin dana itu masih mengalir ke rekening Ayah? Ada sesuatu yang tidak beres di sini, Bu Vina. Itu artinya pendapatan bersih perusahaan bukan hanya mengalir kepadaku, tapi juga ke rekening itu.”Di luar, petir menggelegar dan hujan mulai turun deras, suara gemuruhnya seolah mencerminkan ketegangan yang menyelimuti mereka. Suasana di dalam restoran menjadi se
Suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation yang biasanya sibuk dan dinamis berubah menjadi tegang ketika sebuah mobil polisi terparkir di halaman. Karyawan-karyawan yang sedang menikmati istirahat siang mereka segera berhenti, menatap ke arah mobil dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang tidak nyaman.Pak Leo, Kepala Manajer perusahaan yang terkenal perfeksionis, kini terlihat berantakan. Ia berdiri di depan pintu masuk kantor dengan tangan terborgol, wajahnya menunjukkan kombinasi antara ketidakpercayaan dan kemarahan. Seorang polisi muda, dengan nada tegas, berusaha menjelaskan situasi kepada Leo.“Pak Leo, kami memiliki bukti yang cukup kuat mengenai dugaan penggelapan dana perusahaan yang Anda lakukan. Kami perlu membawa Anda untuk proses lebih lanjut,” ucap polisi itu, sambil menatap langsung ke arah Leo. Ia juga menunjukkan surat penangkapan resmi kepolisian untuk Leo.“Tunggu sebentar! Ini s
Pagi itu, matahari baru saja merangkak naik, tapi emosi Darren sudah dibuat menyala seperti api. Ponselnya berdering, dan di layar muncul nama Vina.“Mas Darren, ada yang ingin aku sampaikan. Mulai hari ini, Nadine resmi bekerja di kantor pusat sebagai Kepala Manajer,” suara Vina terdengar lembut, dan penuh kehati-hatian.Darren terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada menahan marah.“Siapa yang membuat keputusan itu? Baron?!”Vina menarik nafas dalam, seakan sudah siap menerima luapan marah Darren. “Bukan, ini permintaan dari ibumu sendiri. Dan, kabarnya sudah mendapatkan persetujuan dari Tuan Harison.”Kemarahan Darren tak bisa dibendung lagi. Wajahnya memerah, dan otot-otot di rahangnya menegang.“Hmmmm… Vina, bukankah semua urusan dan kewenangan perusahaan sekarang sudah sepenuhnya di tanganku? Bagaimana bisa keputusan sepenting ini diambil tanpa sepengetahuanku?”Di ujung telepon, Vina hanya bisa mendengarkan. Ia tahu Darren bukan sekadar kesal—ia merasa dikhianati.“Dengar, Vin
"Periksa setiap transaksi keluar masuk di rekening Leo. Apa pun yang mencurigakan, aku ingin laporan langsung.” "Semua data lengkap transaksi keluar dan masuk rekening Leo sudah kami serahkan kepada pengacara. Saat ini kepolisian sudah menindaklanjuti bukti-bukti yang diberikan.”"Bagus, Kerjakan cepat dan profesional, tidak salah aku memilih kalian untuk menjadi pasukan khusus membantuku. Sebelum polisi bergerak, aku ingin sudah tahu siapa saja yang bermain di belakang Leo.”Darren mengakhiri panggilannya dan memandang keluar jendela kaca. Langit mendung seakan mencerminkan suasana hatinya penuh waspada dan dingin.Keesokan harinya, suasana kantor pusat perusahaan Anugerah Langit Corporation terasa lebih hening daripada biasanya. Karyawan duduk di kubikel masing-masing, menunduk sambil mengetik, seakan takut suara keyboard mereka terdengar terlalu keras. Kabar tentang kematian Leo masih menghantui banyak orang, dan tanpa disadari, rasa curiga mulai menjalar di antara mereka. Beberap
Pagi itu, suasana di kantor pusat Anugerah Langit Corporation berubah drastis. Para karyawan berkumpul di lobi utama, berbisik-bisik. Isu tentang perombakan besar-besaran telah tersebar sejak beberapa hari sebelumnya, tapi tidak ada yang menyangka semuanya akan terjadi begitu cepat. Kehadiran Vina, yang dianggap wanita ambisius dengan reputasi tak terbantahkan, dan Darren yang dikenal sebagai Kemal sosok seorang satpam baru yang tiba-tiba menduduki posisi strategis, membuat kantor pusat bak sarang lebah yang diguncang.Di depan para karyawan yang berkumpul, Vina berdiri anggun dengan jas formalnya. Di tangannya ada amplop besar dengan logo perusahaan dan tanda tangan pemilik di bagian segel. Ia melangkah dengan percaya diri ke arah podium lobi, mengamati kerumunan karyawan.“Selamat pagi, semuanya. Saya di sini membawa kabar penting,” ujar Vina dengan suara tegas namun halus. “Mulai hari ini, akan ada beberapa perubahan signifikan di perusahaan ini."Tatapan Vina berkeliling, mengunc
Suara mobil Nadine terdengar memasuki halaman mansion mewah keluarga Baron. Udara dingin malam itu terasa semakin berat di bahunya. Ia melangkah cepat melewati pintu utama dengan wajah tegang, memikirkan perubahan mendadak di kantor pusat Anugerah Langit Corporation.Di ruang tamu, Baron pria paruh baya dengan wajah keras dan mata mencorong tajam sedang menikmati secangkir coffee. Ia duduk di kursi kulit berwarna hitam, dikelilingi dekorasi elegan yang menunjukkan kekuasaan dan kekayaannya. Namun, begitu Nadine masuk dengan langkah berat, suasana nyaman itu sirna.“Mengapa wajahmu kusut seperti itu? Ada apa nak?” tanya Baron tanpa basa-basi, suaranya dalam dan dingin.Nadine duduk di hadapan ayahnya, berusaha menahan kegelisahannya. "Semua sudah berubah, Ayah," ujarnya pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk suasana. "Vina... dia diangkat menjadi Direktur Utama. Aku hanya dijadikan wakil. Dan yang lebih gila, Kemal… satpam itu diangkat jadi Kepala Manajer SDM."Baron yang awalnya duduk
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba
Darren mengikuti langkah polisi menuju ruang interogasi. Sesekali, ia melirik Silvia yang berjalan di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tampak tulus. Namun, di dalam hatinya, Darren merasa ada sesuatu yang salah. Jika Silvia benar-benar terkejut dengan tuduhan ini, maka siapa yang sebenarnya berada di balik rencana pembunuhan terhadap ayahnya? Apakah Sofia benar-benar satu-satunya pelaku, ataukah ini lebih rumit dari dugaan awalnya?Sesampainya di ruang interogasi, polisi meminta Darren dan Silvia untuk duduk. Ruangan itu dingin dan steril, hanya dihiasi meja dan dua kursi di tiap sisi. Salah satu polisi membuka catatan di tangannya dan memulai pertanyaan.“Tuan Darren, dapatkah Anda menjelaskan jadwal Anda selama beberapa hari terakhir?” tanyanya dengan nada resmi.Darren menjawab dengan tenang, memberikan alibi yang sudah disiapkan. “Saya berada di Luar Negeri. Baru kali ini pulang, karena mendapat kabar keadaan ayah. Malamnya, saya langsung menuju rumah sakit untuk
Malam semakin larut, tetapi ketegangan di markas kecil tim Spy Eye tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Darren duduk dengan ekspresi serius di meja kerja, dikelilingi layar yang menampilkan data-data terbaru dari penyelidikan. Di seberangnya, Spy Eye berdiri dengan sikap ragu, seperti seseorang yang harus menyampaikan kabar buruk.“Maaf bos, ketegangan ini membuatku lupa menyampaikan informasi penting lainnya!” ucap Spy Eye“Apa maksudmu ada informasi penting yang belum kau sampaikan?” Darren menatap lurus ke arah mata Spy Eye, nada suaranya tegas.Spy Eye menarik napas panjang sebelum berbicara. “Maaf, Boss. Kami baru saja memeriksa ulang data latar belakang Ibu Anda. Silvia Harrison, atau Silvia Bara, adalah putri sekaligus pewaris keluarga Bara. Semasa mudanya, beliau pernah menjadi CEO dari perusahaan ayahnya. Perusahaan itu kemudian di-merger dengan perusahaan keluarga Harrison, hingga terbentuklah grup Anugerah Langit Corporation.”Darren mendengus pelan. “Itu bukan hal baru ba
Setelah pertemuan itu, Darren kembali ke ruang tunggu, memastikan ibunya tidak mencurigai apa pun. Saat ia tiba, Silvia tampak sedang berbicara dengan salah satu dokter, tetapi ekspresinya tetap tenang ketika melihat Darren mendekat.“Ada kabar baru?” tanya Silvia.“Tidak ada yang penting, Bu. Hanya beberapa hal administratif,” jawab Darren sambil duduk di sebelahnya.Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di tempat lain di rumah sakit, tim Spy Eye sudah mulai bergerak. Seorang ahli kedokteran yang mereka kirim, Dr. Elaine, seorang dokter forensik dengan pengalaman luas, memasuki rumah sakit dengan identitas yang dirahasiakan.Dr Elaine mulai memeriksa Tuan Harrison. Dari pemeriksaan Darah, air liur, hingga yang lainnya yang diperlukan sudah diperiksa. Beberapa saat kemudian ia pun selesai melakukan pemeriksaan. Ia meminta Spy Eye mengajak Darren bertemu di luar.Sesaat kemudian, Spy Eye langsung menghubungi Darren. Ia menyampaikan keinginan dokter Elaine untuk bertemu. "Ba
Darren menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku hanya memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk ayah,” jawabnya singkat.Namun, Silvia tidak puas dengan jawaban itu. “Darren, aku ibumu. Aku tahu ada sesuatu yang tidak kau katakan. Kau tidak pernah datang ke sini hanya untuk formalitas. Apa yang kau ketahui?”Darren tetap diam, berusaha menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa pun. Ia tahu bahwa siapapun bisa menjadi pelaku, termasuk ibunya sendiri. Namun, tatapan Silvia yang penuh selidik membuat Darren semakin sulit menyembunyikan kegelisahannya.“Darren, jika ada sesuatu yang mengancam ayahmu atau keluarga ini, aku harus tahu,” tekan Silvia lagi.Sebelum Darren sempat menjawab, telepon di saku jasnya bergetar. Ia mengangkat telepon itu dengan gerakan cepat.“Boss, kami sudah tiba di rumah sakit. Tim sedang memulai penyelidikan. Ada beberapa staf yang gerak-geriknya mencurigakan, terutama di sekitar ruang ICU. Kami aka
Darren meraih telepon genggamnya dengan tangan gemetar, rasa cemas yang mendera hatinya seolah menekan paru-parunya. Ia menjawab panggilan itu dengan suara datar namun penuh ketegangan.“Apa ini benar Pak Darren?” suara seorang pria di ujung telepon terdengar tenang, namun jelas berwibawa.“Iya, ini saya. Siapa ini?” jawab Darren dengan singkat.“Saya Dokter Richard dari Rumah Sakit Harapan Bangsa. Kami memerlukan Anda segera ke sini. Tuan Harison, ayah Anda, dalam kondisi kritis. Kami membutuhkan persetujuan Anda untuk tindakan medis khusus yang harus dilakukan segera,” jelas dokter tersebut.Darren terdiam sejenak, matanya menatap ke arah dinding ruangan gelap di sekitarnya. Ia tak langsung menjawab, pikirannya berkecamuk. Selama ini ia berusaha menjauh dari keluarganya, menyembunyikan identitasnya sebagai pewaris keluarga Harison. Namun, kondisi ayahnya membuatnya tidak punya pilihan lain.“Baik, saya akan segera ke sana,” sahut Darren akhirnya.Setelah menutup telepon, ia menarik