Share

Bab 5. Bayang-bayang pengkhianatan

Suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation yang biasanya sibuk dan dinamis berubah menjadi tegang ketika sebuah mobil polisi terparkir di halaman. Karyawan-karyawan yang sedang menikmati istirahat siang mereka segera berhenti, menatap ke arah mobil dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang tidak nyaman.

Pak Leo, Kepala Manajer perusahaan yang terkenal perfeksionis, kini terlihat berantakan. Ia berdiri di depan pintu masuk kantor dengan tangan terborgol, wajahnya menunjukkan kombinasi antara ketidakpercayaan dan kemarahan. Seorang polisi muda, dengan nada tegas, berusaha menjelaskan situasi kepada Leo.

“Pak Leo, kami memiliki bukti yang cukup kuat mengenai dugaan penggelapan dana perusahaan yang Anda lakukan. Kami perlu membawa Anda untuk proses lebih lanjut,” ucap polisi itu, sambil menatap langsung ke arah Leo. Ia juga menunjukkan surat penangkapan resmi kepolisian untuk Leo.

“Tunggu sebentar! Ini semua tidak benar! Saya sudah bekerja di sini selama bertahun-tahun. Anda tidak bisa hanya menangkap saya begitu saja tanpa bukti yang jelas! Saya minta pengacara saya untuk penangguhan penahanan,” Leo berusaha menolak, suaranya meninggi.

“Maaf, Pak. Kami telah menerima laporan resmi dari pemilik perusahaan. Kami tidak bisa menangguhkan penahanan sekarang tanpa investigasi lebih lanjut. Anda bisa mengajukan setelah nanti di kantor,” kata polisi itu, tetap tegas.

Dengan terpaksa, Leo membiarkan dirinya dibawa pergi. Saat dia melewati lobi kantor, karyawan-karyawan yang menyaksikan hanya bisa berbisik, terkejut dengan situasi yang sedang terjadi.

“Ini gila, kan? Pak Leo ditangkap?” tanya salah satu karyawan, Rina, kepada rekan kerjanya, Andi.

“Siapa sangka Tuan Darren akan bertindak cepat seperti itu. Selama ini tidak ada yang berani menyentuh Leo. Ia sangat berkuasa di sini,” jawab Andi, matanya melotot penuh ketidakpercayaan.

“Kalau aku jadi Leo, pasti aku akan melawan! Dia seharusnya tidak membiarkan mereka menangkapnya begitu saja,” Rina menambahkan.

“Ya, tapi laporan ini langsung dari pemilik perusahaan. Dengar-dengar, Darren punya bukti kuat, dan aku yakin banyak yang terlibat. Setelah Leo, entah siapa lagi yang akan menyusul,” kata Andi.

Ketegangan mulai mereda, walau masih menyisakan tanda tanya. Semua orang tidak bisa berhenti memikirkan konsekuensi dari peristiwa tersebut. Mereka khawatir terkena imbas dari kejadian ini. Terutama yang bekerja di ruangan Leo. Kekhawatiran itu sangat kuat karena mereka merupakan bawahan langsung sang Kepala Manajer.

Di Pos penjagaan, nampak Darren terus mengawasi keadaan. Sesekali ia melihat ke kaca yang tembus pandang kebagian luar, sesekali ia melihat layar di Handphonenya. Ia juga memantau keadaan melalui CCTV yang ia pasang secara sembunyi. 

“Sepertinya anak buah Leo beberapa orang terlibat. Mereka kelihatan gelisah!” gumam Darren mengawasi layar Handphonenya.

Beberapa saat kemudian sebuah notifikasi pesan masuk. Pesan itu berasal dari Keisha. “Kak Kemal, aku takut Pak Leo mengetahui keterlibatanku membongkar semua ini,” bunyi pesan itu.

Darren mengetikkan beberapa kalimat membalas pesan. Ia meminta Keisha tidak usah khawatir. Karena tidak akan ada yang tahu ia yang melakukannya. Apalagi semua atas perintah pemilik perusahaan sendiri.

Memang beberapa hari yang lalu Darren yang menyamar sebagai Kemal meminta Keisha menginstal sebuah software di komputernya. Kebetulan sekali Keisha bekerja di departemen keuangan dan komputer Keisha terhubung ke semua komputer di departemen itu. Dengan software itu orang suruhan Darren berhasil menyusup dan memeriksa data keuangan perusahaan sebenarnya yang hanya diketahui orang-orang tertentu itu saja.

***

“Nak, kapan kau pulang ke rumah? Apa kau tidak rindu ayahmu? Ia terus menanyakan kabarmu. Oh iya nak, Pak Baron hendak berkunjung menjenguk ayahmu. Ia juga ingin bertemu denganmu dan memperkenalkan anaknya!”

“Iya bu, nanti aku kabari. Sekarang Darren sedang berkunjung ke beberapa perusahaan cabang milik keluarga kita. Ada beberapa hal yang harus aku benahi!”

Setelah berbincang-bincang mengenai keadaanya, Darren menyudahi pembicaraan telepon ibunya itu. Pemuda itu sedikit gelisah dikarenakan ucapan orang tuanya tentang Baron. Dalam kebingungannya, Darren memejamkan mata. Di kasur apartemen sederhana yang ia sewa, pemuda itu berbaring sambil memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan.

“Aku tidak boleh bertemu dengannya. Kalau dia tahu siapa aku, semua rencanaku hancur," gumamnya sambil menatap langit-langit apartemennya.

Keesokan malamnya, Barron dan Nadine putrinya mengunjungi kediaman Tuan Harison, ayah Darren. Ia menjenguk ayah Darren yang hanya bisa berbaring di kamarnya. Lelaki berusia 50 tahunan itu pun hanya bisa berbicara dengan menggunakan isyarat tubuh. Stroke yang ia alami, membuat sebagian wajahnya tidak bisa digerakkan.

Kediaman Tuan Harison terasa suram, meski lampu-lampu di ruang tamu menyala terang. Baron duduk di kursi yang berseberangan dengan ranjang, menatap Tuan Harison dengan senyuman sinis. Di sebelahnya, Nyonya Harison berdiri dengan senyuman penuh arti, memperhatikan interaksi mereka berdua.

“Bagaimana kabar anda, Tuan Harison?” Baron memulai, suaranya penuh kepalsuan. “Semoga Anda tidak terlalu menderita dengan kondisi ini.”

Tuan Harison mengerutkan dahi, matanya menyipit ketika mendengar nada sarkas dalam ucapan Baron. Dengan gerakan lambat, ia menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan ketidaksetujuan.

Baron melanjutkan, “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan rencana kita dulu? Kesepakatan kita untuk menjodohkan Nadine dengan Darren. Bukankah itu perjanjian yang harus kita penuhi? Aku yakin ini bisa membawa keuntungan besar bagi kita semua.”

Wajah Tuan Harison berubah tegang. Dengan sekuat tenaga, ia mengeluarkan suara “ah uh ah uh,” mengekspresikan kemarahannya meski tak bisa berbicara. Baron hanya tersenyum sinis, menikmati keadaan itu.

“Bagaimana, sayangku?” Baron melirik Nyonya Harison, yang menunjukkan senyum genitnya kepada Baron. 

“Ternyata suamimu ini keras kepala. Aku akui Ia cukup pintar untuk menghadirkan Darren dan membuat rencanaku hampir gagal.”

Tuan Harison merasakan denyut kemarahan di dadanya. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata terjebak di tenggorokannya. Ekspresi wajahnya semakin menunjukkan rasa marah dan cemas.

Baron mengabaikan ekspresi Tuan Harison, mengangkat suara sedikit lebih tinggi, Ia menghampiri ayah Darren itu. Baron menekan leher orang tua itu, setengah mencekiknya. “Kalau kau tidak menyetujui perjodohan ini, bukan hanya kau yang akan kuhabisi, anakmu pun akan kubuat mampus.”

Dengan tegas, Baron melepaskan cengkeramannya dari leher Tuan Harison. Namun, wajah Tuan Harison sudah hampir membiru, terlihat kesulitan bernapas. Ketika ia mengambil napas dalam-dalam, rasa cemas semakin membara di matanya.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan, Tuan Harison?” Baron melanjutkan, suaranya kini penuh ancaman. “Aku rasa kau sudah tahu pilihanmu. Ini bukan hanya tentangmu, ini tentang keselamatan keluargamu.”

Nyonya Harison, yang sejak awal diam, akhirnya turut berbicara. “Harison, bukankah kau tahu betapa kejamnya aku? Jangankan membuat anakmu menderita, menghabisi saudara kembarku sendiri saja sanggup aku lakukan untuk semua ambisiku,”

Raut wajah Nyonya Harison yang tadinya terlihat anggun kini terlihat beringas dan menyeramkan. Beberapa kali ia menendang kaki Tuan Harison yang memang tidak bisa digerakkan karena penyakit stroke nya itu. Tidak ada sedikitpun wajah kasihan terpancar dari perempuan 40 tahunan itu.

Baron tersenyum puas dengan apa yang dilakukan nyonya Harison. Ia kembali mendekat ke tuan Harison, “Dengar, aku bukan orang yang suka berbicara panjang lebar. Aku hanya ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Jika tidak, kau dan anakmu akan merasakan akibatnya.” ucapnya dengan nada menekan dan penuh ancaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status