Suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation yang biasanya sibuk dan dinamis berubah menjadi tegang ketika sebuah mobil polisi terparkir di halaman. Karyawan-karyawan yang sedang menikmati istirahat siang mereka segera berhenti, menatap ke arah mobil dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang tidak nyaman.
Pak Leo, Kepala Manajer perusahaan yang terkenal perfeksionis, kini terlihat berantakan. Ia berdiri di depan pintu masuk kantor dengan tangan terborgol, wajahnya menunjukkan kombinasi antara ketidakpercayaan dan kemarahan. Seorang polisi muda, dengan nada tegas, berusaha menjelaskan situasi kepada Leo.
“Pak Leo, kami memiliki bukti yang cukup kuat mengenai dugaan penggelapan dana perusahaan yang Anda lakukan. Kami perlu membawa Anda untuk proses lebih lanjut,” ucap polisi itu, sambil menatap langsung ke arah Leo. Ia juga menunjukkan surat penangkapan resmi kepolisian untuk Leo.
“Tunggu sebentar! Ini semua tidak benar! Saya sudah bekerja di sini selama bertahun-tahun. Anda tidak bisa hanya menangkap saya begitu saja tanpa bukti yang jelas! Saya minta pengacara saya untuk penangguhan penahanan,” Leo berusaha menolak, suaranya meninggi.
“Maaf, Pak. Kami telah menerima laporan resmi dari pemilik perusahaan. Kami tidak bisa menangguhkan penahanan sekarang tanpa investigasi lebih lanjut. Anda bisa mengajukan setelah nanti di kantor,” kata polisi itu, tetap tegas.
Dengan terpaksa, Leo membiarkan dirinya dibawa pergi. Saat dia melewati lobi kantor, karyawan-karyawan yang menyaksikan hanya bisa berbisik, terkejut dengan situasi yang sedang terjadi.
“Ini gila, kan? Pak Leo ditangkap?” tanya salah satu karyawan, Rina, kepada rekan kerjanya, Andi.
“Siapa sangka Tuan Darren akan bertindak cepat seperti itu. Selama ini tidak ada yang berani menyentuh Leo. Ia sangat berkuasa di sini,” jawab Andi, matanya melotot penuh ketidakpercayaan.
“Kalau aku jadi Leo, pasti aku akan melawan! Dia seharusnya tidak membiarkan mereka menangkapnya begitu saja,” Rina menambahkan.
“Ya, tapi laporan ini langsung dari pemilik perusahaan. Dengar-dengar, Darren punya bukti kuat, dan aku yakin banyak yang terlibat. Setelah Leo, entah siapa lagi yang akan menyusul,” kata Andi.
Ketegangan mulai mereda, walau masih menyisakan tanda tanya. Semua orang tidak bisa berhenti memikirkan konsekuensi dari peristiwa tersebut. Mereka khawatir terkena imbas dari kejadian ini. Terutama yang bekerja di ruangan Leo. Kekhawatiran itu sangat kuat karena mereka merupakan bawahan langsung sang Kepala Manajer.
Di Pos penjagaan, nampak Darren terus mengawasi keadaan. Sesekali ia melihat ke kaca yang tembus pandang kebagian luar, sesekali ia melihat layar di Handphonenya. Ia juga memantau keadaan melalui CCTV yang ia pasang secara sembunyi.
“Sepertinya anak buah Leo beberapa orang terlibat. Mereka kelihatan gelisah!” gumam Darren mengawasi layar Handphonenya.
Beberapa saat kemudian sebuah notifikasi pesan masuk. Pesan itu berasal dari Keisha. “Kak Kemal, aku takut Pak Leo mengetahui keterlibatanku membongkar semua ini,” bunyi pesan itu.
Darren mengetikkan beberapa kalimat membalas pesan. Ia meminta Keisha tidak usah khawatir. Karena tidak akan ada yang tahu ia yang melakukannya. Apalagi semua atas perintah pemilik perusahaan sendiri.
Memang beberapa hari yang lalu Darren yang menyamar sebagai Kemal meminta Keisha menginstal sebuah software di komputernya. Kebetulan sekali Keisha bekerja di departemen keuangan dan komputer Keisha terhubung ke semua komputer di departemen itu. Dengan software itu orang suruhan Darren berhasil menyusup dan memeriksa data keuangan perusahaan sebenarnya yang hanya diketahui orang-orang tertentu itu saja.
***
“Nak, kapan kau pulang ke rumah? Apa kau tidak rindu ayahmu? Ia terus menanyakan kabarmu. Oh iya nak, Pak Baron hendak berkunjung menjenguk ayahmu. Ia juga ingin bertemu denganmu dan memperkenalkan anaknya!”
“Iya bu, nanti aku kabari. Sekarang Darren sedang berkunjung ke beberapa perusahaan cabang milik keluarga kita. Ada beberapa hal yang harus aku benahi!”
Setelah berbincang-bincang mengenai keadaanya, Darren menyudahi pembicaraan telepon ibunya itu. Pemuda itu sedikit gelisah dikarenakan ucapan orang tuanya tentang Baron. Dalam kebingungannya, Darren memejamkan mata. Di kasur apartemen sederhana yang ia sewa, pemuda itu berbaring sambil memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan.
“Aku tidak boleh bertemu dengannya. Kalau dia tahu siapa aku, semua rencanaku hancur," gumamnya sambil menatap langit-langit apartemennya.
Keesokan malamnya, Barron dan Nadine putrinya mengunjungi kediaman Tuan Harison, ayah Darren. Ia menjenguk ayah Darren yang hanya bisa berbaring di kamarnya. Lelaki berusia 50 tahunan itu pun hanya bisa berbicara dengan menggunakan isyarat tubuh. Stroke yang ia alami, membuat sebagian wajahnya tidak bisa digerakkan.
Kediaman Tuan Harison terasa suram, meski lampu-lampu di ruang tamu menyala terang. Baron duduk di kursi yang berseberangan dengan ranjang, menatap Tuan Harison dengan senyuman sinis. Di sebelahnya, Nyonya Harison berdiri dengan senyuman penuh arti, memperhatikan interaksi mereka berdua.
“Bagaimana kabar anda, Tuan Harison?” Baron memulai, suaranya penuh kepalsuan. “Semoga Anda tidak terlalu menderita dengan kondisi ini.”
Tuan Harison mengerutkan dahi, matanya menyipit ketika mendengar nada sarkas dalam ucapan Baron. Dengan gerakan lambat, ia menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan ketidaksetujuan.
Baron melanjutkan, “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan rencana kita dulu? Kesepakatan kita untuk menjodohkan Nadine dengan Darren. Bukankah itu perjanjian yang harus kita penuhi? Aku yakin ini bisa membawa keuntungan besar bagi kita semua.”
Wajah Tuan Harison berubah tegang. Dengan sekuat tenaga, ia mengeluarkan suara “ah uh ah uh,” mengekspresikan kemarahannya meski tak bisa berbicara. Baron hanya tersenyum sinis, menikmati keadaan itu.
“Bagaimana, sayangku?” Baron melirik Nyonya Harison, yang menunjukkan senyum genitnya kepada Baron.
“Ternyata suamimu ini keras kepala. Aku akui Ia cukup pintar untuk menghadirkan Darren dan membuat rencanaku hampir gagal.”
Tuan Harison merasakan denyut kemarahan di dadanya. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata terjebak di tenggorokannya. Ekspresi wajahnya semakin menunjukkan rasa marah dan cemas.
Baron mengabaikan ekspresi Tuan Harison, mengangkat suara sedikit lebih tinggi, Ia menghampiri ayah Darren itu. Baron menekan leher orang tua itu, setengah mencekiknya. “Kalau kau tidak menyetujui perjodohan ini, bukan hanya kau yang akan kuhabisi, anakmu pun akan kubuat mampus.”
Dengan tegas, Baron melepaskan cengkeramannya dari leher Tuan Harison. Namun, wajah Tuan Harison sudah hampir membiru, terlihat kesulitan bernapas. Ketika ia mengambil napas dalam-dalam, rasa cemas semakin membara di matanya.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan, Tuan Harison?” Baron melanjutkan, suaranya kini penuh ancaman. “Aku rasa kau sudah tahu pilihanmu. Ini bukan hanya tentangmu, ini tentang keselamatan keluargamu.”
Nyonya Harison, yang sejak awal diam, akhirnya turut berbicara. “Harison, bukankah kau tahu betapa kejamnya aku? Jangankan membuat anakmu menderita, menghabisi saudara kembarku sendiri saja sanggup aku lakukan untuk semua ambisiku,”
Raut wajah Nyonya Harison yang tadinya terlihat anggun kini terlihat beringas dan menyeramkan. Beberapa kali ia menendang kaki Tuan Harison yang memang tidak bisa digerakkan karena penyakit stroke nya itu. Tidak ada sedikitpun wajah kasihan terpancar dari perempuan 40 tahunan itu.
Baron tersenyum puas dengan apa yang dilakukan nyonya Harison. Ia kembali mendekat ke tuan Harison, “Dengar, aku bukan orang yang suka berbicara panjang lebar. Aku hanya ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Jika tidak, kau dan anakmu akan merasakan akibatnya.” ucapnya dengan nada menekan dan penuh ancaman.
Seorang pemuda berwajah tampan melangkah tenang memasuki halaman kantor megah yang bertuliskan "Anugerah Langit Corporation." Dengan seragam satpam yang tampak biasa saja, tak ada yang istimewa kecuali wajah tampannya. Wajahnya yang bersih dan terawat tampak tak selaras dengan seragam satpam yang ia kenakan. Di atas saku seragamnya tertera nama "Kemal Halim." Namun, tidak ada yang tahu, di balik penampilan sederhana itu, tersembunyi sosok yang sangat penting yang bisa mengguncang perusahaan ini dari dalam.Begitu sampai, ia menyadari betapa cepatnya para karyawan berdatangan ke kantor tersebut. Mereka sibuk berjalan tanpa meliriknya sedikit pun, seolah kehadirannya tidak berarti. Beberapa dari mereka bahkan melemparkan komentar sinis ketika melintas di dekatnya.“Satpam baru, ya? Wajahnya lumayan. Tapi aku ragu apa dia mampu bertahan, atau sama saja seperti satpam-satpam sebelumnya,” salah seorang karyawan berkata dengan nada mengejek, diikuti tawa kecil dari rekannya.Nama aslinya Da
Sebuah Apartemen sederhana berdiri kokoh di sudut ibukota. Sebuah tempat yang dipilih Darren untuk menjadi tempat tinggalnya sementara. Memang sudah satu pekan lebih ia kembali ke tanah air, dari negara tempat ia menempuh pendidikan S3 nya. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk kembali ke rumah. Rumah yang membersamainya tumbuh dikala masih anak-anak dulu.Sebuah insiden pernah terjadi ketika ia masih berusia sebelas tahun. Darren kehilangan kakak perempuannya. Sang kakak tewas jatuh dari tingkat tiga rumahnya akibat sebuah kecelakaan. Dan semua orang menyalahkan Darren, sementara yang ia tahu itu adalah kecerobohan ibunya.Nada dering panggilan telepon berbunyi dari Handphone milik Darren. Ia tidak langsung memeriksanya, hanya melihat siapa nama pemanggil. Layar Handphone nya menunjukkan panggilan itu dari kontak yang diberikan nama ‘Ibu’.Dua panggilan berlalu begitu saja. Ia memang sengaja mengabaikannya. Sampai akhirnya notifikasi lain masuk, yang membuat perhatiannya sedikit
Darren menunggu dengan tenang di pos keamanan, memperhatikan Baron yang baru saja melangkah masuk ke kantor dengan percaya diri. Arogan, seperti biasanya, pikirnya. Senyum tipis melintas di wajah Darren saat melihat Baron, yang sama sekali tidak menyadari bahwa gerak-geriknya sudah dipantau. Darren menunggu beberapa detik hingga Baron benar-benar masuk ke ruangannya dan memastikan tak ada karyawan lain yang berkeliaran di sekitar.Setelah suasana cukup sepi, Darren bergerak. Ia merogoh sakunya, mengambil telepon genggam. Jari-jarinya menari cepat di layar, lalu menghentikan pilihannya pada sebuah kontak yang tertulis ‘Spy Eye’. beberapa saat kemudian, sambungan tersambung."Es Ei," suara Darren terdengar rendah, tapi tegas. "Aku ingin kau pantau apa yang dilakukan Baron di kantor ini lewat CCTV. Aku juga sudah memasang beberapa mini spy cam di lokasi-lokasi penting. Semua sudah terkoneksi pada akun yang aku berikan."Telepon di tangan Darren hening sesaat, hanya suara napas tenang di
Darren merasa denyut jantungnya meningkat saat mendengar jawaban Bu Vina. “Ke rekening Ayahku?” tanyanya, memastikan. Bu Vina mengangguk menanggapi. “Aku rasa itu tidak mungkin. Semua rekening ayah sudah dipindahnamakan kepadaku. Segala sesuatu berkenaan dengan perusahaan saat ini semuanya dialihkan padaku.”Bu Vina menatap Darren dengan penuh kebingungan. “Tapi laporan keuangan menunjukkan aliran dana yang menuju ke rekening ayahmu. Laba perusahaan dibagi menjadi dua, enam puluh persen dan empat puluh persen. Keduanya rekening atas nama Tuan Harison.”Darren merasakan kegelisahan. “Jika semua sudah dialihkan kepadaku, bagaimana mungkin dana itu masih mengalir ke rekening Ayah? Ada sesuatu yang tidak beres di sini, Bu Vina. Itu artinya pendapatan bersih perusahaan bukan hanya mengalir kepadaku, tapi juga ke rekening itu.”Di luar, petir menggelegar dan hujan mulai turun deras, suara gemuruhnya seolah mencerminkan ketegangan yang menyelimuti mereka. Suasana di dalam restoran menjadi se