Suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation yang biasanya sibuk dan dinamis berubah menjadi tegang ketika sebuah mobil polisi terparkir di halaman. Karyawan-karyawan yang sedang menikmati istirahat siang mereka segera berhenti, menatap ke arah mobil dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang tidak nyaman.
Pak Leo, Kepala Manajer perusahaan yang terkenal perfeksionis, kini terlihat berantakan. Ia berdiri di depan pintu masuk kantor dengan tangan terborgol, wajahnya menunjukkan kombinasi antara ketidakpercayaan dan kemarahan. Seorang polisi muda, dengan nada tegas, berusaha menjelaskan situasi kepada Leo.
“Pak Leo, kami memiliki bukti yang cukup kuat mengenai dugaan penggelapan dana perusahaan yang Anda lakukan. Kami perlu membawa Anda untuk proses lebih lanjut,” ucap polisi itu, sambil menatap langsung ke arah Leo. Ia juga menunjukkan surat penangkapan resmi kepolisian untuk Leo.
“Tunggu sebentar! Ini semua tidak benar! Saya sudah bekerja di sini selama bertahun-tahun. Anda tidak bisa hanya menangkap saya begitu saja tanpa bukti yang jelas! Saya minta pengacara saya untuk penangguhan penahanan,” Leo berusaha menolak, suaranya meninggi.
“Maaf, Pak. Kami telah menerima laporan resmi dari pemilik perusahaan. Kami tidak bisa menangguhkan penahanan sekarang tanpa investigasi lebih lanjut. Anda bisa mengajukan setelah nanti di kantor,” kata polisi itu, tetap tegas.
Dengan terpaksa, Leo membiarkan dirinya dibawa pergi. Saat dia melewati lobi kantor, karyawan-karyawan yang menyaksikan hanya bisa berbisik, terkejut dengan situasi yang sedang terjadi.
“Ini gila, kan? Pak Leo ditangkap?” tanya salah satu karyawan, Rina, kepada rekan kerjanya, Andi.
“Siapa sangka Tuan Darren akan bertindak cepat seperti itu. Selama ini tidak ada yang berani menyentuh Leo. Ia sangat berkuasa di sini,” jawab Andi, matanya melotot penuh ketidakpercayaan.
“Kalau aku jadi Leo, pasti aku akan melawan! Dia seharusnya tidak membiarkan mereka menangkapnya begitu saja,” Rina menambahkan.
“Ya, tapi laporan ini langsung dari pemilik perusahaan. Dengar-dengar, Darren punya bukti kuat, dan aku yakin banyak yang terlibat. Setelah Leo, entah siapa lagi yang akan menyusul,” kata Andi.
Ketegangan mulai mereda, walau masih menyisakan tanda tanya. Semua orang tidak bisa berhenti memikirkan konsekuensi dari peristiwa tersebut. Mereka khawatir terkena imbas dari kejadian ini. Terutama yang bekerja di ruangan Leo. Kekhawatiran itu sangat kuat karena mereka merupakan bawahan langsung sang Kepala Manajer.
Di Pos penjagaan, nampak Darren terus mengawasi keadaan. Sesekali ia melihat ke kaca yang tembus pandang kebagian luar, sesekali ia melihat layar di Handphonenya. Ia juga memantau keadaan melalui CCTV yang ia pasang secara sembunyi.
“Sepertinya anak buah Leo beberapa orang terlibat. Mereka kelihatan gelisah!” gumam Darren mengawasi layar Handphonenya.
Beberapa saat kemudian sebuah notifikasi pesan masuk. Pesan itu berasal dari Keisha. “Kak Kemal, aku takut Pak Leo mengetahui keterlibatanku membongkar semua ini,” bunyi pesan itu.
Darren mengetikkan beberapa kalimat membalas pesan. Ia meminta Keisha tidak usah khawatir. Karena tidak akan ada yang tahu ia yang melakukannya. Apalagi semua atas perintah pemilik perusahaan sendiri.
Memang beberapa hari yang lalu Darren yang menyamar sebagai Kemal meminta Keisha menginstal sebuah software di komputernya. Kebetulan sekali Keisha bekerja di departemen keuangan dan komputer Keisha terhubung ke semua komputer di departemen itu. Dengan software itu orang suruhan Darren berhasil menyusup dan memeriksa data keuangan perusahaan sebenarnya yang hanya diketahui orang-orang tertentu itu saja.
***
“Nak, kapan kau pulang ke rumah? Apa kau tidak rindu ayahmu? Ia terus menanyakan kabarmu. Oh iya nak, Pak Baron hendak berkunjung menjenguk ayahmu. Ia juga ingin bertemu denganmu dan memperkenalkan anaknya!”
“Iya bu, nanti aku kabari. Sekarang Darren sedang berkunjung ke beberapa perusahaan cabang milik keluarga kita. Ada beberapa hal yang harus aku benahi!”
Setelah berbincang-bincang mengenai keadaanya, Darren menyudahi pembicaraan telepon ibunya itu. Pemuda itu sedikit gelisah dikarenakan ucapan orang tuanya tentang Baron. Dalam kebingungannya, Darren memejamkan mata. Di kasur apartemen sederhana yang ia sewa, pemuda itu berbaring sambil memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan.
“Aku tidak boleh bertemu dengannya. Kalau dia tahu siapa aku, semua rencanaku hancur," gumamnya sambil menatap langit-langit apartemennya.
Keesokan malamnya, Barron dan Nadine putrinya mengunjungi kediaman Tuan Harison, ayah Darren. Ia menjenguk ayah Darren yang hanya bisa berbaring di kamarnya. Lelaki berusia 50 tahunan itu pun hanya bisa berbicara dengan menggunakan isyarat tubuh. Stroke yang ia alami, membuat sebagian wajahnya tidak bisa digerakkan.
Kediaman Tuan Harison terasa suram, meski lampu-lampu di ruang tamu menyala terang. Baron duduk di kursi yang berseberangan dengan ranjang, menatap Tuan Harison dengan senyuman sinis. Di sebelahnya, Nyonya Harison berdiri dengan senyuman penuh arti, memperhatikan interaksi mereka berdua.
“Bagaimana kabar anda, Tuan Harison?” Baron memulai, suaranya penuh kepalsuan. “Semoga Anda tidak terlalu menderita dengan kondisi ini.”
Tuan Harison mengerutkan dahi, matanya menyipit ketika mendengar nada sarkas dalam ucapan Baron. Dengan gerakan lambat, ia menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan ketidaksetujuan.
Baron melanjutkan, “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan rencana kita dulu? Kesepakatan kita untuk menjodohkan Nadine dengan Darren. Bukankah itu perjanjian yang harus kita penuhi? Aku yakin ini bisa membawa keuntungan besar bagi kita semua.”
Wajah Tuan Harison berubah tegang. Dengan sekuat tenaga, ia mengeluarkan suara “ah uh ah uh,” mengekspresikan kemarahannya meski tak bisa berbicara. Baron hanya tersenyum sinis, menikmati keadaan itu.
“Bagaimana, sayangku?” Baron melirik Nyonya Harison, yang menunjukkan senyum genitnya kepada Baron.
“Ternyata suamimu ini keras kepala. Aku akui Ia cukup pintar untuk menghadirkan Darren dan membuat rencanaku hampir gagal.”
Tuan Harison merasakan denyut kemarahan di dadanya. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata terjebak di tenggorokannya. Ekspresi wajahnya semakin menunjukkan rasa marah dan cemas.
Baron mengabaikan ekspresi Tuan Harison, mengangkat suara sedikit lebih tinggi, Ia menghampiri ayah Darren itu. Baron menekan leher orang tua itu, setengah mencekiknya. “Kalau kau tidak menyetujui perjodohan ini, bukan hanya kau yang akan kuhabisi, anakmu pun akan kubuat mampus.”
Dengan tegas, Baron melepaskan cengkeramannya dari leher Tuan Harison. Namun, wajah Tuan Harison sudah hampir membiru, terlihat kesulitan bernapas. Ketika ia mengambil napas dalam-dalam, rasa cemas semakin membara di matanya.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan, Tuan Harison?” Baron melanjutkan, suaranya kini penuh ancaman. “Aku rasa kau sudah tahu pilihanmu. Ini bukan hanya tentangmu, ini tentang keselamatan keluargamu.”
Nyonya Harison, yang sejak awal diam, akhirnya turut berbicara. “Harison, bukankah kau tahu betapa kejamnya aku? Jangankan membuat anakmu menderita, menghabisi saudara kembarku sendiri saja sanggup aku lakukan untuk semua ambisiku,”
Raut wajah Nyonya Harison yang tadinya terlihat anggun kini terlihat beringas dan menyeramkan. Beberapa kali ia menendang kaki Tuan Harison yang memang tidak bisa digerakkan karena penyakit stroke nya itu. Tidak ada sedikitpun wajah kasihan terpancar dari perempuan 40 tahunan itu.
Baron tersenyum puas dengan apa yang dilakukan nyonya Harison. Ia kembali mendekat ke tuan Harison, “Dengar, aku bukan orang yang suka berbicara panjang lebar. Aku hanya ingin semuanya berjalan sesuai rencana. Jika tidak, kau dan anakmu akan merasakan akibatnya.” ucapnya dengan nada menekan dan penuh ancaman.
Pagi itu, matahari baru saja merangkak naik, tapi emosi Darren sudah dibuat menyala seperti api. Ponselnya berdering, dan di layar muncul nama Vina.“Mas Darren, ada yang ingin aku sampaikan. Mulai hari ini, Nadine resmi bekerja di kantor pusat sebagai Kepala Manajer,” suara Vina terdengar lembut, dan penuh kehati-hatian.Darren terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada menahan marah.“Siapa yang membuat keputusan itu? Baron?!”Vina menarik nafas dalam, seakan sudah siap menerima luapan marah Darren. “Bukan, ini permintaan dari ibumu sendiri. Dan, kabarnya sudah mendapatkan persetujuan dari Tuan Harison.”Kemarahan Darren tak bisa dibendung lagi. Wajahnya memerah, dan otot-otot di rahangnya menegang.“Hmmmm… Vina, bukankah semua urusan dan kewenangan perusahaan sekarang sudah sepenuhnya di tanganku? Bagaimana bisa keputusan sepenting ini diambil tanpa sepengetahuanku?”Di ujung telepon, Vina hanya bisa mendengarkan. Ia tahu Darren bukan sekadar kesal—ia merasa dikhianati.“Dengar, Vin
"Periksa setiap transaksi keluar masuk di rekening Leo. Apa pun yang mencurigakan, aku ingin laporan langsung.” "Semua data lengkap transaksi keluar dan masuk rekening Leo sudah kami serahkan kepada pengacara. Saat ini kepolisian sudah menindaklanjuti bukti-bukti yang diberikan.”"Bagus, Kerjakan cepat dan profesional, tidak salah aku memilih kalian untuk menjadi pasukan khusus membantuku. Sebelum polisi bergerak, aku ingin sudah tahu siapa saja yang bermain di belakang Leo.”Darren mengakhiri panggilannya dan memandang keluar jendela kaca. Langit mendung seakan mencerminkan suasana hatinya penuh waspada dan dingin.Keesokan harinya, suasana kantor pusat perusahaan Anugerah Langit Corporation terasa lebih hening daripada biasanya. Karyawan duduk di kubikel masing-masing, menunduk sambil mengetik, seakan takut suara keyboard mereka terdengar terlalu keras. Kabar tentang kematian Leo masih menghantui banyak orang, dan tanpa disadari, rasa curiga mulai menjalar di antara mereka. Beberap
Pagi itu, suasana di kantor pusat Anugerah Langit Corporation berubah drastis. Para karyawan berkumpul di lobi utama, berbisik-bisik. Isu tentang perombakan besar-besaran telah tersebar sejak beberapa hari sebelumnya, tapi tidak ada yang menyangka semuanya akan terjadi begitu cepat. Kehadiran Vina, yang dianggap wanita ambisius dengan reputasi tak terbantahkan, dan Darren yang dikenal sebagai Kemal sosok seorang satpam baru yang tiba-tiba menduduki posisi strategis, membuat kantor pusat bak sarang lebah yang diguncang.Di depan para karyawan yang berkumpul, Vina berdiri anggun dengan jas formalnya. Di tangannya ada amplop besar dengan logo perusahaan dan tanda tangan pemilik di bagian segel. Ia melangkah dengan percaya diri ke arah podium lobi, mengamati kerumunan karyawan.“Selamat pagi, semuanya. Saya di sini membawa kabar penting,” ujar Vina dengan suara tegas namun halus. “Mulai hari ini, akan ada beberapa perubahan signifikan di perusahaan ini."Tatapan Vina berkeliling, mengunc
Suara mobil Nadine terdengar memasuki halaman mansion mewah keluarga Baron. Udara dingin malam itu terasa semakin berat di bahunya. Ia melangkah cepat melewati pintu utama dengan wajah tegang, memikirkan perubahan mendadak di kantor pusat Anugerah Langit Corporation.Di ruang tamu, Baron pria paruh baya dengan wajah keras dan mata mencorong tajam sedang menikmati secangkir coffee. Ia duduk di kursi kulit berwarna hitam, dikelilingi dekorasi elegan yang menunjukkan kekuasaan dan kekayaannya. Namun, begitu Nadine masuk dengan langkah berat, suasana nyaman itu sirna.“Mengapa wajahmu kusut seperti itu? Ada apa nak?” tanya Baron tanpa basa-basi, suaranya dalam dan dingin.Nadine duduk di hadapan ayahnya, berusaha menahan kegelisahannya. "Semua sudah berubah, Ayah," ujarnya pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk suasana. "Vina... dia diangkat menjadi Direktur Utama. Aku hanya dijadikan wakil. Dan yang lebih gila, Kemal… satpam itu diangkat jadi Kepala Manajer SDM."Baron yang awalnya duduk
Fajar baru saja menyentuh langit penjara, menggantikan kegelapan malam dengan warna oranye lembut. Bau beton lembab bercampur dengan embusan udara pagi yang dingin menyelimuti blok tahanan. Di koridor sempit itu, lima pria keluar dengan langkah terburu-buru. Mereka adalah mantan manajer dari Anugerah Langit Corporation, wajah-wajah yang pernah memegang kendali di divisi penting perusahaan."Tak kusangka kita benar-benar dibebaskan!" seru Heru, pria bertubuh tegap dengan rambut acak-acakan, sembari memeluk bahu teman di sampingnya."Bungkam kita tidak sia-sia," jawab Beni dengan nada puas, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. “Tuan Baron pasti sudah menyusun rencana baru. Ini hadiah kita.”Mereka berjalan melewati gerbang besar penjara, diiringi tatapan iri beberapa napi lain yang tertinggal. Saat kaki mereka menyentuh aspal halaman luar penjara, mata kelima pria itu langsung tertuju pada deretan mobil mewah berwarna hitam. Dua mobil dengan kaca gelap berkilau, diapit oleh beber
Darren melangkah keluar dari mobilnya dan memandang rumah sederhana di depan mata. Rumah bercat putih kusam dengan jendela kecil di kedua sisinya, dipayungi pohon mangga yang rimbun di halaman. Di sudut teras terdapat kursi dan meja plastik dengan tulisan “Warung Kopi & Gado-Gado Bu Sari” yang tergores oleh usia. Kehangatan rumah ini begitu kontras dengan dunia korporat penuh ambisi yang selama ini Darren hadapi. Ia menarik napas panjang dan mengetuk pintu kayu itu dengan ringan.Keisha membuka pintu, dan ketika melihat Darren berdiri di sana, seketika senyum lebar mengembang di wajahnya. Namun senyumnya berubah gugup ketika menyadari sosok Kemal atau Darren berdiri bukan lagi sebagai satpam, tetapi sebagai Kepala Manajer perusahaan yang menjadi tempat ia bekerja."Kak K-Kemal?" Keisha tergagap, lalu cepat-cepat menunduk menyembunyikan rona di pipinya."Ya, aku," jawab Darren dengan senyum santai. "Boleh aku masuk?""Oh! Tentu, tentu! Silakan masuk." Keisha membuka pintu lebih lebar,
Restoran “Elysium Lounge” di pusat kota berdiri megah dengan dinding kaca besar, lampu gantung kristal yang berkilauan, dan sofa kulit yang tersusun elegan di setiap sudut. Aroma masakan eksklusif, seperti truffle dan foie gras, memenuhi udara, membuat suasana menjadi mewah namun intim. Para tamu yang hadir mengenakan pakaian formal, dan sebagian besar adalah kalangan bisnis papan atas. Setiap tamu diperlakukan istimewa, menciptakan kesan bahwa ini bukan sekadar restoran, tetapi tempat di mana harga diri dan status sosial diuji.Ucapan Darren kepada Nadine, yang menganggap gadis itu sedang mabuk membuat putri Baron itu naik pitam. Ia langsung menghentak meja mengeluarkan kata kotor. “Kalian para gembel, jangan merusak pemandangan di tempat ini! Cepat tinggalkan tempat ini!” ucapnya.Darren terusik emosinya. Ia melirik kearah Keisha yang terlihat ketakutan. Beberapa kali gadis itu menyentuh lengan Darren memberi isyarat untuk meninggalkan tempat itu. Namun Darren yang marah terlihat
Richard mendengus, lalu menyeringai mengejek sambil melipat tangan di dada. Nadine, yang masih berdiri di sampingnya, hanya tertawa kecil sambil melirik Darren dengan tatapan meremehkan.“Drama macam apa ini?” kata Richard, matanya menyipit. “Kau pikir bisa menakutiku hanya dengan menelpon seseorang?”Darren, dengan wajah yang tetap tenang namun sorot mata dingin, berbicara di telepon, “Aku tidak ingin lagi ada orang bernama Richard di restoran ini. Dia telah merendahkanku dan membuatku serta temanku malu. Aku beri waktu sepuluh menit untuk datang ke sini dan memecatnya langsung!”Richard terkekeh, mencemooh. “Kau sungguh berpikir seseorang akan repot-repot datang hanya untuk memecatku? Konyol!” katanya sambil menatap sinis. Ia menoleh pada dua petugas keamanan di sudut ruangan dan memberi isyarat. “Ayo, bawa mereka keluar! Aku tidak ingin melihat wajah mereka lebih lama lagi.”Keisha, yang mulai panik, meremas tangan Darren. “Darren, kita pergi saja... aku tidak ingin ini menjadi mas
Seminggu telah berlalu sejak Darren kembali dari Singapura. Namun, suasana di rumah sakit tetap penuh ketegangan. Tuan Harison tetap dirawat dengan perhatian ketat tanpa ada kemajuan yang berarti, sementara Darren terus memantau situasi melalui tim pengintainya. Silvia mulai menunjukkan rasa tidak nyaman dengan rutinitas monoton di rumah sakit.“Darren, aku rasa rawat jalan di rumah akan lebih baik untuk ayahmu. Lingkungan rumah jauh lebih nyaman dibandingkan tempat ini,” ucap Silvia suatu pagi saat Darren mengunjunginya.Namun, Darren menggeleng tegas. “Tidak, Bu. Di rumah sakit, keamanan dan pengawasan jauh lebih terjamin. Aku tidak ingin mengambil risiko, terutama setelah insiden yang terjadi sebelumnya.”Silvia mendesah, menyembunyikan kekecewaannya. “Baiklah, Darren. Tapi jangan lupa, aku ingin kembali ke rumah sesekali jika keadaanku sudah memungkinkan.”Darren hanya mengangguk kecil, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu yang lebih mend
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba