Suara mobil Nadine terdengar memasuki halaman mansion mewah keluarga Baron. Udara dingin malam itu terasa semakin berat di bahunya. Ia melangkah cepat melewati pintu utama dengan wajah tegang, memikirkan perubahan mendadak di kantor pusat Anugerah Langit Corporation.Di ruang tamu, Baron pria paruh baya dengan wajah keras dan mata mencorong tajam sedang menikmati secangkir coffee. Ia duduk di kursi kulit berwarna hitam, dikelilingi dekorasi elegan yang menunjukkan kekuasaan dan kekayaannya. Namun, begitu Nadine masuk dengan langkah berat, suasana nyaman itu sirna.“Mengapa wajahmu kusut seperti itu? Ada apa nak?” tanya Baron tanpa basa-basi, suaranya dalam dan dingin.Nadine duduk di hadapan ayahnya, berusaha menahan kegelisahannya. "Semua sudah berubah, Ayah," ujarnya pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk suasana. "Vina... dia diangkat menjadi Direktur Utama. Aku hanya dijadikan wakil. Dan yang lebih gila, Kemal… satpam itu diangkat jadi Kepala Manajer SDM."Baron yang awalnya duduk
Fajar baru saja menyentuh langit penjara, menggantikan kegelapan malam dengan warna oranye lembut. Bau beton lembab bercampur dengan embusan udara pagi yang dingin menyelimuti blok tahanan. Di koridor sempit itu, lima pria keluar dengan langkah terburu-buru. Mereka adalah mantan manajer dari Anugerah Langit Corporation, wajah-wajah yang pernah memegang kendali di divisi penting perusahaan."Tak kusangka kita benar-benar dibebaskan!" seru Heru, pria bertubuh tegap dengan rambut acak-acakan, sembari memeluk bahu teman di sampingnya."Bungkam kita tidak sia-sia," jawab Beni dengan nada puas, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. “Tuan Baron pasti sudah menyusun rencana baru. Ini hadiah kita.”Mereka berjalan melewati gerbang besar penjara, diiringi tatapan iri beberapa napi lain yang tertinggal. Saat kaki mereka menyentuh aspal halaman luar penjara, mata kelima pria itu langsung tertuju pada deretan mobil mewah berwarna hitam. Dua mobil dengan kaca gelap berkilau, diapit oleh beber
Darren melangkah keluar dari mobilnya dan memandang rumah sederhana di depan mata. Rumah bercat putih kusam dengan jendela kecil di kedua sisinya, dipayungi pohon mangga yang rimbun di halaman. Di sudut teras terdapat kursi dan meja plastik dengan tulisan “Warung Kopi & Gado-Gado Bu Sari” yang tergores oleh usia. Kehangatan rumah ini begitu kontras dengan dunia korporat penuh ambisi yang selama ini Darren hadapi. Ia menarik napas panjang dan mengetuk pintu kayu itu dengan ringan.Keisha membuka pintu, dan ketika melihat Darren berdiri di sana, seketika senyum lebar mengembang di wajahnya. Namun senyumnya berubah gugup ketika menyadari sosok Kemal atau Darren berdiri bukan lagi sebagai satpam, tetapi sebagai Kepala Manajer perusahaan yang menjadi tempat ia bekerja."Kak K-Kemal?" Keisha tergagap, lalu cepat-cepat menunduk menyembunyikan rona di pipinya."Ya, aku," jawab Darren dengan senyum santai. "Boleh aku masuk?""Oh! Tentu, tentu! Silakan masuk." Keisha membuka pintu lebih lebar,
Restoran “Elysium Lounge” di pusat kota berdiri megah dengan dinding kaca besar, lampu gantung kristal yang berkilauan, dan sofa kulit yang tersusun elegan di setiap sudut. Aroma masakan eksklusif, seperti truffle dan foie gras, memenuhi udara, membuat suasana menjadi mewah namun intim. Para tamu yang hadir mengenakan pakaian formal, dan sebagian besar adalah kalangan bisnis papan atas. Setiap tamu diperlakukan istimewa, menciptakan kesan bahwa ini bukan sekadar restoran, tetapi tempat di mana harga diri dan status sosial diuji.Ucapan Darren kepada Nadine, yang menganggap gadis itu sedang mabuk membuat putri Baron itu naik pitam. Ia langsung menghentak meja mengeluarkan kata kotor. “Kalian para gembel, jangan merusak pemandangan di tempat ini! Cepat tinggalkan tempat ini!” ucapnya.Darren terusik emosinya. Ia melirik kearah Keisha yang terlihat ketakutan. Beberapa kali gadis itu menyentuh lengan Darren memberi isyarat untuk meninggalkan tempat itu. Namun Darren yang marah terlihat
Richard mendengus, lalu menyeringai mengejek sambil melipat tangan di dada. Nadine, yang masih berdiri di sampingnya, hanya tertawa kecil sambil melirik Darren dengan tatapan meremehkan.“Drama macam apa ini?” kata Richard, matanya menyipit. “Kau pikir bisa menakutiku hanya dengan menelpon seseorang?”Darren, dengan wajah yang tetap tenang namun sorot mata dingin, berbicara di telepon, “Aku tidak ingin lagi ada orang bernama Richard di restoran ini. Dia telah merendahkanku dan membuatku serta temanku malu. Aku beri waktu sepuluh menit untuk datang ke sini dan memecatnya langsung!”Richard terkekeh, mencemooh. “Kau sungguh berpikir seseorang akan repot-repot datang hanya untuk memecatku? Konyol!” katanya sambil menatap sinis. Ia menoleh pada dua petugas keamanan di sudut ruangan dan memberi isyarat. “Ayo, bawa mereka keluar! Aku tidak ingin melihat wajah mereka lebih lama lagi.”Keisha, yang mulai panik, meremas tangan Darren. “Darren, kita pergi saja... aku tidak ingin ini menjadi mas
Richard mencoba berbicara sekali lagi, suaranya penuh keputusasaan. "Tuan William, saya mohon, dengarkan saya. Orang ini... dia hanya berpura-pura! Kartu VIP itu pasti palsu, atau dia hanya membuat-buat cerita untuk menipu kita semua!"Tuan William menatap Richard dengan kemarahan yang kini tak lagi bisa ia kendalikan. Ia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap menampar Richard dengan tegas. Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan, membuat beberapa tamu di sekitar mereka terkesiap.“Aku sudah cukup dengan omong kosongmu, Richard!” suara Tuan William terdengar tajam dan penuh kemarahan. “Kau tahu apa arti kartu VIP Gold di tempat ini? Aku hanya membuat satu, hanya satu, dan aku tahu bagaimana bentuknya. Pemilik kartu VIP Gold ini sama saja ia menjadi pemilik restoran ini.”Richard terpaku, wajahnya mulai memucat saat ia menyadari besarnya kesalahan yang ia lakukan. Tubuhnya mulai bergetar, dan ia perlahan jatuh berlutut di lantai, memohon ampun.“Tuan William, saya... saya mohon.
Tiga hari setelah insiden di restoran, suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan saling berbisik, bertukar kabar bahwa Baron, Direktur Cabang yang jarang terlihat di kantor pusat, datang dengan wajah dingin. Nadine berjalan mendampingi ayahnya dengan tatapan licik, seolah yakin rencananya akan berjalan sempurna.Di ruangan Nadine, Baron duduk dengan angkuh di kursi besar sambil menunggu Darren—atau yang lebih dikenal di sini sebagai Kemal. Ia tahu putrinya telah mengatur pertemuan ini untuk memberi pelajaran kepada pria yang berani menentangnya.Tak lama kemudian, pintu diketuk dan Darren melangkah masuk dengan tenang. Nadine meliriknya dengan tatapan sinis, sementara Baron hanya menatapnya tajam tanpa mempersilahkannya duduk.Darren berdiri tegak, menatap balik Baron dengan tatapan menantang. Hanya suara napas Nadine yang terdengar di ruangan yang sunyi itu. Darren bisa merasakan suasana tegang di tempat itu, tapi ia tetap tenan
Malam itu, Nadine duduk di ruang tamu besar rumah keluarganya, merengut dengan wajah penuh kekesalan. Ia menatap Baron, ayahnya, yang duduk di kursi sebelahnya sambil menyeruput kopi dengan tenang. Nadine tidak bisa menyembunyikan keraguannya mengenai rencana ayahnya.“Papa, kau yakin Darren akan mau? Maksudku... kita sudah mengatakan kepada banyak orang, termasuk Kemal, bahwa aku bertunangan dengan Darren,” ujar Nadine sambil menghela napas panjang. Ia menatap ayahnya dengan cemas. “Tapi aku tidak yakin Ia akan begitu saja menerimanya. Kami sudah lama tidak bertemu, aku takut ia sudah memiliki pilihan sendiri.”Baron menaruh cangkir kopinya ke meja, memandang putrinya dengan penuh keyakinan. "Nadine, tenang saja. Darren pasti tidak akan menolak. Kau tahu, dulu saat masih kecil, Darren sangat dekat denganmu. Bahkan dia... mencintaimu," kata Baron sambil tersenyum, mencoba mengingatkan Nadine pada masa lalu mereka.Nadine memalingkan pandangannya sejenak, merasa terhibur dengan kata-ka
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba
Darren mengikuti langkah polisi menuju ruang interogasi. Sesekali, ia melirik Silvia yang berjalan di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tampak tulus. Namun, di dalam hatinya, Darren merasa ada sesuatu yang salah. Jika Silvia benar-benar terkejut dengan tuduhan ini, maka siapa yang sebenarnya berada di balik rencana pembunuhan terhadap ayahnya? Apakah Sofia benar-benar satu-satunya pelaku, ataukah ini lebih rumit dari dugaan awalnya?Sesampainya di ruang interogasi, polisi meminta Darren dan Silvia untuk duduk. Ruangan itu dingin dan steril, hanya dihiasi meja dan dua kursi di tiap sisi. Salah satu polisi membuka catatan di tangannya dan memulai pertanyaan.“Tuan Darren, dapatkah Anda menjelaskan jadwal Anda selama beberapa hari terakhir?” tanyanya dengan nada resmi.Darren menjawab dengan tenang, memberikan alibi yang sudah disiapkan. “Saya berada di Luar Negeri. Baru kali ini pulang, karena mendapat kabar keadaan ayah. Malamnya, saya langsung menuju rumah sakit untuk
Malam semakin larut, tetapi ketegangan di markas kecil tim Spy Eye tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Darren duduk dengan ekspresi serius di meja kerja, dikelilingi layar yang menampilkan data-data terbaru dari penyelidikan. Di seberangnya, Spy Eye berdiri dengan sikap ragu, seperti seseorang yang harus menyampaikan kabar buruk.“Maaf bos, ketegangan ini membuatku lupa menyampaikan informasi penting lainnya!” ucap Spy Eye“Apa maksudmu ada informasi penting yang belum kau sampaikan?” Darren menatap lurus ke arah mata Spy Eye, nada suaranya tegas.Spy Eye menarik napas panjang sebelum berbicara. “Maaf, Boss. Kami baru saja memeriksa ulang data latar belakang Ibu Anda. Silvia Harrison, atau Silvia Bara, adalah putri sekaligus pewaris keluarga Bara. Semasa mudanya, beliau pernah menjadi CEO dari perusahaan ayahnya. Perusahaan itu kemudian di-merger dengan perusahaan keluarga Harrison, hingga terbentuklah grup Anugerah Langit Corporation.”Darren mendengus pelan. “Itu bukan hal baru ba
Setelah pertemuan itu, Darren kembali ke ruang tunggu, memastikan ibunya tidak mencurigai apa pun. Saat ia tiba, Silvia tampak sedang berbicara dengan salah satu dokter, tetapi ekspresinya tetap tenang ketika melihat Darren mendekat.“Ada kabar baru?” tanya Silvia.“Tidak ada yang penting, Bu. Hanya beberapa hal administratif,” jawab Darren sambil duduk di sebelahnya.Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di tempat lain di rumah sakit, tim Spy Eye sudah mulai bergerak. Seorang ahli kedokteran yang mereka kirim, Dr. Elaine, seorang dokter forensik dengan pengalaman luas, memasuki rumah sakit dengan identitas yang dirahasiakan.Dr Elaine mulai memeriksa Tuan Harrison. Dari pemeriksaan Darah, air liur, hingga yang lainnya yang diperlukan sudah diperiksa. Beberapa saat kemudian ia pun selesai melakukan pemeriksaan. Ia meminta Spy Eye mengajak Darren bertemu di luar.Sesaat kemudian, Spy Eye langsung menghubungi Darren. Ia menyampaikan keinginan dokter Elaine untuk bertemu. "Ba
Darren menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku hanya memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk ayah,” jawabnya singkat.Namun, Silvia tidak puas dengan jawaban itu. “Darren, aku ibumu. Aku tahu ada sesuatu yang tidak kau katakan. Kau tidak pernah datang ke sini hanya untuk formalitas. Apa yang kau ketahui?”Darren tetap diam, berusaha menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa pun. Ia tahu bahwa siapapun bisa menjadi pelaku, termasuk ibunya sendiri. Namun, tatapan Silvia yang penuh selidik membuat Darren semakin sulit menyembunyikan kegelisahannya.“Darren, jika ada sesuatu yang mengancam ayahmu atau keluarga ini, aku harus tahu,” tekan Silvia lagi.Sebelum Darren sempat menjawab, telepon di saku jasnya bergetar. Ia mengangkat telepon itu dengan gerakan cepat.“Boss, kami sudah tiba di rumah sakit. Tim sedang memulai penyelidikan. Ada beberapa staf yang gerak-geriknya mencurigakan, terutama di sekitar ruang ICU. Kami aka
Darren meraih telepon genggamnya dengan tangan gemetar, rasa cemas yang mendera hatinya seolah menekan paru-parunya. Ia menjawab panggilan itu dengan suara datar namun penuh ketegangan.“Apa ini benar Pak Darren?” suara seorang pria di ujung telepon terdengar tenang, namun jelas berwibawa.“Iya, ini saya. Siapa ini?” jawab Darren dengan singkat.“Saya Dokter Richard dari Rumah Sakit Harapan Bangsa. Kami memerlukan Anda segera ke sini. Tuan Harison, ayah Anda, dalam kondisi kritis. Kami membutuhkan persetujuan Anda untuk tindakan medis khusus yang harus dilakukan segera,” jelas dokter tersebut.Darren terdiam sejenak, matanya menatap ke arah dinding ruangan gelap di sekitarnya. Ia tak langsung menjawab, pikirannya berkecamuk. Selama ini ia berusaha menjauh dari keluarganya, menyembunyikan identitasnya sebagai pewaris keluarga Harison. Namun, kondisi ayahnya membuatnya tidak punya pilihan lain.“Baik, saya akan segera ke sana,” sahut Darren akhirnya.Setelah menutup telepon, ia menarik