"Periksa setiap transaksi keluar masuk di rekening Leo. Apa pun yang mencurigakan, aku ingin laporan langsung.”
"Semua data lengkap transaksi keluar dan masuk rekening Leo sudah kami serahkan kepada pengacara. Saat ini kepolisian sudah menindaklanjuti bukti-bukti yang diberikan.”
"Bagus, Kerjakan cepat dan profesional, tidak salah aku memilih kalian untuk menjadi pasukan khusus membantuku. Sebelum polisi bergerak, aku ingin sudah tahu siapa saja yang bermain di belakang Leo.”
Darren mengakhiri panggilannya dan memandang keluar jendela kaca. Langit mendung seakan mencerminkan suasana hatinya penuh waspada dan dingin.
Keesokan harinya, suasana kantor pusat perusahaan Anugerah Langit Corporation terasa lebih hening daripada biasanya. Karyawan duduk di kubikel masing-masing, menunduk sambil mengetik, seakan takut suara keyboard mereka terdengar terlalu keras. Kabar tentang kematian Leo masih menghantui banyak orang, dan tanpa disadari, rasa curiga mulai menjalar di antara mereka. Beberapa pegawai saling melempar pandang penuh tanya apa ada yang lebih dari sekadar kecelakaan?
Di tengah-tengah kekakuan ini, di lantai tertinggi gedung, Darren bersandar pada kursi sambil mengawasi keluar masuknya orang melalui jendela tembus pandangnya. Sesekali tatapan matanya tajam, memperhatikan monitor di depannya. Ia baru saja menerima laporan dari tim rahasianya tentang penyelidikan rekening Leo.
“Transaksi mencurigakan ditemukan di rekening Leo,” suara seseorang terdengar di telepon Darren. Itu salah satu agen kepercayaannya orang yang bekerja di balik bayangan, menjalankan perintah Darren dengan senyap tanpa jejak.
“Bongkar semua yang kalian bisa, dan bawa ke meja hijau. Aliran uang, aset yang dibeli, dan siapa saja yang terlibat. Jangan ada yang terlewat.” Balas Darren melalui pesan singkat yang masuk di layar selulernya.
“Sudah kami temukan sesuatu. Ada beberapa rekening perusahaan atas nama lima Manajer Utama. Uang itu mengalir deras ke luar, sebagian besar dipakai membeli emas batangan. Setiap transaksi bermuara ke Leo.”
Darren mendengarkan tanpa suara, hanya jemarinya yang mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni. Wajahnya tenang, tapi di dalam pikirannya strategi sudah tersusun rapi.
Siang harinya, saat suasana kantor mulai terlihat kembali normal, kehebohan besar tiba-tiba mengguncang kantor pusat. Suara sirine polisi meraung di luar gedung, diikuti langkah-langkah cepat petugas yang masuk ke lobi. Para karyawan terperangah, saling bertanya-tanya, sementara manajer-manajer senior berusaha tetap tenang.
“Polisi! Polisi datang!” seru seorang resepsionis sambil menutup teleponnya.
Sejumlah petugas berbaju dinas berlarian menuju ruang rapat utama di lantai delapan. Beberapa karyawan berdiri terpaku, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Dalam hitungan menit, lima manajer utama, SDM, Pemasaran, Promosi, Administrasi, dan Keuangan diborgol di hadapan seluruh karyawan.
“Ini pasti salah paham! Kami hanya menjalankan perintah atasan!” ucap Manajer SDM.
“Saya tidak tahu apa-apa soal penggelapan... Saya... Saya cuma mengurus laporan.” Timpal Manajer Keuangan yang juga tidak mau disalahkan.
Polisi tak memberi waktu banyak untuk mereka membela diri. Satu per satu Manajer itu digiring keluar gedung di bawah tatapan karyawan yang ketakutan. Nadine, yang baru beberapa minggu menjabat sebagai Kepala Manajer, hanya bisa mengamati dengan tenang dari sudut ruangan. Ia tahu posisinya aman, ia merupakan pejabat baru yang berumur beberapa hari. Tentu tidak bisa disalahkan dalam masalah ini.
“Gila, lima Manajer ditangkap sekaligus... Ini pasti masalah besar.” ucap Iwan, karyawan bagian marketing.
“Jangan-jangan benar, ya, mereka yang selama ini main curang di belakang?” timpal Dony, staf administrasi.
“Gak nyangka, sih. Mereka kelihatan kayak orang baik.” sahut karyawan lain sambil menggelengkan kepala.
Kantor pusat kembali hening setelah para Manajer itu dibawa ke kantor polisi. Nadine dengan nada khasnya yang menguasai membubarkan kerumunan karyawan dan memerintahkan mereka kembali bekerja.
Di ruang interogasi kepolisian, kelima manajer duduk dengan wajah kusut. Keringat mengucur dari pelipis mereka. Ruangan sempit itu terasa semakin pengap dengan tatapan dingin para penyelidik.
“Kalian sudah tahu kenapa kalian di sini. Jelaskan, apa peran kalian dalam aliran dana ini.” ucap penyidik memulai introgasinya dengan suara datar.
Manajer Keuangan menelan ludah, seakan ingin mencari kata-kata yang tepat. “Kami... Kami memang menerima transfer uang dari Pak Leo. Tapi, itu untuk dibelikan emas batangan. Pak Leo mengatakan semua sebagai aset bergerak perusahaan.
“Hmmmm… Apa benar seperti itu? Sekarang emas-emas itu ada di mana?”
“Emas-emas itu sudah kami serahkan semua kepada Pak Leo langsung.”
“Berapa banyak emas yang kalian serahkan?” tanya penyidik lagi
Manajer Promosi menatap tajam meja di depannya. “Ratusan kilogram,” gumamnya.
Ruang interogasi terasa sunyi sejenak. Para penyidik saling bertukar pandang, mengisyaratkan bahwa ini baru sebagian kecil dari skema besar yang sedang mereka hadapi.
“Leo memang sudah mati. Tapi jangan kalian kira semua berakhir. Kalau kalian bisa kami ajak kerjasama, hukuman kalian akan ringan, bahkan mungkin bebas bila memang dinyatakan tidak bersalah. Tapi bila kalian menyembunyikan sesuatu dan itu akhirnya terbongkar, kalian akan dijerat pasal berlapis!”
Manajer SDM Bergetar tubuhnya, “Kami tidak tahu apa-apa lagi, sumpah! Kami cuma menjalankan tugas...”
Para penyidik mencatat setiap pernyataan mereka, tapi mereka tahu bahwa para Manajer ini hanya bidak kecil. Di luar ruangan interogasi, seorang petugas senior bergumam pada rekannya.
Di luar ruang penyelidikan petugas yang lebih senior didampingi pakar psikologi terus memantau kegiatan anak buahnya. Setiap keadaan dan emosi para tersangka menjadi petunjuk untuk penyelesaian kasus yang mereka tangani.
“Mereka ketakutan, tapi jelas ada aktor yang lebih besar di belakang ini. Mungkin Leo hanya kedok.” ucap pakar psikologi memberikan tanggapannya.
Di malam hari, di apartemennya, Darren memandang jauh ke luar jendela, menyesap segelas anggur. Senyuman tipis muncul di wajahnya. Semua berjalan sesuai rencana. Kelima Manajer itu sudah membuka mulut walaupun hanya sebagian dari cerita. Setidaknya langkah awal, sudah terbuka lebar. Kematian Leo, meski sempat memutus rantai penyelidikan, namun itu hanya di salah satu jalan. Ada banyak jalan lain untuknya menuju aktor yang bermain di belakangnya.
Darren mengambil telepon genggamnya. Ia memilih salah satu kontak, ‘Vina’ lalu menekannya. Beberapa saat kemudian telepon pun tersambung.
“Bu Vina, aku ingin kau mengangkatku sebagai Kepala Manajer di kantor pusat. Semua berkasku sebagai Kemal sudah aku persiapkan!”
“Mas Darren, apa ini tidak terlalu cepat dan beresiko? Apa nanti Baron tidak mencurigaiku?”
“Kau tenang bu Vina, tidak usah khawatir. Baron memang akan mencurigaimu, tapi bukan sebagai orang yang berjalan dibelakang bersama Darren untuk menghancurkannya. Kau hanya akan disangka memiliki permainan bersama Kemal. Dan itu memang yang aku kehendaki.”
Darren kemudian menutup teleponnya. Ia merebahkan diri di kasur empuk kamarnya. Darren tersenyum sebelum memejamkan mata, “Besok akan kita mulai permainan baru,” desisnya seraya memejamkan mata.
Pagi itu, suasana di kantor pusat Anugerah Langit Corporation berubah drastis. Para karyawan berkumpul di lobi utama, berbisik-bisik. Isu tentang perombakan besar-besaran telah tersebar sejak beberapa hari sebelumnya, tapi tidak ada yang menyangka semuanya akan terjadi begitu cepat. Kehadiran Vina, yang dianggap wanita ambisius dengan reputasi tak terbantahkan, dan Darren yang dikenal sebagai Kemal sosok seorang satpam baru yang tiba-tiba menduduki posisi strategis, membuat kantor pusat bak sarang lebah yang diguncang.Di depan para karyawan yang berkumpul, Vina berdiri anggun dengan jas formalnya. Di tangannya ada amplop besar dengan logo perusahaan dan tanda tangan pemilik di bagian segel. Ia melangkah dengan percaya diri ke arah podium lobi, mengamati kerumunan karyawan.“Selamat pagi, semuanya. Saya di sini membawa kabar penting,” ujar Vina dengan suara tegas namun halus. “Mulai hari ini, akan ada beberapa perubahan signifikan di perusahaan ini."Tatapan Vina berkeliling, mengunc
Suara mobil Nadine terdengar memasuki halaman mansion mewah keluarga Baron. Udara dingin malam itu terasa semakin berat di bahunya. Ia melangkah cepat melewati pintu utama dengan wajah tegang, memikirkan perubahan mendadak di kantor pusat Anugerah Langit Corporation.Di ruang tamu, Baron pria paruh baya dengan wajah keras dan mata mencorong tajam sedang menikmati secangkir coffee. Ia duduk di kursi kulit berwarna hitam, dikelilingi dekorasi elegan yang menunjukkan kekuasaan dan kekayaannya. Namun, begitu Nadine masuk dengan langkah berat, suasana nyaman itu sirna.“Mengapa wajahmu kusut seperti itu? Ada apa nak?” tanya Baron tanpa basa-basi, suaranya dalam dan dingin.Nadine duduk di hadapan ayahnya, berusaha menahan kegelisahannya. "Semua sudah berubah, Ayah," ujarnya pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk suasana. "Vina... dia diangkat menjadi Direktur Utama. Aku hanya dijadikan wakil. Dan yang lebih gila, Kemal… satpam itu diangkat jadi Kepala Manajer SDM."Baron yang awalnya duduk
Fajar baru saja menyentuh langit penjara, menggantikan kegelapan malam dengan warna oranye lembut. Bau beton lembab bercampur dengan embusan udara pagi yang dingin menyelimuti blok tahanan. Di koridor sempit itu, lima pria keluar dengan langkah terburu-buru. Mereka adalah mantan manajer dari Anugerah Langit Corporation, wajah-wajah yang pernah memegang kendali di divisi penting perusahaan."Tak kusangka kita benar-benar dibebaskan!" seru Heru, pria bertubuh tegap dengan rambut acak-acakan, sembari memeluk bahu teman di sampingnya."Bungkam kita tidak sia-sia," jawab Beni dengan nada puas, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. “Tuan Baron pasti sudah menyusun rencana baru. Ini hadiah kita.”Mereka berjalan melewati gerbang besar penjara, diiringi tatapan iri beberapa napi lain yang tertinggal. Saat kaki mereka menyentuh aspal halaman luar penjara, mata kelima pria itu langsung tertuju pada deretan mobil mewah berwarna hitam. Dua mobil dengan kaca gelap berkilau, diapit oleh beber
Darren melangkah keluar dari mobilnya dan memandang rumah sederhana di depan mata. Rumah bercat putih kusam dengan jendela kecil di kedua sisinya, dipayungi pohon mangga yang rimbun di halaman. Di sudut teras terdapat kursi dan meja plastik dengan tulisan “Warung Kopi & Gado-Gado Bu Sari” yang tergores oleh usia. Kehangatan rumah ini begitu kontras dengan dunia korporat penuh ambisi yang selama ini Darren hadapi. Ia menarik napas panjang dan mengetuk pintu kayu itu dengan ringan.Keisha membuka pintu, dan ketika melihat Darren berdiri di sana, seketika senyum lebar mengembang di wajahnya. Namun senyumnya berubah gugup ketika menyadari sosok Kemal atau Darren berdiri bukan lagi sebagai satpam, tetapi sebagai Kepala Manajer perusahaan yang menjadi tempat ia bekerja."Kak K-Kemal?" Keisha tergagap, lalu cepat-cepat menunduk menyembunyikan rona di pipinya."Ya, aku," jawab Darren dengan senyum santai. "Boleh aku masuk?""Oh! Tentu, tentu! Silakan masuk." Keisha membuka pintu lebih lebar,
Restoran “Elysium Lounge” di pusat kota berdiri megah dengan dinding kaca besar, lampu gantung kristal yang berkilauan, dan sofa kulit yang tersusun elegan di setiap sudut. Aroma masakan eksklusif, seperti truffle dan foie gras, memenuhi udara, membuat suasana menjadi mewah namun intim. Para tamu yang hadir mengenakan pakaian formal, dan sebagian besar adalah kalangan bisnis papan atas. Setiap tamu diperlakukan istimewa, menciptakan kesan bahwa ini bukan sekadar restoran, tetapi tempat di mana harga diri dan status sosial diuji.Ucapan Darren kepada Nadine, yang menganggap gadis itu sedang mabuk membuat putri Baron itu naik pitam. Ia langsung menghentak meja mengeluarkan kata kotor. “Kalian para gembel, jangan merusak pemandangan di tempat ini! Cepat tinggalkan tempat ini!” ucapnya.Darren terusik emosinya. Ia melirik kearah Keisha yang terlihat ketakutan. Beberapa kali gadis itu menyentuh lengan Darren memberi isyarat untuk meninggalkan tempat itu. Namun Darren yang marah terlihat
Richard mendengus, lalu menyeringai mengejek sambil melipat tangan di dada. Nadine, yang masih berdiri di sampingnya, hanya tertawa kecil sambil melirik Darren dengan tatapan meremehkan.“Drama macam apa ini?” kata Richard, matanya menyipit. “Kau pikir bisa menakutiku hanya dengan menelpon seseorang?”Darren, dengan wajah yang tetap tenang namun sorot mata dingin, berbicara di telepon, “Aku tidak ingin lagi ada orang bernama Richard di restoran ini. Dia telah merendahkanku dan membuatku serta temanku malu. Aku beri waktu sepuluh menit untuk datang ke sini dan memecatnya langsung!”Richard terkekeh, mencemooh. “Kau sungguh berpikir seseorang akan repot-repot datang hanya untuk memecatku? Konyol!” katanya sambil menatap sinis. Ia menoleh pada dua petugas keamanan di sudut ruangan dan memberi isyarat. “Ayo, bawa mereka keluar! Aku tidak ingin melihat wajah mereka lebih lama lagi.”Keisha, yang mulai panik, meremas tangan Darren. “Darren, kita pergi saja... aku tidak ingin ini menjadi mas
Richard mencoba berbicara sekali lagi, suaranya penuh keputusasaan. "Tuan William, saya mohon, dengarkan saya. Orang ini... dia hanya berpura-pura! Kartu VIP itu pasti palsu, atau dia hanya membuat-buat cerita untuk menipu kita semua!"Tuan William menatap Richard dengan kemarahan yang kini tak lagi bisa ia kendalikan. Ia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap menampar Richard dengan tegas. Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan, membuat beberapa tamu di sekitar mereka terkesiap.“Aku sudah cukup dengan omong kosongmu, Richard!” suara Tuan William terdengar tajam dan penuh kemarahan. “Kau tahu apa arti kartu VIP Gold di tempat ini? Aku hanya membuat satu, hanya satu, dan aku tahu bagaimana bentuknya. Pemilik kartu VIP Gold ini sama saja ia menjadi pemilik restoran ini.”Richard terpaku, wajahnya mulai memucat saat ia menyadari besarnya kesalahan yang ia lakukan. Tubuhnya mulai bergetar, dan ia perlahan jatuh berlutut di lantai, memohon ampun.“Tuan William, saya... saya mohon.
Tiga hari setelah insiden di restoran, suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan saling berbisik, bertukar kabar bahwa Baron, Direktur Cabang yang jarang terlihat di kantor pusat, datang dengan wajah dingin. Nadine berjalan mendampingi ayahnya dengan tatapan licik, seolah yakin rencananya akan berjalan sempurna.Di ruangan Nadine, Baron duduk dengan angkuh di kursi besar sambil menunggu Darren—atau yang lebih dikenal di sini sebagai Kemal. Ia tahu putrinya telah mengatur pertemuan ini untuk memberi pelajaran kepada pria yang berani menentangnya.Tak lama kemudian, pintu diketuk dan Darren melangkah masuk dengan tenang. Nadine meliriknya dengan tatapan sinis, sementara Baron hanya menatapnya tajam tanpa mempersilahkannya duduk.Darren berdiri tegak, menatap balik Baron dengan tatapan menantang. Hanya suara napas Nadine yang terdengar di ruangan yang sunyi itu. Darren bisa merasakan suasana tegang di tempat itu, tapi ia tetap tenan
Seminggu telah berlalu sejak Darren kembali dari Singapura. Namun, suasana di rumah sakit tetap penuh ketegangan. Tuan Harison tetap dirawat dengan perhatian ketat tanpa ada kemajuan yang berarti, sementara Darren terus memantau situasi melalui tim pengintainya. Silvia mulai menunjukkan rasa tidak nyaman dengan rutinitas monoton di rumah sakit.“Darren, aku rasa rawat jalan di rumah akan lebih baik untuk ayahmu. Lingkungan rumah jauh lebih nyaman dibandingkan tempat ini,” ucap Silvia suatu pagi saat Darren mengunjunginya.Namun, Darren menggeleng tegas. “Tidak, Bu. Di rumah sakit, keamanan dan pengawasan jauh lebih terjamin. Aku tidak ingin mengambil risiko, terutama setelah insiden yang terjadi sebelumnya.”Silvia mendesah, menyembunyikan kekecewaannya. “Baiklah, Darren. Tapi jangan lupa, aku ingin kembali ke rumah sesekali jika keadaanku sudah memungkinkan.”Darren hanya mengangguk kecil, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu yang lebih mend
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba