Malam itu, Nadine duduk di ruang tamu besar rumah keluarganya, merengut dengan wajah penuh kekesalan. Ia menatap Baron, ayahnya, yang duduk di kursi sebelahnya sambil menyeruput kopi dengan tenang. Nadine tidak bisa menyembunyikan keraguannya mengenai rencana ayahnya.“Papa, kau yakin Darren akan mau? Maksudku... kita sudah mengatakan kepada banyak orang, termasuk Kemal, bahwa aku bertunangan dengan Darren,” ujar Nadine sambil menghela napas panjang. Ia menatap ayahnya dengan cemas. “Tapi aku tidak yakin Ia akan begitu saja menerimanya. Kami sudah lama tidak bertemu, aku takut ia sudah memiliki pilihan sendiri.”Baron menaruh cangkir kopinya ke meja, memandang putrinya dengan penuh keyakinan. "Nadine, tenang saja. Darren pasti tidak akan menolak. Kau tahu, dulu saat masih kecil, Darren sangat dekat denganmu. Bahkan dia... mencintaimu," kata Baron sambil tersenyum, mencoba mengingatkan Nadine pada masa lalu mereka.Nadine memalingkan pandangannya sejenak, merasa terhibur dengan kata-ka
Darren menghempaskan dirinya ke sofa di apartemennya. Hari itu, ia sudah lelah berhadapan dengan berbagai intrik di kantor, namun baru saja ia merasa bisa menikmati ketenangan, teleponnya berdering. Nama "Spy Eye" muncul di layar, membuatnya langsung waspada. Sebagai orang kepercayaannya, Spy Eye biasanya hanya melaporkan hal-hal penting."Ya, ada apa?" Darren bertanya langsung setelah mengangkat telepon."Bos, ada masalah besar," suara Spy Eye terdengar serak. "Para manajer itu... mereka tewas. Seseorang berhasil menyusup tempat mereka disembunyikan."Darren terdiam, merasakan amarah yang hendak meledak dalam dirinya. Para pelaku penggelapan dana perusahaan itu adalah saksi kunci untuk menjerat Baron. Dengan kematian mereka, rencananya untuk membongkar kejahatan Baron menjadi semakin sulit."Bagaimana bisa? Bukankah kau sudah mengamankan lokasi itu dengan baik?" suara Darren terdengar tegas, hampir seperti gemuruh."Kami sudah melakukan pengamanan berlapis, Bos. Tapi sepertinya ada s
“Baiklah, aku akan segera menemuinya,” ucap Darren kepada staf itu.Perempuan itu kemudian meninggalkan ruangan Darren. Sementara pemuda itu sedang berpikir keras menebak apa yang direncanakan putri Baron itu.Darren memutuskan untuk menghadapi Nadine dengan hati-hati. Ia tahu betul gadis itu cenderung arogan dan agresif, apalagi sebagai putri Baron, Nadine terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan. Darren menarik napas panjang, berusaha menyiapkan mentalnya. Ia tahu bahwa sekadar satu langkah emosional saja bisa menghancurkan penyamarannya dan seluruh rencana yang telah ia susun dengan hati-hati.Setibanya di ruangan Nadine, ia mengetuk pintu dengan pelan, dan dari dalam terdengar suara Nadine yang dingin, “Masuk!”Darren mendorong pintu dan melangkah masuk. Nadine berdiri dengan angkuh di depan meja kerjanya, menatap Darren dari ujung kepala sampai kaki. Ia tidak mempersilakan Darren duduk, menunjukkan niatnya untuk mengontrol emosi orang.“Mulai sekarang, aku yang memimpin di perus
Bab 19. Serangan Pertama Setelah Menjadi CEODarren mengemudikan mobilnya keluar dari gedung perkantoran Anugerah Langit Corporation, matanya tajam memindai setiap detail di jalanan yang sepi. Suasana hatinya masih dipenuhi kepuasan setelah pengangkatan dirinya sebagai CEO berhasil memojokkan Nadine dan tentunya akan menjadi sebuah pukulan bagi Baron. Namun, ia tahu Baron dan anaknya tidak mungkin berdiam diri membiarkan keadaanitu.Saat melewati tikungan tajam di jalan sunyi menuju rumahnya, suara ledakan mendadak terdengar keras dari sisi kanan mobil. Ban depan kanan mobilnya meledak, membuat kendaraan itu kehilangan keseimbangan seketika. Kecepatan mobil yang sedang melaju cukup tinggi membuatnya terhuyung ke kanan, nyaris menabrak pembatas jalan.Darren menggenggam setir dengan kuat, tubuhnya tegang namun pikirannya tetap fokus. Sadar ini adalah upaya sabotase, ia dengan cepat memutar setir ke kiri untuk menyeimbangkan posisi kendaraan. Jantungnya berdegup kencang, namun Darren tak
Darren menatap Roky dan keempat karyawan lainnya dengan penuh ketenangan. “Saya mengerti kalian merasa ada ketidakcocokan, tapi kalian tahu, mencari pekerjaan yang stabil di luar sana tidaklah mudah. Di sini, kalian sudah memiliki posisi yang baik, penghasilan yang cukup, dan lingkungan kerja yang kondusif. Kalian mau menyerahkannya begitu saja hanya karena provokasi dari seseorang yang ingin melihat perusahaan ini jatuh?”Roky dan yang lainnya tampak terdiam, menatap Darren dengan tatapan yang berubah, mulai memikirkan kembali keputusan mereka.“Orang yang memprovokasi kalian tahu bahwa kepemimpinan saya berarti akan ada perubahan besar, dan perubahan itu tidak akan menguntungkan mereka. Mereka ingin memanfaatkan emosi kalian untuk melemahkan perusahaan ini. Namun, saya di sini bukan untuk sekadar memimpin, saya ingin membuat perusahaan ini lebih kuat, dan saya ingin kesejahteraan kalian meningkat seiring berkembangnya perusahaan.”Kata-kata Darren tampaknya mulai menggugah hati mere
Darren mengangkat alisnya, menatap tajam ke arah Nadine. "Tentu saja aku mengizinkannya, Bu Nadine," ujarnya dengan suara tegas.Nadine tersentak, matanya membelalak tajam. “Izin darimu, Kemal? Mana bisa aku melapor pada direksi hanya berdasarkan izin seorang karyawan biasa!”Darren menyeringai dingin. "Bu Nadine, sepertinya Anda lupa. Saya bukan sekadar karyawan biasa. Saya adalah CEO perusahaan ini," ucapnya, sambil menyiratkan tatapan penuh kuasa.Ekspresi Nadine langsung berubah drastis. Raut panik muncul di wajahnya, menyadari bahwa sosok yang selama ini ia remehkan adalah CEO yang diangkat oleh pemilik perusahaan. Seolah-olah seluruh pertahanan dirinya runtuh dalam sekejap. Wajahnya pucat, namun ia berusaha mengendalikan diri. "A-apakah anda yang berhak memberikan izin?" ucapnya gelagapan.Darren hanya mengangguk tipis. "Benar sekali, Bu Nadine. Semua aktivitas perusahaan ini ada di bawah kendali saya. Sekarang, mari kita buka rekaman CCTV, agar kita semua tahu kebenarannya."De
Di kantor cabang Anugerah Langit Corporation di Bandung, Baron duduk di kursi besar di belakang meja kerjanya, tampak gelisah. Pikirannya terfokus pada masalah asisten Nadine yang seharusnya sudah dibungkam. Ia kemudian mendengar suara langkah kaki dari luar ruangannya. Dua orang kepercayaannya, Anton dan Rudi, masuk dengan ekspresi penuh rasa bersalah, mengenakan pakaian serba hitam dan kacamata hitam khas yang biasa mereka pakai dalam misi rahasia. "Maafkan kami, Pak Baron," kata Anton dengan nada menyesal. "Kami gagal menjalankan tugas. Asisten Nona Nadine itu tidak ada di penjara polisi seperti yang diinformasikan kepada kami." Rudi mengangguk, menambahkan, "Kami sudah memeriksa setiap sel, tapi tak ada tanda-tanda keberadaannya." Mata Baron menyipit penuh amarah. "Kalian yakin sudah mengecek dengan benar? Apakah kalian benar-benar yakin dia tidak ada di sana?" suaranya menggema dalam ruangan, menyiratkan kekecewaan. "Kami yakin, Pak," jawab Anton. "Kami bahkan sudah mengonfirm
Dina terdiam sejenak, seolah menghimpun keberanian sebelum akhirnya bercerita. “Nadine menyuruhku menjebak Keisha. Dia memberiku sejumlah uang dan menyuruhku memasukkan uang ke tasnya. Kode keamanan brankas ia juga yang memberikan kepadaku,” kata Dina, suaranya pelan, namun jelas.Darren mendengarkan dengan seksama, wajahnya tak menunjukkan ekspresi, tapi matanya penuh ketegangan. Salah satu pria di ruangan itu mengaktifkan perekam suara dan video untuk merekam setiap aktivitas di ruangan itu.“Setelah itu, Nadine juga mengancamku,” lanjut Dina, dengan nada gemetar. “Jika aku mencoba mengkhianatinya, dia berjanji akan membuat hidupku hancur. Aku ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa.”Darren menatap Dina dengan empati. “Jangan khawatir, Dina. Mulai sekarang, kau akan aman. Aku akan memastikan kau bisa meninggalkan negara ini dengan selamat.”Dina terisak lega, dan Darren memberi isyarat kepada salah satu pria di ruangan itu. Pria itu menyerahkan sebuah kartu atm. “Di sini ada sat
Seminggu telah berlalu sejak Darren kembali dari Singapura. Namun, suasana di rumah sakit tetap penuh ketegangan. Tuan Harison tetap dirawat dengan perhatian ketat tanpa ada kemajuan yang berarti, sementara Darren terus memantau situasi melalui tim pengintainya. Silvia mulai menunjukkan rasa tidak nyaman dengan rutinitas monoton di rumah sakit.“Darren, aku rasa rawat jalan di rumah akan lebih baik untuk ayahmu. Lingkungan rumah jauh lebih nyaman dibandingkan tempat ini,” ucap Silvia suatu pagi saat Darren mengunjunginya.Namun, Darren menggeleng tegas. “Tidak, Bu. Di rumah sakit, keamanan dan pengawasan jauh lebih terjamin. Aku tidak ingin mengambil risiko, terutama setelah insiden yang terjadi sebelumnya.”Silvia mendesah, menyembunyikan kekecewaannya. “Baiklah, Darren. Tapi jangan lupa, aku ingin kembali ke rumah sesekali jika keadaanku sudah memungkinkan.”Darren hanya mengangguk kecil, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu yang lebih mend
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba