Richard mencoba berbicara sekali lagi, suaranya penuh keputusasaan. "Tuan William, saya mohon, dengarkan saya. Orang ini... dia hanya berpura-pura! Kartu VIP itu pasti palsu, atau dia hanya membuat-buat cerita untuk menipu kita semua!"Tuan William menatap Richard dengan kemarahan yang kini tak lagi bisa ia kendalikan. Ia mengangkat tangannya, dan dalam sekejap menampar Richard dengan tegas. Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan, membuat beberapa tamu di sekitar mereka terkesiap.“Aku sudah cukup dengan omong kosongmu, Richard!” suara Tuan William terdengar tajam dan penuh kemarahan. “Kau tahu apa arti kartu VIP Gold di tempat ini? Aku hanya membuat satu, hanya satu, dan aku tahu bagaimana bentuknya. Pemilik kartu VIP Gold ini sama saja ia menjadi pemilik restoran ini.”Richard terpaku, wajahnya mulai memucat saat ia menyadari besarnya kesalahan yang ia lakukan. Tubuhnya mulai bergetar, dan ia perlahan jatuh berlutut di lantai, memohon ampun.“Tuan William, saya... saya mohon.
Tiga hari setelah insiden di restoran, suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation terasa lebih tegang dari biasanya. Para karyawan saling berbisik, bertukar kabar bahwa Baron, Direktur Cabang yang jarang terlihat di kantor pusat, datang dengan wajah dingin. Nadine berjalan mendampingi ayahnya dengan tatapan licik, seolah yakin rencananya akan berjalan sempurna.Di ruangan Nadine, Baron duduk dengan angkuh di kursi besar sambil menunggu Darren—atau yang lebih dikenal di sini sebagai Kemal. Ia tahu putrinya telah mengatur pertemuan ini untuk memberi pelajaran kepada pria yang berani menentangnya.Tak lama kemudian, pintu diketuk dan Darren melangkah masuk dengan tenang. Nadine meliriknya dengan tatapan sinis, sementara Baron hanya menatapnya tajam tanpa mempersilahkannya duduk.Darren berdiri tegak, menatap balik Baron dengan tatapan menantang. Hanya suara napas Nadine yang terdengar di ruangan yang sunyi itu. Darren bisa merasakan suasana tegang di tempat itu, tapi ia tetap tenan
Malam itu, Nadine duduk di ruang tamu besar rumah keluarganya, merengut dengan wajah penuh kekesalan. Ia menatap Baron, ayahnya, yang duduk di kursi sebelahnya sambil menyeruput kopi dengan tenang. Nadine tidak bisa menyembunyikan keraguannya mengenai rencana ayahnya.“Papa, kau yakin Darren akan mau? Maksudku... kita sudah mengatakan kepada banyak orang, termasuk Kemal, bahwa aku bertunangan dengan Darren,” ujar Nadine sambil menghela napas panjang. Ia menatap ayahnya dengan cemas. “Tapi aku tidak yakin Ia akan begitu saja menerimanya. Kami sudah lama tidak bertemu, aku takut ia sudah memiliki pilihan sendiri.”Baron menaruh cangkir kopinya ke meja, memandang putrinya dengan penuh keyakinan. "Nadine, tenang saja. Darren pasti tidak akan menolak. Kau tahu, dulu saat masih kecil, Darren sangat dekat denganmu. Bahkan dia... mencintaimu," kata Baron sambil tersenyum, mencoba mengingatkan Nadine pada masa lalu mereka.Nadine memalingkan pandangannya sejenak, merasa terhibur dengan kata-ka
Darren menghempaskan dirinya ke sofa di apartemennya. Hari itu, ia sudah lelah berhadapan dengan berbagai intrik di kantor, namun baru saja ia merasa bisa menikmati ketenangan, teleponnya berdering. Nama "Spy Eye" muncul di layar, membuatnya langsung waspada. Sebagai orang kepercayaannya, Spy Eye biasanya hanya melaporkan hal-hal penting."Ya, ada apa?" Darren bertanya langsung setelah mengangkat telepon."Bos, ada masalah besar," suara Spy Eye terdengar serak. "Para manajer itu... mereka tewas. Seseorang berhasil menyusup tempat mereka disembunyikan."Darren terdiam, merasakan amarah yang hendak meledak dalam dirinya. Para pelaku penggelapan dana perusahaan itu adalah saksi kunci untuk menjerat Baron. Dengan kematian mereka, rencananya untuk membongkar kejahatan Baron menjadi semakin sulit."Bagaimana bisa? Bukankah kau sudah mengamankan lokasi itu dengan baik?" suara Darren terdengar tegas, hampir seperti gemuruh."Kami sudah melakukan pengamanan berlapis, Bos. Tapi sepertinya ada s
“Baiklah, aku akan segera menemuinya,” ucap Darren kepada staf itu.Perempuan itu kemudian meninggalkan ruangan Darren. Sementara pemuda itu sedang berpikir keras menebak apa yang direncanakan putri Baron itu.Darren memutuskan untuk menghadapi Nadine dengan hati-hati. Ia tahu betul gadis itu cenderung arogan dan agresif, apalagi sebagai putri Baron, Nadine terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan. Darren menarik napas panjang, berusaha menyiapkan mentalnya. Ia tahu bahwa sekadar satu langkah emosional saja bisa menghancurkan penyamarannya dan seluruh rencana yang telah ia susun dengan hati-hati.Setibanya di ruangan Nadine, ia mengetuk pintu dengan pelan, dan dari dalam terdengar suara Nadine yang dingin, “Masuk!”Darren mendorong pintu dan melangkah masuk. Nadine berdiri dengan angkuh di depan meja kerjanya, menatap Darren dari ujung kepala sampai kaki. Ia tidak mempersilakan Darren duduk, menunjukkan niatnya untuk mengontrol emosi orang.“Mulai sekarang, aku yang memimpin di perus
Bab 19. Serangan Pertama Setelah Menjadi CEODarren mengemudikan mobilnya keluar dari gedung perkantoran Anugerah Langit Corporation, matanya tajam memindai setiap detail di jalanan yang sepi. Suasana hatinya masih dipenuhi kepuasan setelah pengangkatan dirinya sebagai CEO berhasil memojokkan Nadine dan tentunya akan menjadi sebuah pukulan bagi Baron. Namun, ia tahu Baron dan anaknya tidak mungkin berdiam diri membiarkan keadaanitu.Saat melewati tikungan tajam di jalan sunyi menuju rumahnya, suara ledakan mendadak terdengar keras dari sisi kanan mobil. Ban depan kanan mobilnya meledak, membuat kendaraan itu kehilangan keseimbangan seketika. Kecepatan mobil yang sedang melaju cukup tinggi membuatnya terhuyung ke kanan, nyaris menabrak pembatas jalan.Darren menggenggam setir dengan kuat, tubuhnya tegang namun pikirannya tetap fokus. Sadar ini adalah upaya sabotase, ia dengan cepat memutar setir ke kiri untuk menyeimbangkan posisi kendaraan. Jantungnya berdegup kencang, namun Darren tak
Darren menatap Roky dan keempat karyawan lainnya dengan penuh ketenangan. “Saya mengerti kalian merasa ada ketidakcocokan, tapi kalian tahu, mencari pekerjaan yang stabil di luar sana tidaklah mudah. Di sini, kalian sudah memiliki posisi yang baik, penghasilan yang cukup, dan lingkungan kerja yang kondusif. Kalian mau menyerahkannya begitu saja hanya karena provokasi dari seseorang yang ingin melihat perusahaan ini jatuh?”Roky dan yang lainnya tampak terdiam, menatap Darren dengan tatapan yang berubah, mulai memikirkan kembali keputusan mereka.“Orang yang memprovokasi kalian tahu bahwa kepemimpinan saya berarti akan ada perubahan besar, dan perubahan itu tidak akan menguntungkan mereka. Mereka ingin memanfaatkan emosi kalian untuk melemahkan perusahaan ini. Namun, saya di sini bukan untuk sekadar memimpin, saya ingin membuat perusahaan ini lebih kuat, dan saya ingin kesejahteraan kalian meningkat seiring berkembangnya perusahaan.”Kata-kata Darren tampaknya mulai menggugah hati mere
Darren mengangkat alisnya, menatap tajam ke arah Nadine. "Tentu saja aku mengizinkannya, Bu Nadine," ujarnya dengan suara tegas.Nadine tersentak, matanya membelalak tajam. “Izin darimu, Kemal? Mana bisa aku melapor pada direksi hanya berdasarkan izin seorang karyawan biasa!”Darren menyeringai dingin. "Bu Nadine, sepertinya Anda lupa. Saya bukan sekadar karyawan biasa. Saya adalah CEO perusahaan ini," ucapnya, sambil menyiratkan tatapan penuh kuasa.Ekspresi Nadine langsung berubah drastis. Raut panik muncul di wajahnya, menyadari bahwa sosok yang selama ini ia remehkan adalah CEO yang diangkat oleh pemilik perusahaan. Seolah-olah seluruh pertahanan dirinya runtuh dalam sekejap. Wajahnya pucat, namun ia berusaha mengendalikan diri. "A-apakah anda yang berhak memberikan izin?" ucapnya gelagapan.Darren hanya mengangguk tipis. "Benar sekali, Bu Nadine. Semua aktivitas perusahaan ini ada di bawah kendali saya. Sekarang, mari kita buka rekaman CCTV, agar kita semua tahu kebenarannya."De
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba
Darren mengikuti langkah polisi menuju ruang interogasi. Sesekali, ia melirik Silvia yang berjalan di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tampak tulus. Namun, di dalam hatinya, Darren merasa ada sesuatu yang salah. Jika Silvia benar-benar terkejut dengan tuduhan ini, maka siapa yang sebenarnya berada di balik rencana pembunuhan terhadap ayahnya? Apakah Sofia benar-benar satu-satunya pelaku, ataukah ini lebih rumit dari dugaan awalnya?Sesampainya di ruang interogasi, polisi meminta Darren dan Silvia untuk duduk. Ruangan itu dingin dan steril, hanya dihiasi meja dan dua kursi di tiap sisi. Salah satu polisi membuka catatan di tangannya dan memulai pertanyaan.“Tuan Darren, dapatkah Anda menjelaskan jadwal Anda selama beberapa hari terakhir?” tanyanya dengan nada resmi.Darren menjawab dengan tenang, memberikan alibi yang sudah disiapkan. “Saya berada di Luar Negeri. Baru kali ini pulang, karena mendapat kabar keadaan ayah. Malamnya, saya langsung menuju rumah sakit untuk
Malam semakin larut, tetapi ketegangan di markas kecil tim Spy Eye tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Darren duduk dengan ekspresi serius di meja kerja, dikelilingi layar yang menampilkan data-data terbaru dari penyelidikan. Di seberangnya, Spy Eye berdiri dengan sikap ragu, seperti seseorang yang harus menyampaikan kabar buruk.“Maaf bos, ketegangan ini membuatku lupa menyampaikan informasi penting lainnya!” ucap Spy Eye“Apa maksudmu ada informasi penting yang belum kau sampaikan?” Darren menatap lurus ke arah mata Spy Eye, nada suaranya tegas.Spy Eye menarik napas panjang sebelum berbicara. “Maaf, Boss. Kami baru saja memeriksa ulang data latar belakang Ibu Anda. Silvia Harrison, atau Silvia Bara, adalah putri sekaligus pewaris keluarga Bara. Semasa mudanya, beliau pernah menjadi CEO dari perusahaan ayahnya. Perusahaan itu kemudian di-merger dengan perusahaan keluarga Harrison, hingga terbentuklah grup Anugerah Langit Corporation.”Darren mendengus pelan. “Itu bukan hal baru ba
Setelah pertemuan itu, Darren kembali ke ruang tunggu, memastikan ibunya tidak mencurigai apa pun. Saat ia tiba, Silvia tampak sedang berbicara dengan salah satu dokter, tetapi ekspresinya tetap tenang ketika melihat Darren mendekat.“Ada kabar baru?” tanya Silvia.“Tidak ada yang penting, Bu. Hanya beberapa hal administratif,” jawab Darren sambil duduk di sebelahnya.Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di tempat lain di rumah sakit, tim Spy Eye sudah mulai bergerak. Seorang ahli kedokteran yang mereka kirim, Dr. Elaine, seorang dokter forensik dengan pengalaman luas, memasuki rumah sakit dengan identitas yang dirahasiakan.Dr Elaine mulai memeriksa Tuan Harrison. Dari pemeriksaan Darah, air liur, hingga yang lainnya yang diperlukan sudah diperiksa. Beberapa saat kemudian ia pun selesai melakukan pemeriksaan. Ia meminta Spy Eye mengajak Darren bertemu di luar.Sesaat kemudian, Spy Eye langsung menghubungi Darren. Ia menyampaikan keinginan dokter Elaine untuk bertemu. "Ba
Darren menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku hanya memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk ayah,” jawabnya singkat.Namun, Silvia tidak puas dengan jawaban itu. “Darren, aku ibumu. Aku tahu ada sesuatu yang tidak kau katakan. Kau tidak pernah datang ke sini hanya untuk formalitas. Apa yang kau ketahui?”Darren tetap diam, berusaha menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa pun. Ia tahu bahwa siapapun bisa menjadi pelaku, termasuk ibunya sendiri. Namun, tatapan Silvia yang penuh selidik membuat Darren semakin sulit menyembunyikan kegelisahannya.“Darren, jika ada sesuatu yang mengancam ayahmu atau keluarga ini, aku harus tahu,” tekan Silvia lagi.Sebelum Darren sempat menjawab, telepon di saku jasnya bergetar. Ia mengangkat telepon itu dengan gerakan cepat.“Boss, kami sudah tiba di rumah sakit. Tim sedang memulai penyelidikan. Ada beberapa staf yang gerak-geriknya mencurigakan, terutama di sekitar ruang ICU. Kami aka