Darren merasa denyut jantungnya meningkat saat mendengar jawaban Bu Vina. “Ke rekening Ayahku?” tanyanya, memastikan. Bu Vina mengangguk menanggapi. “Aku rasa itu tidak mungkin. Semua rekening ayah sudah dipindahnamakan kepadaku. Segala sesuatu berkenaan dengan perusahaan saat ini semuanya dialihkan padaku.”
Bu Vina menatap Darren dengan penuh kebingungan. “Tapi laporan keuangan menunjukkan aliran dana yang menuju ke rekening ayahmu. Laba perusahaan dibagi menjadi dua, enam puluh persen dan empat puluh persen. Keduanya rekening atas nama Tuan Harison.”
Darren merasakan kegelisahan. “Jika semua sudah dialihkan kepadaku, bagaimana mungkin dana itu masih mengalir ke rekening Ayah? Ada sesuatu yang tidak beres di sini, Bu Vina. Itu artinya pendapatan bersih perusahaan bukan hanya mengalir kepadaku, tapi juga ke rekening itu.”
Di luar, petir menggelegar dan hujan mulai turun deras, suara gemuruhnya seolah mencerminkan ketegangan yang menyelimuti mereka. Suasana di dalam restoran menjadi sedikit mencekam.
Sebuah notifikasi masuk ke telepon genggam Darren. Ia memeriksanya. Ada pesan dari Keisha masuk. ‘Mas besok aku akan mengantar lamaran. Do’a kan semua berjalan lancar!’
Wajah Darren sedikit berubah. Ia baru sadar nomor telepon yang ia berikan kepada Keisha ternyata nomor pribadinya sebagai Darren. Sempat ada perasaan khawatir, namun itu hanya sesaat lalu semua berlalu, dan Darren terpikir sebuah rencana.
“Bu Vina, untuk masalah rekening kedua itu biar aku yang mengurusnya. Aku ingin kau bantu aku memasukkan salah satu kenalanku bekerja di perusahaan pusat. Aku tidak ingin orang-orang perusahaan tahu, dia aku yang merekomendasikan. Bahkan akan lebih baik, orang juga tidak tahu kau membantunya,”
“Baik Mas Darren. Akan aku atur semuanya!”
Setelah pembicaraan terakhir itu, keduanya menikmati makanan yang mereka pesan. Tak lama kemudian keduanya meninggalkan tempat itu. Darren melaju dengan mobil mewahnya bersama seorang supir ke jalan yang cukup sepi. Ia terlihat menghubungi seseorang melalui telepon selulernya.
“Pak, berhenti di sini saja!” ucap Darren.
Mobil berhenti. Kemudian dengan tergesa-gesa supir itu keluar mobil lalu membukakan pintu untuk Darren. Pemuda itu mengucapkan terima kasih sambil keluar dari mobil.
Tak lama kemudian seorang lelaki gagah berpakaian serba hitam dengan jaket kulit sebagai atasannya. Ia mengenakan kacamata hitam membuat kesan gagah bertambah kuat. Wajahnya menunjukkan kekerasan sikap. Ia menggunakan motor butut yang biasa dipakai Darren.
Lelaki itu menghentikan motor tak jauh dari Daren berada. Ia menghampiri Darren dan membungkukkan badan menunjukkan rasa hormat. Lalu lelaki itu memberikan kunci motor yang ia pakai kepada Darren.
“Katakan kepada ‘Es Ei’ untuk menyiapkan dokumen pemindahan rekening perusahaan menjadi tunggal dan atas namaku. Aku juga ingin ia mengambil alih rekening kedua perusahaan dan menyelidiki semua transaksi di rekening itu!”
“Baik Tuan!”
Ucapan Darren terdengar tegas. Ucapan itu langsung ditanggapi penuh hormat oleh lelaki yang baru datang tadi. Lalu, Darren meninggalkan tempat itu dengan motor bututnya. Ia kembali ke apartemen sederhananya sebagai seorang Kemal Halim.
Keesokan harinya, Keisha datang di kantor Pusat Anugerah Langit Corporation. Ia menyempatkan diri menyapa Darren yang saat itu menyamar menjadi satpam. Setelah berbicara sebentar, Keisha di arahkan menemui Manajer SDM perusahaan.
Keisha langsung bertemu dengan sang Manajer. Ia menyerahkan berkas lamaran yang sudah disiapkan. Setelah membaca semua berkas, nampak Pak Heru nama manajer itu mengangguk-anggukkan kepala.
“CV yang bagus. Saya rasa anda berhak mendapat kesempatan bekerja di tempat ini. Apakah anda siap bekerja hari ini juga?” ucap Pak Heru.
Keisha terlihat sangat senang. Ia menyanggupi permintaan Pak Heru untuk langsung bekerja. Setelah melalui proses administrasi yang cukup panjang, Keisha akhirnya duduk di mejanya yang baru. Di sekelilingnya, suasana ruangan penuh dengan kesibukan, suara ketukan keyboard, dan bisikan rekan-rekan kerja yang tampak serius. Ruangan Departemen Keuangan sebagai staf yang dipercayakan kepadanya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki paruh baya dengan penampilan rapi, berusia sekitar 45 tahun, memanggilnya. “Keisha, masuk ke ruangan saya sebentar,” ucap Pak Jaya, Manajer departemen keuangan, dengan nada yang tegas.
Keisha mengikuti langkah Pak Jaya menuju ruangannya. Begitu pintu tertutup, suasana langsung terasa lebih formal. Pak Jaya duduk di belakang meja kayu besar, mengamati Keisha dengan tatapan yang penuh pertanyaan.
“Selamat datang di departemen keuangan. Saya harap kamu siap untuk pekerjaan ini,” ucap Pak Jaya, tetapi nada suaranya menunjukkan sedikit ketidakpastian. “Ada sedikit yang ingin saya tanyakan.”
Keisha tersenyum, mengangguk penuh hormat. “Pertanyaan apa itu pak?” jawabnya.
“Aku tidak mengerti bagaimana bisa kamu langsung ditempatkan di sini? Ini posisi yang cukup penting, dan saya tidak melihat pengalaman kerja yang mencukupi di latar belakangmu.”
Keisha merasakan gelombang ketegangan menghantam. “Saya sendiri tidak mengerti pak. Saya hanya mengikuti saran seorang teman untuk melamar di perusahaan ini. Mas Kemal yang bekerja sebagai satpam di sini, Pak. Ia yang merekomendasikan saya untuk melamar,” jawabnya dengan suara tenang.
Pak Jaya menatapnya dalam-dalam, seolah berusaha mencari tahu kebenaran di balik perkataannya. Ia memang sudah menyelidiki latar belakang Keisha dan tidak menemukan informasi apapun yang menunjukkan gadis itu memiliki relasi dengan orang-orang penting di perusahaan ini.
“Apakah kamu benar-benar tidak tahu?”
Keisha mengangguk dengan mantap. “Saya sama sekali tidak mengetahui.”
Sikap tulusnya tampaknya bisa sedikit melunakkan ketegangan di ruangan itu. Pak Jaya kembali memeriksa berkas-berkas di mejanya, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, Keisha. Saya akan memberi kamu kesempatan. Tapi, saya ingin kamu ingat, di sini tidak ada tempat untuk kesalahan. Bekerja dengan teliti dan jangan ragu untuk bertanya jika kamu membutuhkan bantuan.”
“Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin,” balas Keisha, merasa sedikit lebih lega.
Setelah pertemuan itu, Keisha kembali ke mejanya, berusaha menciptakan kesan yang baik. Ia sendiri memang berkata jujur.
***
Sepekan kemudian…
“Tuan Baron, ada berita gawat!”
“Berita apa?”
Baron bersuara tegas. Ia yang sejak tadi sibuk di kantor cabang mendapat panggilan seluler dari Kepala Manajer kantor pusat. Ucapan gugup dari penelpon membuatnya sedikit cemas.
“Semua rekening keuangan perusahaan sudah dialihkan. Tuan Darren membuat rekening baru perusahaan dan mengganti yang lama. Semua transaksi perusahaan akan masuk ke rekening itu. Rekening pemilik perusahaan yang menerima laba bersih juga berganti. Kini hanya menjadi satu rekening, milik tuan Darren.”
“Apaa! Bagaimana bisa? Mengapa tidak ada pemberitahuan sebelumnya?” sahut Baron membentak.
Dengan gugup Leo, sang Kepala Manajer menjelaskan bahwa semua dilakukan secara mendadak dan langsung oleh Pengacara Darren. Tidak ada yang berani protes, karena hal itu memang sepenuhnya menjadi hak pemilik perusahaan.
“Hmmm… anak itu benar-benar merepotkan. Tidak kusangka cukup pintar. Tapi rekening kedua itu tidak akan bisa ia ambil alih. Di sana cukup banyak uang tersimpan!” ucap Baron dengan nada penuh kemenangan.
“Ti-tidak Tuan Baron. Rekening itu juga sudah diambil alih, kita tidak bisa mengaksesnya lagi…”
Wajah Baron nampak berubah menjadi tegang.
Braakkkkk!
“Bedebah!” umpatnya sambil menggebrak meja. “Berani sekali anak itu! Ia telah mengibarkan bendera perang kepadaku! Akan kubuat ia bernasib sama dengan ayahnya…,” ucapnya dengan tatapan amarah sambil menutup teleponnya.
Suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation yang biasanya sibuk dan dinamis berubah menjadi tegang ketika sebuah mobil polisi terparkir di halaman. Karyawan-karyawan yang sedang menikmati istirahat siang mereka segera berhenti, menatap ke arah mobil dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang tidak nyaman.Pak Leo, Kepala Manajer perusahaan yang terkenal perfeksionis, kini terlihat berantakan. Ia berdiri di depan pintu masuk kantor dengan tangan terborgol, wajahnya menunjukkan kombinasi antara ketidakpercayaan dan kemarahan. Seorang polisi muda, dengan nada tegas, berusaha menjelaskan situasi kepada Leo.“Pak Leo, kami memiliki bukti yang cukup kuat mengenai dugaan penggelapan dana perusahaan yang Anda lakukan. Kami perlu membawa Anda untuk proses lebih lanjut,” ucap polisi itu, sambil menatap langsung ke arah Leo. Ia juga menunjukkan surat penangkapan resmi kepolisian untuk Leo.“Tunggu sebentar! Ini s
Pagi itu, matahari baru saja merangkak naik, tapi emosi Darren sudah dibuat menyala seperti api. Ponselnya berdering, dan di layar muncul nama Vina.“Mas Darren, ada yang ingin aku sampaikan. Mulai hari ini, Nadine resmi bekerja di kantor pusat sebagai Kepala Manajer,” suara Vina terdengar lembut, dan penuh kehati-hatian.Darren terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada menahan marah.“Siapa yang membuat keputusan itu? Baron?!”Vina menarik nafas dalam, seakan sudah siap menerima luapan marah Darren. “Bukan, ini permintaan dari ibumu sendiri. Dan, kabarnya sudah mendapatkan persetujuan dari Tuan Harison.”Kemarahan Darren tak bisa dibendung lagi. Wajahnya memerah, dan otot-otot di rahangnya menegang.“Hmmmm… Vina, bukankah semua urusan dan kewenangan perusahaan sekarang sudah sepenuhnya di tanganku? Bagaimana bisa keputusan sepenting ini diambil tanpa sepengetahuanku?”Di ujung telepon, Vina hanya bisa mendengarkan. Ia tahu Darren bukan sekadar kesal—ia merasa dikhianati.“Dengar, Vin
"Periksa setiap transaksi keluar masuk di rekening Leo. Apa pun yang mencurigakan, aku ingin laporan langsung.” "Semua data lengkap transaksi keluar dan masuk rekening Leo sudah kami serahkan kepada pengacara. Saat ini kepolisian sudah menindaklanjuti bukti-bukti yang diberikan.”"Bagus, Kerjakan cepat dan profesional, tidak salah aku memilih kalian untuk menjadi pasukan khusus membantuku. Sebelum polisi bergerak, aku ingin sudah tahu siapa saja yang bermain di belakang Leo.”Darren mengakhiri panggilannya dan memandang keluar jendela kaca. Langit mendung seakan mencerminkan suasana hatinya penuh waspada dan dingin.Keesokan harinya, suasana kantor pusat perusahaan Anugerah Langit Corporation terasa lebih hening daripada biasanya. Karyawan duduk di kubikel masing-masing, menunduk sambil mengetik, seakan takut suara keyboard mereka terdengar terlalu keras. Kabar tentang kematian Leo masih menghantui banyak orang, dan tanpa disadari, rasa curiga mulai menjalar di antara mereka. Beberap
Pagi itu, suasana di kantor pusat Anugerah Langit Corporation berubah drastis. Para karyawan berkumpul di lobi utama, berbisik-bisik. Isu tentang perombakan besar-besaran telah tersebar sejak beberapa hari sebelumnya, tapi tidak ada yang menyangka semuanya akan terjadi begitu cepat. Kehadiran Vina, yang dianggap wanita ambisius dengan reputasi tak terbantahkan, dan Darren yang dikenal sebagai Kemal sosok seorang satpam baru yang tiba-tiba menduduki posisi strategis, membuat kantor pusat bak sarang lebah yang diguncang.Di depan para karyawan yang berkumpul, Vina berdiri anggun dengan jas formalnya. Di tangannya ada amplop besar dengan logo perusahaan dan tanda tangan pemilik di bagian segel. Ia melangkah dengan percaya diri ke arah podium lobi, mengamati kerumunan karyawan.“Selamat pagi, semuanya. Saya di sini membawa kabar penting,” ujar Vina dengan suara tegas namun halus. “Mulai hari ini, akan ada beberapa perubahan signifikan di perusahaan ini."Tatapan Vina berkeliling, mengunc
Suara mobil Nadine terdengar memasuki halaman mansion mewah keluarga Baron. Udara dingin malam itu terasa semakin berat di bahunya. Ia melangkah cepat melewati pintu utama dengan wajah tegang, memikirkan perubahan mendadak di kantor pusat Anugerah Langit Corporation.Di ruang tamu, Baron pria paruh baya dengan wajah keras dan mata mencorong tajam sedang menikmati secangkir coffee. Ia duduk di kursi kulit berwarna hitam, dikelilingi dekorasi elegan yang menunjukkan kekuasaan dan kekayaannya. Namun, begitu Nadine masuk dengan langkah berat, suasana nyaman itu sirna.“Mengapa wajahmu kusut seperti itu? Ada apa nak?” tanya Baron tanpa basa-basi, suaranya dalam dan dingin.Nadine duduk di hadapan ayahnya, berusaha menahan kegelisahannya. "Semua sudah berubah, Ayah," ujarnya pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk suasana. "Vina... dia diangkat menjadi Direktur Utama. Aku hanya dijadikan wakil. Dan yang lebih gila, Kemal… satpam itu diangkat jadi Kepala Manajer SDM."Baron yang awalnya duduk
Fajar baru saja menyentuh langit penjara, menggantikan kegelapan malam dengan warna oranye lembut. Bau beton lembab bercampur dengan embusan udara pagi yang dingin menyelimuti blok tahanan. Di koridor sempit itu, lima pria keluar dengan langkah terburu-buru. Mereka adalah mantan manajer dari Anugerah Langit Corporation, wajah-wajah yang pernah memegang kendali di divisi penting perusahaan."Tak kusangka kita benar-benar dibebaskan!" seru Heru, pria bertubuh tegap dengan rambut acak-acakan, sembari memeluk bahu teman di sampingnya."Bungkam kita tidak sia-sia," jawab Beni dengan nada puas, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. “Tuan Baron pasti sudah menyusun rencana baru. Ini hadiah kita.”Mereka berjalan melewati gerbang besar penjara, diiringi tatapan iri beberapa napi lain yang tertinggal. Saat kaki mereka menyentuh aspal halaman luar penjara, mata kelima pria itu langsung tertuju pada deretan mobil mewah berwarna hitam. Dua mobil dengan kaca gelap berkilau, diapit oleh beber
Darren melangkah keluar dari mobilnya dan memandang rumah sederhana di depan mata. Rumah bercat putih kusam dengan jendela kecil di kedua sisinya, dipayungi pohon mangga yang rimbun di halaman. Di sudut teras terdapat kursi dan meja plastik dengan tulisan “Warung Kopi & Gado-Gado Bu Sari” yang tergores oleh usia. Kehangatan rumah ini begitu kontras dengan dunia korporat penuh ambisi yang selama ini Darren hadapi. Ia menarik napas panjang dan mengetuk pintu kayu itu dengan ringan.Keisha membuka pintu, dan ketika melihat Darren berdiri di sana, seketika senyum lebar mengembang di wajahnya. Namun senyumnya berubah gugup ketika menyadari sosok Kemal atau Darren berdiri bukan lagi sebagai satpam, tetapi sebagai Kepala Manajer perusahaan yang menjadi tempat ia bekerja."Kak K-Kemal?" Keisha tergagap, lalu cepat-cepat menunduk menyembunyikan rona di pipinya."Ya, aku," jawab Darren dengan senyum santai. "Boleh aku masuk?""Oh! Tentu, tentu! Silakan masuk." Keisha membuka pintu lebih lebar,
Restoran “Elysium Lounge” di pusat kota berdiri megah dengan dinding kaca besar, lampu gantung kristal yang berkilauan, dan sofa kulit yang tersusun elegan di setiap sudut. Aroma masakan eksklusif, seperti truffle dan foie gras, memenuhi udara, membuat suasana menjadi mewah namun intim. Para tamu yang hadir mengenakan pakaian formal, dan sebagian besar adalah kalangan bisnis papan atas. Setiap tamu diperlakukan istimewa, menciptakan kesan bahwa ini bukan sekadar restoran, tetapi tempat di mana harga diri dan status sosial diuji.Ucapan Darren kepada Nadine, yang menganggap gadis itu sedang mabuk membuat putri Baron itu naik pitam. Ia langsung menghentak meja mengeluarkan kata kotor. “Kalian para gembel, jangan merusak pemandangan di tempat ini! Cepat tinggalkan tempat ini!” ucapnya.Darren terusik emosinya. Ia melirik kearah Keisha yang terlihat ketakutan. Beberapa kali gadis itu menyentuh lengan Darren memberi isyarat untuk meninggalkan tempat itu. Namun Darren yang marah terlihat
Seminggu telah berlalu sejak Darren kembali dari Singapura. Namun, suasana di rumah sakit tetap penuh ketegangan. Tuan Harison tetap dirawat dengan perhatian ketat tanpa ada kemajuan yang berarti, sementara Darren terus memantau situasi melalui tim pengintainya. Silvia mulai menunjukkan rasa tidak nyaman dengan rutinitas monoton di rumah sakit.“Darren, aku rasa rawat jalan di rumah akan lebih baik untuk ayahmu. Lingkungan rumah jauh lebih nyaman dibandingkan tempat ini,” ucap Silvia suatu pagi saat Darren mengunjunginya.Namun, Darren menggeleng tegas. “Tidak, Bu. Di rumah sakit, keamanan dan pengawasan jauh lebih terjamin. Aku tidak ingin mengambil risiko, terutama setelah insiden yang terjadi sebelumnya.”Silvia mendesah, menyembunyikan kekecewaannya. “Baiklah, Darren. Tapi jangan lupa, aku ingin kembali ke rumah sesekali jika keadaanku sudah memungkinkan.”Darren hanya mengangguk kecil, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu yang lebih mend
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba