Darren menunggu dengan tenang di pos keamanan, memperhatikan Baron yang baru saja melangkah masuk ke kantor dengan percaya diri. Arogan, seperti biasanya, pikirnya. Senyum tipis melintas di wajah Darren saat melihat Baron, yang sama sekali tidak menyadari bahwa gerak-geriknya sudah dipantau. Darren menunggu beberapa detik hingga Baron benar-benar masuk ke ruangannya dan memastikan tak ada karyawan lain yang berkeliaran di sekitar.
Setelah suasana cukup sepi, Darren bergerak. Ia merogoh sakunya, mengambil telepon genggam. Jari-jarinya menari cepat di layar, lalu menghentikan pilihannya pada sebuah kontak yang tertulis ‘Spy Eye’. beberapa saat kemudian, sambungan tersambung.
"Es Ei," suara Darren terdengar rendah, tapi tegas. "Aku ingin kau pantau apa yang dilakukan Baron di kantor ini lewat CCTV. Aku juga sudah memasang beberapa mini spy cam di lokasi-lokasi penting. Semua sudah terkoneksi pada akun yang aku berikan."
Telepon di tangan Darren hening sesaat, hanya suara napas tenang di ujung sana yang terdengar. Kemudian balasan datang, dingin dan profesional. "Baik, Bos. Semua sudah dalam pantauan. Aku akan kirim laporan segera."
Darren mengangguk kecil meski tahu lawan bicaranya tak dapat melihatnya. "Bagus. Berikan aku informasi yang berharga. Aku tak mau ada yang terlewat."
Ia menutup panggilan dengan gerakan cepat, lalu mengalihkan perhatiannya ke layar kecil yang kini menampilkan tampilan live feed dari berbagai sudut kantor. Sebuah jaringan pengawasan yang ia bangun diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain. Di sudut ruangan Baron, kamera tersembunyi yang dipasangnya memperlihatkan pria itu duduk di kursi kulit mahalnya, berbicara dengan ekspresi licik pada salah satu Manager di perusahaan.
Keadaan kantor mulai ramai. Ia tidak bisa terus memantau apa yang dilakukan oleh Baron. Beruntung ia sudah menghubungi orang kepercayaannya. Dengan begitu apa yang dilakukan Baron di sana bisa diketahui dari laporan orang yang ia panggil ‘Es Ei’ itu.
Darren kembali mengawasi kantor dari layar kecil di tangannya, memastikan semua berjalan seperti biasa. Setelah sekitar setengah jam berlalu, ia melihat Baron keluar dari kantor pusat Anugerah Langit Corporation. Baron tampak puas, senyum sumringah terpancar jelas di wajahnya. Darren mengernyitkan dahi, menebak-nebak apa yang telah terjadi di dalam kantor hingga membuat pria itu begitu senang.
Saat Baron melewati pos keamanan, Darren berdiri tegak. Tidak ada yang mencurigai bahwa pria berpenampilan satpam ini adalah putra pemilik perusahaan. Baron melambatkan mobilnya, jendela kaca terbuka perlahan, dan Direktur salah satu cabang perusahaan itu melemparkan setumpuk uang ke arah Darren.
"Aku tahu kerja kerasmu di sini tak sia-sia, Kemal. Ini sedikit untukmu," ucap Baron dengan nada meremehkan.
Darren menatap uang yang berceceran di tanah. Sesaat ia terdiam, hatinya terasa panas, namun wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Tidak ada pilihan lain. Kalau ia menolak atau menunjukkan rasa marah, tentu akan menyulitkannya sendiri.
“Terima kasih, Pak Baron,” jawab Darren, suaranya rendah namun jelas.
Darren menunduk, memunguti lembaran uang itu satu per satu dengan hati-hati. Setiap gerakan terasa berat, bukan karena uang itu, tetapi karena merasa harga dirinya direndahkan orang. Di bawah senyumnya yang ramah, Darren ingin sekali mengungkapkan jati dirinya, tapi ia tahu itu bukan waktunya.
Baron tertawa kecil dari balik kemudi sebelum menutup jendela dan melaju pergi. Mobil itu meninggalkan jejak debu di belakangnya, dan Darren tetap berdiri di pos, meremas uang di tangannya.
Saat Darren sedang mengatur napas, telepon genggamnya bergetar pelan di sakunya, memecah konsentrasinya. Ia membuka ponselnya dan melihat notifikasi pesan dari Spy Eye. Jempolnya bergerak cepat membuka pesan itu, sebuah video pendek muncul di layar. Bersamaan dengan itu, beberapa kalimat terlihat.
“Enam puluh persen ke rekening perusahaan, empat puluh persen ke rekening lain.” Rekening siapa? gumamnya setelah membaca pesan.
Wajah Darren tiba-tiba berubah. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Ia memutar video yang dikirim Spy Eye itu. Video menunjukkan Baron sedang berbicara dengan salah satu Manajer Keuangan di ruangannya. Dari gestur dan ekspresinya, Baron tampak memberi instruksi detail terkait aliran dana perusahaan.
Darren menekan tombol panggilan, menghubungi Spy Eye dengan cepat.
“Es Ei, apa kau bisa lacak rekening empat puluh persen itu?” tanya Darren, nadanya lebih mendesak dari biasanya.
"Sedang aku telusuri, Bos. Tapi sementara itu, ini yang baru kudapat," jawab suara di telepon, terdengar serius. “Sistem keamanan perusahaan cukup canggih, segala catatan keuangan perusahaan aku tidak bisa memeriksanya.”
“Baiklah, akan kucoba tanyakan Bu Vina,” sahut Darren seraya menyudahi panggilan teleponnya.
***
Malamnya Darren mengajak Bu Vina bertemu di sebuah restoran mewah. Ia menggunakan masker agar tidak ada yang mengenali. Kedatangannya disambut ramah oleh keamanan restoran dan pelayan. Mobil mewah yang di bawanya, serta penampilan Darren yang elegan menyiratkan ia merupakan pengunjung kaya raya yang harus dilayani dengan baik. Meski wajahnya ditutup dengan masker, tapi itu tak penting, bagi mereka uangnya yang penting.
Tak lama Darren menunggu di salah satu meja khusus kelas VIP restoran itu, Vina pun datang.
“Selamat malam mas Darren!”
Darren mengangguk lalu mempersilahkan Vina untuk duduk. Tanpa basa-basi, wanita itu pun mengikuti kemauan anak dari bosnya itu.
“Mas Darren, ada hal apa yang membuatmu memanggilku secara mendesak ini? Apakah ada masalah di perusahaan?”
“Ada hal yang ingin aku diskusikan Bu Vina.”
Darren diam sejenak, ia memberi isyarat kepada pelayan untuk melayani Vina. Setelah wanita itu memesan minuman dan beberapa makanan kecil, Darren meneruskan pembicaraannya.
“Pagi ini Baron datang ke kantor pusat. Ia memberikan beberapa perintah kepada manajer keuangan…” Darren diam lagi. Ia terlihat menunggu reaksi orang kepercayaan ayahnya itu.
Bu Vina menyandarkan tubuhnya sedikit ke belakang, raut wajahnya berubah serius. “Baron…” ia menarik nafas panjang sejenak, “...adalah orang yang punya kekuatan besar di perusahaan ini. Bukan hanya karena posisinya sebagai direktur cabang, tapi juga karena kepercayaan ayahmu. Dulu, sebelum Tuan Harison jatuh sakit, Baron dan aku adalah dua pilar utama yang mengatur Anugerah Langit. Tapi…”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada hati-hati, “…akses ke perusahaan pusat memang lebih banyak dikuasai oleh Baron. Itu sebabnya ketika kau memerintahkan aku yang memimpin rapat direksi, Baron sangat tidak suka.” Bu Vina mengangguk pelan. “Yaaa… Di Perusahaan ini dia memegang banyak informasi vital, dan punya pengaruh yang kuat. Bahkan beberapa direktur senior berada di bawah kendalinya.”
“Hmmm.. Apakah kau mengetahui ada dua rekening penerima laba perusahaan, yang menjadi hak pemilik. Satu rekening ayahku yang sudah dialihkan namanya menjadi namaku, dan satunya lagi milik siapa?” tanya Daren. Wajah pemuda itu terlihat menyelidik.
Bu Vina mengernyitkan dahinya. Ia menatap Darren dengan serius. “Bukankah rekening itu juga milik Tuan Harison?” ucapnya bertanya namun juga memberi penegasan.
Kini Darren yang dahinya mengkerut. “Rekening ayah… Bagaimana bisa? Ini tidak mungkin!” gumamnya pelan seolah berbicara dengan diri sendiri.
Darren merasa denyut jantungnya meningkat saat mendengar jawaban Bu Vina. “Ke rekening Ayahku?” tanyanya, memastikan. Bu Vina mengangguk menanggapi. “Aku rasa itu tidak mungkin. Semua rekening ayah sudah dipindahnamakan kepadaku. Segala sesuatu berkenaan dengan perusahaan saat ini semuanya dialihkan padaku.”Bu Vina menatap Darren dengan penuh kebingungan. “Tapi laporan keuangan menunjukkan aliran dana yang menuju ke rekening ayahmu. Laba perusahaan dibagi menjadi dua, enam puluh persen dan empat puluh persen. Keduanya rekening atas nama Tuan Harison.”Darren merasakan kegelisahan. “Jika semua sudah dialihkan kepadaku, bagaimana mungkin dana itu masih mengalir ke rekening Ayah? Ada sesuatu yang tidak beres di sini, Bu Vina. Itu artinya pendapatan bersih perusahaan bukan hanya mengalir kepadaku, tapi juga ke rekening itu.”Di luar, petir menggelegar dan hujan mulai turun deras, suara gemuruhnya seolah mencerminkan ketegangan yang menyelimuti mereka. Suasana di dalam restoran menjadi se
Suasana kantor pusat Anugerah Langit Corporation yang biasanya sibuk dan dinamis berubah menjadi tegang ketika sebuah mobil polisi terparkir di halaman. Karyawan-karyawan yang sedang menikmati istirahat siang mereka segera berhenti, menatap ke arah mobil dengan rasa ingin tahu yang menyelimuti. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang tidak nyaman.Pak Leo, Kepala Manajer perusahaan yang terkenal perfeksionis, kini terlihat berantakan. Ia berdiri di depan pintu masuk kantor dengan tangan terborgol, wajahnya menunjukkan kombinasi antara ketidakpercayaan dan kemarahan. Seorang polisi muda, dengan nada tegas, berusaha menjelaskan situasi kepada Leo.“Pak Leo, kami memiliki bukti yang cukup kuat mengenai dugaan penggelapan dana perusahaan yang Anda lakukan. Kami perlu membawa Anda untuk proses lebih lanjut,” ucap polisi itu, sambil menatap langsung ke arah Leo. Ia juga menunjukkan surat penangkapan resmi kepolisian untuk Leo.“Tunggu sebentar! Ini s
Seorang pemuda berwajah tampan melangkah tenang memasuki halaman kantor megah yang bertuliskan "Anugerah Langit Corporation." Dengan seragam satpam yang tampak biasa saja, tak ada yang istimewa kecuali wajah tampannya. Wajahnya yang bersih dan terawat tampak tak selaras dengan seragam satpam yang ia kenakan. Di atas saku seragamnya tertera nama "Kemal Halim." Namun, tidak ada yang tahu, di balik penampilan sederhana itu, tersembunyi sosok yang sangat penting yang bisa mengguncang perusahaan ini dari dalam.Begitu sampai, ia menyadari betapa cepatnya para karyawan berdatangan ke kantor tersebut. Mereka sibuk berjalan tanpa meliriknya sedikit pun, seolah kehadirannya tidak berarti. Beberapa dari mereka bahkan melemparkan komentar sinis ketika melintas di dekatnya.“Satpam baru, ya? Wajahnya lumayan. Tapi aku ragu apa dia mampu bertahan, atau sama saja seperti satpam-satpam sebelumnya,” salah seorang karyawan berkata dengan nada mengejek, diikuti tawa kecil dari rekannya.Nama aslinya Da
Sebuah Apartemen sederhana berdiri kokoh di sudut ibukota. Sebuah tempat yang dipilih Darren untuk menjadi tempat tinggalnya sementara. Memang sudah satu pekan lebih ia kembali ke tanah air, dari negara tempat ia menempuh pendidikan S3 nya. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk kembali ke rumah. Rumah yang membersamainya tumbuh dikala masih anak-anak dulu.Sebuah insiden pernah terjadi ketika ia masih berusia sebelas tahun. Darren kehilangan kakak perempuannya. Sang kakak tewas jatuh dari tingkat tiga rumahnya akibat sebuah kecelakaan. Dan semua orang menyalahkan Darren, sementara yang ia tahu itu adalah kecerobohan ibunya.Nada dering panggilan telepon berbunyi dari Handphone milik Darren. Ia tidak langsung memeriksanya, hanya melihat siapa nama pemanggil. Layar Handphone nya menunjukkan panggilan itu dari kontak yang diberikan nama ‘Ibu’.Dua panggilan berlalu begitu saja. Ia memang sengaja mengabaikannya. Sampai akhirnya notifikasi lain masuk, yang membuat perhatiannya sedikit