Seminggu setelah pernikahan pindahlah aku ke sebuah rumah berlantai dua dengan desain minimalis elegan yang bertempat di sebuah komplek perumahan yang cukup berkelas. Rumah itu adalah rumah impian yang sudah kudambakan sejak dulu. Tinggal di dalamnya membesarkan harapanku akan kebahagiaan, ketentraman dan kesejukan hati.Hidup kami berjalan normal dengan rutinitas dan keromantisan yang sama. Tiap pagi kami bangun, membuka jendela menyambut sinar mentari yang berebut masuk, lalu sama-sama membereskan kamar dan membersihkan rumah. Aku yang menyiapkan sarapan sementara dia yang akan membersihkan halaman dan menyiram rumput rumput yang menghijaukan pemandangan.Pukul 8 pagi aku dan dia berpencar ke kantor masing-masing, lalu pukul 4 sore Kami akan berjumpa lagi dan pulang melabuhkan semua kelelahan dan penatnya pekerjaan.Ada yang berbeda di hari ini ketika suamiku berangkat lebih pagi dari sebelumnya. Ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam di depan sana."Assalamualaikum," ucap s
Aku masih terhenyak dengan kenyataan cepat barusan. Seorang wanita datang, membawa anaknya lalu mengumbar kemarahan dan mengaku bahwa dia istri suamiku. Sungguh hal itu mengejutkan dan sulit diterima akal. Kalau benar Mas Tama memang pun istri mengapa selama ini diaterihat seperti bujangan yang tidak punya kegiatan lain selain bekerja dan menemuiku. Kapan waktunya ia sempatkan untuk pulang dan menemui istrinya. Mengapa ia pandai sekali."Tapi aku tak boleh asal percaya tanpa konfirmasi dari Mas Tama. Aku akan bertanya padanya sebelum menghakiminya," gumamku sambil menyeka air mata. Perlahan Aku tutup pintu utama yang baru saja di gebrak oleh Mbak Aira, lalu beranjak ke kamar untuk meraih ponsel dan menelpon belahan jiwaku."Assalamualaikum, Sayang." Tutur sapa Mas Tama seolah air dingin di tengah padang tandus yang gersang. Andai saja tidak untuk mengungkapkan gundah Aku hanya ingin mendengar suaramya saja lalu mengakhiri panggilan ini."Ada apa sayang, kenapa diam saja, kenapa kau
Kupikir suamiku akan datang secepat mungkin ketika aku memberi tahunya bahwa Mbak Aira mendatangiku. Masalah yang kami hadapi sekarang cukup pelik sehingga mau tak mau, kami harus melibatkan orang tua. Om adi dan tente Sisil belum kuhubungi, aku sedang mencoba menimbang keputusanku sebelum mendatangkan mereka berdua ke rumah Bunda."Jadi apa rencananya?" tanya Bunda saat aku berdiri di ambang jendela dengan tatapan sedih. Rintik hujan di luar sana, serta cuaca mendung membuat hati ini semakin suram.Ingin kuhentikan air mata ini agar tak lagi menetes, tapi tetap saja, kekecewaan dalam hati terlanjur besar dan membuatku rasanya ingin berteriak keras."Sudah pukul lima, apakah Tama tidak akan menjemputmu pulang?""Menurut Bunda bagaimana, apakah ia akan datang menjemputmu setelah aku tahu dia punya istri?""Apapun yang terjadi, bunda tetap berharap solusi terbaik, izinkan dia untuk menjelaskan beri kesempatan untuk memperbaiki jika kau mencintainya._""Aku memang mencintainya, salahnya,
"Maafkan aku Raisa, aku sungguh minta maaf.""Sebagai orang tua yang turut andil dalam perjodohan kalian kami pun sangat menyesal bahwa kami tidak mencari tahu secara pribadi, orang tuamu pun sangat meyakinkan kami. Om penasaran, mengapa mereka juga menyembunyikan Aira, apakah mereka menentang pernikahan kalian sebelumnya?""Sejujurnya iya, tapi, itu sudah lama berlalu.""Kami pikir kau jujur Nak Tama, tapi ternyata ... kau mengecewakan sekali._""Maafkan saya ....""Jelaskan tidak akan menyarankan perceraian untuk kalian yang baru saja menikah, om hanya ingin kalian berpikir secara matang lalu mengambil keputusan dengan benar.""Tapi, langkah awal yang harus mereka lakukan adalah pergi menemui istri Tama sekarang juga!""Iya Bunda," jawab Mas Tama."Sejujurnya Bunda sangat kecewa dan ingin sekali mengumbar kemarahan, namun kau bukan anak kecil lagi yang pantas untuk diteriaki, bunda mohon, bersikaplah dewasa, lalu lakukan yang terbaik agar kedua istrimu merasa diberi keadilan."*K
Genggaman tangan Mas Tama terasa begitu mendalam dan erat, aku ingin melepas namun ia menahan agar jemari kami tetap bertautan. Mbak Aira masih menangis pilu, suamiku juga masih merangkul tubuhnya dengan penuh perasaan."Apa salahku, Mas? Mengapa tiba tiba diri ini dimadu tanpa alasan? Apakah aku sudah membuatmu sakit hati? Tolong sebutkan kesalahanku?""Kita hanya semakin hari semakin jauh, Aira, kita saling mendiamkan dan kupikir kau mungkin sudah tak memerlukan ku di sisimu?""Kau tidak peka Mas, aku mendiamkanmu untuk menunggu kau mendekatiku dan memberiku perlakuan romantis lagi seperti dulu. Nyatanya, kau membeku dan semakin menjauh," jawab wanita itu lemah, tiba tiba ia lemas dan tersungkur pingsan di pelukan Mas Tama. Aku yang terhenyak, hanya bisa berdiri dengan bingung, takut dan semakin pesimis akan kelangsungan hubungan dengan orang yang seminggu baru bersamaku.Lihatlah mereka saling memeluk dan mencurahkan Rindu, saling memprotes dan memberi alasan bahwa sebenarnya hubun
"kalau begitu aku pulang dulu ya Mas,"ucapku sambil menghampiri Mas Tama dan mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangannya.Suamiku yang paham dengan itu lantas mengulurkan tangannya untuk ku cium, tapi tiba-tiba sang istri menepisnya dan menahan lengan suaminya."Jangan sentuh Mas Tama di hadapanku, aku tidak bisa menyaksikan itu.""Oh, maaf, baiklah," jawabku lirih."Pulanglah Dan bicarakan ini pada orang tuamu, katakan pada mereka bahwa aku tidak bersedia untuk menyerahkan suamiku!" Mas Tama ingin protes dan membelaku tapi wanita itu mencengkeram tangannya dan memberinya isyarat agar pria itu tidak ikut campur pada urusan kami, meski terlihat memiliki wajah ayu yang penuh kelembutan namun Mbak Aira ternyata wanita yang tegas dan cukup punya prinsip. Aku salut padanya."Satu-satunya hal yang sudah menjauhkan kita sejauh ini hanya tentang kebungkaman, mulai hari ini aku tidak akan diam lagi. Akan ku pertahankan apa yang menjadi hakku dan aku cintai orang yang mencintaiku. Kita
".Mari kita lihat keputusan apa yang akan diambil Tama untuk dirimu dan istrinya. Kau jangan buru-buru untuk bertindak dan membuat keputusan karena pikiranmu sedang kacau sekarang. Om rasa ... Dia melakukan itu pasti ada alasannya.""Kenapa Om begitu yakin?""Karena aku juga laki laki," jawabnya."Kalau memang punya prinsip, kenapa dia tidak jujur, bahkan aku tidak akan menentang kalau mereka saling mencintai dan istrinya pun merestui. Tidak ada alasan untuk menghalangi kebahagiaan seseorang dibanding dia harus melibatkan Raisa dalam kekacauan besar ini," ucap Bunda sambil menatap Om Vicky."Sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab atas kalian semua, aku akan menemui Tama esok hari, juga menemui orang tuanya.""Orang tuanya juga salah, kenapa mendukung kehobongan dengan rangkaian kebohongan yang lain. Harusnya mereka juga terbuka,", rutuk bunda yang tak kuasa menahan kekecewaan.Hatiku makin remuk redam, aku merasa sangat hancur dan bersalah atas kejadian ini, aku berada di
Saat aku pergi untuk menemui Mas Tama di kantin, dari jauh kulihat siluet dirinya yang sedang duduk dengan serius menunggu kehadiranku.Hatiku bimbang bertemu, tapi kerinduan dalam diriku membuncah. Kusadari bahwa meski statusku istri tapi kerinduan ini seakan rasa yang terlarang."Apa kabarmu Mas?""Raisa ... aku nyaris mati memikirkan jika aku tak berjumpa denganmu, aku sangat rindu," ucapnya sambil meraih tanganku. Mendengar ucapannya yang menyentuh, hatiku sontak kembali sedih dan teriris."Bagaimana kelangsungan kita Mas, apa kita harus berpisah?""Jangan bilang begitu, aku tidak menikah untuk berpisah," jawabnya."Tolong ambil keputusan Mas, tolong tegaskan pada semua orang jika kau memang memilih mempertahankan," ujarku mendesak.Mas Tama menggenggam tanganku dengan jemari tangannya yang erat, di jari ku masih ada cincin pernikahan kami sementara di jarinya cincin itu sudah tidak ada lagi."Kau bahkan tidak berani memakai cincin pernikahan kita dan sudah menggantinya dengan ci