"Om ada kenalan dan sudah lama jadi rekan bisnis, dia punya anak yang cukup baik untuk jadi calon menantu kita Bund," ucap Om Vicky ketika kami makan malam bersama.Aku, Rayan dan Ridwan saling lirik lalu saling menyunggingkan senyum."Iya, Bund, kurasa kakak pantas untuk segera menikah," timpal Rayan."Oh ya, sungguhkah, apa kau setuju dengan gagasan itu Raisa?" tanya Bunda sambil tertawa kecil."Gak tahu, Bund, belum ada niat," jawabku sambil mengangkat bahu. Kunikmati beef teriyaki buatan bunda dengan taburan wijen di atasnya, selera makanku makin meningkat ditambah capcay pedas dan ayam panggang cabai."Kurasa om Vicky benar, kamu sudah harus diperkenalkan dengan seseorang agar kau mendewasa jadi wanita sesungguhnya?""Lho, apa aku terlihat seperti wanita palsu?" tanyaku terbelalak, "aku sudah feminim dengan gamis dan hijab, sepatu elegan dan attitude wanita, apa lagi?""Kau harus jadi seorang istri dan ibu, Wahai Gadis cantik," jawab Om Vicky sambil menatapku dengan penuh kasih
Akhirnya kujalani penjajakan dengan Mas Tama atas dasar keinginan kedua orang tua dan Orang tua Mas Tama. Setiap hari Mas Tama sering menelpon dan mengirim pesan demi sekedar menyapa sesekali ia jemput diri ini ke tempat kerja lalu kami makan di jajanan kaki lima pinggir jalan. Kadang pergi jalan jalan menikmati keindahan laut dan debur ombak yang pecah di bibir dermaga. Senjaku jadi lebih berwarna sejak ada Mas Tama. Namun aku tak mau terlalu dekat sebelum akad mengesahkan hubungan antara kami."Bagaimana perasaanmu setelah beberapa saat mengenalku," ucapnya ketika suatu saat dia datang dan menjemputku."Baik-baik saja, aku merasa senang berdekatan denganmu Mas," jawabku jujur."Kupikir ada perasaan lebih yang membuatmu nyaman dan bahagia bersamaku," gumamnya setengah ingin merendah."Ya, sebenarnya aku senang kok Mas," jawabku tersenyum tipis."Aku ingin kau menerima perasaan yang tersimpan untukmu di hatiku," ucapnya sambil memutar kemudi dengan pandangan yang lurus ke depan."J
Seminggu setelah pernikahan pindahlah aku ke sebuah rumah berlantai dua dengan desain minimalis elegan yang bertempat di sebuah komplek perumahan yang cukup berkelas. Rumah itu adalah rumah impian yang sudah kudambakan sejak dulu. Tinggal di dalamnya membesarkan harapanku akan kebahagiaan, ketentraman dan kesejukan hati.Hidup kami berjalan normal dengan rutinitas dan keromantisan yang sama. Tiap pagi kami bangun, membuka jendela menyambut sinar mentari yang berebut masuk, lalu sama-sama membereskan kamar dan membersihkan rumah. Aku yang menyiapkan sarapan sementara dia yang akan membersihkan halaman dan menyiram rumput rumput yang menghijaukan pemandangan.Pukul 8 pagi aku dan dia berpencar ke kantor masing-masing, lalu pukul 4 sore Kami akan berjumpa lagi dan pulang melabuhkan semua kelelahan dan penatnya pekerjaan.Ada yang berbeda di hari ini ketika suamiku berangkat lebih pagi dari sebelumnya. Ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam di depan sana."Assalamualaikum," ucap s
Aku masih terhenyak dengan kenyataan cepat barusan. Seorang wanita datang, membawa anaknya lalu mengumbar kemarahan dan mengaku bahwa dia istri suamiku. Sungguh hal itu mengejutkan dan sulit diterima akal. Kalau benar Mas Tama memang pun istri mengapa selama ini diaterihat seperti bujangan yang tidak punya kegiatan lain selain bekerja dan menemuiku. Kapan waktunya ia sempatkan untuk pulang dan menemui istrinya. Mengapa ia pandai sekali."Tapi aku tak boleh asal percaya tanpa konfirmasi dari Mas Tama. Aku akan bertanya padanya sebelum menghakiminya," gumamku sambil menyeka air mata. Perlahan Aku tutup pintu utama yang baru saja di gebrak oleh Mbak Aira, lalu beranjak ke kamar untuk meraih ponsel dan menelpon belahan jiwaku."Assalamualaikum, Sayang." Tutur sapa Mas Tama seolah air dingin di tengah padang tandus yang gersang. Andai saja tidak untuk mengungkapkan gundah Aku hanya ingin mendengar suaramya saja lalu mengakhiri panggilan ini."Ada apa sayang, kenapa diam saja, kenapa kau
Kupikir suamiku akan datang secepat mungkin ketika aku memberi tahunya bahwa Mbak Aira mendatangiku. Masalah yang kami hadapi sekarang cukup pelik sehingga mau tak mau, kami harus melibatkan orang tua. Om adi dan tente Sisil belum kuhubungi, aku sedang mencoba menimbang keputusanku sebelum mendatangkan mereka berdua ke rumah Bunda."Jadi apa rencananya?" tanya Bunda saat aku berdiri di ambang jendela dengan tatapan sedih. Rintik hujan di luar sana, serta cuaca mendung membuat hati ini semakin suram.Ingin kuhentikan air mata ini agar tak lagi menetes, tapi tetap saja, kekecewaan dalam hati terlanjur besar dan membuatku rasanya ingin berteriak keras."Sudah pukul lima, apakah Tama tidak akan menjemputmu pulang?""Menurut Bunda bagaimana, apakah ia akan datang menjemputmu setelah aku tahu dia punya istri?""Apapun yang terjadi, bunda tetap berharap solusi terbaik, izinkan dia untuk menjelaskan beri kesempatan untuk memperbaiki jika kau mencintainya._""Aku memang mencintainya, salahnya,
"Maafkan aku Raisa, aku sungguh minta maaf.""Sebagai orang tua yang turut andil dalam perjodohan kalian kami pun sangat menyesal bahwa kami tidak mencari tahu secara pribadi, orang tuamu pun sangat meyakinkan kami. Om penasaran, mengapa mereka juga menyembunyikan Aira, apakah mereka menentang pernikahan kalian sebelumnya?""Sejujurnya iya, tapi, itu sudah lama berlalu.""Kami pikir kau jujur Nak Tama, tapi ternyata ... kau mengecewakan sekali._""Maafkan saya ....""Jelaskan tidak akan menyarankan perceraian untuk kalian yang baru saja menikah, om hanya ingin kalian berpikir secara matang lalu mengambil keputusan dengan benar.""Tapi, langkah awal yang harus mereka lakukan adalah pergi menemui istri Tama sekarang juga!""Iya Bunda," jawab Mas Tama."Sejujurnya Bunda sangat kecewa dan ingin sekali mengumbar kemarahan, namun kau bukan anak kecil lagi yang pantas untuk diteriaki, bunda mohon, bersikaplah dewasa, lalu lakukan yang terbaik agar kedua istrimu merasa diberi keadilan."*K
Genggaman tangan Mas Tama terasa begitu mendalam dan erat, aku ingin melepas namun ia menahan agar jemari kami tetap bertautan. Mbak Aira masih menangis pilu, suamiku juga masih merangkul tubuhnya dengan penuh perasaan."Apa salahku, Mas? Mengapa tiba tiba diri ini dimadu tanpa alasan? Apakah aku sudah membuatmu sakit hati? Tolong sebutkan kesalahanku?""Kita hanya semakin hari semakin jauh, Aira, kita saling mendiamkan dan kupikir kau mungkin sudah tak memerlukan ku di sisimu?""Kau tidak peka Mas, aku mendiamkanmu untuk menunggu kau mendekatiku dan memberiku perlakuan romantis lagi seperti dulu. Nyatanya, kau membeku dan semakin menjauh," jawab wanita itu lemah, tiba tiba ia lemas dan tersungkur pingsan di pelukan Mas Tama. Aku yang terhenyak, hanya bisa berdiri dengan bingung, takut dan semakin pesimis akan kelangsungan hubungan dengan orang yang seminggu baru bersamaku.Lihatlah mereka saling memeluk dan mencurahkan Rindu, saling memprotes dan memberi alasan bahwa sebenarnya hubun
"kalau begitu aku pulang dulu ya Mas,"ucapku sambil menghampiri Mas Tama dan mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangannya.Suamiku yang paham dengan itu lantas mengulurkan tangannya untuk ku cium, tapi tiba-tiba sang istri menepisnya dan menahan lengan suaminya."Jangan sentuh Mas Tama di hadapanku, aku tidak bisa menyaksikan itu.""Oh, maaf, baiklah," jawabku lirih."Pulanglah Dan bicarakan ini pada orang tuamu, katakan pada mereka bahwa aku tidak bersedia untuk menyerahkan suamiku!" Mas Tama ingin protes dan membelaku tapi wanita itu mencengkeram tangannya dan memberinya isyarat agar pria itu tidak ikut campur pada urusan kami, meski terlihat memiliki wajah ayu yang penuh kelembutan namun Mbak Aira ternyata wanita yang tegas dan cukup punya prinsip. Aku salut padanya."Satu-satunya hal yang sudah menjauhkan kita sejauh ini hanya tentang kebungkaman, mulai hari ini aku tidak akan diam lagi. Akan ku pertahankan apa yang menjadi hakku dan aku cintai orang yang mencintaiku. Kita
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi