PoV Raisa Aku tak tau mengapa tiba tiba bunda mendatangi ke kamar, menanyaiku seputar kehidupan pribadi dan mengejutkan ... Ia bertanya tentang siapa kekasih atau orang yang kini memikat hatiku. Jujur aku belum terlibat hubungan dengan siapapun karena pandainya diri ini mengatur jarak dan menempatkan posisi. Aku tidak mudah terbawa perasaan dan selalu menganggap semua orang seperti teman. Aku kompetitif dalam pekerjaan dan selalu punya standar sendiri dalam hal pelayanan. Mungkin hal itulah yang membuat mayoritas pria yang ingin mendekati jadi urung, mundur teratur dan menjauh. Entah segan atau apa, yang jelas mereka juga nampak sungkan dan menghargaiku sebagai wanita yang punya martabat.*Hal yang cukup menyenangkan ketika jadi petugas kesehatan adalah piket, mungkin bagi orang lain, hal itu adalah hal menyebalkan dan melelahkan. Beda denganku, aku menyukainya karena aku bisa habiskan lebih banyak waktu untuk pengabdian dan pelayanan pasien. Ada kebahagiaan dan kepuasan tersendiri
"Om ada kenalan dan sudah lama jadi rekan bisnis, dia punya anak yang cukup baik untuk jadi calon menantu kita Bund," ucap Om Vicky ketika kami makan malam bersama.Aku, Rayan dan Ridwan saling lirik lalu saling menyunggingkan senyum."Iya, Bund, kurasa kakak pantas untuk segera menikah," timpal Rayan."Oh ya, sungguhkah, apa kau setuju dengan gagasan itu Raisa?" tanya Bunda sambil tertawa kecil."Gak tahu, Bund, belum ada niat," jawabku sambil mengangkat bahu. Kunikmati beef teriyaki buatan bunda dengan taburan wijen di atasnya, selera makanku makin meningkat ditambah capcay pedas dan ayam panggang cabai."Kurasa om Vicky benar, kamu sudah harus diperkenalkan dengan seseorang agar kau mendewasa jadi wanita sesungguhnya?""Lho, apa aku terlihat seperti wanita palsu?" tanyaku terbelalak, "aku sudah feminim dengan gamis dan hijab, sepatu elegan dan attitude wanita, apa lagi?""Kau harus jadi seorang istri dan ibu, Wahai Gadis cantik," jawab Om Vicky sambil menatapku dengan penuh kasih
Akhirnya kujalani penjajakan dengan Mas Tama atas dasar keinginan kedua orang tua dan Orang tua Mas Tama. Setiap hari Mas Tama sering menelpon dan mengirim pesan demi sekedar menyapa sesekali ia jemput diri ini ke tempat kerja lalu kami makan di jajanan kaki lima pinggir jalan. Kadang pergi jalan jalan menikmati keindahan laut dan debur ombak yang pecah di bibir dermaga. Senjaku jadi lebih berwarna sejak ada Mas Tama. Namun aku tak mau terlalu dekat sebelum akad mengesahkan hubungan antara kami."Bagaimana perasaanmu setelah beberapa saat mengenalku," ucapnya ketika suatu saat dia datang dan menjemputku."Baik-baik saja, aku merasa senang berdekatan denganmu Mas," jawabku jujur."Kupikir ada perasaan lebih yang membuatmu nyaman dan bahagia bersamaku," gumamnya setengah ingin merendah."Ya, sebenarnya aku senang kok Mas," jawabku tersenyum tipis."Aku ingin kau menerima perasaan yang tersimpan untukmu di hatiku," ucapnya sambil memutar kemudi dengan pandangan yang lurus ke depan."J
Seminggu setelah pernikahan pindahlah aku ke sebuah rumah berlantai dua dengan desain minimalis elegan yang bertempat di sebuah komplek perumahan yang cukup berkelas. Rumah itu adalah rumah impian yang sudah kudambakan sejak dulu. Tinggal di dalamnya membesarkan harapanku akan kebahagiaan, ketentraman dan kesejukan hati.Hidup kami berjalan normal dengan rutinitas dan keromantisan yang sama. Tiap pagi kami bangun, membuka jendela menyambut sinar mentari yang berebut masuk, lalu sama-sama membereskan kamar dan membersihkan rumah. Aku yang menyiapkan sarapan sementara dia yang akan membersihkan halaman dan menyiram rumput rumput yang menghijaukan pemandangan.Pukul 8 pagi aku dan dia berpencar ke kantor masing-masing, lalu pukul 4 sore Kami akan berjumpa lagi dan pulang melabuhkan semua kelelahan dan penatnya pekerjaan.Ada yang berbeda di hari ini ketika suamiku berangkat lebih pagi dari sebelumnya. Ada yang mengetuk pintu dan mengucapkan salam di depan sana."Assalamualaikum," ucap s
Aku masih terhenyak dengan kenyataan cepat barusan. Seorang wanita datang, membawa anaknya lalu mengumbar kemarahan dan mengaku bahwa dia istri suamiku. Sungguh hal itu mengejutkan dan sulit diterima akal. Kalau benar Mas Tama memang pun istri mengapa selama ini diaterihat seperti bujangan yang tidak punya kegiatan lain selain bekerja dan menemuiku. Kapan waktunya ia sempatkan untuk pulang dan menemui istrinya. Mengapa ia pandai sekali."Tapi aku tak boleh asal percaya tanpa konfirmasi dari Mas Tama. Aku akan bertanya padanya sebelum menghakiminya," gumamku sambil menyeka air mata. Perlahan Aku tutup pintu utama yang baru saja di gebrak oleh Mbak Aira, lalu beranjak ke kamar untuk meraih ponsel dan menelpon belahan jiwaku."Assalamualaikum, Sayang." Tutur sapa Mas Tama seolah air dingin di tengah padang tandus yang gersang. Andai saja tidak untuk mengungkapkan gundah Aku hanya ingin mendengar suaramya saja lalu mengakhiri panggilan ini."Ada apa sayang, kenapa diam saja, kenapa kau
Kupikir suamiku akan datang secepat mungkin ketika aku memberi tahunya bahwa Mbak Aira mendatangiku. Masalah yang kami hadapi sekarang cukup pelik sehingga mau tak mau, kami harus melibatkan orang tua. Om adi dan tente Sisil belum kuhubungi, aku sedang mencoba menimbang keputusanku sebelum mendatangkan mereka berdua ke rumah Bunda."Jadi apa rencananya?" tanya Bunda saat aku berdiri di ambang jendela dengan tatapan sedih. Rintik hujan di luar sana, serta cuaca mendung membuat hati ini semakin suram.Ingin kuhentikan air mata ini agar tak lagi menetes, tapi tetap saja, kekecewaan dalam hati terlanjur besar dan membuatku rasanya ingin berteriak keras."Sudah pukul lima, apakah Tama tidak akan menjemputmu pulang?""Menurut Bunda bagaimana, apakah ia akan datang menjemputmu setelah aku tahu dia punya istri?""Apapun yang terjadi, bunda tetap berharap solusi terbaik, izinkan dia untuk menjelaskan beri kesempatan untuk memperbaiki jika kau mencintainya._""Aku memang mencintainya, salahnya,
"Maafkan aku Raisa, aku sungguh minta maaf.""Sebagai orang tua yang turut andil dalam perjodohan kalian kami pun sangat menyesal bahwa kami tidak mencari tahu secara pribadi, orang tuamu pun sangat meyakinkan kami. Om penasaran, mengapa mereka juga menyembunyikan Aira, apakah mereka menentang pernikahan kalian sebelumnya?""Sejujurnya iya, tapi, itu sudah lama berlalu.""Kami pikir kau jujur Nak Tama, tapi ternyata ... kau mengecewakan sekali._""Maafkan saya ....""Jelaskan tidak akan menyarankan perceraian untuk kalian yang baru saja menikah, om hanya ingin kalian berpikir secara matang lalu mengambil keputusan dengan benar.""Tapi, langkah awal yang harus mereka lakukan adalah pergi menemui istri Tama sekarang juga!""Iya Bunda," jawab Mas Tama."Sejujurnya Bunda sangat kecewa dan ingin sekali mengumbar kemarahan, namun kau bukan anak kecil lagi yang pantas untuk diteriaki, bunda mohon, bersikaplah dewasa, lalu lakukan yang terbaik agar kedua istrimu merasa diberi keadilan."*K
Genggaman tangan Mas Tama terasa begitu mendalam dan erat, aku ingin melepas namun ia menahan agar jemari kami tetap bertautan. Mbak Aira masih menangis pilu, suamiku juga masih merangkul tubuhnya dengan penuh perasaan."Apa salahku, Mas? Mengapa tiba tiba diri ini dimadu tanpa alasan? Apakah aku sudah membuatmu sakit hati? Tolong sebutkan kesalahanku?""Kita hanya semakin hari semakin jauh, Aira, kita saling mendiamkan dan kupikir kau mungkin sudah tak memerlukan ku di sisimu?""Kau tidak peka Mas, aku mendiamkanmu untuk menunggu kau mendekatiku dan memberiku perlakuan romantis lagi seperti dulu. Nyatanya, kau membeku dan semakin menjauh," jawab wanita itu lemah, tiba tiba ia lemas dan tersungkur pingsan di pelukan Mas Tama. Aku yang terhenyak, hanya bisa berdiri dengan bingung, takut dan semakin pesimis akan kelangsungan hubungan dengan orang yang seminggu baru bersamaku.Lihatlah mereka saling memeluk dan mencurahkan Rindu, saling memprotes dan memberi alasan bahwa sebenarnya hubun