Jalanan pagi ini cukup lenggang padahal biasanya dipenuhi hiruk pikuk kemacetan. Mungkin karena pagi tadi hujan dan matahari seolah masih malu-malu menampakkan sinarnya. Ini hari libur, dengan situasi dingin-dingin sendu begini ya memang paling asyik bergelung lagi bersama selimut. Tapi itu tidak berlaku untuk Alana. Meskipun dia sempat tergoda untuk memasak mie instan, pada akhirnya wanita itu tetap pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan lainnya. Dia tidak bisa membiarkan suami dan sahabat sekaligus adik iparnya itu hanya makan makanan cepat saji atau delivery. Karena ini hari libur, Alana tentu punya cukup waktu untuk memasak sepenuh hati. Selain itu, dia tentu ingin mengusahakan apapun agar situasi hati Adara terus membaik. Arkasa tadinya hendak ikut mengantar tapi dia melarangnya. Menurut Alana, lebih baik Arkasa menjaga Adara saja di rumah. Bukan apa-apa, meskipun Adara bisa melakukan apapun sendiri selama di rumah, namun dia takut saja terja
Satu buah nampan yang diatasnya berisi semangkuk bubur polos dan jus buah menanti diatas meja makan. Beberapa ketukan yang tadi tak dihiraukan membuat Arkasa jengah. Lelaki itu melirik kearah jendela, diluar mendung dan sepertinya akan segera turun hujan. Dia ingin menyusul Alana, namun tugasnya sekarang adalah memastikan adiknya menghabiskan sarapannya. Dengan cekatan ia membawa nampan ke depan pintu kamar Adara, mengetuknya sekali lagi. "Dar, ayo sarapan dulu," ujarnya dibalik pintu. Tak terdengar respon apapun. Arkasa menghela nafas, "aku masuk ya."Dia menarik kenop pintu, mendapati Adara masih bergelung dalam selimut memunggunginya. Dari punggungnya yang setengah bergetar, Arkasa tahu Adara dalam keadaan terjaga.Lelaki itu menghela nafas pelan. Diletakkannya nampan diatas meja sebelum bersandar di dekat lemari. Pandangannya lurus kearah jendela yang menampakkan rintik hujan mulai turun diluar sana."Ayo makan!"Tak ada sahutan lagi.Arkasa beringsut menuju ranjang, dia menari
Alana menutup pintu utama setelah mengantarkan sang mama mertua masuk kedalam mobil. Mertuanya itu menghabiskan waktu seharian menyiapkan makanan dan berbincang di rumahnya bersama Adara dan Arkasa juga.Membalik tubuh setelah berhasil mengunci pintu, tatapannya langsung bertemu dengan Arkasa Dean. Raut wajah Alana berubah secara perlahan. Awalnya dia masih memaksakan sebuah senyuman, namun kini berubah menajam. Dia tak terlalu memerdulikan Arkasa yang menatapnya dengan pandangan memelas. Tanpa bicara sedikitpun, Alana melenggang malas melewati tubuh besar Arkasa yang sempat mematung.Setelah beberapa langkah, dia sadar bahwa di rumah ini masih ada sahabat tersayangnya, Adara. Wanita yang juga menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Derap langkah dibelakangnya juga mengisyaratkan bahwa Alana berada diantara kakak beradik gila yang seolah memaksanya terlibat dalam drama mereka.Ah, ini memuakkan."Al.."Adara membuka suara sembari berusaha meraih pergelangan Alana. Namun dengan ge
Alana terbangun dengan pening yang menjalar di kepalanya. Rambut tebalnya tanpa sadar dia cengkram erat sembari meringis, niatnya mencoba meredam sakit, namun tentu sama sekali tak memberi pengaruh apapun.Ia melirik asbak semalam yang berisi beberapa puntung pendek. Termenung hingga pukul empat pagi sepertinya cukup membuat tubuhnya melemah. Dengan lunglai kaki jenjangnya berusaha menapak menuruni ranjang. Alana masih punya cukup tenaga untuk menjalani hari- harinya seperti biasa hari ini. Meskipun dia juga harus menyiapkan ekstra tenaga untuk berjalan tegak dan tersenyum menyembunyikan seluruh perasaan campur aduk miliknya.Pukul delapan pagi, biasanya mungkin Alana akan kelabakan karena tak ingin sampai kantor terlalu siang. Namun untuk kali ini dia menyerah akan egonya. Setelah mengabari Rosaline bahwa dirinya akan tiba di kantor agak siang, Alana berjalan keluar kamar sedikit lunglai.Destinasi pertamanya adalah dispenser air yang tak jauh dari kamarnya. "Arkasa berangkat ke Mi
"Kita sudah sampai, pak," suara Arta menyadarkan lamunan Arkasa.Lelaki yang baru memasuki usia kepala tiga itu mengalihkan pandangannya dari jendela setelah mengamati jalanan malam dengan pikiran kosong. Entah sejak kapan namun mobil yang ditumpanginya ternyata sudah berhenti tepat di depan pintu masuk hotel.Seorang lelaki bertubuh besar membuka pintunya, membiarkan Arkasa turun dengan setelan dan terlihat super menawan. Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya sementara aura dingin terus menguar kuat. Dia disambut beberapa lelaki yang menunduk sopan menyapanya, mengarahkan Arkasa untuk masuk melewati pintu utama.Arta menyerahkan kunci ruangan dengan sopan. Arkasa menerimanya dan langsung masuk kedalam kamar hotel yang akan dia tempati selama beberapa hari kedepan. Kopernya sudah ada disamping lemari. Tak banyak yang dia bawa mengingat keberangkatannya juga super mendadak. Lelaki itu melepaskan setelan mahalnya sebelum langsung membasuh diri. Tak butuh waktu lama, Arkasa keluar
Kejutan apa lagi ini?Alana merasa hidupnya sedang benar- benar dipermainkan. Dia hampir gemetar membaca beberapa buah surat yang sudah sedikit usang. Sang ibu mertua duduk dengan tenang dihadapannya seolah telah menduga keterkejutan di wajah Alana. "Mama pikir sudah seharusnya kamu tahu. Ini adalah alasan utama Arkasa tidak mau menjadi pewaris," ujar sang mertua.Alana mengernyit tak paham. Dia merasa sudah mengalami banyak hal konyol dalam hidupnya, tapi yang satu ini terasa tidak masuk akal. Kepalanya terangkat kembali, memasang raut ragu saat memandang wajah ibu mertuanya yang masih menatapnya teduh."Tapi kalian terlihat mirip," cicit Alana.Si mertua tertawa kecil, "ada yang bilang, kalau sudah tinggal bersama, lama- kelamaan juga akan terlihat mirip," balasnya santai. Alana masih menolak percaya. Bagaimana bisa? Kertas di tangannya menunjukkan surat keterangan adopsi dan hasil tes DNA. Apakah ini masuk akal?"Sebelum melahirkan Adara, mama dan ayah sempat kesulitan untuk mem
Gelap dan sunyi. Jemari lentik itu menekan saklar lampu ruangan perlahan. Tatapan Alana kosong ketika memindai huniannya yang benar- benar sepi. Alana masih menjinjing tas kerja di tangan sebelahnya, sementara satu tangan lagi kini mengangkat heels yang baru dia lepaskan.Pagi tadi Adara secara resmi meninggalkan rumah ini. Wanita itu akan memulai perjalanan barunya untuk mandiri. Langkah positif yang tentu Alana dukung demi kebaikan sahabatnya sendiri. Ini masih pukul sepuluh malam dan wanita dua puluh delapan tahun itu merasa hampa. Ini mungkin kali pertama dia tinggal di rumah ini sendirian begini?Alana melepaskan seluruh kain yang melekat pada tubuhnya kala dia memasuki kamar mandi. Berendam dengan aroma yang menenangkan menjadi pilihannya kali ini. Wanita itu dengan hati- hati masuk kedalam bath tub, membiarkan tenangnya mengisi jiwa.Ketika dia memejamkan mata, sekali lagi bayangan sayu Arkasa melintas dalam pikirnya. Bagaimana lelaki itu menatapnya sayu hari itu masih membeka
Arkasa menggenggam erat ponselnya, bersamaan dengan senyuman kecil yang terbit tipis di bibirnya. Dia tidak bisa menahan lengkungan itu lebih lama lagi. Untuk kali pertama dalam beberapa hari yang memuakkan ini, senyum itu akhirnya bisa kembali pada tempat seharusnya. Mendengar suara yang telah dia rindukan seolah mengisi kembali energinya. Awalnya Arkasa pikir Alana tidak akan menjawab panggilannya, namun ternyata wanita itu masih mau menjawabnya. Arkasa sudah menahan diri selama beberapa hari ini untuk tidak menghubungi Alana. Selain karena dia ingin memberikan Alana waktu untuk mencerna permasalahan mereka, dia juga tidak mau kehilangan kendali. Semakin Arkasa menghubungi Alana, dia akan semakin rindu dan tidak konsentrasi. Itulah mengapa dia memutuskan untuk baru menghubungi Alana sekarang. Debarannya kian berontak, ada berbagai hal yang harus segera dia selesaikan. Ketika pandangannya menemukan Arta diantara keramaian dengan membawa dua koper kearahnya, Arkasa mendekat dan lan
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang