Alana mengerjapkan matanya berkali- kali saat sinar sang surya menembus jendela kamarnya. Dia melirik penanda waktu yang menunjukkan pukul delapan pagi. Ah sepertinya dia kesiangan lagi. Bangkit perlahan lalu meregangkan sendi-sendinya yang kaku. Alana sempat terdiam beberapa saat setelah menyadari sesuatu. Matanya yang masih belum terbuka sempurna menoleh kesamping, tidak ada apapun dan siapapun. Apa mungkin semalam hanya mimpi? Tapi kenapa rasanya nyata sekali? Alana bahkan masih bisa mencium aroma memabukkan milik Arkasa. Dia menyentuh bibirnya sendiri sembari menatap kosong kearah depan. Benar-benar tidak lucu kalau sampai ia memimpikan Arkasa sampai sebegitunya. Tapi semuanya benar-benar terasa nyata. Kalau iya, lantas dimana Arkasa sekarang? Dinara turun dari ranjang dan baru menyadari bahwa ia masih mengenakan kemeja putih milik Arkasa. Ketika tanpa sengaja dia berjalan melewati standing mirror di kamar, matanya membulat karena kancing bajunya sudah terb
Suasana mendadak hening. Alana yang terdiam canggung dan Arkasa yang hanya memusatkan seluruh perhatiannya pada wajah Alana yang masih bersemu. Lelaki itu menyadari sesuatu. Tulang pipi sang istri nampak semakin jelas, Arkasa rasa istrinya itu sudah kehilangan massa tubuhnya juga. "Kamu tidak terlihat baik- baik saja," ujar Arkasa dengan pandangan serius. Alana yang sudah mulai bisa mengendalikan diri kembali bersitatap dengan netra tajam yang seolah mengulitinya hidup- hidup. Alana menarik sudut kecil diujung bibirnya, "kamu juga tidak terlihat baik- baik saja," balasnya ketika mengamati lingkaran gelap dibawah mata Arkasa. Keduanya sempat tertawa sebentar. Mereka mungkin hanya tidak saling bertemu selama tiga hari. Namun dalam beberapa hari itu, keduanya menyimpan rindu yang sama. Mereka sama- sama ingin menyelesaikan permasalahan yang sempat mengganjal. Bahkan tanpa dikatakan lagi, keduanya pada akhirnya tahu bahwa mereka memang sudah saling jatuh cinta sedalam itu. "Karena ak
Dua insan yang masih bergelung dibawah selimut itu menautkan jari- jari mereka. Menikmati suasana siang hari temaram yang sangat jarang mereka habiskan untuk rebahan begini. Sesekali beberapa kecupan manis saling dilayangkan, pertanda mereka tengah dimabuk asmara.Alana mau tak mau absen dari aktivitas kantor hari ini. Sebenarnya itu bukan masalah besar mengingat hari ini memang tidak ada kegiatan yang mengharuskannya terlibat langsung. Rosaline bahkan langsung paham alasan ketidakhadiran Alana saat dia mendengar suara Arkasa menyapanya tipis di telepon tadi. "Selamat bersenang- senang, bu!" ujarnya riang lalu segera menutup panggilan. Dia masih bersandar di dada bidang Arkasa sembari memainkan tangan mereka yang tertaut lucu. Sesekali Alana menyusuri dada bidang Arkasa dengan jemari tangan sebelahnya."Alana.""Hm?"Tangan Arkasa menghentikan sebelah tangan Alana yang tengah bebas menyusuri kulitnya. Membawanya kearah wajah Arkasa, mengecupi tangan Alana dengan lembut nan dalam. "
Derai rambut berantakan tersapu angin namun tak wanita itu indahkan sama sekali. Langkahnya lebar tergesa setelah membayar taxi yang ditumpanginya. Begitu gerbang mansion mewah itu terbuka, tanpa ragu dia masuk kedalam dengan berlari. Beberapa sapaan ramah yang ia temui hanya dibalas sebisanya. Fokusnya hanya satu, menembus pintu megah utama, tempat dimana dia menghabiskan masa muda penuh kasih dan ambisi dahulu. Hanya selangkah lagi dan ia akan langsung memasuki ruang utama—dimensi yang membawanya kembali pada kelebat masa lalu. Nafasnya berat, mendadak bak terpenggal setengah- setengah. Namun bagaimanapun, dia tidak bisa mundur lagi. Kedua tangannya terkepal disebelah tubuhnya setelah menyeka beberapa bulir keringat yang menyapa pelipisnya. Dengan sisa ketegasan yang dimiliki, wanita itu mendorong pintu utama. Pandangannya terpaku lurus, menemukan sosok lelaki yang sudah tersungkur diatas lantai. Sudut bibir serta dahinya tertoreh luka dan beberapa bekas pukulan. Lelaki itu memb
"Kamu yakin mau tetap pergi?" Adara menarik dua sudut bibirnya untuk melengkung simetris, "aku sudah memikirkan ini sejak lama, ini keputusan akhir ku, Al," ujarnya mantap. Memang sejak lama Alana tahu bahwa Adara punya cita-cita mengembangkan salah satu anak bisnis ayahnya di luar negeri. Sebenarnya, itu juga destinasi yang sebelumnya telah Adara rancang untuk dia tinggali bersama Bayu dan anaknya. Namun setelah semua yang terjadi, Adara rasa dia memang hanya harus menjalani semua sendirian disana. "Kamu siap tinggal sendiri?" Biar bagaimanapun, Alana juga sadar bahwa sahabatnya itu belum sepenuhnya bisa mandiri. Membiarkan Adara pergi untuk tinggal disana sendirian cukup membuat Alana uring- uringan. Adara mengulas senyum remeh, "kamu lupa? aku disana mengurus perusahaan ayah, sudah pasti aku punya beberapa orang yang bisa diandalkan. Selain itu, aku punya banyak teman yang juga tinggal di Paris," ujarnya percaya diri. Alana mungkin sempat melupakan fakta bahwa Adara adalah
Sudah bukan rahasia lagi kalau Arkasa memang telah disiapkan sejak jauh- jauh hari. Bahkan ketika berita bahwa Arkasa Dean Pradipta kembali ke negri ini tersebar, seluruh bagian perusahaan telah menggemborkan bahwa pemimpin baru mereka telah tiba. Tanpa ada pengumuman dari Tuan Pradipta langsung pun, semua tahu singgasana itu memang telah disiapkan untuk Arkasa seorang.Kehadiran putra pertama Tuan Pradipta pagi ini di perusahaan juga menggemparkan seluruh penjuru. Meskipun lelaki itu hanya datang untuk memenuhi panggilan santai sang ayah, namun semua pegawai menyambutnya meriah. Bagaimana tidak? Arkasa selalu punya beribu alasan ketika sang ayah memintanya datang. Sebagai ganti, lelaki itu hanya akan menerima tugas dan menyelesaikannya di rumah. Dia tak pernah menginginkan credit apapun atas pekerjaannya. Namun pagi itu tentu saja berbeda. Arkasa memenuhi panggilan sang ayah untuk datang ke perusahaan. Lelaki itu berjalan penuh wibawa ditemani Arta yang mengarahkan menuju ruangan.
"Alana Diandra Yasmin..."Wanita itu mengerjap pelan saat menemukan netra elang yang tengah menatapnya lamat. Sapuan nafas hangat bergerilya setelah sang suami memasangkan sebuah kalung dengan liontin mungil namun manis di lehernya. "Hm?"Alana menipiskan bibir, menarik sedikit guna menampakkan senyuman jahil miliknya. Dua tangannya dia letakkan di depan dada Arkasa lalu memberinya sedikit dorongan agar tubuh besar itu tak lagi mengukungnya.Setelah tubuh besar itu mundur dua langkah memberinya jarak, Alana merapikan kembali detail pakaian suaminya dengan telaten. "Jangan mulai! Semua pasti sudah menunggu kamu sekarang," ujarnya lembut namun tetap saja penuh penekanan. Satu kerlingan iseng wanita itu sampirkan sebelum mengambil tas tangannya lalu berjalan lebih dulu meninggalkan sang suami yang sedang mencak- mencak dalam hati.Arkasa menghela nafasnya kasar. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk kembali menenangkan diri dan berdiri diatas kesadarannya. Lelaki itu lalu dengan la
Angin menyapa kulitnya yang terekspos, cukup dingin namun tidak sedingin raut wajah Alana sekarang. Netranya terus memicing curiga sembari menjaga jarak aman. Kali ini dia sama sekali tidak berusaha untuk terlihat ramah, terutama kepada manusia dihadapannya sekarang. Lelaki yang tengah berdiri jangkung nan angkuh sembari memamerkan lengkungan memuakkan di wajah tampannya. "Dalam mimpimu!" ketus Alana.Alis tebal si lelaki terangkat sebelah. senyumnya terukir culas ketika dia memandang Alana yang sama sekali tak mau bersikap ramah padanya. Satu kekehan kecil lolos dari bibirnya. Lelaki itu meletakkan sebelah tangannya di pembatas balkon sembari mengalihkan pandangannya dari Alana. Memilih untuk ikut meresapi udara malam yang membelai wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut- rambut halus."Kamu masih ketus seperti biasanya," ujarnya kini tanpa memandang Alana.Alana mengernyit, memang sambutan macam apa yang diharapkan dengan masa lalu mereka yang buruk itu? Alana bahkan sudah merasa lu
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang