"Alana Diandra Yasmin..."Wanita itu mengerjap pelan saat menemukan netra elang yang tengah menatapnya lamat. Sapuan nafas hangat bergerilya setelah sang suami memasangkan sebuah kalung dengan liontin mungil namun manis di lehernya. "Hm?"Alana menipiskan bibir, menarik sedikit guna menampakkan senyuman jahil miliknya. Dua tangannya dia letakkan di depan dada Arkasa lalu memberinya sedikit dorongan agar tubuh besar itu tak lagi mengukungnya.Setelah tubuh besar itu mundur dua langkah memberinya jarak, Alana merapikan kembali detail pakaian suaminya dengan telaten. "Jangan mulai! Semua pasti sudah menunggu kamu sekarang," ujarnya lembut namun tetap saja penuh penekanan. Satu kerlingan iseng wanita itu sampirkan sebelum mengambil tas tangannya lalu berjalan lebih dulu meninggalkan sang suami yang sedang mencak- mencak dalam hati.Arkasa menghela nafasnya kasar. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk kembali menenangkan diri dan berdiri diatas kesadarannya. Lelaki itu lalu dengan la
Angin menyapa kulitnya yang terekspos, cukup dingin namun tidak sedingin raut wajah Alana sekarang. Netranya terus memicing curiga sembari menjaga jarak aman. Kali ini dia sama sekali tidak berusaha untuk terlihat ramah, terutama kepada manusia dihadapannya sekarang. Lelaki yang tengah berdiri jangkung nan angkuh sembari memamerkan lengkungan memuakkan di wajah tampannya. "Dalam mimpimu!" ketus Alana.Alis tebal si lelaki terangkat sebelah. senyumnya terukir culas ketika dia memandang Alana yang sama sekali tak mau bersikap ramah padanya. Satu kekehan kecil lolos dari bibirnya. Lelaki itu meletakkan sebelah tangannya di pembatas balkon sembari mengalihkan pandangannya dari Alana. Memilih untuk ikut meresapi udara malam yang membelai wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut- rambut halus."Kamu masih ketus seperti biasanya," ujarnya kini tanpa memandang Alana.Alana mengernyit, memang sambutan macam apa yang diharapkan dengan masa lalu mereka yang buruk itu? Alana bahkan sudah merasa lu
Terbangun dengan sedikit pening dan perasaan mengganjal jelas bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pagi hari Alana. Matanya mengerjap beberapa kali saat perlahan menyesuaikan sinar yang menyerang. Pemandangan pertama yang dia dapati adalah Arkasa Dean yang tengah mengenakan kemeja di depan cermin. Alana melirik jam dinding, ini pukul setengah tujuh pagi dan Arkasa sudah hampir siap dengan pakaiannya. Beberapa detik dia terdiam sampai akhirnya sadar akan sesuatu. Dengan sigap dia menyingkap selimut hendak berjalan keluar kamar."Mau kemana?" tanya Arkasa yang meliriknya dari pantulan cermin.Alana merapikan pakaian tidurnya, "aku belum nyiapin sarapan. Kamu harus ke kampus dulu kan pagi- pagi sebelum ke kantor?"Hari ini memang rencananya lelaki itu mengurus beberapa hal di kampus tempatnya mengajar sebelum secara penuh bekerja di perusahaan. Arkasa tersenyum tipis, dia menarik Alana perlahan untuk kembali duduk di ranjang. "Gak apa, sarapan roti aja bentar biar cepet. Kamu isti
"Kalau nanti misalnya kami minta tolong untuk hadir sebagai pembicara untuk mengisi seminar, masih bisa, pak?" Arkasa yang tengah memasukkan beberapa barang kedalam kotak tersenyum tenang menanggapi pertanyaan salah satu staf universitas."Tentu, dengan senang hati pasti saya hadir," balasnya. Beberapa dosen dan juga staf yang sering bergaul dengannya berkumpul sembari memberi beberapa kenang-kenangan untuknya. Seolah juga belum rela Arkasa pergi dari kampus secepat ini. Mereka menyayangkan tenaga cekatan dan kompeten seperti Arkasa harus hengkang. Tapi mau bagaimana lagi? pada awalnya pun mereka juga sangsi mengapa putra konglomerat negeri memilih menjadi dosen dibandingkan meneruskan perusahaan keluarga. Sedikit banyaknya mereka tahu hari ini akan tiba.Setelah menemui Rektor Universitas untuk pamit, Arkasa langsung kembali ke ruangannya guna mengambil beberapa dokumennya. Sebenarnya surat pengajuan pengunduran diri sudah dia kirimkan jauh sebelumnya, hari ini dia hanya berpamitan
Begitu Arkasa masuk kedalam ruangan rapat, auranya sama sekali tak bisa terbendung. Orang- orang yang tadinya masih saling berbincang langsung terdiam dan menyambutnya sopan. Netranya memindai sekeliling ruangan, melihat bagaimana para ketua divisi seperti menatapnya salah tingkah. "Baik, karena ini kali pertama saya disini, saya harap kita semua dapat saling membantu," ujarnya lantang dan tegas. Lambat laun tatapan asing tersebut dapat diredam, semuanya tenggelam dalam perbincangan serius pasal perusahaan. Rapat sekitar enam puluh menit itu pun berjalan dengan lancar tanpa hambatan berarti. Arkasa dan Arta meninggalkan ruangan rapat menuju ruangan kerja milik Arkasa. Ruangan tersebut sudah dipersiapkan sedemikian rupa, beberapa barang ataupun dokumen yang sebelumnya berada di rumah pun sudah dia letakkan di kantor. Setelah ini Arkasa akan lebih fokus mengurus pekerjaan disini.Netranya menatap tiap sudut ruangan yang terus mengingatkannya pada masa kecilnya dahulu. Masa-masa dima
Selimut bulu tebal menyelimuti tubuh ramping yang kini rebahan santai di depan televisi berukuran 70 inchi. Layar besar itu memutar satu judul film yang direkomendasikan salah satu platform berbayar. Meja bulat disebelahnya menyangga coklat panas dan beberapa makanan ringan. Sungguh hari santai yang jarang sekali bisa Alana Diandra rasakan.Tidak seperti kelihatannya, wanita itu sesungguhnya tak seratus persen fokus pada tayangan. Jemarinya sibuk memberi instruksi pada Rosaline tentang apa- apa saja yang perlu gadis itu lakukan selama Alana tak bisa berada di kantor. Selain itu, dia juga beberapa kali memantau perkembangan akun berita dan gosip.Berita tadi pagi tentu memberi sumbangsih besar terhadap gonjang-ganjing perusahaannya. Namun bukan Alana namanya jika tidak punya rencana cadangan terhadap segala hal. Meskipun mertua dan orang tuanya juga turut khawatir, Alana hanya bisa meminta mereka untuk tenang dan menunggu segalanya berjalan kondusif. Meski tidak melakukan apapun untuk
"Bu Alana mau istirahat saja? Kelihatannya pucat sekali." Rosaline menyadarkan Alana kembali dari pikirannya yang mengelana dalam. Wanita itu tersenyum singkat sembari menggelengkan kepalanya. "Aku baik- baik saja. Kamu tidak perlu khawatir," balasnya. Meskipun begitu, Rosaline tetap khawatir dengan kondisi atasannya tersebut. Dia bergegas meminta salah seorang office boy untuk membuatkan teh jahe dan bubur. Dia tahu Alana belum makan siang sama sekali. Ditambah lagi, dia memergoki sang bos beberapa kali bolak-balik kamar mandi untuk muntah. "Atau mau saya panggilkan Pak Arka untuk menjemput?" saran Rosaline yang mendapat gelengan keras lagi dari Alana. "Jangan! Jangan hubungi dia. Aku baik- baik saja," terang Alana lagi. Alana tidak bisa menemui Arkasa dalam keadaan begini setelah pertengkaran mereka dua hari lalu. Setelah hari itu, Alana bahkan belum bertemu Arkasa lagi di rumah. Lelaki itu benar- benar marah besar padanya dan tidak pulang ke rumah."Bagaimana aku bisa perca
"Kamu pasti berpikir sudah berada diatas awan, bukan?"Alana menyungginkan seutas senyuman miring meskipun tak ada satupun orang yang dapat melihatnya. Dia sudah tahu lambat laun si pelaku pasti akan menghubunginya. Satu panggilan masuk dari wanita yang namanya tengah disebut dimana-mana, Veronica Wijaya. "Memangnya apa yang aku lakukan? Apa hubungannya denganku?" tanya Alana dengan santai. Wanita dua puluh delapan tahun itu berani jamin bahwa semua kekacauan yang terjadi adalah ulah Veronica sendiri yang membuka celah. Segala pemberitaan yang menyeret Veronica pada akhirnya juga bukan tanggung jawab Alana sama sekali. Dia tak meminta siapapun untuk melakukan itu. Sekali lagi, Alana tak mau ikut- ikutan mengotori tangannya. Begitu panggilan ini masuk, secara tak langsung Veronica telah mengakui bahwa semua kekacauan ini berasal darinya. Niat hati ingin menyerang Alana tapi justru terperosok jatuh sendiri. Panggilan beberapa detik itu hanya ditanggapi santai oleh Alana. Pada akhirn
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang