Derai rambut berantakan tersapu angin namun tak wanita itu indahkan sama sekali. Langkahnya lebar tergesa setelah membayar taxi yang ditumpanginya. Begitu gerbang mansion mewah itu terbuka, tanpa ragu dia masuk kedalam dengan berlari. Beberapa sapaan ramah yang ia temui hanya dibalas sebisanya. Fokusnya hanya satu, menembus pintu megah utama, tempat dimana dia menghabiskan masa muda penuh kasih dan ambisi dahulu. Hanya selangkah lagi dan ia akan langsung memasuki ruang utama—dimensi yang membawanya kembali pada kelebat masa lalu. Nafasnya berat, mendadak bak terpenggal setengah- setengah. Namun bagaimanapun, dia tidak bisa mundur lagi. Kedua tangannya terkepal disebelah tubuhnya setelah menyeka beberapa bulir keringat yang menyapa pelipisnya. Dengan sisa ketegasan yang dimiliki, wanita itu mendorong pintu utama. Pandangannya terpaku lurus, menemukan sosok lelaki yang sudah tersungkur diatas lantai. Sudut bibir serta dahinya tertoreh luka dan beberapa bekas pukulan. Lelaki itu memb
"Kamu yakin mau tetap pergi?" Adara menarik dua sudut bibirnya untuk melengkung simetris, "aku sudah memikirkan ini sejak lama, ini keputusan akhir ku, Al," ujarnya mantap. Memang sejak lama Alana tahu bahwa Adara punya cita-cita mengembangkan salah satu anak bisnis ayahnya di luar negeri. Sebenarnya, itu juga destinasi yang sebelumnya telah Adara rancang untuk dia tinggali bersama Bayu dan anaknya. Namun setelah semua yang terjadi, Adara rasa dia memang hanya harus menjalani semua sendirian disana. "Kamu siap tinggal sendiri?" Biar bagaimanapun, Alana juga sadar bahwa sahabatnya itu belum sepenuhnya bisa mandiri. Membiarkan Adara pergi untuk tinggal disana sendirian cukup membuat Alana uring- uringan. Adara mengulas senyum remeh, "kamu lupa? aku disana mengurus perusahaan ayah, sudah pasti aku punya beberapa orang yang bisa diandalkan. Selain itu, aku punya banyak teman yang juga tinggal di Paris," ujarnya percaya diri. Alana mungkin sempat melupakan fakta bahwa Adara adalah
Sudah bukan rahasia lagi kalau Arkasa memang telah disiapkan sejak jauh- jauh hari. Bahkan ketika berita bahwa Arkasa Dean Pradipta kembali ke negri ini tersebar, seluruh bagian perusahaan telah menggemborkan bahwa pemimpin baru mereka telah tiba. Tanpa ada pengumuman dari Tuan Pradipta langsung pun, semua tahu singgasana itu memang telah disiapkan untuk Arkasa seorang.Kehadiran putra pertama Tuan Pradipta pagi ini di perusahaan juga menggemparkan seluruh penjuru. Meskipun lelaki itu hanya datang untuk memenuhi panggilan santai sang ayah, namun semua pegawai menyambutnya meriah. Bagaimana tidak? Arkasa selalu punya beribu alasan ketika sang ayah memintanya datang. Sebagai ganti, lelaki itu hanya akan menerima tugas dan menyelesaikannya di rumah. Dia tak pernah menginginkan credit apapun atas pekerjaannya. Namun pagi itu tentu saja berbeda. Arkasa memenuhi panggilan sang ayah untuk datang ke perusahaan. Lelaki itu berjalan penuh wibawa ditemani Arta yang mengarahkan menuju ruangan.
"Alana Diandra Yasmin..."Wanita itu mengerjap pelan saat menemukan netra elang yang tengah menatapnya lamat. Sapuan nafas hangat bergerilya setelah sang suami memasangkan sebuah kalung dengan liontin mungil namun manis di lehernya. "Hm?"Alana menipiskan bibir, menarik sedikit guna menampakkan senyuman jahil miliknya. Dua tangannya dia letakkan di depan dada Arkasa lalu memberinya sedikit dorongan agar tubuh besar itu tak lagi mengukungnya.Setelah tubuh besar itu mundur dua langkah memberinya jarak, Alana merapikan kembali detail pakaian suaminya dengan telaten. "Jangan mulai! Semua pasti sudah menunggu kamu sekarang," ujarnya lembut namun tetap saja penuh penekanan. Satu kerlingan iseng wanita itu sampirkan sebelum mengambil tas tangannya lalu berjalan lebih dulu meninggalkan sang suami yang sedang mencak- mencak dalam hati.Arkasa menghela nafasnya kasar. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk kembali menenangkan diri dan berdiri diatas kesadarannya. Lelaki itu lalu dengan la
Angin menyapa kulitnya yang terekspos, cukup dingin namun tidak sedingin raut wajah Alana sekarang. Netranya terus memicing curiga sembari menjaga jarak aman. Kali ini dia sama sekali tidak berusaha untuk terlihat ramah, terutama kepada manusia dihadapannya sekarang. Lelaki yang tengah berdiri jangkung nan angkuh sembari memamerkan lengkungan memuakkan di wajah tampannya. "Dalam mimpimu!" ketus Alana.Alis tebal si lelaki terangkat sebelah. senyumnya terukir culas ketika dia memandang Alana yang sama sekali tak mau bersikap ramah padanya. Satu kekehan kecil lolos dari bibirnya. Lelaki itu meletakkan sebelah tangannya di pembatas balkon sembari mengalihkan pandangannya dari Alana. Memilih untuk ikut meresapi udara malam yang membelai wajahnya yang mulai ditumbuhi rambut- rambut halus."Kamu masih ketus seperti biasanya," ujarnya kini tanpa memandang Alana.Alana mengernyit, memang sambutan macam apa yang diharapkan dengan masa lalu mereka yang buruk itu? Alana bahkan sudah merasa lu
Terbangun dengan sedikit pening dan perasaan mengganjal jelas bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pagi hari Alana. Matanya mengerjap beberapa kali saat perlahan menyesuaikan sinar yang menyerang. Pemandangan pertama yang dia dapati adalah Arkasa Dean yang tengah mengenakan kemeja di depan cermin. Alana melirik jam dinding, ini pukul setengah tujuh pagi dan Arkasa sudah hampir siap dengan pakaiannya. Beberapa detik dia terdiam sampai akhirnya sadar akan sesuatu. Dengan sigap dia menyingkap selimut hendak berjalan keluar kamar."Mau kemana?" tanya Arkasa yang meliriknya dari pantulan cermin.Alana merapikan pakaian tidurnya, "aku belum nyiapin sarapan. Kamu harus ke kampus dulu kan pagi- pagi sebelum ke kantor?"Hari ini memang rencananya lelaki itu mengurus beberapa hal di kampus tempatnya mengajar sebelum secara penuh bekerja di perusahaan. Arkasa tersenyum tipis, dia menarik Alana perlahan untuk kembali duduk di ranjang. "Gak apa, sarapan roti aja bentar biar cepet. Kamu isti
"Kalau nanti misalnya kami minta tolong untuk hadir sebagai pembicara untuk mengisi seminar, masih bisa, pak?" Arkasa yang tengah memasukkan beberapa barang kedalam kotak tersenyum tenang menanggapi pertanyaan salah satu staf universitas."Tentu, dengan senang hati pasti saya hadir," balasnya. Beberapa dosen dan juga staf yang sering bergaul dengannya berkumpul sembari memberi beberapa kenang-kenangan untuknya. Seolah juga belum rela Arkasa pergi dari kampus secepat ini. Mereka menyayangkan tenaga cekatan dan kompeten seperti Arkasa harus hengkang. Tapi mau bagaimana lagi? pada awalnya pun mereka juga sangsi mengapa putra konglomerat negeri memilih menjadi dosen dibandingkan meneruskan perusahaan keluarga. Sedikit banyaknya mereka tahu hari ini akan tiba.Setelah menemui Rektor Universitas untuk pamit, Arkasa langsung kembali ke ruangannya guna mengambil beberapa dokumennya. Sebenarnya surat pengajuan pengunduran diri sudah dia kirimkan jauh sebelumnya, hari ini dia hanya berpamitan
Begitu Arkasa masuk kedalam ruangan rapat, auranya sama sekali tak bisa terbendung. Orang- orang yang tadinya masih saling berbincang langsung terdiam dan menyambutnya sopan. Netranya memindai sekeliling ruangan, melihat bagaimana para ketua divisi seperti menatapnya salah tingkah. "Baik, karena ini kali pertama saya disini, saya harap kita semua dapat saling membantu," ujarnya lantang dan tegas. Lambat laun tatapan asing tersebut dapat diredam, semuanya tenggelam dalam perbincangan serius pasal perusahaan. Rapat sekitar enam puluh menit itu pun berjalan dengan lancar tanpa hambatan berarti. Arkasa dan Arta meninggalkan ruangan rapat menuju ruangan kerja milik Arkasa. Ruangan tersebut sudah dipersiapkan sedemikian rupa, beberapa barang ataupun dokumen yang sebelumnya berada di rumah pun sudah dia letakkan di kantor. Setelah ini Arkasa akan lebih fokus mengurus pekerjaan disini.Netranya menatap tiap sudut ruangan yang terus mengingatkannya pada masa kecilnya dahulu. Masa-masa dima