Alana terbangun dengan pening yang menjalar di kepalanya. Rambut tebalnya tanpa sadar dia cengkram erat sembari meringis, niatnya mencoba meredam sakit, namun tentu sama sekali tak memberi pengaruh apapun.Ia melirik asbak semalam yang berisi beberapa puntung pendek. Termenung hingga pukul empat pagi sepertinya cukup membuat tubuhnya melemah. Dengan lunglai kaki jenjangnya berusaha menapak menuruni ranjang. Alana masih punya cukup tenaga untuk menjalani hari- harinya seperti biasa hari ini. Meskipun dia juga harus menyiapkan ekstra tenaga untuk berjalan tegak dan tersenyum menyembunyikan seluruh perasaan campur aduk miliknya.Pukul delapan pagi, biasanya mungkin Alana akan kelabakan karena tak ingin sampai kantor terlalu siang. Namun untuk kali ini dia menyerah akan egonya. Setelah mengabari Rosaline bahwa dirinya akan tiba di kantor agak siang, Alana berjalan keluar kamar sedikit lunglai.Destinasi pertamanya adalah dispenser air yang tak jauh dari kamarnya. "Arkasa berangkat ke Mi
"Kita sudah sampai, pak," suara Arta menyadarkan lamunan Arkasa.Lelaki yang baru memasuki usia kepala tiga itu mengalihkan pandangannya dari jendela setelah mengamati jalanan malam dengan pikiran kosong. Entah sejak kapan namun mobil yang ditumpanginya ternyata sudah berhenti tepat di depan pintu masuk hotel.Seorang lelaki bertubuh besar membuka pintunya, membiarkan Arkasa turun dengan setelan dan terlihat super menawan. Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya sementara aura dingin terus menguar kuat. Dia disambut beberapa lelaki yang menunduk sopan menyapanya, mengarahkan Arkasa untuk masuk melewati pintu utama.Arta menyerahkan kunci ruangan dengan sopan. Arkasa menerimanya dan langsung masuk kedalam kamar hotel yang akan dia tempati selama beberapa hari kedepan. Kopernya sudah ada disamping lemari. Tak banyak yang dia bawa mengingat keberangkatannya juga super mendadak. Lelaki itu melepaskan setelan mahalnya sebelum langsung membasuh diri. Tak butuh waktu lama, Arkasa keluar
Kejutan apa lagi ini?Alana merasa hidupnya sedang benar- benar dipermainkan. Dia hampir gemetar membaca beberapa buah surat yang sudah sedikit usang. Sang ibu mertua duduk dengan tenang dihadapannya seolah telah menduga keterkejutan di wajah Alana. "Mama pikir sudah seharusnya kamu tahu. Ini adalah alasan utama Arkasa tidak mau menjadi pewaris," ujar sang mertua.Alana mengernyit tak paham. Dia merasa sudah mengalami banyak hal konyol dalam hidupnya, tapi yang satu ini terasa tidak masuk akal. Kepalanya terangkat kembali, memasang raut ragu saat memandang wajah ibu mertuanya yang masih menatapnya teduh."Tapi kalian terlihat mirip," cicit Alana.Si mertua tertawa kecil, "ada yang bilang, kalau sudah tinggal bersama, lama- kelamaan juga akan terlihat mirip," balasnya santai. Alana masih menolak percaya. Bagaimana bisa? Kertas di tangannya menunjukkan surat keterangan adopsi dan hasil tes DNA. Apakah ini masuk akal?"Sebelum melahirkan Adara, mama dan ayah sempat kesulitan untuk mem
Gelap dan sunyi. Jemari lentik itu menekan saklar lampu ruangan perlahan. Tatapan Alana kosong ketika memindai huniannya yang benar- benar sepi. Alana masih menjinjing tas kerja di tangan sebelahnya, sementara satu tangan lagi kini mengangkat heels yang baru dia lepaskan.Pagi tadi Adara secara resmi meninggalkan rumah ini. Wanita itu akan memulai perjalanan barunya untuk mandiri. Langkah positif yang tentu Alana dukung demi kebaikan sahabatnya sendiri. Ini masih pukul sepuluh malam dan wanita dua puluh delapan tahun itu merasa hampa. Ini mungkin kali pertama dia tinggal di rumah ini sendirian begini?Alana melepaskan seluruh kain yang melekat pada tubuhnya kala dia memasuki kamar mandi. Berendam dengan aroma yang menenangkan menjadi pilihannya kali ini. Wanita itu dengan hati- hati masuk kedalam bath tub, membiarkan tenangnya mengisi jiwa.Ketika dia memejamkan mata, sekali lagi bayangan sayu Arkasa melintas dalam pikirnya. Bagaimana lelaki itu menatapnya sayu hari itu masih membeka
Arkasa menggenggam erat ponselnya, bersamaan dengan senyuman kecil yang terbit tipis di bibirnya. Dia tidak bisa menahan lengkungan itu lebih lama lagi. Untuk kali pertama dalam beberapa hari yang memuakkan ini, senyum itu akhirnya bisa kembali pada tempat seharusnya. Mendengar suara yang telah dia rindukan seolah mengisi kembali energinya. Awalnya Arkasa pikir Alana tidak akan menjawab panggilannya, namun ternyata wanita itu masih mau menjawabnya. Arkasa sudah menahan diri selama beberapa hari ini untuk tidak menghubungi Alana. Selain karena dia ingin memberikan Alana waktu untuk mencerna permasalahan mereka, dia juga tidak mau kehilangan kendali. Semakin Arkasa menghubungi Alana, dia akan semakin rindu dan tidak konsentrasi. Itulah mengapa dia memutuskan untuk baru menghubungi Alana sekarang. Debarannya kian berontak, ada berbagai hal yang harus segera dia selesaikan. Ketika pandangannya menemukan Arta diantara keramaian dengan membawa dua koper kearahnya, Arkasa mendekat dan lan
Alana mengerjapkan matanya berkali- kali saat sinar sang surya menembus jendela kamarnya. Dia melirik penanda waktu yang menunjukkan pukul delapan pagi. Ah sepertinya dia kesiangan lagi. Bangkit perlahan lalu meregangkan sendi-sendinya yang kaku. Alana sempat terdiam beberapa saat setelah menyadari sesuatu. Matanya yang masih belum terbuka sempurna menoleh kesamping, tidak ada apapun dan siapapun. Apa mungkin semalam hanya mimpi? Tapi kenapa rasanya nyata sekali? Alana bahkan masih bisa mencium aroma memabukkan milik Arkasa. Dia menyentuh bibirnya sendiri sembari menatap kosong kearah depan. Benar-benar tidak lucu kalau sampai ia memimpikan Arkasa sampai sebegitunya. Tapi semuanya benar-benar terasa nyata. Kalau iya, lantas dimana Arkasa sekarang? Dinara turun dari ranjang dan baru menyadari bahwa ia masih mengenakan kemeja putih milik Arkasa. Ketika tanpa sengaja dia berjalan melewati standing mirror di kamar, matanya membulat karena kancing bajunya sudah terb
Suasana mendadak hening. Alana yang terdiam canggung dan Arkasa yang hanya memusatkan seluruh perhatiannya pada wajah Alana yang masih bersemu. Lelaki itu menyadari sesuatu. Tulang pipi sang istri nampak semakin jelas, Arkasa rasa istrinya itu sudah kehilangan massa tubuhnya juga. "Kamu tidak terlihat baik- baik saja," ujar Arkasa dengan pandangan serius. Alana yang sudah mulai bisa mengendalikan diri kembali bersitatap dengan netra tajam yang seolah mengulitinya hidup- hidup. Alana menarik sudut kecil diujung bibirnya, "kamu juga tidak terlihat baik- baik saja," balasnya ketika mengamati lingkaran gelap dibawah mata Arkasa. Keduanya sempat tertawa sebentar. Mereka mungkin hanya tidak saling bertemu selama tiga hari. Namun dalam beberapa hari itu, keduanya menyimpan rindu yang sama. Mereka sama- sama ingin menyelesaikan permasalahan yang sempat mengganjal. Bahkan tanpa dikatakan lagi, keduanya pada akhirnya tahu bahwa mereka memang sudah saling jatuh cinta sedalam itu. "Karena ak
Dua insan yang masih bergelung dibawah selimut itu menautkan jari- jari mereka. Menikmati suasana siang hari temaram yang sangat jarang mereka habiskan untuk rebahan begini. Sesekali beberapa kecupan manis saling dilayangkan, pertanda mereka tengah dimabuk asmara.Alana mau tak mau absen dari aktivitas kantor hari ini. Sebenarnya itu bukan masalah besar mengingat hari ini memang tidak ada kegiatan yang mengharuskannya terlibat langsung. Rosaline bahkan langsung paham alasan ketidakhadiran Alana saat dia mendengar suara Arkasa menyapanya tipis di telepon tadi. "Selamat bersenang- senang, bu!" ujarnya riang lalu segera menutup panggilan. Dia masih bersandar di dada bidang Arkasa sembari memainkan tangan mereka yang tertaut lucu. Sesekali Alana menyusuri dada bidang Arkasa dengan jemari tangan sebelahnya."Alana.""Hm?"Tangan Arkasa menghentikan sebelah tangan Alana yang tengah bebas menyusuri kulitnya. Membawanya kearah wajah Arkasa, mengecupi tangan Alana dengan lembut nan dalam. "