Prisha melewati hari demi hari menjelang magang di rumah sakit dengan hati gembira. Staminanya yang kembali sehat, melipatgandakan semangatnya. Benar kiranya kata orang-orang bijak. Ketika seseorang memiliki harapan, maka semangat meraihnya akan bertambah. Pengorbanan jadi terasa manis.Menjadi dokter adalah impiannya. Prisha tak akan membuang impian tersebut hanya karena hamil. Ia jauh lebih beruntung dari sebagian besar ibu hamil di luar sana. Jadi, kenapa juga dia harus bermalas-malasan di rumah. Bergelung tidur seperti kucing gendut dan berpangku tangan menunggu makanan datang.Ia akan memanfaatkan potensi diri sebaik-baiknya.Prisha menyusun beberapa rencana masa depan. Rencana selama magang, rencana setelah melahirkan, dan rencana untuk bayimya.Begitu konsep rencana-rencana tersebut rampung, dengan mata berbinar, wanita muda itu menunjukkannya pada pak suami.Jejak rumit melintas di mata Gavin tatkala mempelajari rencana Prisha.Setelah beberapa menit, ia meletakkan berkas ren
Keyko benar-benar pusing menghadapi persiapan pernikahannya. Rasa-rasanya ingin lari saja. Tak pernah terpikir di kepalanya, bahwa akhirnya ia bakal sampai juga ke momen itu. Momen ketika ia harus menghadapi hari-hari paling ditakutinya.“Inilah yang gue hindari. Komitmen bersama satu pria selamanya.” Gadis bermata sipit yang rambut lurusnya telah rapat terlindung kerudung itu, meneguk segelas lemon segar sampai licin tandas.Mereka telah berpindah tempat dari gazebo ke kursi berpayung yang terletak tepat di pinggir kolam renang. Alasannya karena Keyko pengen healing dekat air.Dengan sabar, Prisha menuangkan segelas lemon dingin lagi dari teko ukuran jumbo. Hana ikut menyodorkan gelasnya yang telah kosong.Prisha menatap Hana sebentar. Ada kilau tanya di matanya. Apakah Hana ikut-ikutan galau?Hana mengangguk pelan, sebagai isyarat bahwa ia juga butuh gelas kedua demi menenangkan pikiran. Selain itu, meminum es lemon selepas dinas pagi di tengah terik matahari, sungguh menyegarkan. A
"Key, Han, udahan mainnya!" seru Prisha, persis ibu memanggil anak-anaknya yang sudah terlalu lama bermain air."Yaah, nanggung, Sha. Jari gue belum keriput!" sahut Keyko sebelum menyelam."Eeh, ini bocah! Kalo nunggu keriput, lo bedua bakal diusir Pak Dok! Ayok, siap-siap, bentar lagi musuh Hana datang bareng laki gue!"Hana yang sedang berenang telentang gaya punggung, sontak membalik badannya hingga mulutnya nyaris tertelan air.Gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk di tengah kolam.Kepala Keyko menyembul ke permukaan."Lo bilang apa tadi, Sha? Gue kagak denger!" serunya seraya mengayun lengan. Tubuhnya meluncur maju ke tepian.Hana masih mengambang di tengah kolam. Rasanya ia kepingin menyelam dan tak timbul lagi begitu mendengar pemberitahuan Prisha."Dokter Reza mau jemput Hana!" Sengaja Prisha berteriak gegap gempita, mengekspresikan kekesalan hati karena sahabatnya tidak mau terbuka.Hana tertegun.Keyko sudah memanjat tangga kolam. Matanya tertumbuk pada dua buah pelampung b
Flash back.“Gimana, Nyak, Beh, boleh, nggak saya ngajak Hana ....” Reza minta izin dengan sopan. Ia baru saja mengantarkan Hana dan nyak babenya dengan selamat sampai ke tujuan. Di depannya terhidang teh yang tinggal setengah cangkir.Hana sudah meninggalkan ruang depan ke kamarnya, setengah jam yang lalu. Gadis itu pergi tanpa basa-basi, bahkan menoleh pun tidak. Reza duduk berhadapan dengan Babe Akram.Langit telah kelabu. Akram ragu-ragu. “Maapin, ya, Nak Reza. Bukannya kagak percaya, tapi rasanya kagak enak, kan ya. Masa’ cewek nyamperin rumah cowok duluan? Gimana kalo Nak Reza aja yang ngajak nyokap bokapnya maen ke sini? Ntar Babe siapkan penyambutan yang meriah ....” tawar Akram, berseri-seri.Reza tersenyum tenang. “Sebelum berangkat tadi, Babeh udah ngasih izin.”Akram tertegun. “Aye lupa, emangnya ente udah minta izin?”Nora menyikut lengan suaminya. “Babeh lupa, die pan udah bilang mo ngajak Hana maen ke ortunye. Babeh ngakurin. Nyak denger sendiri.”“Wah.” Akram mengern
“Hana, kamu tau aku bukan orang penyabar.” Tatapan Reza sarat intimidasi dii bawah penerangan lampu mobil temaram kekuningan. Hana menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan energinya. Mulutnya sedikit mengerucut ketika mengembuskan napas. Diulanginya langkah itu sebanyak lima kali. Tanpa sadar, mata elang Reza mengamati wajah Hana, mulai dari mata, hidung, pipi, dagu, dan terakhir mentok di bibir. Bayangan Prisha yang pernah singgah di hatinya, tiba-tiba berkelebat di benaknya. Ia mulai membandingkan Prisha dengan Hana. Dua gadis itu sama-sama berhijab. Hana tidak secantik Prisha yang blasteran Turki. Namun, Reza tahu, di balik pelindungnya, Hana memiliki daya tarik yang mampu memantik api imajinasi lelaki hingga berkobar sampai tingkat panas yang tak tertahankan. Tentu saja, Reza tahu. Sebab, ia sudah jadi korbannya. Mata Hana bulat sempurna. Pantulan cahaya lampu menciptakan kilauan bintang-bintang cantik di permukaan bening matanya. Hidungnya yang bangir kearab-araban, menyim
Hana menggigil dan setengah linglung tatkala dua pelayan wanita menggandengnya. Sekujur tubuhnya laksana dilanda demam hebat. Bekas luka di punggungnya pun terasa ikut berdenyut nyeri.Bagaimanapun, ia hanyalah seorang gadis muda naif yang tak pernah mengenal sentuhan tak halal. Pikiran dan perasaannya porak poranda. Harga dirinya seperti gelas kaca yang dibanting dari ketinggian, lalu jatuh berkeping-keping.Reza betul-betul patut dinobatkan sebagai musuh abadi! Hana membencinya sampai ke tulang sumsum. Saking bencinya, Hana sampai gemetaran dan tak tahu harus berbuat apa. Berjalan pun serasa tak menjejak bumi. Sampai-sampai ia tak sadar telah tiba di sebuah kamar besar yang wangi dan tertata rapi. Dekorasi klasik kamar tersebut kental sekali beraura ningrat.Hana ingin melarikan diri, tetapi dalam kamar itu banyak pelayan yang bersiaga. Akhirnya, ia memutuskan menyerah. Oke, ia akan turuti maunya Reza supaya urusan di antara mereka lekas beres. Toh, hanya untuk malam itu ia bersand
Acara pertunangan yang khidmat itu hanya dihadiri tamu-tamu penting yang terdiri dari kerabat dan kenalan dekat saja, sehingga aula tidak terlalu penuh. Prosesi tersebut terlalu mendadak bagi Reza, sehingga ia tak sempat memperkenalkan Hana kepada seluruh anggota keluarganya. Hanya setelah acara pertunangan berakhir, barulah ia mengajak Hana bersalaman dan berkenalan dengan seluruh keluarga. Hana sudah mengira, keluarga Reza tak mungkin menyambutnya ramah. Begitu tahu latar belakangnya yang dari kalangan orang biasa, sikap keluarga yang awalnya sopan, ternyata hanya pencitraan. Untung ia telah menyiapkan telinga untuk menghadapi bullying. Pantas saja Reza jadi makhluk julid tingkat alien, rupanya sifat itu lahir dari keluarga yang julid.Berbeda dengan bapak dan ibu Reza. Mereka justru menerima Hana apa adanya. Sama sekali tak memandang rendah Hana.“Oh, ibumu yang nerima pesanan katering acara arisan Ibuk?” Ibu Reza, Miranda, berkata semringah. “Waktu itu Reza yang Ibuk suruh anter
Hana turun dari mobil dengan gerakan pelan dan takut-takut. Reza juga keluar mobil di posisi depan.Reza membuntuti langkah Hana menuju beranda rumah Juragan Akram yang diterangi lampu bohlam kuning lima watt.“Gosah ngikutin lagi. Urusan kita kelar ampe di sini,” cegah Hana, ketika menyadari Reza mengiringinya.“Maksudmu?”“Lah, dokter pinter udah spesialis juga, masih gak ngerti?” Hana mengangkat sepasang alisnya.“Hana, kok, tega banget.”Hana menekan rasa ibanya. “Kak, Hana udah ngerendahin diri, bela-belain sandiwara yang berlebihan. Dari maksa jadi pacar pura-pura, tetiba jadi tunangan palsu. Apa masih pengen ngajak nikah pura-pura? Wah, nggak bener ini.”“Hana, kamu satu-satunya yang pernah lihat aku nangis kejer. Aku nggak rela ....”“Ish, rela gak rela, mau gimana lagi. Udah takdir, Kak. T-a-k-d-i-r. Kakangmas ngerti apa itu takdir, kan?” Hana setengah bercanda memanggil Reza “kakangmas”.Sayang sekali, candaannya menggemparkan jantung Reza. Dari sekian gadis yang digoda dan