“Hana, kamu tau aku bukan orang penyabar.” Tatapan Reza sarat intimidasi dii bawah penerangan lampu mobil temaram kekuningan. Hana menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan energinya. Mulutnya sedikit mengerucut ketika mengembuskan napas. Diulanginya langkah itu sebanyak lima kali. Tanpa sadar, mata elang Reza mengamati wajah Hana, mulai dari mata, hidung, pipi, dagu, dan terakhir mentok di bibir. Bayangan Prisha yang pernah singgah di hatinya, tiba-tiba berkelebat di benaknya. Ia mulai membandingkan Prisha dengan Hana. Dua gadis itu sama-sama berhijab. Hana tidak secantik Prisha yang blasteran Turki. Namun, Reza tahu, di balik pelindungnya, Hana memiliki daya tarik yang mampu memantik api imajinasi lelaki hingga berkobar sampai tingkat panas yang tak tertahankan. Tentu saja, Reza tahu. Sebab, ia sudah jadi korbannya. Mata Hana bulat sempurna. Pantulan cahaya lampu menciptakan kilauan bintang-bintang cantik di permukaan bening matanya. Hidungnya yang bangir kearab-araban, menyim
Hana menggigil dan setengah linglung tatkala dua pelayan wanita menggandengnya. Sekujur tubuhnya laksana dilanda demam hebat. Bekas luka di punggungnya pun terasa ikut berdenyut nyeri.Bagaimanapun, ia hanyalah seorang gadis muda naif yang tak pernah mengenal sentuhan tak halal. Pikiran dan perasaannya porak poranda. Harga dirinya seperti gelas kaca yang dibanting dari ketinggian, lalu jatuh berkeping-keping.Reza betul-betul patut dinobatkan sebagai musuh abadi! Hana membencinya sampai ke tulang sumsum. Saking bencinya, Hana sampai gemetaran dan tak tahu harus berbuat apa. Berjalan pun serasa tak menjejak bumi. Sampai-sampai ia tak sadar telah tiba di sebuah kamar besar yang wangi dan tertata rapi. Dekorasi klasik kamar tersebut kental sekali beraura ningrat.Hana ingin melarikan diri, tetapi dalam kamar itu banyak pelayan yang bersiaga. Akhirnya, ia memutuskan menyerah. Oke, ia akan turuti maunya Reza supaya urusan di antara mereka lekas beres. Toh, hanya untuk malam itu ia bersand
Acara pertunangan yang khidmat itu hanya dihadiri tamu-tamu penting yang terdiri dari kerabat dan kenalan dekat saja, sehingga aula tidak terlalu penuh. Prosesi tersebut terlalu mendadak bagi Reza, sehingga ia tak sempat memperkenalkan Hana kepada seluruh anggota keluarganya. Hanya setelah acara pertunangan berakhir, barulah ia mengajak Hana bersalaman dan berkenalan dengan seluruh keluarga. Hana sudah mengira, keluarga Reza tak mungkin menyambutnya ramah. Begitu tahu latar belakangnya yang dari kalangan orang biasa, sikap keluarga yang awalnya sopan, ternyata hanya pencitraan. Untung ia telah menyiapkan telinga untuk menghadapi bullying. Pantas saja Reza jadi makhluk julid tingkat alien, rupanya sifat itu lahir dari keluarga yang julid.Berbeda dengan bapak dan ibu Reza. Mereka justru menerima Hana apa adanya. Sama sekali tak memandang rendah Hana.“Oh, ibumu yang nerima pesanan katering acara arisan Ibuk?” Ibu Reza, Miranda, berkata semringah. “Waktu itu Reza yang Ibuk suruh anter
Hana turun dari mobil dengan gerakan pelan dan takut-takut. Reza juga keluar mobil di posisi depan.Reza membuntuti langkah Hana menuju beranda rumah Juragan Akram yang diterangi lampu bohlam kuning lima watt.“Gosah ngikutin lagi. Urusan kita kelar ampe di sini,” cegah Hana, ketika menyadari Reza mengiringinya.“Maksudmu?”“Lah, dokter pinter udah spesialis juga, masih gak ngerti?” Hana mengangkat sepasang alisnya.“Hana, kok, tega banget.”Hana menekan rasa ibanya. “Kak, Hana udah ngerendahin diri, bela-belain sandiwara yang berlebihan. Dari maksa jadi pacar pura-pura, tetiba jadi tunangan palsu. Apa masih pengen ngajak nikah pura-pura? Wah, nggak bener ini.”“Hana, kamu satu-satunya yang pernah lihat aku nangis kejer. Aku nggak rela ....”“Ish, rela gak rela, mau gimana lagi. Udah takdir, Kak. T-a-k-d-i-r. Kakangmas ngerti apa itu takdir, kan?” Hana setengah bercanda memanggil Reza “kakangmas”.Sayang sekali, candaannya menggemparkan jantung Reza. Dari sekian gadis yang digoda dan
“Tolong rahasiakan pernikahan kita!” Hana meletakkan jari di bibirnya. “Hana masih koas. Ribet kalo ketahuan udah nikah ama konsulen sendiri. Hana takut di-bully!”Reza seketika terbebas dari sihir pesona. Ia tertampar oleh kenyataan, niat awalnya menyeret Hana ke sisinya. Bukankah ia hanya ingin memajang Hana sebagai kekasih gadungan di hadapan keluarga? Tak ada ekspektasi sama sekali menjadikan gadis—yang dipandangnya tak lebih dari bocah ingusan itu--sebagai istri.“Narsis. Siapa juga yang ngakuin lo jadi istri?” balas Reza, acuh tak acuh. Pemuda berdarah ningrat itu menghempaskan diri ke ranjang pengantin yang wangi. Kelopak-kelopak bunga yang terserak di permukaan seprai, terburai akibat hempasan tubuh atletisnya. “Berhubung ini nikah pura-pura—““Siapa bilang pura-pura? Emang ada ijab kabul pura-pura?” Reza memotong ucapan Hana. Ia rebah miring, memandangi gadis imut yang baru saja sah dinikahinya sebagai istri. “Emang pura-pura, kaan?” Hana cemberut.“Waktu aku ... sama kamu
Hana berdiri hendak keluar kamar. Sesuai kebiasaan, ia menyambar kerudung, lalu mengenakannya. Sebab, para kerabat dan sebagian warga masih ramai memenuhi rumahnya. Saat membenahi kerudung instan berbahan crincle di depan cermin besar yang berseberangan dengan ranjang, Hana melihat bayangan Reza yang sedang rebahan.Hana menekap mulut dan terbelalak. Celaka! Ia khilaf melepas kerudung di depan Reza. Lafaz istighfar lolos dari bibirnya.“Kenapa? Baru nyadar, ya, kalo kamu pamer-pamer rambut?” celetuk Reza yang entah kapan sudah membuka mata. Rupanya ia mendengar Hana beristighfar.Hana ingin sekali menyambit Reza pakai jarum pentul dari kotak hias. Tapi, ia tersadar jika memulai peperangan lagi, niat luhurnya akan tertunda. Gadis itu buru-buru keluar, ingin menemui enyak dan babe.Reza tadinya ingin kembali memejamkan mata, tetapi ponselnya berdering. Ia terlonjak begitu mendapati telepon dari ayah sambungnya di Singapura. “Za, kondisi ibumu membaik.” Suara sang ayah bergetar di ujung
Hana berkemas ala kadarnya. Sementara Reza tetap mengenakan kemeja putih dan tidak membawa barang apa pun selain tas sandang berisi dompet dan ponsel. Ia akan belanja pakaian ganti di Singapura saja. Sebelum berangkat, mereka menyalami orang tua, kerabat, dan tetangga. “Sekalian bulan madu aje!” sorak para emak ganjen yang mengantar kepergian mereka.Wajah Hana semendung langit musim hujan. Sementara Reza tersenyum ramah seperti biasa. Hana tertegun tatkala Reza mendorong motor N-Max metallic blue roda dua tipe tercanggih ke hadapannya. Pemuda itu naik, lalu memberi isyarat agar Hana membonceng di belakangnya.“Naik motor?” Mata gadis itu membulat. “Kok, nggak bilang kalo mau naik motor .... Babe, gimana niii ....” Hana setengah merengek pada babenya.“Mobil Babeh masih rusak. Babeh juga belum sempat beli mobil baru,” ungkap Juragan Akram yang berdiri melepas kepergian mereka. “Mobil Gavin udah kukembalikan. Tadi ngasi upah si Ujang anak tetangga sebelah, buat nganterin ke rumahny
“Jangan samakan Hana dengan cewek-cewek yang Kak Reza campakkan dengan gampangnya. Terus-terang, Hana ngerasa murahan banget waktu Kak Reza ngelakuin hal menjijikkan itu. Tega sekali Kak Reza. Sebelum dan sesudah hijrah, Hana selalu jaga diri, gak pernah kayak gitu. Kak Reza ngerusak Hana. Hana gak bisa maapin Kak Reza. Benci banget pokoknya. Pengen banget minta talak, tapi gak tega ama orang tua kita. Bakal banyak hati yang tersakiti kalo kita pisah. Kak Reza mikir nggak sih? Kak Reza ... Kak ..., ehh ... kok, malah bobok, sih?”Hana kesal sekali melihat Reza tahu-tahu sudah ketiduran. Ia sudah bicara panjang lebar, malah tidak didengarkan. Bahkan kepala pemuda itu tersandar ke bahu Hana. Gadis itu menjauhkan kepala Reza sambil meringis jijik. Tenaga Hana cukup kuat. Tak ayal lagi, kepala Reza langsung membentur kaca jendela mobil di sebelahnya.Reza mengaduh dengan mata masih terpejam. Rasa iba jatuh ke hati Hana, menyaksikan ekspresi kesakitan suaminya. Naluri kemanusiaan sebaga