Hari ini adalah hari kedua aku bekerja di keluarga Tan yang kaya raya itu. Semalam aku sudah tidak bisa tidur karena cuaca yang sangat panas. Hanya ada kipas angin. Kamar yang disediakan Nyonya Tan untuk kami cukup luas. Dengan kamar mandi yang ada di dalam. Mempunyai tempat tidur yang bertingkat. Aku tidur di atas sementara Ida dan Wangsih tidur di bawah. Sepertinya mereka kurang begitu akrab denganku.Apalagi Wangsih yang masih muda itu. Entah mengapa aku merasa pandangannya tidak bersahabat atau hanya perasaaanku saja.Semalam Mbak Ida dan Wangsih sudah membagi tugas. Harus bangun pukul empat pagi, mandi solat dan segera membuat susu untuk dua anak NYonya Tan. Sedikit terkejut karena anak sebesar itu masih minum susu menggunakan botol bayi. Alasannya karena mereka susah minum susu sehingga harus minum susu dengan cara itu.Pagi hari Wangsih mengajari aku untuk membuat susu dan masuk ke dalam kamar Tan Jiang dan Tan Leo. Tanpa harus berbuat bising dan membangunkan mereka. Setelah mem
Tidak terasa aku sudah bekerja selama satu bulan di tempat Nyonya Tan. Walaupun Setiap hari aku mendapatkan komplain dari majikanku itu tentang masakan yang tidak enak atau ada sesuatu yang lupa. Tapi aku tetap bertahan hingga aku mendapatkan gaji pertamaku. Nyonya Tan juga akan menawarkan aku sebuah kartu untuk menelpon ke Indonesia. Sangat bahagia sekali saat aku bisa menghubungi keluargaku di Indonesia.Malam harinya, aku segera menghubungi Mas Dani tapi setelah sekian lama tidak dijawab panggilan telepon itu. Berbagai pertanyaan muncul di benakku.Kemana dia kok tidak menjawab panggilan teleponku? AKu terus mencoba menghubungi Mas Dani tidak bisa. Kemudian aku teringat dengan Mas Riski. Aku ingin menelepon Mas Rizki yang nomornya selalu aku simpan dalam buku telepon. Entah mengapa aku sangat merindukan Mas Rizki. Sosok pria yang sangat perhatian dan pernah membantuku saat aku merasakan kesusahan keuangan.Setelah beberapa saat panggilan teleponku tidak diangkat baru setelah mencob
"Kenapa kamu tidak meminta maaf denganu, Minah. Apakah kamu tidak suka dengan sikapku padamu. Ini masih biasa kamu melakukan kesalahan yang sangat fatal. Kamu tahu tidak berapa harga baju itu? Harganya sama dengan tiga kali gajimu. Tapi kini sudah luntur dan tidak bisa dipakai. Jadi aku harus marah dengan siapa?" tanya Nyonya Tan dengan wajah yang merah. Di meja makan itu juga ada Tuan Tan dan kedua putrinya. Namun, mereka tidak bisa membantah atau melarang Nyonya Tan untuk memarahiku. Hanya pandangan pada lantai sebagai tempat untuk menyembunyikan kesedihanku.Wangsih menyenggol pundakku kemudian dia berbisik."Mbak MInah, lekas minta maaf maka semua masalah akan kelar. Jangan turuti ego dan keras kepalamu," bisik Wangsih. Aku diam terpaku. Semua anggota TUan Tan juga diam. Perasaanku campur aduk antara ingin pulang atau bertahan di sini. Hingga Wangsih kembali menyenggol pundakku.Tergagap aku mendongakkan kepala dan tidak berani menatap mata Nyonya Tan yang hampir keluar."Eh, maaf
Tidak terasa sudah hampir setahun aku bekerja pada Nyonya Tan. Ya terkadang galak dan ramah terkadang baik. Namun ada sesuatu yang menyebabkan Wangsih juga tidak kerasan bekerja di sana. Tekanan untuk bekerja sangat sempurna dan tanggung jawab yang besar membuat Wangsih akhirnya pingsan di kamar mandi.Siang itu peristiwa yang tidak bisa aku lupakan. Wangsih sudah menjalani hubungan asmara dengan Jhon pekerja yang berasal dari negara Vietnam. Pria yang sangat baik, kulitnya putih dan bersih. Setiap dia datang pasti semua kerjaan Wangsih tidak pernah beres. Kami sering berantem karena Wangsih malah seenaknya sendiri. Beginilah kalau bekerja lebih dari satu orang di dalam satu rumah pasti tidak pernah akur. Entah karena sudah direncanakan lama atau tidak mendadak Wangsih aku temukan pingsan di dalam kamar mandi. Aku sedikit panik dan segera menelpon majikanku. Tapi tidak ada balasan hingga aku menelpon agencyku untuk bertemu dengan Mmm Kristin atau Mister Daniel memberitahu apa yang te
Setelah berganti-ganti pembantu sampai tiga kali akhirnya aku mendapatkan teman yang berasal dari kota Semarang. Aku pikir dengan punya teman yang satu daerah denganku semuanya akan sangat mudah. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Dia bahkan mempunyai taktik yang di luar naral. Dia dulu pernah kerja di Arab saudi sehingga sudah tahu bagaimana menghadapi majikan. Setiap kali aku memberitahu tentang suatu pekerjaan selalu dia membantahnya. Hingga membuat aku sediit emosi.Sampai pada puncak kesabaranku. Dia yang menyetrika baju dan mencuci kembali aku yang mendapatkan kemarahan dari Nyonya Tan."Minah!" panggil Nyonya Tan dari lantai atas.Tergopoh-gopoh aku segera berlari mendekati kamar majikanku."Iya Nyonya," sahutku ketika sudah berada dalam kamarnya."Apaan ini. Semua bajuku bau tidak enak dan dimasukkan ke dalam lemari," teriak Nyonya Tan sambil melemparkan setumpuk baju tepat ke wajahku. Rasa sakit yang dulu belum sembuh kembali terbuka lagi. Perlakuan yang tidak manu
Aku menangis di dalam pesawat. Tidak mengira akan menjadi begini. Di sebelahku seorang wanita. Dia tidak bertanya mungkin orang kaya. Mana mau bertanya dan ramah dengan wanita sepertiku. Hanya seorang pembantu. Ingin merutuki nasibku. Sejak kecil aku sangat rajin belajar dan disiplin berharap akan menjadi seorang yang sukses. Tapi teori itu tidak berlaku untukku. Mungkin karena tidak ada biaya sehingga aku tidak bisa melanjutkkan kuliah ke perguruan tinggi.Jalan yang ku tempuh juga salah yaitu menikah dan tergila-gila dengan Mas Dani. Hingga mempunyai dua anak. Orang pasti menyangka aku ini wanita dan gadis yang bisa saja dibodohi. Padahal waktu sekolah aku sangat pandai namun kalah dengan pesona seorang laki-laki.Seorang pramugari sudah berdiri di depan untuk memberikan instruksi tentang tata cara penyelamatan selama berada di dalam pesawat. Setelah semuanya siap. pesawat yang kutumpangi kemudian tinggal landas menembus pekatnya negara itu. Harus menempuh perjalanan satu jam sampai
"Dek MInah, aku mau pinjam uangmu, boleh?" tanya Mbak Ningsih.Aku berhenti memasukkan nasi ke dalam mulut. Ya Allah, kenapa ketika aku baru mempunyai uang sedikit saja. Ada saja orang yang bilang mau pinjam uang. Padahal kalau aku sedang susah tidak ada yang datang untuk mendekat. Kali ini aku menolaknya. Dengan alasan uangnya sudah aku berikan pada anaku dan biaya untuk pulang kampung nanti."Maaf Mbak Ningsih, aku tidak punya uang banyak. Ini sisa gajiku untuk beli susu Zaki dan nmengontrak rumah nantinya. Serta membayar semua hutang Bibi yang merawat Zaki. Katanya hutang di warung banyak," tolakku. Walaupun aku melihat wajah Mbak Ningsih langsung berubah ketika aku tidak memberikan pinjaman pada Mbak Ningsih."Oh ya sudah kalau begitu," ujar wanita itu langsung pergi.Mas Nono datang dan memandang istrinya dengan pandangan yang aneh. Dia ikut sarapan denganku lalu menanyakan apa yang terjadi."Ada apa dengan mbakyumu, Minah. Kok langsung masuk kamar dengan membanting pintu?" tanya
Sepanjang perjalanan menuju kota R itu, aku dan pemuda yang duduk di sebelahku banyak bercerita tentang banyak hal. Ternyata dia juga sangat kecewa kekasihnya yang begitu saja meninggalkan dia dan menikah dengan orang lain yang lebih kaya. Memang di dunia ini masih diukur dengan uang. Apa saja harus mempunyai uang. Itulah alasan kenapa aku bekerja di luar negeri. Ketika banyak yang bicara dan menghinaku karena sudah punya suami dan anak masih saja bekerja. Pasti tidak bersyukur dengan penghasilan suami. Ingin mempunyai seperti yang lainnya. Aku tidak pernah terbersit sedikitpun untuk tidak bersyukur dengan penghasilan suamiku, namun ini memang masih kurang. Dia hanya memberikan jatah tidak tentu malah lebih sering kurang. Ini anak-anak masih kecil. Bagaimana kalau anak-anak nanti sudah sekolah dan membutuhkan dana lebih banyak? Tentu aku yang harus pontang panting mencari biaya itu. Mas Dani tidak pernah ambil pusing dan menganggap semuanya santai. Pernah aku meminta uang untuk belanj