***Sesampainya di halaman rumah Hafsah, Azka segera turun dan membukakan pintu seperti sebelum-sebelumnya. Perhatian yang pria itu berikan tidak berkurang sedikitpun untuk Hafsah meskipun ada yang telah berubah. Hatinya. Cintanya. "Mampir dulu, Mas," pinta Hafsah. Azka menggeleng, "Sudah malam, Haf, aku langsung balik, gak enak sama orang tua kamu. Mereka pasti sudah istirahat.""Jangan khawatir, besok aku pasti datang bersama Ayah dan Ibu. Masuklah!"Tanpa menunggu Hafsah masuk ke dalam rumah, Azka sudah lebih dulu memasuki mobilnya dan meninggalkan pelataran rumah wanita yang sampai detik ini masih berdiri terpaku menatap mobil berwarna silver yang semakin melaju menjauh. "Kamu merusak semuanya, Safina." Kedua tangan Hafsah mengepal erat. Matanya yang sejak tadi terasa sesak dengan air mata kini berhasil menurunkan hujan dengan derasnya.Setelah puas menumpahkan tangis di pelataran rumah, Hafsah berjalan lunglai menuju teras yang lampunya masih berpendar. "Assalamualaikum ...."
***"Bi, ada apa?" tanya Azka sambil melirik Safina yang saat tengah menatapnya sendu. "Kenapa menampar Hafsah?"Annisa menghela napas kasar. Diusapnya wajah yang sejak semalam terasa kebas. "Safina bukan jalang, Le," ucap Annisa lirih namun mampu membuat hati Azka berdenyut nyeri. "Bibi minta maaf atas nama Safina karena sudah membatalkan acara kalian malam itu. Maafkan kami, Azka. Tolong ... bawa calon istrimu pergi dari sini, Le."Azka meregangkan dekapan kepala Hafsah pada perutnya yang tipis. "Kamu bicara apa pada Safina, Haf?" Azka menatap wajah Hafsah yang basah. Kepala wanita cantik itu menggeleng sambil berkata, "Apa, Mas? Kamu pikir aku bicara apa pada Safina, hah? Aku ... Aku hanya menjenguknya, itu saja!""Bohong!" sahut Annisa ketus. "Setelah menghardik Safina habis-habisan, lalu sekarang kamu berkata tidak bicara apa-apa, pandai sekali mulutmu itu bersilat, Hafsah," imbuh Annisa menggebu-gebu. Dadanya terasa panas ketika mendengar Hafsah berbicara pedas pada Safina. "Bi
***"Jadi ini pria yang Hafsah ceritakan pada Bunda," ucap Ranti seraya tersenyum tipis. "Pernikahan kalian hanya tinggal menentukan tanggal dan hari, jangan sampai goyah dengan godaan perempuan atau pria lain di luaran sana. Besar harapan Bunda melihat Hafsah bahagia, tolong jangan sakiti dia, Le." Ranti tanpa sadar mencengkeram lengan Azka hingga pria bertubuh tinggi itu mengerutkan kening dan menatap wanita berkerudung hitam di sampingnya dengan air muka kebingungan. "Ah, maaf," seloroh Ranti ketika menyadari raut Azka yang berubah tidak bersahabat. "Bunda hanya sedikit kecewa dengan sikap kamu, Azka. Hafsah bilang kamu tergoda dengan teman masa kecilmu, benar begitu?" "Bun ...." Hafsah merajuk ragu."Tidak apa-apa, Haf. Bunda hanya ingin tahu pembelaan apa yang akan Azka ucapakan, Nak. Bagaimanapun Bunda juga Ibu kamu."Bu Rania melengos ketika mendengar Ranti menyebut dirinya sebagai Ibu. Ada perasaan perih dan tidak terima ketika di depan Azka wanita berkerudung hitam itu menye
***"Kukira kita begitu dekat, Haf, ternyata ada banyak hal tentangmu yang tidak aku tahu." Azka berbicara ketika hendak memasuki mobil. "Tentang Bunda Ranti, kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Haf.""Kamu mempermasalahkan adanya Bunda Ranti, Mas?" Hafsah bertanya dengan suara rendah. "Dia bundaku. Aku sudah katakan kalau Bunda yang mengurusku sejak bayi.""Bukan tentang siapa yang mengurus kamu sejak bayi, Hafsah. Aku hanya kecewa karena kamu menyembunyikan fakta tentang Bunda Ranti. Sudah bertahun-tahun kita menjalin hubungan, tapi aku baru tau jika Bunda Ranti memiliki andil dalam kehidupan kamu. Kenapa tidak pernah cerita?" cecar Azka. "Aku tidak mempermasalahkan siapa Bunda Ranti di hidup kamu, hanya saja ... aku merasa kita tidak sedekat itu, Haf."Hafsah mencekal lengan Azka sambil menggeleng, "Itu bukan mauku," sahutnya tanpa dusta. "Sejak kita memutuskan bertunangan, Bunda Ranti menolak aku perkenalkan pada kalian. Bunda Ranti belum siap bertemu kamu dan kedua orang tua
***"Bunda Ranti, siapa dia, Le?" cecar Delia. "Kamu tahu ciri-cirinya bagaimana? Pakai jilbab? Kulitnya putih?"Azka menatap wajah Delia yang mulai memucat. "Bu, kenapa?"Delia menggeleng sambil menarik napas dalam-dalam. Rasa gelisah yang sempat menguasai jiwanya perlahan dia tepis. Delia menghembuskan napasnya perlahan-lahan berharap jantungnya kembali berdetak dengan tenang. "Siapa Bunda Ranti, Azka?""Hafsah pernah hilang, Bu." Azka mulai bercerita. "Lebih tepatnya dibuang." Delia menoleh dan mendelik, "Dibuang?""Ya. Neneknya membuang Hafsah karena tidak mau memiliki cucu perempuan. Hafsah dibuang di depan TPU sampai akhirnya ada Bunda Ranti yang memungutnya.""Astaghfirullah," ucap Delia seraya geleng-geleng. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang yang lebih mementingkan ego daripada keselamatan cucunya sendiri. "Jadi Bunda Ranti adalah Ibu Asuh Hafsah?""Bisa dibilang seperti itu, Bu," jawab Azka. "Tapi ada yang aneh dari sikap Hafsah. Dia terlihat begitu manja d
***"Kamu harus mempertahankan Azka bagaimanapun caranya, Haf."Hafsah yang sedang duduk berhadapan dengan Ranti sontak saja mengangguk patuh. "Tentu saja, Bun," jawab Hafsah mantap. "Sebisa mungkin aku akan berusaha agar Mas Azka tidak jatuh dalam pelukan Safina. Perempuan jalang itu tidak boleh bahagia di atas luka yang aku terima."Ranti menarik ujung bibirnya sinis. "Tetap saja kamu harus waspada, Sayang. Perempuan murahan seperti Safina bisa saja menarik perhatian Azka, apalagi mereka sudah lama berteman. Jangan sampai dia berhasil merebut Azka darimu," sahut Ranti mengompori."Itu tidak akan terjadi, Bun. Aku pastikan Mas Azka tetap menikahiku." Hafsah tersenyum puas. "Dendam Bunda akan aku balaskan sebentar lagi ....""Dendam apa, Nduk?"Hafsah terperanjat mendengar suara Bu Rania yang tiba-tiba datang. Ranti mengedipkan mata seakan memberi isyarat agar Hafsah tetap tenang, namun tetap saja, wajah Hafsah yang tegang tidak bisa disembunyikan dari pandangan Bu Rania. "Apa sih,
***"Tapi aku mencintai Safina, Bu."Delia melengos. Wanita yang mengenakan gamis berwarna kunyit itu kecewa dengan keputusan Azka yang semakin ambigu. "Ternyata sikap tegas Ayah tidak menurun padamu, Azka."Azka menunduk dalam ketika mendengar nada bicara Delia yang ketus. "Ketika kamu memutuskan untuk menikahi Hafsah, maka lupakan Safina," ucap Delia lagi. "Tapi jika hatimu lebih condong pada Safina, batalkan rencana pernikahanmu secepatnya. Jangan menyakiti Hafsah lebih dalam lagi!""Ngomong-ngomong, seperti apa ciri-ciri Bunda Ranti, Az?" cecar Delia.Azka menatap wajah Ibunya lamat-lamat, "Cantik. Tinggi, kulitnya putih. Tapi, Bu ... aku merasa seperti Bunda Ranti terlalu mendominasi. Bahkan beliau tidak perduli dengan apa yang Bu Rania ucapkan. Dan anehnya, Hafsah terlihat sangat menghormati Bunda Ranti daripada Ibunya sendiri. Apa hal seperti itu wajar, Bu?"Keringat Delia mulai bercucuran. Sejak Azka mengatakan Bundanya Hafsah adalah wanita yang cantik, tinggi dan putih, pik
***Aku merasakan kedua kelopak mata memanas. Melihat Bunda Ranti yang merengek agar aku menghancurkan hidup Mas Azka tetiba membuat dadaku terasa sesak. Aku baru menyadari betapa mengerikannya Bunda Ranti. Lalu, apa benar yang Ibu katakan kalau dulu beliau mencariku?Itu artinya Bunda Ranti berbohong?Setega itukah Bunda padaku?"Bun, aku menyadari satu hal ...."Bunda mengusap air matanya dan menatapku lekat, "Apa itu, Sayang?""Sepertinya janji yang tadi aku katakan tidak bisa aku tepati," ucapku takut. "Aku mencintai Mas Azka, Bunda."Kedua tangan Bunda yang semula memegang bahuku kini merosot. Matanya yang sendu seperti tengah memohon kini mendelik lebar seakan-akan ucapanku barusan adalah kabar yang paling mengejutkan baginya. Aku salah. Ya, aku akui itu.Aku menjanjikan sesuatu yang aku sendiri bahkan tidak tau duduk permasalahan antara Bunda dan kedua orang tua Mas Azka.Bunda hanya meminta agar aku menuruti inginnya. Bunda berharap agar aku membalaskan dendamnya melalui Mas